REFLEKSI
Selembar
Idealisme
di
Meja Redaksi
ABDULLAH
KHUSAIRI
Jika di langit
ada lauhul mahfuz, maka di bumi ada media massa.
Emha Ainun
Nadjib (2012)
Kutipan
di atas tiba-tiba teringat lagi, setelah masuk screenshoot ke WhatsApp Groups (WAG), sebuah surat yang menyatakan
agar Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) tak dianjurkan berlangganan Harian Haluan. Entah asli, entah palsu, screenshoot itu merupakan peristiwa
penting dunia pers di daerah ini.
Jika
screenshoot itu hanyalah hoax maka Harian Haluan akan seperti biasa, menjadi salah satu koran yang
akan dibaca oleh jajaran pejabat pemerintah, khususnya Pemprov. Melalui
fasilitas anggaran publik, Harian Haluan
akan diantar ke ruang-ruang pejabat Pemprov. Tetapi jika benar, Harian Haluan akan mengalami penyusutan
langganan di Pemprov. Serta pejabat-pejabat pemerintah tidak akan bersua dengan
sajian berita dari sebuah harian tua ini. Kecuali beli sendiri.
Sebenarnya,
berlangganan atau tidak Pemprov terhadap Harian
Haluan bukan sesuatu yang penting. Pejabat Pemprov memang merdeka memilih
media mana yang mau dibaca. Bebas. Tetapi surat itu, jika benar, tentulah
sebuah masalah. Apalagi bagi pengkaji media, orang media, organisasi wartawan,
juga lembaga media, karena menyangkut dinamika kebebasan pers.
Surat
itu merupakan nilai penting bagi Harian
Haluan yang bebas menyampaikan aspirasi publik tanpa perlu “tergigit lidahnya.” Mengingat, alasan
yang termaktub dalam screenshoot tersebut
memandang Harian Haluan tidak
sehaluan dengan perspektif pembuat surat.
Bagi Harian Haluan, sebagai mana
teori-teori pers, kepercayaan (trust) publik adalah hal utama bagi pers. Apalagi
media cetak, di tengah gempuran dari berbagai sisi, baik sesama media cetak,
hadirnya media online dan media sosial, trust
itulah pegangan agar bisa mendatangkan iklan. Itulah idealnya.
Media
massa adalah lembaga publik yang melayani aspirasi publik. Menjadi pilar
keempat demokrasi, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Kini, eksekutif
tidak siap dengan perspektif yang dibangun Harian
Haluan, lalu memutuskan hubungan kemitraan. Tentu saja, ada sesuatu yang
terselubung menaruh pertanyaan besar,
ada apa dengan sipembuat surat? Kalau
sedikit cerdas, bisa saja tanpa harus dengan surat lalu langsung putus
langganan, bukan? Sampai di sini, agak aneh juga nalarnya.
Media
massa adalah lembaga publik yang dibangun oleh publik, dari publik, untuk publik.
Karena itu, tetaplah terus meningkatkan kualitas dan kritis menjalankan fungsi
pers sebagaimana termaktub dalam UU No.
40 Tahun 1999 Tentang Pers. Berkali-kali dikutip, kehadiran media massa
menjalankan kegiatan jurnalistik, tiada lain untuk menyuarakan kebenaran
faktual, mengawasi kegiatan lembaga-lembaga publik yang berkaitan pula dengan
UU No.14 Thn 2008.
Secara
teoritis, Bill Kovack telah membimbing dengan seksama dalam The Elemen of Journalism (2001). Ada
sembilan elemen jurnalisme yang patut diketahui bagi semua jurnalis. Jurnalis
sejati akan menjadikannya filosofi profesinya. Sembilan Elemen itu, Pertama, kewajiban utama jurnalisme
adalah pada kebenaran; Kedua, loyalitas
pertama jurnalisme kepada warga; Ketiga,
intisari jurnalisme adalah verifikasi; Keempat, para praktisinya harus menjaga
independensi terhadap sumber berita; Kelima,
jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; Keenam, jurnalisme harus
menyediakan forum public untuk kritik maupun dukungan warga; Ketujuh, jurnalisme harus berupaya
membuat hal yang penting, menarik dan relevan; Kedelapan, jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan
proposional; Kesembilan, para
praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
Maka
benar, bila Harian Haluan mengacu
kepada kepentingan menyampaikan kebenaran dan loyal kepada warga. Resiko harus
dipilih, jika dibenci pemerintah tetapi tidak dapat uang APBD karena sikap
kritis, tetapi disenangi oleh publik. Sebaliknya, ada media yang memilih
sebaliknya, juga sebuah pilihan. Apalagi lebih berpihak kepada pemerintah tak
mendengar aspirasi publik pembaca, resiko yang diambil adalah lambat laun
ditinggalkan pembaca. Dalam hal ini, raja media dari Surabaya Dahlan Iskan
menyebutkan, “tauhid jurnalistik” itu independen, bebas dan kreatif. Jika tidak
independen, artinya media tersebut dependen, tidak merdeka, “dicucuk hidungnya.”
Media serupa ini akan menunggu waktu ditinggalkan pembaca karena tidak
bertauhid dengan benar dalam menjalankan kegiatannya. Pada konteks ini, awak
redaksi Harian Haluan patut
berbangga.
Secara
umum, pers adalah penyambung lidah rakyat yang tertinda atas kekuasaan yang
berlangsung. Pers adalah badan publik yang bebas mengawasi setiap
penyimpangan-penyimpangan penyelenggaran dana publik. Ada banyak film tentang
jurnalisme, salah satunya yang paling fenomenal All The Presiden Men yang dapat membantu menjelaskan posisi pers
dalam perjalanan sebuah negara. Kasus-kasus besar yang dibongkar oleh awak pers
melalui investigasi bisa mengguncang sebuah negara dan mematah kursi empuk
seseorang yang berkuasa.
Makanya
tak heran, Emha menyebutkan media massa adalah alat revolusi paling ampuh jika
ia telah bersatu untuk menjalankan misi kebenaran publik. Peringatan dini yang
paling baik datang dari seorang politisi Amerika Serikat (AS), jika kau ingin
jadi politisi, jangan sekali-kali engkau berkonflik dengan pers. Hal ini
seiring dengan pendapat Napoleon Bonarparte, aku tak takut dengan seribu
serdadu tetapi aku takut satu mata pena jurnalis yang akan menuliskan berita.
Bagi
sipembuat surat yang screenshoot, bisa jadi, media cetak tidak satu. Masih ada
yang lain, yang bisa diajak bermitra, bisa dibungkam atas kekuasaan yang
dijalankan. Tetapi mestinya ia membaca Seno Gumira Ajidarma. Seno pernah
menulis, kebenaran memang bisa dibungkam tetapi tidak bisa dikalahkan. Sebab
kebenaran seperti angin. Sekalipun seluruh pers dapat dibungkam seperti masa
Orde Baru, tetapi kebenaran tetaplah kebenaran yang mampu mengungkapkan diri.
Seno menulis, ketika jurnalisme bungkam
sastra harus bicara.
Tindakan
menerbitkan surat tersebut, tiada lain sikap ketakutan dan ingin menghentikan
sikap Harian Haluan melalui kekuasaan
yang kerdil. Kekuasaan, sekecil apapun cenderung korup seperti diungkapkan Lord
Acton, guru besar sejarah moder Universitas Camridge. Apalagi kekuasaan yang
absolut. (Power tends to corrupt, and
absolute power corrupt absolutely). Karenanya, kehadiran media massa untuk mengawasi
kekuasaan di tiga tempat, eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Awak
redaksi Harian Haluan patut bangga, screenshoot surat itu merupakan bukti
nyata masih ada selembar idealisme di meja redaksi Harian Haluan di tengah gempuran tangan-tangan kekuasaan yang
menggerogotinya. Di tengah godaan janji materi, jurnalistik salon penuh gincu,
wartawan bersimpuh di kaki humas, wartawan abal-abal, media abal-abal, Harian Haluan tetap berani mengambil
haluan yang berbeda. Ini ditunggu publik, ditunggu pembaca. Berjuanglah dengan
idealisme itu, sebab idealisme adalah harga diri bagi para awak media.
Ingat-ingatlah apa yang dikatakan Tan Malaka, harga paling mahal bagi seorang
anak muda adalah idealisme. Hal ini juga berlaku bagi awak redaksi Harian Haluan. Soal rezeki, Allah SWT
yang mengaturnya, tidak berhubung kait dengan penghentian langganan. Sebab
peran media jauh dari sekadar beberapa eksemplar langganan. Sebuah media massa,
seperti kata Emha, merupakan salah satu jalan terjadinya revolusi dapat terjadi.
Karena itulah sangat ditakuti pemegang kekuasaan yang koruptif. Salam pers
bebas! []
* Kandidat
Doktor Pengkaji Media Massa
UIN Syarif
Hidayatulah Ciputat
No comments:
Post a Comment