Radikalisme
dalam Pilkada Serentak
Buya
Syafi’i Maarif mengkhawatirkan Pilkada Serentak 2018 akan terjadi seperti
Pilgub DKI 2017. Kekhawatiran
yang cukup beralasan mengingat Pilgub DKI dipandang Buya memiliki suasana yang
sangat buruk. Intoleransi dan isu SARA dimainkan oleh para politisi untuk
memenangkan hati rakyat.
Pasca
Pilgub DKI 2017 lalu menyisakan kontestasi radikalisme agama di ruang publik yang
memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Intoleransi menjadi mekar di tengah
masyarakat. Khususnya di media sosial, kekerasan verbal, perang caci-maki, kian
menjauhkan rasa damai. Dampak buruknya, tergerusnya kebersamaan dan kesatuan,
munculnya kecurigaan dan kian sulit membangun saling kepercayaan.
Semua
ini berawal dari perbedaan pilihan politik praktis yang menyeret peran serta
keyakinan dan agama. Agama yang sejatinya seperangkat ajaran nilai-nilai moral
dan etika dalam perilaku ummat manusia diseret ke wilayah kerja politik
praktis. Peran agama sudah bergeser menjadi alat kepentingan untuk kemenangan
kekuasaan. Ia bukan lagi sebagai nilai dalam laku sehari-hari. Meminjam istilah
Syafii Maarif, agama dan tuhan telah dibajak dengan paksa untuk memenangkan
kekuasaan.
Indonesia
memang memilih jalan demokrasi sebagai sebuah sistem kepemimpinan. Sebuah
sistem yang berdaulat dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Tetapi kesenjangan pembangunan antardaerah dan antar
individu di tengah masyarakat, jalan demokrasi kian terjal mencapai substansi
kedaulatan sesungguhnya. Alih-alih demokrasi mampu secara utuh mencapai tujuan
keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang diamanatkan UUD 1945,
sistem pemerintahan yang dibangun berdasarkan semangat demokrasi tersebut belum
sesungguhnya tercapai. Sementara itu, sistem demokrasi bergeser menjadi sangat
prosedural dan menjauhkan substansi. Pilkada serentak 2019, Juni nanti kini
mulai terasa kian hangat. Negoisasi kepentingan elit partai lebih dominan dari
pada kepentingan rakyat.
Isu Radikalisme
KPU
RI sudah menetapkan tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018 yaitu pada
tanggal 27 Juni 2018. Ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018. 17 Provinsi,
39 Kota, dan 115 Kabupaten. Pada pencalonan, partai-partai bersilang-silang
mendukung para calon. Tidak serta merta mengikuti pola Pilgub DKI 2017. Namun
aroma Pilgub DKI 2017 tetap masih terasa dan akan dibawa ke daerah.
Semua
ini berawal dari Pilpres 2014, dimana negoisasi politik hanya mendapatkan dua
pasang calon saja. Lalu isu radikalisme dan intoleransi dimunculkan untuk
menyerang lawan. Jauh sebelum itu, juga Pilgub DKI 2012 juga sudah mulai ada.
Sehabis Pilpres 2014, kalah-menang telah menciptakan hater dan lovers yang
sulit move on. Kebencian meraja lela
di media sosial. Akun anonim masih bekerja menyerang. Kalah itu memang pahit
sehingga di akun yang tak bertanggung-jawab pahit itu menjadi penyakit yang
memburuk.
Belum
lunas pahitnya kekalahan, tiba pula Pilgub DKI 2017. Lagi-lagi radikalisme agama
dan intoleransi mengemuka dari pemain-pemain Pilpres. Seakan-akan berlaku,
kalah di Pilpres, di Pilgub kita balas. Seterusnya, di Pilkada serentak kita
lanjutkan. Betapa buruk laku politik dari pekerja yang menerima upah dari para
pemodal dan politisi yang berwajah manis di televisi itu. Mereka seakan-akan peduli
wajah demokrasi di negeri ini kian suram. Sebab tujuan politik hanya soal
kemenangan kekuasaan.
Siapakah
yang bertanggung-jawab atas persoalan ini? Jawabnya adalah elit politik. Elit
politik negeri inilah yang paling bertanggung-jawab, karena hasil negoisasi,
koalisi yang terjadi, hingga head to head
yang membuat publik pecah dua arus, berangkat dari kepentingan elit untuk
meraih simpati publik.
Kemenangan
Anies-Sandi merupakan salah satu hasil dari terseretnya emosi ummat ke dalam
citra agamis yang dibangun para pekerja politik di setiap lini. Terlepas
kekeliruan BTP dalam melakoni kerja politik praktisnya, yang jelas, model yang
akan dibangun pekerja politik di tingkat lokal dalam Pilkada Serentak 2018 ini
paling tidak akan mengekor Pilgub DKI 2017.
Aroma
ini sudah mulai tercium dalam kontestasi politik lokal, seperti Jawa Barat dan
Jawa Timur. Walau banyak perbedaan dan sangat dinamis namun tampaknya,
persiapan untuk memasuki medan tempur kampanye, menghembuskan isu RAS sangat
ampuh untuk menggaet simpati publik.
Komitmen Anak
Bangsa
Agar
ini tidak terjadi, perlu adanya kesepakatan elit partai agar pertarungan
politik praktis hendaknya dimulai dari adu visi dan misi serta tawaran program
kerja bagi pasangan calon. Bagaimana pun juga, patronase partai dan pemodal
dalam Pilkada Serentak 2018 belum bisa lepas dari elit partai di tingkat
nasional. Oleh karenanya kesepakatan itu harus dimulai dari tingkat nasional
guna mendidik kader, pekerja politik dan publik agar kemenangan sejati dalam setiap
ajang suksesi didapatkan secara elegan, bukan dengan luka dan darah yang harus
ditanggung oleh bumi pertiwi ini.
Ketika
masih menggunakan radikalisme agama dan intoleransi, ancaman selanjutnya adalah
perpecahan ummat akan lama menggelinding menjadi bola liar yang tidak
terkendali. Saat itulah pihak lain akan mengambil kesempatan yang akan
merugikan bangsa ini secara luas. Perlu diingat, jika kerja politik hanya soal
kemenangan kekuasaan, berarti kita kian hanyut jauh dalam demokrasi prosedural
dan kian menjauhkan demokrasi substansial yang kita agungkan. Salam. [] AK
No comments:
Post a Comment