Suatu hari beberapa puluh abad silam, di Semenanjung Asia Kecil, sekelompok warga Kota Athena mengemukakan pertanyaan. Mengapa alam semesta ini begitu teratur? Berubah dalam keteraturan pula. Sejak kapan alam ini ada?
Pertanyaan ini beranak pinak menuju puncak tanya yang paling tinggi dari waktu ke waktu meminta jawaban.
Tetapi jawaban itu tak pernah mencapai puncak. Ia justru tenggelam dalam lembah keraguan. Lahirlah novel, sajak, nyanyian tentang alam, dewa, asal-usul. Mitos dan dongeng berkembang biak sampai kejenuhan zaman.
Zaman kejenuhan dongeng-dongeng itulah datang orang bernama Thales (624-548 SM) yang berpendapat agak menjawab persoalan, alam ini hakikatnya adalah air (arche is water). Ia mengatakan sesuatu yang ada adalah air. Karena dia anak nelayan. Sedangkan Anaximandros menyatakan, sesuatu yang paling awal dan abadi (arche is to apeiron). Lain pula Pythagoras yang mengatakan hakikat alam semesta adalah bilangan. Demokritos menjawabnya dengan atom. Hakikat alam semesta adalah suatu benda yang terkecil (atom). Mereka ini pada masanya, punya alasan yang masuk akal. Mereka diamini pada masanya.
Di sinilah awal berkembang ilmu pengetahuan. Berawal dari mitos ke logos. Tak lama setelah itu, logos menghapus mitos dan mengorbankan Socrates (469-399 SM). Socrates dipaksa minum racun karena mempertahankan pendapat.
Setelah itu muridnya, Plato(427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) meneruskan budaya berpikir logis sang guru. Pasang surut sempat terjadi di negeri Yunani dan pernah dipegang oleh bangsa Timur. Mesir sedang jaya, Cordoba dan Bagdad sedang berkuasa.Muncullah nama al Kindi (806-873), al Parabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), Al-Ghazali (1058-1111).
Dan hingga hari ini perkembangan begitu pesatnya. Ilmu pasti melaju tak tertahan. Humaniora menemukan jalannya menelaah fenomena hidup manusia.
Mencermati hal semacam ini, di tengah hiruk pikuk pembangunan berbasis ekonomi rakyat. Wacana masa depan terindah dan segala macamnya. Saya jadi berpikir, apa benar sebuah impian politik bisa dicapai dengan kekuatan yang tidak sesuai kenyataan. Apa mungkin bisa terjadi bila program tidak diikuti dengan implelemtasi yang terukur? Bagaimana mungkin jika hidup hanya disandarkan pada kemampuan berpikir? Mengedepankan fisik dari pada jiwa dan nurani?
Saya lalu bertanya dengan siapa saja yang dianggap bisa menjawab pertanyaan tadi.
"Anda salah lihat. Program kita banyak yang sukses. Tidak di kota tapi daerah terpencil."
Saya manggut-manggut. Kenapa sampai yang jauh-jauh program dilancarkan sedangkan di pelupuk mata tidak diapa-apakan. Kenapa warga miskin sampai diusir hanya karena tidak ada legitimasi. Bukankah legitimasi dihadirkan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk menyengsarakan rakyat?
Kenapa penegakan hukum dan pengentasan kemiskinan tidak pernah mencapai titik kesuksesan.
"Itu lain masalah. Setiap daerah punya program tersendiri. Sedangkan kita tak punya wilayah.
Wilayah kita justru tataran koordinasi dan konsolidasi."
Tak puas mendengar apologi saya minta pendapat kepada seorang akademisi. "Berpikir tanpa zikir berbahaya. Berzikir tanpa pikir juga berbahaya. Oleh karenanya, keduanya harus sejalan."
Mendengar itu saya mendapat kearifan. Tentang pikir, logika yang dikembangkan beberapa abad sebelum masehi. Pada
kenyataannya membutuhkan etika. Logika dan etika juga harus sejalan.
"Betapa kacaunya kita kalau keduanya tidak ada. Sangatlah penting keseimbangan dua hal tadi dalam diri manusia. Jika tidak, akibatnya akan fatal kemudian hari."
Akademisi itu mengutip Teknologi dan Hari Depan Manusia dari MT Zen (Obor Indonesia 1981), ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyodorkan surga dunia. Sedangkan agama memberikan surga akhirat. Persoalan ini masih berjalan pada tataran ideologis. Pengaruh seperi inilah sekarang tari menarik pada pikiran manusia.
Saya puas dengan jawaban tersebut. Tapi tak lama karena di sebuah lapau saya dapatkan
ungkapan yang menyakitkan.
"Sayangnya sekarang sering terlihat, berzikir karena uang, berpikir karena uang." Orang itu berlalu meninggalkan
rasa geram pada saya. Saya pikir benar juga. Nauzubillahiminzalik. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment