Hati-Hati dengan Hati

Soal Hati dari Ibu Nani


Minggu. Akhir Januari 2010. Tiba-tiba tergelitik untuk menulis soal hati. Setelah membaca tulisan Nani Wijaya, tiba-tiba ingat seluruh buku Dahlan Iskan. Lagi-lagi soal hati.

Abdullah Khusairi - Pemerhati Hati


Saya langsung mengirim pesan pendek (sandek) kepada Ibu Nani Wijaya (NW). 

"Saya punya buku Ganti Hati (DI). Telah lama saya lumat bersama buku-bukunya yang lain. Saya tukang resensi dan pencinta buku. Membaca tulisan ibu NW di boks Minggu Padek, saya jadi termotivasi belajar kedokteran. Pendidikan yang mahal secara formal. Soal budaya dan Islam, soal "iza a ajaluhum" secara filsafat Islam, saya setuju. Cuma sepertinya, hati secara jiwa sesekali juga mesti dibahas. Sebab negeri ini juga dihuni orang tak punya hati. Ini sebuah persepsi saja."



Cukup panjang. Sebagai apresiasi kepada NW, yang tetap menulis dengan cita rasa kalimat yang hidup dan mengalir di tengah kesibukannya memimpin Jawa Pos Groups.

Transplansi di tengah Ummat Islam memang menjadi bahan perbincangan tak pernah habis. Menjadi tajuk tersendiri, masail al-fiqh. Ulama Fiqih, mulai yang dari yang konvensional, fundamental, liberal angkat bicara. Saya benar-benar tidak berkompeten untuk berpendapat di bidang ini.

Saya sedikit memberanikan diri, melihat secara hakikat kemajuan zaman dan kehebatan ilmu pengetahuan yang bertemu dihadapkan dalil agama. Saya punya pikiran yang primitif, mungkin, bahwa selagi bukan soal prinsip-prinsip aqidah, lanjutkan perjuangan ilmu pengetahuan. Inilah yang menunjukkan kemajuan akal dalam menyelami alam yang diciptakan Yang Maha Berilmu. Sebab manusia diajurkan untuk menggunakan akal untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Bahasa yang baik datang dari Emha Ainun Nadjib, menggunakan untuk menggali ilmu-Nya saja, manusia butuh waktu ratusan tahun. Tidak bisa satu orang saja, harus terus dikembangkan dari ilmuwan yang satu dengan yang lain, karena kekurangan umur. Oleh karenanya, pergunakan akal untuk ilmu pengetahuan demi perkembangan kemajuan. Manusia dilarang dalam Islam menggunakan untuk memikirkan zat-Nya.

Membaca buku Ganti Hati yang ditulis (DI), kita akan dapat ilmu tentang Mantiq, Filsafat sebagai pandangan hidup, Ilmu Kedokteran, Sejarah Peradaban Aktual. Bahkan ilmu bahasa Arab, Nahwu.

Dan bila dilanjutkan dengan bukunya yang lain, Hati Baru, Belajar ke Tiongkok, nalar kita sering digelitik. Agar akal tidak jumud dalam satu persepsi dan pendapat saja sampai mati. Akal dan pendapat mesti berkembang.

Salah satunya, dapat menggelitik saya adalah: mana yang akan segera disambar petir, rumah bordir dengan penangkal petir, atau masjid tanpa penangkal petir. Sebuah narasi yang menggoda iman dan nalar. Saya senyum-senyum setelah membacanya, tapi saya punya jawaban dalam hati waktu itu. Semoga jawabannya tidak keliru. Bahwa soal hukum alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta seiring dengan alam itu sendiri, tidak bisa dibantah lagi. Manusia punya kewajiban menyelami setiap logika hukum alam yang masih terpendam. Setiap logika hukum alam yang belum dapat ditelanjangi akal, manusia selalu menyebutnya menjadi mistik. Maka, membaca buku DI soal Ganti Hati akan didapatkan kita dibawa untuk menyikapi hukum alam dan menyelaraskan dengan kehidupan dan denyut nadi kita di dalam alam. Misalnya, ingin kaya kerja keras, ingin sehat olahraga teratur. Lalu bagaimana jika sudah bekerja keras tidak juga kaya?

Guru Besar Filsafat Islam, Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA dalam sebuah kuliah Filsafat Islam di Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, memastikannya dengan cara lain. "Ada yang keliru. Bisa jadi kerja kerasnya tidak diiringi doa, agar fokus. Atau dengan kerja keras menghapal semalam suntuk, tapi ketika pagi, saat ujian, tidak dapat mengisi soal ujian. Causalitasnya, kalau ingin pintar, belajarlah dengan baik sepanjang waktu. Tidak semalam suntuk. Sebab tidak mungkin otak dapat menyerap banyak materi dalam waktu yang cepat. Maka belajar dan menghafal, seperti olahraga, butuh rutinitas," begitu kira-kira dipaparkannya.

Kembali soal hati. Pesan pendek saya ke Ibu NW, negeri ini juga dihuni oleh orang yang tak punya hati. Hati, secara kejiwaan, fungsinya dijelaskan Hujjatul Islam Al-Ghazali pada bagian Roh. Tempat dimana sesuatu bolak-balik ditimbangkan. Hati, secara harfiah juga dijelaskan DI dalam Ganti Hati. Perdebatannya sudah selesai, soal penggunaan kata heart, liver, dan jantung.

Al-Ghazali menyebutkan, hati adalah tumpuan dimana konfirmasi akal, logika, yang bekerja menganalisis. Pada hati ada, rasa bahagia, sedih, suka dan cita, takut, marah. Bahasa sehari-hari, orang sering menyebutkan nurani. Dimana sebuah relung jiwa yang tak mungkin bisa didustai. Inilah lubuk hati paling dalam, sering disebutkan.

Nah, persoalan secara medis sudah sering dan diperjuangkan oleh nalar untuk mengurus agar kalau ada pasien yang rusak livernya, bisa ganti. Tetapi memang, fungsi liver secara kejiwaan, agaknya kita mesti memperdebatkan, kemana kita mengadu kalau fungsi kejiwaannya sering rusak? Sering mencari pembenaran dibantu logika untuk sesuatu yang merugikan orang lain dan menguntungkan siempunya hati?

Ilmu pengetahuan memang sedang berkembang pesat menuju peradaban paling mutakhir. Sampai-sampai DI menyoalkan soal ajal, ia menukilkan "fa iza a ajaluhum'. Walau akhirnya disimpulkan, kematian ditandakan dengan tidak berfungsinya Batang Otak. Membang begitulah adanya, ketika seorang teman mengalami guncangan otak setelah kecelakaan, ia dibantu hight technology untuk bertahan, tetapi lagi-lagi maut tidak ada tawar menawar lagi.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, tiba-tiba saya dikejutkan balasan pesan pendek dari Ibu NW datang. "Hahaha... Bener2. Cuma sy blm tahu, dimna rmh sakit untuk ngobati hati yang bukan fisik."

Saya senyum-senyum. Salam hormat saya, kepada Ibu NW! Soal hati, kita tampaknya memang harus berhati-hati. Tahniah. [] 
Pagi Minggu sedang bermimpi jadi jendral!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA