Monday, November 20, 2006

TEMPURUNG KEPALA

Penulis buku Jaringan Ulama di Nusantara, Prof Dr H Azyumardi Azra, dalam sebuah kesempatan memberikan materi kuliah menyatakan pentingnya penguatan institusi agama dalam mengembangkan ummat. Kemajuan peradaban selalu dimulai dari berkembangnya cara berpikir ummat. Cara berpikir berhubungan erat dengan cara pandang, sedangkan cara pandang membutuhkan wawasan dan kearifan dari ilmu-ilmu. Ilmu-ilmu didapatkan dari penguatan institusi agama; seperti institusi pendidikan, keagamaan dan organisasi keagamaan.
Putra Lubuk Alung Pariaman yang segera menyerahkan estafet Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Ciputan Jakarta ini, juga mengatakan, di tengah arus global dengan berbagai aliran pemikiran, adalah pantas jika terjadi kehausan orang terhadap agama.
Hal ini membuat lahirnya tasawuf modern, karena corak kehidupan agama di perkotaan yang bersentuhan dengan industri. Agama secara tidak sengaja memberi konsekwensi terhadap industri. Sekedar misal, perkembangan model fashion.
Sayangnya, pada tataran ini, acap terkesan agama sebuah komoditas. Lebih-lebih jika sudah bersentuhan dengan selebritas. Alih-alih untuk memajukan ummat, yang terjadi adalah prestise mengungkapkan pengalaman religi seseorang dan lahan produksi kesalehan formal. Artinya, simbol agama dikedepankan dari pada substansi beragama.
“Maka lahirlah derai air mata dalam doa bersama. Seakan-akan telah diampuni dosa-dosa dan sorga di depan mata.” Begitu teman saya berkomentar pada lain kesempatan. Sedikit bernada bergurau dengan makna yang paling dalam. Saya hanya tersenyum simpul saja.
Membaca pemikiran Azyumardi Azra, tampaklah kecendrungan analisa keummatan menurut sejarah yang akan berkembang. Maklum, sebagai akademisi dan peneliti, ia menemukan akar sejarah hingga hari ini masih mengitari peradaban.
Sekedar misal, jika istilah pluralisme sudah tercoreng, sekarang muncullah istilah multikulturalisme. Bila abad pertengahan istilahnya adalah salafi, hari ini istilahnya adalah neo salafi. Begitulah seterusnya.
Sejak mendapatkan segelintir pemikiran lulusan Columbia University New York tadi, saya selau bertanya-tanya tentang loncatan peradaban yang bisa dilakukan ummat. Bagaimanakah caranya? Karena ummat masih, sedang dan akan beranjak bersamaan dari pra agraris, agraris, industri, teknologi informasi dan jasa. Semuanya berkembang pada alur itu. Jika jawabannya adalah institusi pendidikan, sejauh ini wilayah yang jadi harapan ini dirasuki konflik politik internal yang membuat runtuhnya kepercayaan publik. Jangankan membangun pencitraan, memulai untuk pembenahan saja amatlah rumit. Hal ini terjadi di banyak tempat pada institusi yang diharapkan ummat.
Suatu hari saya membaca pendapat Rasyid Ridha, katanya, etos kerja dan perkembangan suatu ummat juga dipengaruhi faktor iman dan cara ia beriman. Apakah ummat berada dalam kegamangan atau gagap dalam memahami iman? Saya cepat-cepat menepisnya karena ini hal paling sensitif. Menurut Rasyid Ridha, pada titik iman akan mempengaruhi cara kerja (etos). Di situlah lahir motivasi. Sekedar misal, orang akan bekerja keras bila ia menyadari hidup di dunia adalah modal di akhirat. Maka ia bekerja keras untuk hidup terbaik di dunia. Beramal saleh dan ambisi mendapat tempat terbaik. Mencari harta untuk beramal.
Berbeda dengan ummat yang berserah diri kepada nasib—sesuai pandangan iman yang dimiliki—akan lamban berubah. Menurut Iqbal, ummat seperti ini tidak lebih baik dari ummat lain yang berpikir. Apakah pada hari ini sudah berpikir? ”Ya, sudah amat dalam berpikirnya. Karena harus bertahan hidup. Yang diperlukan itu tak sekedar pendidikan, tetapi juga pembinaan.”
Soal pembinaan, ummat butuh tokoh. Nah, di sinilah persoalan yang sering terkendal. Tokoh kita jarang bisa jadi panutan keran acap terlibat konflik.
”Pendidikan, pembinaan tiada berarti kalau tidak ada ketulusan dan kesadaran tentang iman. Bukalah tempurung yang ada dalam kepalamu agar tidak ada katak yang berdiam di sana.” Begitu kata seseorang yang saya anggap dekat memberi kearifan dengan berfilsafat tidak sengaja. Setelah saya pikir-pikir. Benar juga. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

RESENSI NU Studies

Berselancar di Ombak Zaman


Judul: NU Studies

Penulis : Ahmad Baso
Penerbit : Erlangga
Cetakan : Agustus 2006
Resensiator : Abdullah Khusairi

JIKA pandangan kita terhadap Nahdhatul Ulama (NU) sebagai organisasi agama dengan corak tradisional? Ada baiknya membaca buku ini. Ada banyak hal yang bisa membantah pandangan kita selama ini. Salah satunya adalah, anak muda NU lebih dinamis dan modern menatap zaman. Mereka menyadari benar, adalah sesuatu yang percuma, kalau memiliki stigma pemikiran modern tetapi justru lamban menerima perubahan.
Pada tataran ini, NU bermain selancar yang mahir di gelombang zaman. Pemikiran yang diteruskan aksi strategis telah membuat posisi dan image tradisional kini luruh satu-satu. ?Setidaknya itulah yang tergambar dalam buku NU Studies ini. Memotret dari dalam wajah NU dari realitas zaman ke zaman.

Dipaparkan oleh penulisnya, elit dan kaum ”kiai sarung” ternyata mampu menguasai rezim digitalisasi tanpa gagap menyergap, tanpa menggoyahkan kultur ke-NU-annya. NU Studies adalah terobosan, dimana terdedahkan tradisi, pencerahan dan kritisme elite NU membaca fenomena. Mereka ikut di dalamnya sebagai orang NU Indonesia. Pada tataran ini, kekalahan psikologis bagi NU itu tidak ada dalam tatanan perkembangan ummat. Karena tradisionalisme NU amatlah rasional dan dinamis. Tidak vakum dan jumud pada tradisionalnya.

Namun demikian, sejauh perkembangan yang ada, dimana lahirnya berbagai aliran pemikiran tetapi tetap memiliki akar yang kuat pada kutub sejarah—kutub ini selalu ada dalam sejarah Islam. Fundamental Islam dan Neo Liberal.

Dalam sejarahnya, asy'ariah dan mu'tazilah. Satunya bebas berpikir melawan arus dengan alasan yang kuat, sedangkan yang satu lagi ”taat pada teks tanpa perlu hermeneutik”. Satu kutub berkiblat ke Amerika dan melawan kutub lain yang berkiblat ke Saudi Arabia. Lagi-lagi Timur-Barat. Yang pertama berbicara sebagai populis dan pembebasan. Sementara yang terakhir berbicara tentang pemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial-politik Indonesia, dengan mengabaikan kenyataan bahwa ”kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam”, dan bukan ”orang Islam yang tinggal di Indonesia.”

Buku ini memaparkan hal-hal di atas dengan kritis. Pertama diawali dengan sebuah landasan metodologis seputar persepsi awal. Dimana munculnya NU Kultural---kembali ke khittah. Dalam kontek seperti ini, NU bukan ditulis dari luar tetapi NU sendiri yang menulis sejarah atas dirinya (Bab 2). Sebagai subjek sekaligus objek. Sementara itu, pada bab 3, dipaparkan fiqih (hukum) sebagai wacana tandingan sekaligus perlawanan. Fiqih ini sebagai pemaknaan sosial atas eksistensi NU.
Pada bab 3, 4 & 5, diungkapkan kesejarahan tradisi ahlusunnah waljamaah secara history politic. Di sini letak pencerahan pemikiran Islam sebagai bingkai Islam dengan paradigma moderat. Tetapi, ia bukanlah seperti mobilisasi Islam moderat-liberal seperti saat ini. Pada bagian kedua, buku ini menampilkan kehadiran NU sebagai kritik epistimologis, termasuk cara-cara kerja operasional. Bab 6, diawali denga menampilkan kritik dan metode postmodernisme sebagai varian dalam NU. Kemudian dalam bab 7, kritik diarahkan kepada noe-modernisme Islam dengan fokus utama pemikiran Nurcholis Madjid dilanjutkan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid. Penulis buku ini mencoba mencari titik temu dua tokoh sentral sebagai genealogi NU (8 & 9).

Pada bagian ketiga, dipaparkan secara jelas dan rinci praksis dari NU. Bab 10 mengemukakan bagaimana praksis Nu berkaitan dengan kebangsaan dan keislaman dan praksis itu dibahasakan dengan kerja "menulis". Dilengkapi pada Bab 11, mengungkapkan NU berpendapat tentang jihad dan terorisme terutama dalam konteks konstruk ideologis ”benturan peradaban”, dalam konteks globalisasi kapitalisme dan militerisme neo-liberal seperti sekarang ini. Pada bab-bab selanjutnya pada bagian ketiga ini, peran NU terhadap kemanusiaan dan agama yang ditindas oleh negara dan kapital.

Beranjak dari potret kritis pada buku ini, maka hapuslah pendapat bahwa NU sebuah lembaga tradisional dalam agama.

Penulis buku ini seperti membantah hal tersebut secara tidak langsung dengan paparan lugas dinamika kehidupan NU dalam melihat fenomena yang berkembang. Wajar, NU peselancar di gelombang zaman.

Baik oleh individu NU maupun sebagai lembaga, permainan di tengah gelombang zaman itu membuat NU semakin hari-semakin indah.
Silahkan banding dengan organisasi seperti NU di negeri ini setelah membaca buku ini, semuanya akan terasa berbeda. Buku ini penting dibaca oleh sejarawan, penganut ilmu sosial dan keagamaan.
Karena ada warna dan corak baru pada teknik pemaparan kritis persoalan dengan berlandaskan persepsi kekinian. Selamat membaca. []

Thursday, November 16, 2006

MAKAN TEMAN

Saya dapat pengalaman menarik dalam sebuah perjalanan. Dua orang dewasa bercerita tentang salah seorang dari mereka telah dimakan oleh temannya sendiri. ”Kenapa tidak kau usut?” komentar lawan bicaranya.
”Saya tak mau memperpanjang masalah,” jawab yang bercerita.
”Lha. Kalau begitu anda rela dimakan terus menerus.”
”Bukan rela. Tapi sangat naif rasanya. Uang saya yang dia makan itu tak seberapa. Saya tahu sedang ditipu tapi yang penting menjaga pergaulan. Biarlah satu kali ini saja. Saya pikir, teman saya itu akan malu sendiri, saya yakin dia akan tahu saya menertawai dia.”
”Alasan yang sedikit bisa diterima. Tapi orang seperti itu biasanya tidak sejauh itu arif ia berpikir.”
”Ya, biarlah. Pergaulan ini macam-macam bentuknya. Teman dan saudara antara satu dengan yang lainnya tentu berbeda.”
”Tapi kita mesti punya sikap jantan. Kalau sudah merugikan tapi diam saja itu pertanda membiarkan diri teraniaya.”
”Saya menghargai sikap anda dan semoga anda menghargai kebodohan saya. Saya tetap berkeyakinan, teman yang telah memakan hak orang lain akan mendapatkan balasan yang setimpal.”
Lawan bicaranya diam. Saya yang asyik mendengar dari tadi bingung. Rencana tidur di perjalanan tidak kesampaian. Saya justru memikirkan teman yang suka makan teman seperti yang diceritakan tadi. Kenapa begitu mudahnya orang menipu dan saling tipu? Kenapa mau menipu teman sendiri? Bukankah bau busuk akhirnya akan tercium dari sumbernya?
”Menurut saya, teman yang memakan anda itu memang bukan karena tidak tahu tapi rakus. Bodoh dan tidak arif. Kalau boleh tahu, siapakah teman anda itu?”
”Justru dia bawahan saya.” Yang bertanya terheran-heran bercampur takjub.
”Ternyata bawahannya bisamemakan atasan. Lha, kalau bawahan sudah bisa makan atasan, apalagi atasan.”
”Belum tentu. Saya tidak seperti itu. Saya justru mendapat kebahagiaan ia menipu saya.”
”Ini aneh namanya.”
Karena suatu hari ia pasti sadar akan kebodohannya. Mengingat saya pernah menduduki posisi bawahan saya itu.”Berarti anda juga pernah melakukannya pada atasan anda dulu.”
”Tidak pernah itu terjadi karena saya tidak mendapat tempat untuk memakan atasan. Atasan saya justru yang selalu makan saya.”
”Artinya anda bodoh. Di bawah juga kena makan dan sudah naik pun tetap kena makan.”
”Saya tidak selera untuk makan teman. Karena bagi saya, lebih baik bekerja jujur dan ikhlas. Di situlah ada kearifan. Rezeki tidak kemana. Tetapi saya bisa tersenyum lega melihat bawahan saya selalu bingung bila bertatap dengan saya. Ya, saya pikir dia akan berpikir dua atau tiga kali kalau ia mau melakukannya lagi.”
”Bukankah jika dibiarkan akan merembet dan makin menjadi-jadi?” ”Itu teori normal di dalam akal sehat. Tetapi tiliklah dalam wilayah psikologis, seorang pencuri tidak akan pernah jadi perampok kalau hanya mampu makan teman sendiri. Dalam arti kata, ia besar dengan akan dikenal seorang teman makan teman. Hal ini berlangsung selama hidupnya.”
”Walau terasa agak aneh dan terbalik, saya salut kepada anda. Semoga anda tak lagi kena makan.”
Keduanya tertidur. Saya yang sedari tadi pura-pura tak mendengar akhirnya tak pernah bisa tidur. Karena saya berpikir tentang orang makan orang. Saling makan. Betapa jahatnya orang. Benarkah demikian? Saya lalu ingat seorang teman yang bercerita tentang sifat manusia. Mulai dari yang penjilat, cari muka, sampai suka makan teman. Teman saya ini juga korban.
”Mujurlah saya selalu tawakkal. Sering baca buku kejiwaan. Saya mesti banyak bersabar,” katanya merendah. Ia juga mengingat saya agar baca buku Emosi; Penjelajahan Religio-Psikologis Manusia di dalam Al-Quran yang ditulis M Darwis Hude. Sejak kejadian itu saya jadi malas makan. Takut termakan hak teman. Saya jadi hati-hati, karena banyak teman yang suka makan. Waspadalah. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

Saturday, November 11, 2006

Konfirmasi

Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpa suatu musibah kepada suatu kaum. (QS.Al Hujarat; 6)
Maka kalau ada isu beredar, janganlah cepat percaya. Bertanyalah, cari tahu kepastiannya dengan sumber yang benar-benar menguasai persoalan.
Konfirmasi (memastikan) adalah sebuah keharusan. Apalagi jika ingin menyampaikan kepada yang lain. Harus benar-benar terukur kebenaran faktual materi informasi yang disampaikan.
"Seorang jurnalis bukan saja harus konfirmasi agar berita yang disampaikan medianya bernas. Tapi juga harus verifikasi. Keduanya berbeda. Konfirmasi itu memastikan. Verifikasi itu menjernihkan. Silahkan buka buku, Sembilan Elemen Jurnalisme (Pantau 2003), ditulis Bill Kovach," ujar dosen komunikasi massa sebuah universitas swasta di Padang.
Usaha verifikasi dilakukan dengan melihat aturan, bertanya pada pakar bukan untuk jadi sumber berita, selanjutnya juga termasuk memaparkan data dan fakta yang ada secara kronologis. Sehingga berita jernih disampaikan.
"Kalau tidak dilakukan, wartawan bisa keliru dan ditipu nara sumber," jelas dosen kita ini.
Saya mengangguk-angguk, geleng-geleng, seperti orang yang mengerti benar. Tetapi yang dapat dipahami adalah verifikasi amatlah penting. Bukankah seorang wartawan, mengerti baru bertanya, paham baru menulis?
"Jangan samakan konfirmasi dengan verifikasi. Jangan samakan intensif dengan insentif. Bisa bahaya itu," jelasnya kesal. Langsung menutup selulernya.
Maka tinggallah saya yang bodoh dan didatangi seorang teman. Teman ini menyatakan, seringkali informasi mengandung bumbu penyedap terlalu banyak dari materi yang disampaikan.
Saya katakan, di dunia jurnalistik, agar berita dapat dipercaya oleh khalayak harus dilakukan diperiksa kebenarannya. Istilahnya, konfirmasi, verifikasi, check and recheck dan balance agar berita disampaikan menjadi cover both side dan independen. Di sinilah letak sikap seorang wartawan, jujur dan amanah. Saya pun secara rinci menjelaskan bagaimana jurnalisme harus dijalankan secara hati-hati.
"Tapi banyak wartawan tidak seperti itu. Baru jadi wartawan sudah bagak sekali," ia memotong.
Mendengar itu, saya kesal sekali. Tapi teman saya ini mengungkapkan banyak fakta. Saya kalah telak. Lalu mundur dan menyatakan, ada wartawan yang baru jadi wartawan ada yang sudah berkarat. Tentu beda. Jurnalisme adalah profesi yang membutuhkan proses dalam pematangan.
"Tapi saya melihat banyak yang tersesat. Tidak menjunjung tinggi etika profesi," teman ini melepas jeb.
Bisa jadi benar. Karena wartawan tidak punya dunia pendidikan formal. Ia banyak dilahirkan oleh alam. Tetapi bagi yang berkecimpung tentu saja dengan suka cita mencintai profesi yang satu ini. Pemahaman saya, soal moral memang harus dikembalikan kepada pribadi-pribadi, toh memang banyak penumpang gelap dalam berbagai profesi. Misalnya, wartawan gadungan, dokter gadungan, polisi gadungan. Penumpang gelap ini mengambil untung melebihi orang yang berprofesi sesungguhnya. Misalnya wartawan gadungan lebih wartawan dari wartawan yang resmi. Padahal, wartawan resmi itu ada kartu pers yang ditandatangani pemimpin redaksi dan terdaftar jadi anggota organisasi profesi. Begitulah amanat UU No 40 Tahun 1999.
"Apa wartawan seperti itu bisa ditangkap aparat?"
"Bisa asal ada yang lapor," jawab saya cepat.
"Bagaimana mungkin. Tentu orang takut melapor wartawan."
"Di sinilah letak persoalannya. Ada banyak orang hanya main aman saja. Tak mau repot. Membiarkan diri untuk setiap waktu mau ditakuti. Takut berarti memang ada kesalahan," saya balik menekan dia.
"Bung jangan menyatakan begitu. Saya cuma mengadu begitulah adanya di lapangan."
"Lha saya tidak bermaksud menyatakan bapak salah. Kalau seseorang takut biasanya tanda seseorang itu salah. Kan pernyataan yang lumrah. Kenapa bapak merasa bersalah?" ujar saya naik pitam.
Teman saya ini mengeluarkan kartu pers dari sebuah surat kabar yang entah masih terbit atau tidak. Juga mengeluarkan kartu dari sebuah organisasi profesi. Saya salut ternyata dia kini seorang wartawan surat kabar di provinsi bagian utara sumatera.
"Saya mau ke Jakarta bisa bantu saya?"
Melihat gelagat itu saya cepat menggeleng.
"Meliput acara tapi tak punya ongkos," katanya.
"Dari kantor?" tanya saya.
"Gaji saja tidak ada. Bagaimana uang jalan ada. Modal kami hanya kartu-kartu ini," ujarnya yakin. Mantap.
Saya tak dapat bicara lagi. Keinginan saya ada satu setelah itu, konfirmasi ke kantornya. Setelah itu melakukan verifikasi persoalan, check and recheck, triple check. Kepada teman dekatnya, kapan perlu kepada "orang rumahnya". Apa benar ia seorang wartawan? Apa kartu tadi hanya dibuat dikomputer lalu dilaminating? Sungguh, informasi ini baru sepihak saya dapatkan. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

Tuesday, November 7, 2006

SAJAK USAI LEBARAN

Usai Lebaran

Kau dayung ke hulu
melawan arus Tembesi
menuju nasib kalah menang
akhir lebaran orang-orang menyudahi salam.

Kebencian kita tak terbatas
siang malam menangisi dusun mati.

Jiwa kita teramat sepi mengering sungai dan sawah
air mata doa serupa kabut sesat di jalanan.

Mengusir ke ujung nasib muara terasing
dan terbuang di subuh paling hina.
Dusun kita di huni hantu kita pergi dengan segenap resah membakar
jiwa dan lebaran mengusir kerinduan kebencian kebisuan.
Sarolangun Jambi, Oktober 2006

Kemarau Ini

Semacam duka senja kita berkerontang di tanah
merekah sawah-sawah memekik pilu meranggas kisah tersedih.
"Hujankan kami di ujung malam wahai Wahdatul Wujud"
Suara tak terperi requem terindah yang pernah terdengar aduh betapa kita
sadar sungai mengalir kecil dan embun tiada menetes.

Asap mengepung di horison tak terselam mata bathin kekosongan bersama kebodohan demi
kebodohan yang membisik keserakahan. Akal dan hati kita telah kering
dari segala makna. Hijau daun kedamaian kini meranggas mengguning pasi.
Sripelayang Sarolangun, Oktober 2006

Segurat Cerita

Dimana kita tak lupa begitu saja
di ujung derita bersua
aku rindu mencium kering tahi kerbau di padang kita
berlari di pematang sawah lalu hilang dalam ilalang hutan

Mengapa begitu jauh masa lalu tertinggal?
menjemputnya lelah langkah ingatan berjejak darah juga air mata

Segenap cinta bebatuan sungai perjalanan pada napal tanpa
batas ke lubuk-lubuk kenangan aku kita tak juga bersua atas kedewasaan
cepat beranak di ujung waktu.

Semua telah hanyut ketuaan menghujam
wajah kita membiaskan sejuta kenangan bergurat pahit dan manis. Adakah
cinta serupa kenangan membawa sorak remaja.

Aku masih diam menunggu
jawaban di sela kecipak air dalam mimpi.
Sarolangun, Oktober 2006

SAJAK INI JUGA DIMUAT DI Jambi Independen EDISI MINGGU, 5 OKTOBER 2006

Monday, November 6, 2006

KABINET HBA-ENDRA

The right man the right place. The wrong man the right place. The right man the wrong place. The wrong man the wrong place.


Kalimat di atas selalu menjadi acuan ketika orang bicara kabinet. Dimana harapan menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat akan membawa kesuksesan team work. Sebaliknya, orang yang tidak tepat di tempat yang tidak tepat akan membuat program amburadul.

Dan akan terjadi ketimpangan bila orang yang tidak tepat di tempat yang tepat atau juga orang yang tepat pada tempat yang tidak tepat. Hal terakhir acap kali menggagalkan semua sasaran yang akan dituju dalam team work.

Pasca dilantiknya pasangan Bupati Kabupaten Sarolangun, H Hasan Basri Agus (HBA)-Wakil Bupati Cik Endra sebuah harapan besar tertumpang kedua pemimpin bumi Sepucuk Adat Serumpun Pseko ini.

Harapan itu sebuah bayang-bayang kemajuan di masa depan. Dapatkah dua tokoh ini membawa Kabupaten Sarolangun sebagai "bintang" di tingkat nasional? Sungguh sebuah impian yang harus jadi kenyataan bagi kita semua. Tidakkah kita bangga bila kabupaten muda ini menjadi reference nasional? Misalnya pada sektor investasi, pendidikan, kesehatan atau juga Kelompok Usaha Kecil Menengah dan Kecil (KUKMK)?Agaknya, melihat fenomena dan kemampuan yang dimiliki, harapan itu bisa tergapai bila kerja keras dan cerdas dimulai pada titik nol saat ini. Tahun 2007 sebagai starting point membawa kecemerlangan.

Tanpa bermaksud meniadakan kesuksesan kepemimpinan sebelumnya, kabupaten ini masih berada pada tahap pondasi. Masih perlu menata struktur pemerintahan dan sarana yang masih terasa kurang.

Menilik satu per satu dinas, badan dan kantor Pemkab Sarolangun butuh pembenahan yang amat serius. Pasca kasus darmaga ponton, kabupaten yang lahir di tahun 2001 ini juga memiliki performance teramat jelek dalam hal good governance and clean govermance.

Harapan tetaplah harapan. Besar dan sangat menjanjikan kemengan dua pasangan ini. HBA pamong senior yang mumpuni. Berpengalaman dan bersih. Punya komitmen terhadap pembangunan kemasyarakatan. Setidaknya, pasangan ini merupakan modal yang amat besar (its the rising star). Putra terbaik yang memiliki kesempatan penuh untuk memperlihatkan kinerja dan kemampuan kepemimpinannya. Mampukah? Kita mesti yakin dan mendukung pemimpin yang kita pilih bersama. Bersatu dalam harmoni pembangunan. "Syahadat" yang sama demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Pemimpin akan mampu dan bisa bekerja dengan leluasa, berkreasi dan membuat terobosan demi kemajuan daerah ini.

Starting point yang amat menentuan adalah kabinet yang bakal membantu pasangan ini. Loyalitas dan kredibilitasnya mesti terjaga dan terukur. Komitmen dan kemampuannya bisa teruji mendukung penuh visi dan misi pasangan ini. Penilaian dan objektivitas amat sangat membantu.

Track record juga akan menentukan. Tetapi yang patut dicatat adalah jangan ada titipan khusus yang bisa merusak citra dan kepercayaan masyarakat. Mulai dari titipan politik hingga balas jasa politik. Jika Ini terjadi, menyakitkan dan mengecewakan masyarakat. Pada gilirannya nanti kepemimpinan ini akan oleng dengan sendirinya.?Isu yang berkembang banyak menyatakan, banyak dari orang luar. Namanya isu, semuanya masih semu.

Tetapi kita mesti mengingatkan---tanpa bermaksud menggurui---kepada pasangan ini, starting point amat menentukan. Karena salah menentukan akan membuat kegagalan dan laju mesin pemerintahan akan tersendat. Kata kunci pada garis ini adalah wawasan dan kemampuan. Tidak perlu kita menyebut orang luar orang dalam. Tidak penting barisan mana dan kader siapa, yang namanya pemerintah abdi masyarakat, komitmennya tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat daerah. Lebih-lebih Kabupaten Sarolangun.

Mendukung kemajuan selain harmonisasi kabinet, pasangan pemimpin, sekdakab, juga teramat penting antara eksekutif dengan legislatif. Anggota legislatif sudah waktunya meniatkan hati seluruh dukungan terhadap kebijakan eksekutif yang berpihak kepada masyarakat dan pembangunan. Tidak berpijak pada kepentingan kelompok dan partai.

Tetapi menyimak paparan HBA setiap saat baik dalam pidato maupun pemberitaan, ia akan memberikan jabatan sesuai dengan kemampuan orang dan SDM yang tersedia dan memang jika tidak memungkinkan, terpaksa mengajak putra terbaik kabupaten ini yang masih mengabdi di daerah lain atau juga di tingkat provinsi. Hal lain yang juga menentukan keberhasilan adalah pembenahan pada komunikasi politik dan kepentingan daerah. Semestinya tidak saling menyalip menyilang yang bisa merugikan pembangunan. Dalam arti memberikan kesempatan penuh pasangan ini membuat terobosan yang luar biasa untuk kabupaten Sarolangun. Tentu saja kita tak mau terjadi "kayuh biduk pembangunan" terancam di arus deras kemunduran berpikir yang mengembalikan masyarakat Sarolangun ke titik nol kembali.

Terlau dini menilai pasangan ini, tetapi yang jelas, jika dari angka-angka penting makro ekonomi, orang selalu mengacu pada pendapatan per kapita masyarakat, pertumbuhan ekonomi, angka pengangguran. Ini juga harus memiliki raport yang terbaik dan menanjak setiap tahun. Inilah pondasi yang dibuat harus mampu menjawab indikator tersebut dengan sebuah kebijakan yang berani dan strategis.

Jika saja kabinet telah bekerja cerdas dan bekerja keras tentu saja akan memperoleh keberhasilan. Inilah menjadi performance daerah untuk go nasional dan go international.

Dengan demikian akan membawa Kabupaten Sarolangun bisa dilirik dan dihormati selayaknya dengan kabupaten berprestasi di tingkat nasional. Inilah sebuah mimpi yang butuh jawaban hingga lima tahun ke depan. Semoga. []

*Abdullah Khusairi, tinggal di Kota Padang sehari-hari menjabat Redaktur Pelaksana Edisi Minggu Harian Pagi Padang Ekspres (Jawa Pos Groups) dan Pembina Himpunan Mahasiswa Sarolangun (HMS) Padang. Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang.

BUPATI SAROLANGUN


BERSAMA BUPATI SAROLANGUN, Hasan Basri Agus. Kamis (3/11), pukul 20.00 WIB. Lelaki murah senyum itu menyambut hangat kedatangan penulis di kediaman.

Selamatkan Iklim Investasi Pasbar

Ketua DPRD Kabupaten Pasaman Barat Asgul SE meminta agar Pemkab Pasaman Barat tidak mempersulit investor yang akan menanam modalnya di Pasaman Barat. Sebagai kabupaten baru, selayaknya Pemkab mengakomodasi keinginan investor, bukan memilih dan memilah sehingga menuai kekecewaan.
"Saya mendesak agar iklim investasi Pasbar kondusif. Karena ini citra ke depan sebagai kabupaten baru. Saya mendapat laporan, ada investor yang kecewa karena izin survei diganti dengan investor lokal. Padahal investor ini sudah menjalankan
aktivitas survei dan segera eksplorasi. Seterusnya akan melaksanakan
eksploitasi. Lokasi Kuasa Penambangan (KP) sama dengan KP untuk investor
lokal," kata Asgul kepada koran ini, di Padang, kemarin.
Dikatakannya, investor yang sangat kecewa tersebut PT Sumatra Ina Minerindo (SIM),
milik investor Inggris yang ternama dan memiliki lahan tambang biji besi
di berbagai tempat di Indonesia. Salah satunya di Kutai Kalimantan.
?KP tersebut terletak di Nagari Airbangis Kecamatan Beremas, seluas 1600
ha dan memiliki deposit biji besi terbaik. Asumsi awal kandungan 76
persen. PT SIM mendapat izin survei 11 April 2006 lalu, beberapa waktu
lalu, titik koordinat terpenting dari KP ini dibertikan kepada investor
yang baru masuk dan berminat.
PT SIM sudah mempresentase Pasaman Barat Project di hadapan Legislatif. Menurut Asgul, tak diragukan lagi kemampuan dan profesionalisme investor ini. Karena serius dan mau berkorban melakukan survei dengan biaya yang besar dan waktu yang lama.
"Saya khawatir kalau investasi ini tidak jadi akan menimbulkan ekses tidak
baik untuk iklim investasi. Oleh karenanya, bupati harus memperhatikan dan
berada pada pihak yang menguntungkan masyarakat," tegas
Asgul.
Alasannya, jika tidak jadi dan lahan yang berdempet KP akan terekspos ke
investor lain. Artinya, kegagalan masa depan akan tampak jelas, sementara
investasi adalah keharusan dalam era otonomi untuk menggenjot
pendapatan masyarakat.
Komisi C DPRD Kabupaten Pasbar telah mengunjungi
tempat operasi PT SIM di Kutai akhir Ramadhan lalu. Dalam beberapa hari ke
depan Panmus telah merencanakan pertemuan dengan eksekutif, seterusnya
mengunjungi lokasi dan memanggil dua investor yang diberi lokasi KP
tersebut.
"Kita akan rekomendasi investor yang punya komitmen terhadap
pembangunan Pasaman Barat. Kemudian mengikuti prosedur aturan
penambangan."
Selayaknya diatur dalam undang undang pertambangan, perhatian
terhadap keselamatan lingkungan, community development dan tenaga kerja
menjad perhatian investor. Hal itu diatur di luar pajak (tax) yang
berlaku.
KP yang tumpang tindih seluas 160 ha merupakan titik koordinat
yang terpenting dalam survei PT SIM. "Saya berharap akan segera menemui
titik penyelesaian demi iklim investasi di Pasbar dan tentu saja untuk
Sumbar," jelas Asgul optimis.
Invetsor yang mendapat izin dan melibas
KP PT SIM merupakan investor lokal yang juga joint bersama perusahaan
lainnya. "Artinya dalam segi financial kita meragukannya. Tapi saya
yakin jalan keluarnya ada dan kita harap bupati dan jajarannya janga
sia-siakan masyarakat." (hry)