Thursday, September 18, 2008

OPINI-BUDAYA

ESENSI HIDUP:
Antara Religi, Etika dan Estetika
Oleh: Julia Fauziah
Pegiat Teater

Rahasia hidup jika kau ingin mengetahuinya terletak dalam gelisah


[sir m iqbal]



Berangkat dari tesis yang dikemukakan oleh Sir M Iqbal ini bahwa dalam kegelisahan akan ditemukan apa yang disebut dengan rahasia hidup, tentu ini akan berlaku bagi orang yang bersedia untuk meluangkan waktunya, tenaganya untuk memikirkan sesuatu hal yang dia rasakan ketika berada dalam kegelisahan tersebut sehingga akan menghasilkan sesuatu yang akhirnya bersifat positif. Seperti teori psikologi mengatakan bahwa seorang manusia yang sedang berada dalam kegelisahan akan berimplikasi terhadap tindakan yang dia lakukan cendrung tidak stabil dan bisa saja akan mengarah kepada perbuatan yang tidak diinginkan atau bahkan dapat membahayakan dirinya atau orang lain.
Hidup adalah proses, barang siapa yang dapat memaknai dan menghargai setiap proses yang dia tempuh tentu akan mendewasakannya serta tidak akan mudah tersandung pada batu yang sama. Statemen yang sering diungkapkan oleh orang bijak, tentu mempunyai makna yang sangat dalam untuk dihayati. Pada dasarnya sebuah proses tidak akan dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya keinginan kuat dari si pelaku untuk bertarung seiring dengan proses yang dijalankannya. Tak ayal sebuah proses sering menimbulkan kebosanan bagi seseorang, karena tuntutan waktu dan ruang yang begitu terbatas dan pada akhirnya akan menimbulkan kegelisahan yang banyak berujung kepada sebuah keputus-asaan.
Manusia butuh proses dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meretas kejumudan dalam berfikir, berkreasi dan menganalisa suatu permasalahan dalam rangka menemukan langkah baru dan inovatif demi belanjutnya dinamisasi hidup agar tidak stagnan dalam satu titik saja. Proses yang dimaksud adalah menemukan titik potensi yang dimiliki selanjutnya mengasah serta merautnya sehingga mempunyai pisau analisa yang tajam sehingga dapat menciptakan kerja kreatif yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan.Keberhasilan seseorang dalam menyelami nilai-nilai kegelisahanan yang dimiliki tergantung kepada sejauh mana dia bisa memposisikan diri ketika menemukan masalah dan mengalihkan kegelisahannnya kepada hal-hal yang merujuk kepada kebaikan dan dapat dipertanggunngjawabkan. Disamping itu ketika individu tersebut akan mengarahkan tindakannya kepada perbuatan yang baik dalam keadaan yang dapat dikatakan tidak stabil tentunya membutuhkan aturan yang dapat dijadikan patron agar tidak terjerumus kealam tindakan-tindakan yang tidak diinginkan.
Sejalan dengan hal ini kekuatan dogma agama tentu sangat dibutuhkan dalam menyikapi kegelisahan yang dialami seseorang agar terarah kepada bentuk kelakuan yang terpuji. Agama seperti sebuah jawaban terhadap aksi-aksi dan tindakan yang dapat menghancurkan. Begitu juga yang kita harapkan dari sebuah proses kreatif dalam berkesenian.
Namun di sisi lain, perkembangan, pergolakan serta kontroversi penggunaan istilah kesenian pada umumnya sarat dengan muatan permissif terhadap hal-hal yang dianggap mapan serta tabu untuk dilanggar bahkan lebih jauh lagi mengakumulasikan nilai-nilai yang dipercaya dapat mencengangkan dan menghenyakkan ketertarikan massa terhadap hal-hal yang telah ditunjukkan sebagai sebuah kebudayaan baru yang bersifat dinamis dan senantiasa berkembang. Fakta yang kita temui dewasa ini dapat kita amati kegiatan-kegiatan yang mengatasnamakan kesenian seolah mendobrak tatanan dan nilai moral yang telah lama dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Banyak contoh yang mengarah ke situ diantaranya –tanpa bermaksud mengklaim- pertunjukan-pertunukan goyangan yang mempertontonkan bentuk tubuh wanita bahkan –maaf- terkesan erotis, pornografi, sinetron tema kekerasan, seks dan kebebasan, film-film murahan atau bahkan issu yang berkembang akhir-akhir ini mengenai majalah pria dewasa yang sebagian besar menjadikan wanita dan seks sebagai komoditi yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan lain-lain yang dengan style masing-masing mengacu kepada stimultan terhadap pelanggaran nilai-nilai masyarakat dan agama –atau bahkan estetika?-.
Tak ayal sebuah “kesenian” dapat berubah menjadi "tungkek mambao rabah" –meminjam istilah Minang-, jika nilai-nilai religi, etika dan estetika tidak dijalankan secara seimbang dan berbanding lurus. Barangkali jika kita merujuk kepada konvensi masyarakat tentang definisi kesenian tentu sangat variatif meski esensi yang dimuatnya tidak jauh berbeda. Masing-masing kelompok akan merangkai definisi yang mereka anggap tepat dan sesuai dengan ideologi yang mereka anut. Namun secara sederhana penulis mencoba memberi tawaran dalam memaknai sebuah karya seni yaitu dimana dalam rangkaian proses kesenian itu hendaknya ada dua unsur yang signifikan sekali dalam rangka memanusiakan manusia yaitu berusaha meramu logika dan jiwa dan pada akhirnya dapat menajamkan intuisi. Menurut hemat penulis jika kedua unsur di atas dapat dipenuhi dalam sebuah proses kreatif berkesenian tentunya akan lebih mudah menciptakan masyarakat yang diharapkan. Lebih dari itu sistem sosial masyarakat juga akan lebih terkendali dan akan jauh dari hal-hal yang menjatuhkan moral bangsa. Semoga. [Phau/Base Camp Teater-IB]

No comments:

Post a Comment