Wednesday, March 31, 2010

TAMBILUAK


Misteri Subuh Berdarah


Judul : TAMBILUAK: Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuah
Penulis : Fajar Rillah Vesky
Penerbit : YCBIP&LLPC
Cetak : Januari 2010
Tebal : 166 Hal.
Resensiator: Abdullah Khusairi

Dinamika komunikasi kelompok, selalu terjadi realitas, yang dituakan dan yang dimudakan. Ditinggikan dan direndahkan. Bahkan, dalam setiap kelompok orang selalu ada yang disenangi dan ada yang paling dibenci. Inilah dinamika komunikasi kelompok yang kadang jarang disadari.


Pada kasus Tambiluak, sulit dilihat fenomena dinamika komunikasi di atas, namun dapat dilihat ada yang tidak beres dalam tim kerja para pejuang. Ini dimaklumi, karena kekalutan dalam suasana perang.

Setelah diberondong peluru di pagi buta itu, banyaknya pejuang syuhada, membentuk bingkai curiga yang amat tebal kepada sesama anggota pejuang. Tambiluak menjadi sasaran curiga itu.


Alasan, revolusi memakan anak sendiri mungkin sedikit klise. Di zaman yang hiruk pikuk perang, agaknya kontra intelijen memang tidak bisa dianggap remeh. Siapa memanfaatkan siapa, siapa sedang memainkan apa, sepertinya tali temali sejarah yang menjadi puzzle. Jika tidak memiliki format yang tepat, apalagi objektivitas yang tipis, maka stigma Tambiluak sebagai seorang pengkhianat menjadi melekat. Artinya, mengejar fakta bagaimana intelijen Belanda bisa mengetahui ada pertemuan di Lurah Kincia adalah misteri yang harus diungkap. Lalu bagaimaan intelijen para pejuang kita?

Dinamika komunikasi seperti alinia pertama tadi, memiliki proses yang mengasah kekompakan menjadi solidaritas tinggi atas nama perjuangan. Tetapi pergesekan kepentingan ekonomi, posisi strategis, tidak dapat dielak. Oleh karenanya, seleksi alam dinamika komunikasi ini, jika terasah menuju positif, kekompakan akan membentuk tekad kuat sebuah kelompok. Tidak mudah rapuh, saling menjaga dan saling mencintai. Jadi dinamika itu terjadi secara bertahap, perkenalan, akrab formal, konflik pertama, akrab normal, konflik kedua, akrab sekali dan saling percaya. Proses ini tergantung dari kualitas dan kuantitas komunikasi yang terbangun. Nah, dalam kasus Tambiluak, komunikasi antar pejuang selain tak diketahui tingkat mana, dinamika komunikasi dan loyalitas kepemimpinan. Namun yang jelas, atas nama perjuangan melawan penjajah, semangat yang dapat dilihat, pejuangan dibangun sangat solid. Selebihnya, soal dinamika suka tidak suka antar prajurit, persaingan, hal ini sedikit tertutup kabut sejarah.

Maklumlah perang. Kekalutan. Spirit yang turun naik. Membuat semuanya menjadi labil. Pertemuan di Lurah Kincia, disayangkan direncanakan begitu lama direncanakan, sehingga masuak angin. Terlepas kebocoran ke pihak lawan entah dari siapa, yang jelas, ditilik dari strategi intelijen, sangatlah tidak mungkin merencanakan sesuatu jauh-jauh hari di musim perang. Karena lawan sedang menyerang.

Buku ini tak sekedar memaparkan sejarah, tapi juga memuat menjadi rentetan cerita. Sayangnya, beberapa bagian mengalami kekeliruan teknis penulisan dan juga kekosongan data, (Lihat halaman 65). Sebagai buku sejarah, ini berbahaya.

Namun demikian, membaca buku ini seperti bertemu dengan sebuah novel perang. Tetapi ini bukan fiksi, ini buku sejarah. Sejarah berdarah Situjuah. Sejarah yang dapat dirasakan oleh anak cucu mereka dengan membaca buku ini.

Pergerakan kemerdekaan yang terjadi di setiap daerah memang telah banyak ditulis. Namun secara mendetail dan dekat, memang amat jarang. Secara nasional, sejarah sering kali kilasan-kilasan saja. Lahirnya buku Tambiluak ini, menyusul buku pergerakan dan perjuangan Siti Manggopoh di Agam, yang pernah diterbitkan penerbit yang sama, YCBI.

Persoalannya, masihkah ada yang peduli dan membaca sejarah? Menghargai sejarah? Apakah kita sebagai orang yang menikmati kemerdekaan hanya sebatas mengetahui semata? Tentu jawabannya bisa jadi klise, namun mengumpulkan puzzle sejarah dari orang-orang yang pernah bersentuhan dengan sejarah tersebut harus cepat dilakukan sebelum ia hilang ditelan zaman.

Dipaparkan dengan gaya penulisan yang kuat, mengalir, buku ini enak dibaca. Sebagai buku sejarah yang ditulis dengan "meminjam" style sastrawi. Berbeda dengan buku sejarah yang selama ini dikenal, ditulis dengan nuansa akademik dan sedikit kaku. Buku ini tidak. Maka buku ini layak disebut, buku sejarah dengan cita rasa sastra. Nikmat dibaca. []

No comments:

Post a Comment