BUKABUKU-PADEKMINGGU

Pipi Kaki Lima


Enam jam menjelang tahun 2009, seorang ibu duduk di sebuah gerobak di atas trotoar. Tak ada pembeli. Sepi. Ia menatap kosong. Menunggu dan menunggu. Membiarkan detik itu berlalu dengan angkuh. Sementara di sampingnya ada penjual terompet beraneka warna, besar dan kecil. Orang-orang membeli. Roda dua, roda empat, berhenti dan memilihnya. Tawar menawar, meniupkan. Lalu lengkingnya menyayat hati. Ini entah tahun ke berapa, kejadian yang sama di tempat yang sama dan tahun saja berbeda.


Ia mengerti tentang tahun baru. Tentang pergantian waktu selalu disambut sorak sorai menjelang pagi. Ada pentas musik. Jalanan macet. Pesta kembang api. Acara musik di televisi. Dan beragam pesta pora untuk itu. Ia tahu, betapa bahagia orang-orang menyambut pergantian tahun.


Namun, ingatannya tertuju seputar penggusuran. Berapa kali kali ia digusur tahun 2008. Berapa kali harus berurusan dengan aparat. Berapa kali harus ke kantor seram. Digertak dan hentak!

Bagaimana nasib 2009? Apa mesti membayar dan membayar kepada orang-orang yang tak pasti. Sedangkan razia datang ia harus tetap bertahan. Kadang juga mengencang urat leher. Ditendang aparat yang sedang menjalankan tugas itu. Kenapa tidak ada kenyamanan hidup untuk sekedar berjualan kecil-kecilan.


Ia tak tahu bagaimana bisa wali kota Solo bisa bersahabat dengan pedagang kaki lima dan memindahnya dengan suka cita. Bagaimana tentang proletar menggugat borjuis. Bagaimana Niccolo Machiavelli (1469-1527) menuliskan The Prince. Bagaimana George Washington, Napoleon Bonarparte, Abraham Lincoln, Mohandas Gandhi, Vladimir Lenin, Adlof Hitler, Josep Stalin, Sir Winston Churchill, Vyachesiav Molotov, Franklin D Roosevelt, Kaisar Hirohito, Nelson Mandela, Martin Luther King, Malcom C, Bunda Teresa, Ronal Reagen, Mikhail Gorbachev, Bung Karno, Bung Tomo, yang keluar dari rahim seorang perempuan dan menyorak perubahan.


Ibu tak mengerti sama sekali dengan hiruk pikuk politik, tetapi di kaca rak rokoknya ada tertempel banyak calon anggota legislatif dengan beragam gaya. Entah siapa yang menempelnya.


Tahun ke tahun. Begitulah waktu menggerus wajah yang makin tirus itu. Makin usang saja selendang di kepala menghadir uban. Senja merayap membuat malam makin lengkap. Ia setia melihat orang semakin ramai. Ada perawan yang kelihatan celana dalamnya dari belakang duduk berpagut mesra ke pinggang pacarnya. Ia tiba-tiba ingat anak-anak, suami, saudara, orang tuanya, semuanya membentang di layar kenangan. Lalu sungai di pipinya mengalir menjelang tahun baru tiba. Tak ada yang tahu itu.[] abdullahkhusairi@yahoo.com

Comments

  1. Tak ada kata yang mampu terucap,.. selain salut dengan tulisan bapak,.... ciri khas yang kental dari seorang yang bernama Abdullah Khusairi....
    Ingin suatu saat miliki cri khas itu

    ReplyDelete
  2. terlalu manis,satir dan menghenyakkan....tapi kurang membombardir kepalaku

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA