Thursday, September 11, 2008

OPINI-DEMOKRASI

Pidato Hillary Clinton dan Wajah Politisi Kita
Oleh: Drs Aswadi Munir
- Perantau Minang Asal Agam
- Pengurus Hipmi Pusat


ASWADI MUNIRBagi anda yang sempat menyaksikan pidato Senator Hillary Clinton pada pembukaan konvensi Partai Demokrat Amerika Serikat di Denver, Colorado minggu lalu, saya yakin anda akan merinding mendengarnya seperti yang juga saya rasakan. Buat anda yang tidak sempat mendengarkan akan saya kutipkan salah satu penggalan pidato yang spektakuler tersebut. “Barack Obama is my candidate. He must be come to our President”. “Barack Obama adalah kandidat saya. Dia harus jadi Presiden kita”
Kenapa saya mengkategorikan pidato Hillary ini spektakuler? Seperti kita ketahui, Hillary adalah pesaing utama Barack Obama dalam memperebutkan kursi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat dan Hillary kalah dari Obama. Pada proses pencarian calon wakil presiden yang akan mendampingi Obama yang akan bertarung melawan Mc Cain dari Partai Republik, memperebutkan kursi presiden Amerika Serikat November mendatang, Obama tidak memilih Hillary sebagai calon wakil presiden tapi memilih politisi senior Joseph R. Biden Jr sebagai pendampingnya.Sebagai orang yang dikalahkan dalam konvensi dan tidak diajak serta sebagai calon wakil presiden, sah saja bila Hillary tidak mendukung Obama. Tapi sikap itu tidak ada pada diri seorang Hillary, malah dengan jiwa besar dan sikap kenegarawan yang mengagumkan dia menyatakan mendukung Obama dan menyerukan para pendukungnya agar merapatkan barisan memenangkan Partai Demokrat pada pemilu November mendatang.
Mari kita merenungkan sikap Hillary tersebut dan membandingkannya dengan sikap politisi negeri kita akhir-akhir ini. Rasanya sikap tersebut jauh panggang dari api. Sudah sangat lama kita tidak melihat dan diperlihatkan cara pandang sikap kenegarawanan para politisi kita seperti yang ditunjukan Hillary.
Kita pernah punya politisi dengan sikap seagung Hillary, tapi itu sudah lama sekali. Sikap tersebut pernah ditunjukan politisi sekaliber Muhammad Hatta ketika berselisih paham dengan Soekarno yang pada puncaknya Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden, meski tidak lagi di pemerintahan, tapi Hatta tetap memberikan masukan dan mengkoreksi Soekarno dengan santun. M. Natsir berbeda haluan politik dengan DN. Aidit, tapi secara pribadi mereka tetap sebagai sahabat, bahkan sering minum kopi bersama. Bila kita membuka catatan sejarah masa itu banyak lagi contoh-contoh sikap kenegarawan sejati yang ditunjukan politisi lainnya yang begitu panjang bila kita uraikan satu persatu.
Bagaimana dengan politisi kita? Terutama pada era reformasi ini? Seperti sudah kita saksikan bersama, sebagian besar politisi kita saat ini benar-benar bersikap sebagai politisi yang pragmatis, dimana orientasi mereka adalah kekuasaan dan harta/uang, kalau perlu kekuasaan tersebut direbut dengan menghalalkan segala cara, Machiavelisme betul-betul berkembang dengan subur di dunia politik kita, mulai dari politik uang (money politic), kampanye hitam (black campaign) dan cara-cara tidak etis lainnya. Pada setiap pemilu, pilkada, pemilihan ketua partai kita sangat akrab dengan istilah “serangan fajar” dimana pagi hari sebelum pemilihan para tim sukses membagi-bagikan uang kepada konstituen dengan harapan agar konstituen memilih jago mereka. Bukti tentang praktek serangan fajar ini memang sulit dicari, tapi ibarat kentut, baunya meruak kemana-mana dan semua orang bias menciumnya.
Bila dalam pemilu atau pemilihan ketua partai ada kandidat yang kalah, sebagian besar politisi kita bersikap sebagai oposan terhadap kandidat yang menang, bahkan tidak sedikit yang keluar dari partai dan kemudian mendirikan partai tandingan. Akibatnya bisa kita lihat pada Pemilu 2009. Kita punya 40 lebih partai yang akan bertarung di Pemilu tersebut. Kalau kita telaah satu persatu, sebagian besar partai baru tersebut didirikan oleh para politisi yang kalah bertarung di partai lama. Apalagi kalau kita lihat ideologinya, hampir sulit kita melihat perbedaan ideologi antara satu partai dengan partai lainnya.
Sebenarnya kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan cara berpikir dan bersikap para politisi kita saat ini. Bagaimanapun mereka adalah produk masa lalu. Para politisi yang tampil saat ini sebagian besar adalah produk Orde Baru dengan sistem otoriter, dimana kekuasaan terpusat pada satu/sekolompok kekuatan (Soeharto dan lingkaran kekuasaannya), akibat sistem ini, generasi politisi masa Orba tidak terbiasa dengan pola persaingan bebas, mental mereka tidak terdidik dengan kompetisi yang sehat, mereka mendapatkan kekuasaan bukan karena persaingan kemampuan dan moralitas yang teruji, tapi kekuasaan mereka raih karena mereka dekat dengan penguasa dan lingkaran kekuasaan.
Setelah Orde Baru tumbang dan era beralih ke era reformasi, bangsa ini mengalami kekosongan kader politisi yang akan mengisi ruang reformasi tersebut sesuai dengan cita-cita reformasi yang diinginkan. Mau tak mau, kekosongan tersebut kembali diisi oleh para politisi didikan Orde Baru. Akibatnya, reformasi yang kita inginkan tidak berjalan sesuai dengan cita-cita.
Dengan banyaknya partai peserta pemilu yang melibatkan banyak calon legislatif muda yang tidak terkontaminasi dengan pola didik politik orde baru, kita berharap setelah pemilu 2009 nanti akan ada perubahan yang mendasar pada wajah politik bangsa ini dimana diharapkan akan muncul wajah-wajah baru dengan cara pandang yang lebih baik sehingga dimasa datang kita kembali memiliki politisi negarawan yang pernah ditunjukan para founding father negara ini. Sehingga kita bisa menampilkan kepada dunia, bahwa bukan hanya Amerika Serikat yang punya politisi negarawan sekaliber Hillary Clinton, tapi kita juga punya. Semoga. [] http://www.padangekspres.co.id, Rabu 10 September 2008

No comments:

Post a Comment