Gerakan Reformasi
Berhenti di Kaki
Pelangi
Hari itu,
enam belas tahun lalu, matahari di atas kepala. Panas menyengat. Tapi riuh
demonstran yang mengelilingi panggung kecil di tengah lapang seperti tak
peduli. Mereka malah merangsek ke depan lalu diminta duduk tertib. Sesekali
mengepal ke atas, hidup reformasi! hidup reformasi! Di panggung, orator silih
berganti menyampaikan orasi dengan nada yang marah kepada rezim yang sedang berkuasa.
Suasana
kembali lebih riuh penuh patriotisme, ketika tokoh penting yang selalu kritis
dengan pemerintah Orde Baru, Amien Rais memegang mikropon. Amien Rais
dielu-elu. Lalu ia meminta massa tenang dan mulai orasi. Hari itu, Amien
menyampaikan tentang rezim yang disebutnya; Tanpa Usaha Tapi Untung Terus
(Tutut).
Itulah
salah satu suasana demonstrasi akbar yang pernah digelar di Padang selama Mei
1998. Pada klimaknya demonstrasi depan kantor gubernur dan gedung DPRD Sumbar.
Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Tumpah ruah di Kota Padang. Hal serupa terjadi
di provinsi lain. Waktu itu, saya mahasiswa juga. Aktif di pers kampus.
Sehabis
orasi, Amien Rais dikawal ketat ke lantai dua rektorat IKIP, kini UNP, di
belakang lapangan. Tak banyak orang boleh masuk. Termasuk kru televisi yang
lama menunggu kedatangan Amien Rais. Bang Denny Risman, wartawan senior yang
memegang micropon SCTV pada waktu itu
bertengkar dengan teman-teman mahasiswa yang menjadi petugas keamanan agar dapat
mewawancarai Amien.
“Amien
memang diagendakan untuk jumpa pers,” ungkap Bang Denny Risman, beberapa hari
lalu, di twitter.
Akhirnya para
jurnalis tidak dapat masuk ke dalam diskusi terbatas itu. Sementara, saya mendapat
kesempatan menyelinap hingga ke lantai dua melalui seorang teman Koordinator
Lapangan (Koorlap).
Sampai di
ruangan, diskusi terbatas dipandu Gusrizal, Amein Rais kembali membeberkan
pemikiran pentingnya gerakan reformasi untuk meruntuhkan orde baru. People Power salah satu gerakan yang
akan dilakukan.
"Ada
yang mau bertanya dengan paparan saya, di lapangan maupun yang sebentar
ini?" kata Amien.
"Pak
Amien, ketika Orde Baru turun. Apa agenda selanjutnya?" tanya saya,
setelah mendapat kesempatan bertanya.
Amien
mengambil spidol dan membuat garis diagonal ke atas di witheboard. “Begini, mas Khusairi. Agenda kita belum selesai untuk
menurunkan Soeharto. Jika itu telah terjadi, kita akan rancang agenda
selanjutnya. Kita harus turunkan rezim Orba dulu,” begitu kira-kira kata Amien
Rais, sembari menjawab pertanyaan dari teman-teman yang lain.
Jawaban-jawaban
itu tidak memuaskan. Harapan mendapatkan penjelasan tentang agenda setting
reformasi akhirnya sia-sia, hingga turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, 21
Mei 1998.
Masa Rawan Reformasi
Enam
belas tahun sesudahnya, Budiman Sudjatmiko menulis dua buku tebal, Anak-Anak Revolusi (2014). Beberapa
cerita perjalanan hidupnya sepanjang gerakan reformasi sedikit memberi jawaban.
Reformasi memang tidak memiliki agenda yang jelas, serupa revolusi di banyak
tempat di belahan dunia. Akibatnya, reformasi hanya mampu menurutkan Soeharto,
sementara, akar-akar kekuasaannya hingga kini mencengkram kuat. Banyak bunglon kekuasaan bertahan,
karena nyaris tak ada lini yang luput dari “orang-orang Soeharto.”
Hal ini
dibuktikan dengan tuntutan reformasi yang belum banyak yang tuntas. Penegakan
hukum yang belum seutuhnya, otonomi daerah yang masih menyimpan masalah,
korupsi kolusi nepotisme (KKN) makin menjadi. Sementara itu, kebebasan pers
hanya dinikmati korporasi media, bukan para jurnalis yang masih mendapat upah
kecil.
Budiman
Sudjatmiko sudah memprediksi jauh hari di balik jeruji penjara, ketika rezim
Orde Baru mulai galau mempertahankan kekuasaan, reformasi adalah jalan
kompromi. Akibatnya kian jelas, reformasi akhirnya semu dan disajikan setengah
matang.
Kini euphoria reformasi itu kian meredup
terasa. Masa yang rawan. Agenda reformasi terbengkalai. Gerakan mahasiswa hanya
parsial. Aktivis reformasi sudah mencari jalan hidup sendiri-sendiri. Perubahan
yang dicita-citakan makin meninggi. Susah digapai dalam waktu dekat. Tiga kali
Pemilu, puluhan pemilihan kepala daerah (Pilkada), hanya menghasilkan pembagian
kekuasaan. Perubahan itu ada tapi masih terasa setengah jadi.
Siapa
yang mesti melanjutkan perjuangan reformasi? Apakah ada regenerasi? Tidak
perlu. Toh, sejarah memang berulang,
begitu kata Ibnu Khaldun. Setiap ia datang, selalu ada yang dimakannya tetapi
ada yang dilahirkannya. Eksponen 66 boleh jadi bangga lahirnya orde baru dengan
berkuasa atasnya, dengan tenggelamnya orde lama. Sementara itu, aktivis reformasi
98, boleh saja mengenang romantisme enam belas tahun yang lalu. Semua telah berlalu,
akan lahir lagi sejarah baru setelah ini. Hukum alam telah mengaturnya. Roda
sejarah yang diputar oleh waktu.
Mengharap Kaki Pelangi
Proses Pemilu
legislatif 2014 baru saja usai, kita segera melaksanakan pemilu presiden.
Beberapa nama calon presiden muncul setiap hari di media massa. Kian gencar
mencari melancarkan serangan, melakukan sosialisasi, juga menawarkan koalisi. Koalisi
memang harus dilalui karena partai pengusung calon presiden tidak ada yang
menang mutlak. Inilah kemenangan “telur dadar,” kata Alfan Alfian (2014). Tidak
ada partai yang dominan.
Pada
konstalasi politik serupa itu, dimana gerakan reformasi itu? Masih bergerak
diam atau telah mati? Sungguh pertanyaan sinis ini patut kita kedepankan ketika
semua telah mengaku reformis dan menyatakan berhak atas kekuasaan. Tuntutan
reformasi bisa jadi tinggal cerita. Hanya mampu menghantarkan perubahan hingga
setengah matang, setengah jadi. Selebihnya, kembali diambil oleh mereka yang
memiliki kekuatan dan kekuasaan.
Hal yang
paling mungkin dilakukan bagi kita yang masih ingin cita-cita reformasi
berjalan walau sudah terlihat tertatih, adalah memilih presiden yang memiliki
semangat untuk melanjutkan agenda reformasi. Atau paling tidak menjaga kebebasan
pers dan kebebasan berpendapat. Ini modal dasar yang mesti terjaga. Kemudian, melanjutkan
perjuangan pelaksanaan otonomi daerah diperluas, tidak setengah-setengah.
Penguatan sistem hukum dan penegakan hukum, yang tak boleh lagi dipakai hanya
untuk melanggengkan kekuasaan, tebang pilih dan tajam ke bawah tumpul ke atas.
Sayangnya
justru, nama-nama calon presiden dan wakil presiden itu belum ada yang
melemparkan visi dan misi ke permukaan. Mereka belum menjual ide-ide kemajuan.
Lebih banyak show kekuatan dan sudah
merasa di atas angin. Karenanya, saya jadi ingat sebuah judul laporan
investigasi Bondan “maknyus” Winarno, Sebongkah
Emas di Kaki Pelangi (1997). Dan reformasi sepertinya akan bernasib serupa
emas itu. Terhenti di kaki pelangi. Salam. [] ABDULLAH KHUSAIRI
No comments:
Post a Comment