Sunday, January 18, 2009

BUKA BUKU PADANG EKSPRES MINGGU

Dendam


Empat tahun lalu dirilis Behind The Sun (2004). Sebuah film dengan setting tahun 1910 di Brazil. Dua keluarga terkunci dalam perseteruan mematikan dari generasi ke generasi. Logika tradisi berbau dendam. Mempertahankan harta dan marwah. Tonio -tokoh muda dalam film itu- hidup antara tugas dari ayah dan sisa hidup dari intaian peluru dendam keluarga sendiri. Film ini mengantarkan pelajaran penuh makna. Logika dendam memang bersarang di dada manusia. Ada yang mampu memadamkannya, ada pula yang tidak. Namun jika sudah menjadi tradisi, sulit sekali harus meredamnya.
Demikianlah, ketika baju bermandi darah bekas tembakan itu telah mengering, berarti genjatan senjata telah usai. Maka musim dendampun datang. Keluarga korban akan membalas kematian anak muda dari pihak mereka. Hanya melunas dendam, kepada orang yang telah membunuh. Tak lain. Tak boleh membunuh yang lain, karena itu juga saudara mereka juga.
Dan dendam itu terhenti oleh seorang anak muda. Disadari oleh cinta. Begitulah, penulis skenario film ini mengajak orang untuk memahami kedamaian.

Tetapi dunia memang tidak pernah damai. Dalam konteks apa pun, orang memang memikul dendam. Membawanya kemana-mana. Lalu melunaskannya.
Perang lahir dari dendam. Perang lahir dari sebuah ambisi. Perang lahir dari hati. Logika mengikuti kata hati itu. Karen Amstrong dalam Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4.000 Tahun, (Bandung: Mizan, 2006) menuliskan pendapatnya amat indah. 
Parennialis satu ini menyebutkan, perang suci lahir dari pemahaman agama yang sempit dalam mempertahankan keyakinan. Hal yang kontras dari hakikat beragama, dimana agama membawa kedamaian hidup di dunia dan di akhirat. Maka pemahaman agama memang harus diperluas kavlingnya.
Demikianlah akhirnya perang tetap terjadi dimana pun di belahan bumi ini. Belahan bumi sana, perang telah turun temurun demi setumpak tanah yang harus dipertahankan. Tidak lagi bisa dilihat dari tragedi beragama, tetapi tragedi kemanusiaan. Persoalan agama hanya menyempal dari persoalan ekonomi dan politik yang makin kapitalistik. 
Hal itu pula yang menyaru dalam berbagai kegiatan hari ini. Semuanya peduli dan ingin membantu mereka di belahan bumi sana. Menjadi agenda kemanusiaan yang juga menyaru berbagai bentuk. 
Maka terasa ramai sekali di negeri yang sedang belajar berdemokrasi ini. Seramai desing peluru dan roket peluncur yang menghantam nyawa tak berdosa di belahan dunia sana. Beriringan dengan ramainya sambutan terhadap perhelatan pemilihan raya yang tinggal hitungan bulan. Sepertinya, syahwat untuk menang telah tegang dari sekarang. Maka hakikat perang dan itu terasa ada di sekitar kita. Perang dalam konteks yang berbeda tentunya. 
Sementara, pada sudut malam yang sepi di sebuah kota. Di sela-sela hiruk pikuk perang, dendam dan ambisi itu, seseorang menuju tong sampah sebuah rumah makan yang sebentar lagi tutup. Sembari melihat beragam baliho politik yang terbentang di sana-sini, ia sampai dan meraih satu persatu sampah demi sampah. Ia yakin ada nasi tersisa untuk dimakan. Sebab ia tak mau berperang dengan perut sendiri. Ia tak mau melahirkan dendam dari dalam diri. Ia mencari dan mencari hanya untuk mempertahankan selembar nyawa yang kini tak lagi punya logika, apalagi dendam.[] abdullahkhusairi@yahoo.com

No comments:

Post a Comment