Dr H Duski Samad MAg*
Perilaku seseorang sangat banyak ditentukan oleh sikap mentalnya. Sikap mental yang sehat akan akan melahir prilaku yang baik dan bernilai guna. Prilaku menyimpang biasanya berawal dari sikap mental menyimpang. Satu diantara sikap mental menyimpang adalah sikap mental bagaikan orang terkepung. Sikap mental orang terkepung adalah satu bentuk pola jiwa yang berawal dari ketidaksiapan individu atau satu komunitas dalam menghadapi perubahan dan realitas sosial yang ada disekitarnya. Istilah sikap mental orang terkepung dipakaikan untuk mengambarkan fenomena jiwa yang ditampilkan oleh individu atau masyarakat dalam meresponi keadaan diluar diri atau diluar kelompoknya.
Sikap mental bagaikan orang terkepung sebagai bentuk dari kelemahan individu ataupun satu kelompok hampir menghingapi berbagai tingkat dan strata, usia, pendidikan manusia. Sikap, perbuatan dan reaksi yang dimuculkan oleh orang-orang yang mengidap kelainan mental (mental terkepung) ditandai dengan kecurigaan yang berlebihan, selalu gusar, kecewa, sinis cemas yang over dosis, sangat mudah menyalahkan orang lain atau kelompok lain, memberikan reaksi yang kejam,begis dan kadang-kadang tidak mengindahkan norma-nomar hukum, sosial, agama dan kemanusiaan.
Ketika perubahan kehidupan dalam berbagai lapangan berjalan begitu cepat, banyak sekali individu dan kelompok yang tidak siap dan tidak cukup modal memasuki ranah kehidupan yang begitu komplek dan terbuka. Kemapanan yang didapatkan melalui proteksi kekuasaan, baik kekuasaan formal struktural yaitu pemerintah mamupun kekuasaan non formal kultural yaitu masyarakat, telah menghanyut sikap keluwesan, kecerdasan dan kecendikiawan yang arif dan kuat.
Tidak terlalu sulit menunjukkan betapa virus mental orang terkepung telah merasuki elemen-elemen penting dari masyarakat. Sejak dari hal yang kecil, sederhana dan tidak perlu dipermasalahkan sampai kepada hal-hal besar dan berskala internasional sering mendapat bahasan dari tokoh-tokoh hari ini yang kalau dicermati tengah dimengidap penyakit mental orang terkepung. Ada dua fenomena sosial yang minggu ini menghiasai wacana keummatan yang mungkin dapat dikatakan sebagai sikap mental terkepung.
Pertama, dilingkungan internal ummat sendiri. Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada wartawan senior Mathioas Pandoe di Teras Minggu 12 November 2006 di bawah judul : Ustadz "Disambar Petir" Tersenyum Saja. Tulisan yang cukup argumentatif tersebut kelihatan memiliki pesan baik, namun ketika wacana ini diungkap dengan aroma bahasa sinis dan kurang bersahabat menimbulkan seolah-olahnya semua ustadnya hanya orang-orang yang hanya bisa bicara, atau mungkin bisa lebih keras dari itu, ustad hadir memberikan pencerahan kepada ummat selalu dengan dasar amplop (uang). Penyederhanaan dan generalisasi yang dibawakan tulisan ini sunguh tidak arif dan melukai perasaan banyak orang. Kita yakin, fenomena seperti itu jelas ada, namun tentu tidak patut rasanya jika dipukul rata. Bisakah kita membayangkan nilai selembar uang puluhan ribu dengan nilai kebaikan yang disuarakan sang ustad. Pernahkah kita pertimbangkan dinginnya udara malam yang harus ditembus sang ustadz - banyak sekali dengan kendaraan roda dua - untuk mendatangi jamaah, lalu disana is diberi sekedar beli bensin. Patut pula dipertimbangkan adilkah rasanya jika orang hanya harus selalu dituntut tanggung jawab, tanpa harus memberikan haknya. Tidak untuk berapalogi, penulis rasanya sangat hormat bahwa masih banyak ulama, buya, ustadz dan guru-guru agama yang ikhlas, tidak terpengaruh dengan amplop (uang) namun gerakan dakwahnya tetap bersemangat.
Akan sangat arif rasanya, ketika ummat Islam masih terbelenggu menghadapi masalah besar, seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan belum kuatnya akar keislaman pada individu, kelompok dan elemen pemimpinnya, para pemuka dan pejuang agama memperkuat mental kemandirian, mental memiliki rasa tanggung jawab. Kritik internal memang harus disuarakan, tetapi tentu dengan tidak melukai rasa keadilan dan dengan sentuhan arif dan bijaksana.
Kedua, wacana eksternal. Demo anti dan pro kedatangan Presiden Bush ke Indonesia, yang dilakukan oleh ummat Islam, juga fenomena yang tidak mudah untuk dijelaskan, kalau tidak bisa dikatakan sebagai bentuk prilaku dari mental orang terkepung. Protes kedatangan Bush sah dan boleh-boleh saja, namun perlu dipertanyakan lebih dalam apa sumbangan kegiatan ini bagi kemajuan Islam. Alih-alih ini bisa menampah kuatnya noda hitam yang dilekatkan oleh musuh Islam terhadap citra agama suci ini. Begitu juga halnya dengan yang mendukung kedatangan Bush, tidak pula bisa diketahui apalasan pentingnya. Tidak terlalu sulit membuktikan bahwa ini jelas demo pesanan, yang memang di negeri ini segalanya bisa dipesan. Nauzubillahi minzalik.
Sikap tidak mendukung dan berupaya menolak dengan cara cerdas dan bermartabat sesungguhnya dapat dilakukan oleh elemen ummat melalui intitusiintitusi resmi, yang mayoritasnya toh juga diisi oleh ummat Islam. Elit ummat di pusat kekuasaan seyogyanya lebih pro aktif lagi memerankan diri sebagainpemimpin yang menangkap denyut nadi dan jiwa ummatnya. Sungguh kerugian dan nasib malang yang akan menimpa pemimpin yang mengatasnamakan ummat tapi tidak mampu berbuat untuk ummat.
Dua fenomena di atas cukup bukti menunjukkan bahwa kita memang belum bisa bebas, belum kuat untuk mandiri, bisa saja belum bisa berjalan diatas kaki sendiri, pesanan, bisikan, intrik, kepentingan dan sejenisnya masih begitu mewabah dalam berbagai lapangan kehidupan. Solusi penyehatan yang patut dipertimbangkan adalah amat sangat penting pernbinaan mental mandiri melalui peningkatan dan kesimbangan tiga ranah kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual, (IQ), kecerdasan Emosional (EQ) dan kecerdasan sipritual (SQ). Ketiga kecerdasan ini memang bukan barang instan, walau sudah berpendidikan tinggi, sudah melewati pelatihan ESQ dengan biaya jutaan rupiah, jelas tidak sertamerta akan membuahkan prilaku sehat. Waktu dan proses adalah penantian yang harus disabari. Terima kasih. []
No comments:
Post a Comment