Harga Sawit dan Karet Terjun Bebas
“Lembaga Keuangan Ketar-Ketir”
PADANG—Petani di sejumlah daerah di Sumatera Barat terus terpuruk, akibat krisis keuangan global saat ini. Harga getah karet dan tandan buah segar (TBS) sawit seperti di Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya terus menunjukkan kecendrungan turun harga.
"Ini harga terendah yang pernah terjadi," ungkap Wali Nagar Sumpur Kudus, Markias kepada Padang Today, Senin (Senin 10/11).
Kondisi ini membuat efek luas, terutama bagi lembaga keuangan setempat. Kredit macet menghantui.
Harga karet jauh merosot dari Rp12.000 menjadi Rp 2.500 per kilo dan sawit dari Rp2.200 menjadi Rp250.
Ini membuat penderitaan yang luas biasa mengingat besar biaya produksi ketimbang penghasilan.
“Akibatnya lebih jauh, masyarakat mulai malas memanen komoditi perkebunannya tersebut," ujar Markias.
Dipaparkan Markias, pada harga normal, masyarakat bisa memanen 30-50 kg getah karet per minggu. Getah hasil panenan ini diangkut dari lokasi perkebunan masing-masing ke tepi jalan lintas, untuk kemudian dijemput langsung dan dibeli oleh tauke yang segera membawanya ke pabrik di Padang, Jambi dan lainnya. Namun, praktek seperti ini pada saat ini mulai terlihat sepi, masyarakat terkesan tidak bergairah atau lesu.
Imbas anjloknya harga, juga dirasakan oleh lembaga keuangan di daerah penghasil kedua komoditi tersebut.
Direktur BPR Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya, Ridwan Taher mengungkapkan 20 persen nasabahnya adalah masyarakat (tani) yang mengusahakan tanaman karet dan sawit.
Krisis keuangan global mengakibatkan nasabah molor membayar angsuran hutangnya. Terutama, mereka yang memiliki areal lahan kebun kurang dari 50 hektar. Untuk mengatasi hal ini, dia merencanakan akan melakukan reseceduling hutang para petani bersangkutan.
“Ada toleransi kita untuk nilai hutang dan waktu tertentu. Tak mungkin dipaksakan tepat waktu," kata Ridwan.
Menurutnya usaha masyarakat yang memiliki kebun kurang dari 100 hektar bisa saja kolaps bilamana krisis lebih dari 3 bulan. Ini disebabkan upah panen dan ongkos transportasi jauh melebihi penghasilan.
Kalau sudah begini, Direktur BPR Pulau Punjung itu menilai BPR pun tidak luput dari ancaman gulung tikar. Sementara, dana penjaminan tabungan yang disuntik Pemerintah Pusat dari semula Rp100 juta menjadi Rp2 Milyar belum bisa dipastikan pengucurannya ke BPR.
Senada dengan itu, pengelola Baitul Mal Wat Tamwil Al Islah Kabupaten Dharmasraya, Dewi mengungkapkan pula telah terjadi tunggakan massal sebulan belakngan ini atas hutang nasabahnya yang 50 persen merupakan petani karet dan sawit.
Lama tunggakan jauh diatas limit toleransi selama 6 hari dari bats waktu jatuh tempo. Kondisi ini bilaman berlarut-larut, diyakininya, bisa mengakibatkan kebangkrutan lembaga keuangan yang dikelolanya tersebut.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Dharmasraya, Adi Gunawan ketika ditemui di salah satu Pondok Pesantren di Cupak Kabupaten Solok menilai kondisi miris yang dialami semua petani kebun Dharmasraya tersebut tidak sepenuhnya dampak krisis keuangan global.
"Ikut dipengaruhi oleh adanya monopoli pabrik pengolahan sawit setempat. Pendirian pabrik-pabrik baru yang dikelola oleh perusahaan daerah. Sehingga, harga sawit dan getah karet masyarakat bisa bersaing," tegas pemilik Rumah Makan Gunung Medan ini.
Dharmasraya membutuhkan investor yang memiliki semangat membangun daerah. Bukan hanya sekedar mencari keuntungan. (abdullah khusairi/romeyzar)
No comments:
Post a Comment