Gemercik Api
Batang Hari airnya tenang, sungguh pun tenang derasnya ke tepi.
Anak Jambi jangan dikenang, kalau dikenang merusak hati.*
Dewi terkesima membaca pantun yang masuk ke inbox dikirim dari nomor yang tidak dikenal. Ia menebak-nebak dari siapa pesan pendek berupa pantun itu. Dan tiba-tiba melintas ingatan tentang seseorang yang sudah lama terkubur di hatinya. Wajah tampan seorang laki-laki melintas di angan-angannya. Ah!
Mungkinkah dia? Dewi harap-harap cemas. Dan semua kenangan hidupnya di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah terburai sudah. Ah, itu sudah lima tahun lalu.
Dari mana laki-laki itu mendapat nomor ini? Terakhir bertemu empat tahun lalu di kampus, waktu melegalisir ijazah. Itupun kebetulan dan tidak dikehendaki bertemu dengan laki-laki yang menjemukan itu. Waktu itu hanya bertemu sebentar dan tak banyak yang dibicarakan. Karena ia masih menyimpan luka sejak laki-laki itu mengecewakannya.
Ya, hubungan yang indah itu terpaksa putus di jalan. Laki-laki itu memilih turun ke jalan, tak mau mempercepat tamat dari kampus. Katanya, reformasi demi masa depan bangsa dan negara. Ealah, masa depan sendiri tidak tahu kemana arahnya. Buktinya, laki-laki itu bukannya menyelesaikan kuliah, tetapi makin asyik di belakang drum di unit kegiatan mahasiswa.
Kenangan bersama lelaki itu terbentang. Indah dan memukau. Hari-hari yang terisi dengan pertengkaran, kemesraan, pahit, manis, getir dan segala macam. Empat tahun bersama, guratannya begitu kuat terlukis di atas kertas bernama kenangan. Ingin rasa kembali masuk ke dalam masa lalu. Dewi mengusap matanya.
Lah lamo indak ka rimbo, raso lah babuah Merantih bujang
Lah lamo indak basuo, raso lah barubah nan kasiah sayang.*
Dewi memberanikan untuk membalas pantun itu. Setelah terkirim, entah mengapa ia ingat Hendrik, suaminya. Ada rasa bersalah setelah pantun itu terkirim.
Aku tahu di padi baru, rumput manis di Tanah Tumbuh.
Aku tahu di hati kamu, mulut manis hati tak sungguh.*
Pantun itu cepat terbalas. Bersamaan dengan itu, rasa takut muncul tiba-tiba. Bermain api terbakar, bermain air basah.
"Ah, Romi kenapa kau mulai permainan ini?" Dewi ingin menyudahi segera. Ketakutan telah menghentikannya. Tapi entah kenapa ia ingin menelepon Romi. Tapi seluler itu tidak diangkat. Nada tunggu dengan nyanyi terbaru menghibur Dewi.
Setiap ada kamu mengapa jantungku ini berdetak kencang lebih kencang... seperti genderang mau perang... Setiap ada kamu mengapa darahku mengalir lebih cepat dari ujung kaki ke ujung kepala…
Ah. Lagu Dewa 19, persis sama dengan yang ada dalam computer di hadapannya. Sampai lagu habis, ia tak mendapat jawaban. Tak diangkat. Ia coba berkali-kali tapi tak pernah terjadi percakapan yang diharapkan. Hanya lagu itu yang berulang-ulang terdengar. Tak kehilangan akal. Dicobanya dengan telepon kantor. Lagu itu kembali terdengar. Tak juga diangkat. Dewi penasaran. Apa benar dia Romi. Kalau ia dimana kau berada?
Selamat siang wanita karier.
Semua telah usai di Muaro Bulian hingga Simpang Sado.
Salam hangat untuk suami dan anakmu.
Jantung Dewi berdebar. Merasa benar-benar diteror. Kini sudah jelas, pantun itu sudah pasti dari Romi. Siapa lagi kalau bukan dia. Pemuda gagah idola kampus yang membuat banyak gadis mencuri perhatian. Ah Romi, Dewi menggigit bibir. Ini bukan mimpi. Kenangan itu melintas lagi. Tersenyum. Melihat setiap episode yang lewat. Empat tahun bersama, guratannya begitu kuat terlukis di atas kertas bernama kenangan.
Dewi ingat, betapa bangga ketika Romi ternyata menjatuhkan pilihan kepadanya. Semua mata yang ada di kampus waktu itu memandang iri. Tapi akhir-akhir kuliah, sering kali kerikil bernama pertengkaran membuat perjalanan tersendat. Romi tak mau terlalu diatur untuk urusan masa depan.
Kalimat perpisahan diungkapkan Romi membuat Dewi benar-benar patah. Padahal, ia ingin sekali mengalah dan bangkit kembali merajut kebersamaan. Tapi itu tidak terjadi. Sudah beberapa kali pertengkaran, yang terakhir benar-benar membuat semua harus berakhir. Sejak itu, Dewi menggarap berlari skripsi. Meninggalkan Universitas Jambi (Unja) secepatnya. Mengubur semua kenangan yang pernah tersusun rapi seperti buku-buku di dalam lemari. Mujur Jakarta menerimanya untuk bekerja di salah satu perusahaan bonafide.
Hari ini, kubur itu dibongkar oleh Romi dengan segurat pantun-pantun kenangan. Mengembalikan kehidupan di kampus dulu.
Ambil kapak atau beliung, untuk penebang kayu yang tinggi.
Kalau berkepak aku bak burung, engkau ku jambang petang dan pagi.*
Aha. Dewi limbung. Terdedahlah semua kenangan ke udara. Tapi ia masih ingat jawaban pantun yang bisa menjadi lirik lagu itu.
Sampaya buah di hutan, Limau Purut batang berduri
Racun dunia sudah kumakan, risau aku sudah kau beri janji.*
Pesan terkirim. Dewi termenung. Takut dan gamang. Ia melirik jam di sudut monitor komputer. Pukul sebelas tiga puluh menit. Sebentar lagi jam istirahat kantor datang. Seperti biasa, ia menjemput Ani pulang sekolah. Anak semata wayang tersayang.
Ikan Sepat ikan Sengering, anak udang di balik batu
Indak dapat rambut keriting, biar membujang sepuluh tahun.*
Pantun Dewi terbalas dengan harapan. Pantun yang satu ini sering diungkapkan Romi lewat gitar. Dewi tersenyum kecut. Masa lalu muncul dengan teror.
Ah Boby, kenangan kita tak pernah lupa sebiji bayampun. Semuanya masih terlintas di kepala. Bagaimana caranya agar bisa membuat ini usai? Ketakutan membakar hati Dewi. Tetapi kenangan itu cukup kuat memancing api. Betapa manisnya masa lalu tertata. Dewi malu sendiri
"Aku tak keriting lagi. Sudah di-rebounding," ujar Dewi dalam hati. Geli. Dewi menghapus semua pesan pendek yang ada di kotak masuk. Tak enak kalau sempat dilihat Hendrik nanti. Walau suaminya tak pernah melihat, dan itu takkan pernah. Dewi tahu, Hendrik sangat menghormati hal pribadi, walau itu Dewi, isterinya. Sebaliknya Dewi, selalu ingin tahu apa yang ada pada Hendrik. Selalu bernada curiga untuk sekedar bertanya. Hendrik mafhum saja.
*
Hendrik tampak berseri. Ingatannya melayang ke masa lalu. Pertemuan yang tak diduga pagi tadi menumbuhkan semangat baru. Perempuan itu ternyata ada di sini. Belum banyak berubah. Cantik dan mempesona.
"Apa kabar?" Hendrik membuka percakapan.
"Baik. Tak menyangka bisa bertemu."
Pertemuan itu. Kaku.
"Bisa diceritakan kenapa sampai di sini?"
"Dapat undangan beasiswa. S2 di sini. Studi Ekonomi Pembangunan."
Dingin saja. Perempuan itu menyimpan debar jantung. Tak menentu. Hendrik membacanya.
"Hebat. Sudah semester berapa?" Hendrik mencoba untuk mencairkan suasana.
"Ah biasa saja. Baru semester satu. Ceramah bapak tadi hebat?"
Hendrik mendapat kesempatan ceramah kampus. Tampil sebagai praktisi hukum. Bicara soal UU Pornografi dan Aksi. Ya, isu yang hangat sedang dibicarakan di media-media saat ini.
"Tidak juga. Lho, kenapa memanggil bapak. Masih seperti dulu. Sudah ada pendamping?" Hendrik mencoba mengalih pertanyaan.
"Belum. Masih seperti dulu," wanita itu menunduk. Membalik kata-kata Hendrik, masih seperti dulu. Tak berani menatap.
"Ah, selalu begitu dari dulu." Hendrik tak kuat menahan penasaran.
Keduanya membisu. Bermain di dalam pikiran masing-masing. Kafe makin sepi. Riuh terdengar jauh. Sorak sorai penonton basket dalam gedung olahraga. Bermain pada kenang-kenangan yang pernah terjalin satu masa. Sama-sama aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat.
"Sudah berapa orang putra mas?" Wanita manis itu menyeruak kekakuan.
Hendrik tersentak.
"Baru satu orang. Puteri," jawab Hendrik.
"Orang mana isterimu?"
"Batang Hari Jambi." sebuah percakapan yang tak enak bagi Hendrik.
"Oh ya. Pasti karena masuk ke pedalaman untuk program Suku Anak Dalam," tebak Ita.
"Ya dulu. Kebetulan bertemu di bandara beberapa kali untuk pesawat yang sama. Arah yang sama. Juga tempat duduk yang berdekatan. Sudah jodoh begitu. Kamu bagaimana. Kapan lagi? Sudah ada rencana?" Hendrik mengalih tempat duduk.
"Belum ada mas. Entahlah. Biar saja seperti ini. Aku masih suka seperti ini," ujar wanita berkaca mata minus itu berat dan ada sesuatu tersimpan.
"Boleh bisa minta nomor handphone? Aku bersedia bantu kebutuhanmu di sini. Lanjutkan pendirianmu. Aku masih seperti dulu, walau semuanya tak mungkin," Hendrik berdiri. Membayar minuman.
Wanita itu memberi kartu nama. Hendrik juga. Keduanya tersenyum tipis sambil keluar dari kafe. Setelah basa basi, seputar masa lalu, juga teman-teman lama.
"Salam sama isteri ya."
"Ya. Sampai jumpa. Jangan lupa kontak-kontak."
Hendrik belum juga menjalankan kenderaannya. Termangu menatap seseorang yang pernah dekat di dadanya. Anita, aktivis perempuan dan lingkungan tak mudah untuk ditaklukkan. Hendrik pernah patah karenanya. Beda paham dan pendapat dalam hari-hari bersama membuat perpisahan. Tetapi keping-keping kenangan itu kini berpendar-pendar. Seperti awan bergelayutan. Ah indahnya.
*
Malam datang. Ani sudah tidur. Dewi masih membaca majalah. Hendrik membaca materi kasus untuk sidang esok hari. Keduanya tenggelam dalam bacaan masing-masing. Serius. Tak jauh.
Tit, tit, tit. Ada pesan masuk ke dua handphone yang tergeletak enak di atas meja. Dua handphone dengan merek yang sama. Bunyi yang sama. Pesan dari orang yang berbeda. Keduanya meraih handphone masing-masing.
Selamat malam, selamat tidur. Salam pada sang suami. Romi. Selamat malam, selamat tidur. Salam pada sang isteri. Anita.
Keduanya diam. Tersenyum.
"Dari siapa?" Dewi memecah keheningan.
"Teman."
"Teman apa teman?"
"Teman tapi mesra."
Dewi manyun. Percaya saja. Lalu tenggelam lagi dalam bacaan. Tetapi masih mengingat-ingat kejadian tadi siang. Di tempat berbeda. Khayalan yang sama, tentang masa lalu.
Sedang malam terus merambat.
"Pesan siapa tadi mas?" Dewi mengulang ketika sampai di atas tempat tidur. Curiga. Serius.
"Teman lama. Kamu tadi?" Tidak curiga. Hanya bertanya.
"Teman lama juga."
"Siapa?" Keduanya bersamaan.
Diam melarut dingin. Angin menyusup masuk lewat ventilasi. Wajah mereka saling mendekat di bawah lampu yang remang. Ada api bernama kecurigaan di mata dari dada. Tertahan dan membara. Tak ada jawaban hingga tatapan itu satu persatu luruh dan jatuh ke bibir. Cup ah!
Kecurigaan jadi terkubur di hati masing-masing ketika tak ada jawaban yang lahir. Menggantung di awang-awang membiarkan penasaran beranak-pinak menjelang pagi. Dewi menghela selimut, mengalih badan. Hendrik juga begitu. Malam merajuk. Gairah tertahan, naif untuk bercinta.
Menjelang mata benar-benar lelap, keduanya menangkap masa lalu merangkai harapan bisa terjadi di masa depan. Bisakah jadi?[]
Padang, 9 Maret 2006
*Pantun-pantun daerah Sarolangun Jambi
dimuat di Riau Pos Minggu 7 Januari 2008
No comments:
Post a Comment