BESAR KEPALA

Sirikit Syah di dalam buku Media Massa di Bawah Kapitalisme (Pustaka Pelajar, 1999) menyatakan, seorang reporter akan frustasi bila "hasil belanja" (data gathering) di lapangan sering tidak terpakai. Setiap hari belanja, hanya 30 persen yang dimasak, 70 persen mengendap di benaknya. Sementara itu, informasi baru terus masuk ke kepalanya.
Informasi mengalami sendimentasi pula dengan pemahaman dan analisa. Akhirnya, seorang wartawan menjadi wajib menulis dalam bentuk opini. Kalau tidak, informasi tersebut akan mempengaruhi informasi baru dan cara pandang hidupnya.




"Makanya jangan heran kalau banyak wartawan 'besar kepala!' Padahal seorang wartawan dituntut rendah hati, berpikir jernih, jauh dari sikap sombong melihat dan meliput peristiwa yang terjadi," kata seorang akademisi.
Kenyataan hidup di wilayah informasi memang begitulah adanya. Informasi bersileweran datang dan mengharapkan untuk diberitakan. Tetapi ada konsep, tidak semua informasi layak diberitakan. Ada hanya untuk sumber informasi, ada pula hanya untuk data awal dan pendukung informasi. Apalagi sekarang teknologi informasi amat canggih. Short Massage Service (SMS) dan Multimedia Massage Service (MMS) sangat membantu kelancara informasi.
Paparan ini membuat saya sendiri suatu kali menyadari betapa dalam benak wartawan banyak sekali informasi yang harus dikeluarkan. Makanya ia harus banyak-banyak menulis untuk mengeluarkannya agar tidak terjadi sendimentasi.
"Kalau masih terjadi. Wartawan akan mendapat penyakit Hydrocephalus (kepala membesar). Susah pakai helm." Ia tertawa lebar.
Mendengar cemeeh seperti itu saya marah besar. "Lha, kalau bung emosi itu tandanya tidak siap jadi orang besar. Ternyata tidak semua orang besar berjiwa besar," ia kembali menyodok.
Saya malah makin tersinggung karena badan saya tak begitu besar. Teman saya ini, di samping jadi akademisi, ia juga politisi. Perselingkuhan yang arif untuk keuntungan pribadi.
"Anda mujur tidak kedengaran teman-teman wartawan yang lain. Bisa-bisa urusan jadi ruwet," ujar saya.
Ia tersenyum. "Saya cuma mau tes sejauh mana Emotional Quetion (EQ) yang anda miliki. Kalau sudah mendapat jabatan jangan cepat emosi. Dikritik dikit, eh kebakaran jenggot. Orang hebat itu siap dikritik. Kalau tidak siap, berarti tidak hebat."
Saya kalah melawan logika politiknya. Saya jadi ingat suatu kali wawancara dengan seorang pejabat. Ketika pertanyaan tajam diberikan ia marah setengah mati. "O. Jangan tanya itu. Saya tahu betul itu." Begitu apologi pejabat itu kalau ditanya. Makanya teman-teman wartawan bilang, bila melewati ruangan sang pejabat, ia sebutkan ruang tersebut adalah pabrik Tahu tanpa memproduksi Tempe.
Kembali ke teman saya tadi. Tak saya sangka ia menguji "keimanan" emosi saya. "Kalau emosi untuk mendapat informasi maka akan lahirlah sikap kritis kebablasan. Oleh karenanya, jernihlah. Jangan emosi," katanya.
Lalu saya katakan, saya emosi korp dituduh kena hydrocephalus, bukan apa yang dikatakan pertama tadi.
"Anda bisa saya tuntut!" gertak saya.
"Saya bicara pakai referensi. Kalau tadi hanya bermain bahasa dan kata-kata. Ya, bukankah pekerjaan bung hanyalah berbahasa. Pekerja kata-kata. Saya pikir, kata-kata harus dibalas kata-kata. Jangan semuanya harus ke Pengadilan. Lihat saja kasus di Pengadilan sudah menumpuk," ujarnya nyeleneh.
Tak puas juga saya jadinya. Diam-diam saya rekam apa yang dikatakannya. Semua analisanya. Tetapi setelah berpisah, saya tak tahu apa yang harus diperbuat dengan rekaman diam-diam itu. Saya cuma mendapat kearifan setelah menyesuaikan perkataannya dengan realitas yang ada. [] abdullah_khusairi@yahoo.co.id
Padang Ekspres Edisi Minggu, 4 September 2006

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA