Friday, March 2, 2018

OPINI


Radikalisme dalam Pilkada Serentak

Buya Syafi’i Maarif mengkhawatirkan Pilkada Serentak 2018 akan terjadi seperti Pilgub DKI 2017.  Kekhawatiran yang cukup beralasan mengingat Pilgub DKI dipandang Buya memiliki suasana yang sangat buruk. Intoleransi dan isu SARA dimainkan oleh para politisi untuk memenangkan hati rakyat.

Pasca Pilgub DKI 2017 lalu menyisakan kontestasi radikalisme agama di ruang publik yang memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Intoleransi menjadi mekar di tengah masyarakat. Khususnya di media sosial, kekerasan verbal, perang caci-maki, kian menjauhkan rasa damai. Dampak buruknya, tergerusnya kebersamaan dan kesatuan, munculnya kecurigaan dan kian sulit membangun saling kepercayaan.


Semua ini berawal dari perbedaan pilihan politik praktis yang menyeret peran serta keyakinan dan agama. Agama yang sejatinya seperangkat ajaran nilai-nilai moral dan etika dalam perilaku ummat manusia diseret ke wilayah kerja politik praktis. Peran agama sudah bergeser menjadi alat kepentingan untuk kemenangan kekuasaan. Ia bukan lagi sebagai nilai dalam laku sehari-hari. Meminjam istilah Syafii Maarif, agama dan tuhan telah dibajak dengan paksa untuk memenangkan kekuasaan.

Indonesia memang memilih jalan demokrasi sebagai sebuah sistem kepemimpinan. Sebuah sistem yang berdaulat dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Tetapi kesenjangan pembangunan antardaerah dan antar individu di tengah masyarakat, jalan demokrasi kian terjal mencapai substansi kedaulatan sesungguhnya. Alih-alih demokrasi mampu secara utuh mencapai tujuan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang diamanatkan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dibangun berdasarkan semangat demokrasi tersebut belum sesungguhnya tercapai. Sementara itu, sistem demokrasi bergeser menjadi sangat prosedural dan menjauhkan substansi. Pilkada serentak 2019, Juni nanti kini mulai terasa kian hangat. Negoisasi kepentingan elit partai lebih dominan dari pada kepentingan rakyat.

Isu Radikalisme
KPU RI sudah menetapkan tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018 yaitu pada tanggal 27 Juni 2018. Ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018. 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten. Pada pencalonan, partai-partai bersilang-silang mendukung para calon. Tidak serta merta mengikuti pola Pilgub DKI 2017. Namun aroma Pilgub DKI 2017 tetap masih terasa dan akan dibawa ke daerah.

Semua ini berawal dari Pilpres 2014, dimana negoisasi politik hanya mendapatkan dua pasang calon saja. Lalu isu radikalisme dan intoleransi dimunculkan untuk menyerang lawan. Jauh sebelum itu, juga Pilgub DKI 2012 juga sudah mulai ada. Sehabis Pilpres 2014, kalah-menang telah menciptakan hater dan lovers yang sulit move on. Kebencian meraja lela di media sosial. Akun anonim masih bekerja menyerang. Kalah itu memang pahit sehingga di akun yang tak bertanggung-jawab pahit itu menjadi penyakit yang memburuk.

Belum lunas pahitnya kekalahan, tiba pula Pilgub DKI 2017. Lagi-lagi radikalisme agama dan intoleransi mengemuka dari pemain-pemain Pilpres. Seakan-akan berlaku, kalah di Pilpres, di Pilgub kita balas. Seterusnya, di Pilkada serentak kita lanjutkan. Betapa buruk laku politik dari pekerja yang menerima upah dari para pemodal dan politisi yang berwajah manis di televisi itu. Mereka seakan-akan peduli wajah demokrasi di negeri ini kian suram. Sebab tujuan politik hanya soal kemenangan kekuasaan.

Siapakah yang bertanggung-jawab atas persoalan ini? Jawabnya adalah elit politik. Elit politik negeri inilah yang paling bertanggung-jawab, karena hasil negoisasi, koalisi yang terjadi, hingga head to head yang membuat publik pecah dua arus, berangkat dari kepentingan elit untuk meraih simpati publik.

Kemenangan Anies-Sandi merupakan salah satu hasil dari terseretnya emosi ummat ke dalam citra agamis yang dibangun para pekerja politik di setiap lini. Terlepas kekeliruan BTP dalam melakoni kerja politik praktisnya, yang jelas, model yang akan dibangun pekerja politik di tingkat lokal dalam Pilkada Serentak 2018 ini paling tidak akan mengekor Pilgub DKI 2017.

Aroma ini sudah mulai tercium dalam kontestasi politik lokal, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Walau banyak perbedaan dan sangat dinamis namun tampaknya, persiapan untuk memasuki medan tempur kampanye, menghembuskan isu RAS sangat ampuh untuk menggaet simpati publik.

Komitmen Anak Bangsa
Agar ini tidak terjadi, perlu adanya kesepakatan elit partai agar pertarungan politik praktis hendaknya dimulai dari adu visi dan misi serta tawaran program kerja bagi pasangan calon. Bagaimana pun juga, patronase partai dan pemodal dalam Pilkada Serentak 2018 belum bisa lepas dari elit partai di tingkat nasional. Oleh karenanya kesepakatan itu harus dimulai dari tingkat nasional guna mendidik kader, pekerja politik dan publik agar kemenangan sejati dalam setiap ajang suksesi didapatkan secara elegan, bukan dengan luka dan darah yang harus ditanggung oleh bumi pertiwi ini.

Ketika masih menggunakan radikalisme agama dan intoleransi, ancaman selanjutnya adalah perpecahan ummat akan lama menggelinding menjadi bola liar yang tidak terkendali. Saat itulah pihak lain akan mengambil kesempatan yang akan merugikan bangsa ini secara luas. Perlu diingat, jika kerja politik hanya soal kemenangan kekuasaan, berarti kita kian hanyut jauh dalam demokrasi prosedural dan kian menjauhkan demokrasi substansial yang kita agungkan. Salam. [] AK

No comments:

Post a Comment