Cita Rasa
Oleh Abdullah Khusairi
Pesta rakyat pesta demokrasi. Vox populi vox dei. Suara rakyat suara tuhan. Rakyat sedang berdaulat. Rakyat sedang berkuasa. Pesta ini akan menyerahkan kekuasaan itu kepada wakilnya.
"Tapi tak banyak yang menghibur. Tak banyak yang mendidik. Egois. Hanya memperkenalkan diri. Berjanji. Memenuhi titik pandang kita," seorang pengamat sosial baru saja berkomentar seputar baliho, spanduk, poster para calon legislatif.
"Tidak banyak yang memiliki daya pikat. Eye caching!" ia seperti berpuisi saja.
Sedikit mungkin benar apa yang dikatakannya. Karena sejauh yang teramati, tidak begitu banyak kemasan baliho, spanduk, poster para calon legislatif bisa menandingi kemasan iklan produk. Atraktif. Menyita perhatian.
"Mungkin konteksnya beda. Iklan produk untuk dibeli, iklan calon untuk dipilih," saya coba menyerang.
"Keliru besar itu. Sasarannya sama. Sama-sama ingin memenangkan hati rakyat," ia menangkis.
"Makanya, baca buku Jual Ide Segar (Galang Press, 2008). Produk dibikin di pabrik, merk dibangun di otak, loyalitas dibangun di hati," ia memakai referensi. Maklum akademisi.
Menurut saya, iklan produk sekalipun masih banyak yang tidak atraktif, apalagi iklan para calon legislatif. Hanya satu-satu yang sudah digarap profesional. Dengan sesi foto satu hari penuh, design satu minggu, mencari kata-kata yang pas berbulan-bulan. Semuanya dikemas dengan metode kampanye paling mutakhir. Sehingga hasilnya melahirkan decak kagum setiap mata yang memandang.
"Konteksnya mungkin beda. Kalau di daerah tak bisa membandingkan dengan di pusat. Di kota tak mungkin sama dengan di nagari," saya coba menyodok.
"Pendekatannya memang beda. Tetapi bahasa dan penampilan harus satu! Fokus dan menarik! Tidak spanduk asal jadi, lalu diletak melintang jalan. Mana ada yang baca, itu saja sudah keliru. Pengguna jalan harus melihat jalan, bukan melihat ke atas," ia kembali menangkis sekaligus menyerang.
"Sepertinya sangat dirumit-rumitkan. Yang penting bagi calon, dipilih dan menang! Lalu melenggang ke gedung dewan," saya mengelak sembari meninggalkan satu serangan.
"Jangan tunggu keajaiban di negeri yang sudah ajaib ini. Pertanyaannya, how to win? Ada strategi, ada kajian, ada aplikasi, ada aksi, ada reaksi. Halah, engkau harus mengerti ilmu komunikasi politik tampaknya," ia sepertinya benar-benar mau saya knock out (KO). Saya tetap bertahan.
"Anda bisa saja menyebut begitu kepada saya. Tapi menyoalkan hal tersebut politisi, adalah hal yang berbahaya. Mengepung libido politik dengan teori-teori," saya membalas.
Bukan main ia meninggi. Mukanya merah. Merasa telah dilecehkan. "Saya tak peduli dengan itu. Cuma saya ingin katakan, mencerdaskan negeri ini tidak bisa serta merta di dunia pendidikan. Tapi di mulai dari hal-hal seperti ini. Kita harus pilih yang paling kreatif, atraktif, kemasan yang bagus dan tentu saya calon yang bagus. Setidaknya dengan baliho yang kreatif, tentu saja calon tersebut sudah mengerti bagaimana cara efektif memperkenalkan diri," kali ini ia berkhotbah.
"Apa anda ingin menipu rakyat? Kemasan bagus tapi calon yang tak bagus?"
Braaaak!!! Ia menghantam meja dengan tangannya.
"Anda tak mengerti tentang kota yang indah dihiasi oleh baliho, poster dan spanduk calon-calon wakil kita. Betapa bangga kita melihat mereka tampil di mana saja dengan kata-kata yang tidak menggurui, wajah yang menarik, tersenyum penuh percaya diri, seperti artis! Memperlihatkan aura kecerdasan. Bukan aura keculasan!" khotbahnya makin menyakitkan didengar.
Pulang dari wawancara dengan pengamat komunikasi politik itu saya tak berselera menulis berita. Saya bertambah yakin apa yang dikatakannya. Mungkin ini soal cita rasa dari politisi kita. Mungkin sedikit harus berkorban menyewa tim kreatif bahasa, design grafis, fotografer, tentu akan lebih baik. Biar lebih sedap dipandang rakyat. Jadi, ini soal cita rasa. Cita dan rasa. []
abdullahkhusairi@yahoo.com
No comments:
Post a Comment