Monday, March 26, 2018

Gagal Paham Sistem Pendidikan Negeri Ini

Gagal Paham Sistem Pendidikan Negeri Ini 

Nyaris saban semester, anak saya selalu ada dapat brosur-brosur kursus mahal tapi ada sedikit diskon. Seperti ingin menyatakan, kursus di sini akan membuat anak jadi cerdas! Saya mengurut dada, bertanya dalam hati, ada apa dengan pendidikan kita. Bukankah ini harusnya pukulan bagi guru-guru di sekolah? 

Tapi sudahlah, jangan-jangan ini juga bentuk kerja sama antar lembaga. Semoga saya memang sedang "gagal paham" tentang sistem pendidikan kita yang hebat ini. Sebab, ketika si sulung memasuki peringkat lima besar, juga mendapat brosur itu. Sebuah kesempatan! Tetapi dibaliknya, uang, uang, uang. Pendidikan memang mahal, kita harus sadar itu. 


Anak saya paham, ayahnya tak banyak punya uang. Cuma cukup kebutuhan sekolah saja. Adapun godaan-godaan seperti kursus itu, harus ada budgjet baru. Kerja lagi. Saya cuma beri pemahaman, kursus itu sangat baik. Menambah ilmu tapi kita tak mampu ikut "kegilaan" ini. 

Satu sisi, jika ayah punya uang banyak, ayah masukkan seluruh kursus yang diperlukan. Perlu juga diingat, kursus itu juga bagian dari pusaran bisnis pendidikan di negeri ini. Kehadirannya sangat membantu ketika tuntutan kurikulum begitu besar sementara waktu dan guru begitu terbatas mencapainya. 

Pada sisi lain, kecerdasan itu diasah sendiri melalui banyak jalan. Misalnya, belajar secara optimal di sekolah, membaca buku-buku pilihan, browsing, nonton film dan diskusi-diskusi. Tak melulu kursus. 

Tetapi tetaplah, kursus itu baik. Hanya saja, yang patut dihargai, betapa promosi mereka gencar untuk menarik minat siswi. Betapa pedih hati seorang ayah yang sadar pendidikan tetapi tak mampu mengikuti "kegilaan-kegilaan" pendidikan itu agar anak bisa cerdas. Bagaimanapun, kursus-kursus itu, sebuah kerja keras untuk mencerdaskan bangsa walau kita begitu sadar, promosi itu bagian dari kerja bisnis. 

Membaca realitas pendidikan ini, maka sistem pendidikan kita memang patut dipertanyakan. Suatu hari, ketika membuat kerajinan, lalu melibatkan semua orang di rumah, membuat geli sendiri. Sebab, ketika di luar negeri sana, sistem kreatif ditanam, dikerjakan bersama di sekolah, tetapi di sini dipindahkan ke rumah. Biar ada keterlibatan orang tua, begitu maksudnya. Sehingga guru tak perlu banyak kerja lagi. Guru sibuk bikin laporan kependidikan yang diharuskan dinas, biar keluar uang sertifikasinya. 

Sementara di luar sana, keterampilan-keterampilan siswa benar-benar mandiri di bawah asuhan guru keterampilan. Tidak melibatkan orang tua. Mereka juga membuat sesuatu yang hebat-hebat. Tidak sekadar sebuah asbak dari tanah liat, kerajinan benang untuk hiasan dinding, tidak! Mereka lebih dari itu. Mereka mulai merakit robot, membuat program-program komputer sederhana. Media sosial, seperti FB, Twitter, salah satunya diawali kreativitas sederhana itu. 

Saya dosen. Saya beri tugas ke mahasiswa, resume, pakai tulisan tangan agar tak copy paste, agar mereka membaca langsung, tak boleh diberi cover atau dijilid, itu uang keluar. Tujuan tugas tersebut, tercapai satuan ajar yang diproyeksi di luar tatap muka. Tapi mereka jilid juga, mungkin uang mereka banyak. Buku pribadi saya, buku ajar, saya serahkan ke ketua kelas, dicopy bersama. Sebenarnya, kalau mereka mau sedikit bersusah-susah, bisa beli. Beli murah. Copy mahal. Saya tak tahu, dibaca atau tidak. Tapi saya berikan materi lengkap setiap mata kuliah, sesuai dengan Satuan Ajar Perkuliahan. 

Ya. Sudah, dosen dan guru tentu jauh beda. Guru mengajar anak-anak, dosen mengajar remaja menjelang dewasa. Anak saya diajar guru, diajar dengan kurikulum yang kadang-kadang terasa menggelikan. Mungkin saya salah, terlalu tinggi ekspektasi terhadap sekolah dan guru tanpa mau mengeluarkan modal lebih. Anggap saja tulisan ini tidak ada, sekadar ciloteh di hari siang yang sedang hujan lebat. Kalau sedikit berguna, mungkin sebagai renungan, dunia pendidikan kita masih menanggung beban masalah yang tidak sederhana untuk menciptakan generasi muda yang berguna. []

No comments:

Post a Comment