SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA
Oleh: Taufiq Ismail
“Tadi siang ada yang mati, Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu.
Anak-anak sekolahYang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil “Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya “Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”Saya tersedu, bu.
Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
——————————————————————————————1966
L’Histoire se repete. Sejarah pun berulang.
Saya pernah mendengarnya Iman Soleh membacanya dengan nyentrik, waktu acara seminar 55 Taufik Ismail di Pustaka Nasional, 17 Mei 2008 lalu. Saya bersama Bobi Suardi Piliang. Saya terbawa arus pembacaan Iman Soleh. Sampai teringat terus. Ia membaca dengan jiwa. Teaterikalnya merasuk 300 penonton waktu itu. Asyik benar! [abdullah khusairi]
No comments:
Post a Comment