Thursday, March 29, 2018

REFLEKSI Selembar Idealisme di Meja Redaksi


REFLEKSI
Selembar Idealisme
di Meja Redaksi

ABDULLAH KHUSAIRI

Jika di langit ada lauhul mahfuz, maka di bumi ada media massa.
Emha Ainun Nadjib (2012)

Kutipan di atas tiba-tiba teringat lagi, setelah masuk screenshoot ke WhatsApp Groups (WAG), sebuah surat yang menyatakan agar Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) tak dianjurkan berlangganan Harian Haluan. Entah asli, entah palsu, screenshoot itu merupakan peristiwa penting dunia pers di daerah ini.

Jika screenshoot itu hanyalah hoax maka Harian Haluan akan seperti biasa, menjadi salah satu koran yang akan dibaca oleh jajaran pejabat pemerintah, khususnya Pemprov. Melalui fasilitas anggaran publik, Harian Haluan akan diantar ke ruang-ruang pejabat Pemprov. Tetapi jika benar, Harian Haluan akan mengalami penyusutan langganan di Pemprov. Serta pejabat-pejabat pemerintah tidak akan bersua dengan sajian berita dari sebuah harian tua ini. Kecuali beli sendiri.

Sebenarnya, berlangganan atau tidak Pemprov terhadap Harian Haluan bukan sesuatu yang penting. Pejabat Pemprov memang merdeka memilih media mana yang mau dibaca. Bebas. Tetapi surat itu, jika benar, tentulah sebuah masalah. Apalagi bagi pengkaji media, orang media, organisasi wartawan, juga lembaga media, karena menyangkut dinamika kebebasan pers.


Surat itu merupakan nilai penting bagi Harian Haluan yang bebas menyampaikan aspirasi publik tanpa perlu “tergigit lidahnya.” Mengingat, alasan yang termaktub dalam screenshoot tersebut memandang Harian Haluan tidak sehaluan dengan perspektif pembuat surat. Bagi Harian Haluan, sebagai mana teori-teori pers, kepercayaan (trust) publik adalah hal utama bagi pers. Apalagi media cetak, di tengah gempuran dari berbagai sisi, baik sesama media cetak, hadirnya media online dan media sosial, trust itulah pegangan agar bisa mendatangkan iklan. Itulah idealnya.

Media massa adalah lembaga publik yang melayani aspirasi publik. Menjadi pilar keempat demokrasi, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Kini, eksekutif tidak siap dengan perspektif yang dibangun Harian Haluan, lalu memutuskan hubungan kemitraan. Tentu saja, ada sesuatu yang terselubung menaruh  pertanyaan besar, ada apa dengan sipembuat surat? Kalau sedikit cerdas, bisa saja tanpa harus dengan surat lalu langsung putus langganan, bukan? Sampai di sini, agak aneh juga nalarnya.

Media massa adalah lembaga publik yang dibangun oleh publik, dari publik, untuk publik. Karena itu, tetaplah terus meningkatkan kualitas dan kritis menjalankan fungsi pers  sebagaimana termaktub dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Berkali-kali dikutip, kehadiran media massa menjalankan kegiatan jurnalistik, tiada lain untuk menyuarakan kebenaran faktual, mengawasi kegiatan lembaga-lembaga publik yang berkaitan pula dengan UU No.14 Thn 2008.

Secara teoritis, Bill Kovack telah membimbing dengan seksama dalam The Elemen of Journalism (2001). Ada sembilan elemen jurnalisme yang patut diketahui bagi semua jurnalis. Jurnalis sejati akan menjadikannya filosofi profesinya. Sembilan Elemen itu, Pertama, kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran; Kedua, loyalitas pertama jurnalisme kepada warga; Ketiga, intisari  jurnalisme adalah verifikasi; Keempat, para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita; Kelima, jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; Keenam,  jurnalisme harus menyediakan forum public untuk kritik maupun dukungan warga; Ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan; Kedelapan, jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proposional; Kesembilan, para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Maka benar, bila Harian Haluan mengacu kepada kepentingan menyampaikan kebenaran dan loyal kepada warga. Resiko harus dipilih, jika dibenci pemerintah tetapi tidak dapat uang APBD karena sikap kritis, tetapi disenangi oleh publik. Sebaliknya, ada media yang memilih sebaliknya, juga sebuah pilihan. Apalagi lebih berpihak kepada pemerintah tak mendengar aspirasi publik pembaca, resiko yang diambil adalah lambat laun ditinggalkan pembaca. Dalam hal ini, raja media dari Surabaya Dahlan Iskan menyebutkan, “tauhid jurnalistik” itu independen, bebas dan kreatif. Jika tidak independen, artinya media tersebut dependen, tidak merdeka, “dicucuk hidungnya.” Media serupa ini akan menunggu waktu ditinggalkan pembaca karena tidak bertauhid dengan benar dalam menjalankan kegiatannya. Pada konteks ini, awak redaksi Harian Haluan patut berbangga.

Secara umum, pers adalah penyambung lidah rakyat yang tertinda atas kekuasaan yang berlangsung. Pers adalah badan publik yang bebas mengawasi setiap penyimpangan-penyimpangan penyelenggaran dana publik. Ada banyak film tentang jurnalisme, salah satunya yang paling fenomenal All The Presiden Men yang dapat membantu menjelaskan posisi pers dalam perjalanan sebuah negara. Kasus-kasus besar yang dibongkar oleh awak pers melalui investigasi bisa mengguncang sebuah negara dan mematah kursi empuk seseorang yang berkuasa.

Makanya tak heran, Emha menyebutkan media massa adalah alat revolusi paling ampuh jika ia telah bersatu untuk menjalankan misi kebenaran publik. Peringatan dini yang paling baik datang dari seorang politisi Amerika Serikat (AS), jika kau ingin jadi politisi, jangan sekali-kali engkau berkonflik dengan pers. Hal ini seiring dengan pendapat Napoleon Bonarparte, aku tak takut dengan seribu serdadu tetapi aku takut satu mata pena jurnalis yang akan menuliskan berita.

Bagi sipembuat surat yang screenshoot, bisa jadi, media cetak tidak satu. Masih ada yang lain, yang bisa diajak bermitra, bisa dibungkam atas kekuasaan yang dijalankan. Tetapi mestinya ia membaca Seno Gumira Ajidarma. Seno pernah menulis, kebenaran memang bisa dibungkam tetapi tidak bisa dikalahkan. Sebab kebenaran seperti angin. Sekalipun seluruh pers dapat dibungkam seperti masa Orde Baru, tetapi kebenaran tetaplah kebenaran yang mampu mengungkapkan diri. Seno menulis, ketika jurnalisme bungkam sastra harus bicara.

Tindakan menerbitkan surat tersebut, tiada lain sikap ketakutan dan ingin menghentikan sikap Harian Haluan melalui kekuasaan yang kerdil. Kekuasaan, sekecil apapun cenderung korup seperti diungkapkan Lord Acton, guru besar sejarah moder Universitas Camridge. Apalagi kekuasaan yang absolut. (Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely). Karenanya, kehadiran media massa untuk mengawasi kekuasaan di tiga tempat, eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Awak redaksi Harian Haluan patut bangga, screenshoot surat itu merupakan bukti nyata masih ada selembar idealisme di meja redaksi Harian Haluan di tengah gempuran tangan-tangan kekuasaan yang menggerogotinya. Di tengah godaan janji materi, jurnalistik salon penuh gincu, wartawan bersimpuh di kaki humas, wartawan abal-abal, media abal-abal, Harian Haluan tetap berani mengambil haluan yang berbeda. Ini ditunggu publik, ditunggu pembaca. Berjuanglah dengan idealisme itu, sebab idealisme adalah harga diri bagi para awak media. Ingat-ingatlah apa yang dikatakan Tan Malaka, harga paling mahal bagi seorang anak muda adalah idealisme. Hal ini juga berlaku bagi awak redaksi Harian Haluan. Soal rezeki, Allah SWT yang mengaturnya, tidak berhubung kait dengan penghentian langganan. Sebab peran media jauh dari sekadar beberapa eksemplar langganan. Sebuah media massa, seperti kata Emha, merupakan salah satu jalan terjadinya revolusi dapat terjadi. Karena itulah sangat ditakuti pemegang kekuasaan yang koruptif. Salam pers bebas! []
* Kandidat Doktor Pengkaji Media Massa
UIN Syarif Hidayatulah Ciputat



No comments:

Post a Comment