Oleh Wendra Yunaldi, SH, MH
Dalam wacana internasional, salah satu masalah utama dari politik berdimensi demokrasi baru (yang timbul di tengah gelombang transisi dari kekuasaan otoriter di Eropa Selatan dan Amerika Latin pada akhir tahun 1970an dan 1998an) adalah bahwa para aktor dominan nyata-nyata mengabaikan atau menolak perangkat-perangkat demokrasi. Latar belakangnya adalah selama masa transisi tersebut para elite politik menekankan pada pembuatan pakta-pakta dan lembaga-lembaga.
Gagasan fundamentalnya adalah tekanan internasional akan membantu memfasilitasi sebuah langkah kompromi dimana kekuatan rakyat akan dikendalikan, sementara para kapitalis otoriter, para birokrat dan para pejabat akan dapat mempertahankan aset-aset mereka --- berdasarkan asumsi bahwa mereka menerima pembentukan lembaga-lembaga yang mendukung HAM, tata pemerintahan yang baik (good governance), pemilu yang bebas dan jujur, dan sebuah masyarakat sipil yang mandiri. Lembaga-lembaga tersebut nantinya akan membentuk demokrasi liberal.
Maka dari itu, argumentasi kritis yang semakin umum adalah bahwa ketika para aktor politik dan ekonomi yang sebelumnya dominan (seperti para elite papan atas Orde Baru di Indonesia) telah menyerahkan posisi-posisi politik formal mereka dan menyetujui pemilu yang bebas dan jujur dan beberapa hak liberal, mereka tetap menguasai aset-aset perangkat-perangkat baru demokrasi. Banyak keputusan-keputusan penting justru dibuat didalam ekonomi yang semakin diwarnai privatisasi dan terglobalisasi serta dalam berbagai lembaga publik yang semakin menjadi informal; misalnya, dalam dewan direksi perusahaan, IMF, di The Rotary Club, keamanan swasta, sistem penanganan kesehatan yang telah disubkontrak-kan, atau melalui kegiatan berjaringan dan lobby. Apalagi proses revisi UU No. 22-25 Tentang otonomi Daerah menjadi UU Otda No. 32 sekarang yang masih menimbulkan pro kontra, multi tafsir atas dasar kepentingan politik dengan argumentasi proses sentralisasi dan desentralisasi kekuasaan.
Untuk memperoleh sejauhmana tentang demokrasi telah terkonsolidasi, adalah relevan untuk mengimplementasikan ‘pengujian’ Linz dan Stepan (1996) yang mempertanyakan apakah demokrasi benar-benar telah menjadi ‘aturan main utama’ (the only game in town). Benar bahwa sebagian besar informan mengatakan politik secara keseluruhan tidak terbebas dari kekuatan-kekuatan asing, termasuk bisnis internasional dan Dana Monoter Internasional (IMF), dan masalah tersebut semakin bertambah.
Hal ini jangan sampai diabaikan. Dapat dikatakan bahwa sebagian dari terbatasnya kinerja dan cakupan hak-hak dan lembaga-lembaga berhubungan dengan adanya subordinasi ini. Tapi, apapun jalan yang ditempuh para aktor, dan apapun anggapan para informan mengenai para aktor dan kontak-kontak internasional sebagai aktor politik dominan, kenyataannya sebagian besar tetap menggunakan permainan politik yang lazim dan para aparat negara.
Dalam konteks itu, untuk mereduksi upaya hegemoni-monopoli dan transformasi politik liberalis baik dalam tataran pemerintahan pusat maupun lokal harus diantisipasi secara intelektual dan progresif. Sebagai upaya untuk menemukan solusi serta tawaran-tawaran kritis, argumentatif, intelektual maka diperlukan format baru untuk membangun serta mengembangkan wacana tentang pentingnya reinternalisasi kearifan politik berdimensi lokal. Politik dengan kearifan lokal tentu tidak dipisahkan dari tradisi dan budaya-budaya bangsa.
Dengan konsep politik kearifan dan kebijaksanaan lokal, maka upaya untuk membongkar hubungan antara pemain politik sesuai aturan konstitusional dan yang menelikung serta menyalahgunakan aturan, kita harus tahu bagaimana proses terciptanya hubungan tersebut. Maka sebuah kesimpulan sementara bisa dipastikan bahwa sejalan dengan argumentasi umum mengenai dinamika monopolisasi demokrasi yang berakar pada simbiosis antara kapitalisme maju dan akumulasi modal primitif biasanya melalui negara dan politik.
Berkaca pada eksperimen-eksperimen internasional --- yang terkini adalah negara-negara Amerika Latin seperti Brazil --- satu-satunya gagasan realistis dan bermanfaat merujuk pada de-monopolisasi dan regulasi demokrasi, diluar neo-liberalisme dan statisme. Gagasannya adalah pakta-pakta yang difasilitasi secara demokratis pada tingkat pusat dan lokal antara bisnis berorientasi pertumbuhan, kelas menengah berorientasi profesional di sektor dan informal, dan masyarakat buruh terorganisasi di sektor formal dan informal, pada gilirannya akan mendapatkan hak-hak dan kebutuhan dasar. Oleh karena itu, aktor dominan tidak ada dan hancur, dengan partai-partai yang berorientasi pada kekuasaan dan mesin-mesin politik yang dapat mengalahkan pemilihan yang berorientasi pada kultus indufidu.
Dalam konteks itu, konsep paradigma berorientasi pada penguatan wacana dan mengembangkan kearifan politik lokal menjadi suatu keharusan setiap aktor-aktor politik anak bangsa baik ditingkat lokal maupun pusat. Kearifan politik lokal yang dimaksudkan adalah membangun etika politik yang berdimensi pada agama dan budaya-budaya bangsa. Budaya bangsa yang tetap pada komitmen moral. Perspektif ke depan untuk membangun kearifan politik lokal akan menjadi agenda besar bangsa Indonesia.
Dalam kontes masyarakat Minagkabau (Sumbar) kearifan lokal sebenarnya telah melembaga dan tersistematis dalam falsafah adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah yang dinaungi dengan faham keilmuan “alam takambang jadi guru”. Jika dilakukan perenungan secara mendalam maka secara konseptual dan kontenstual paham demokrasi yang dilandasi kearifan lokal yang ada di ranah Minang, sudah jauh lebih dulu dan lebih maju dari konsep-konsep politik modren yang ada saat ini.
Sayangnya terkadang kearifan lokal yang dibingkai nilai-nilai luhur budaya minang terlupakan atau mungkin dilupakan oleh ‘orang minang” sendiri. Hal ini mengakibatkan secara goepolitik baik nasional maupun lokal sulit mencari sosok tokoh yang membumi dan mengakar yang lahir dari rahim ‘bundo kanduang’. Tokoh yang lahir muncul secara instan dan tergantung moment tertentu, lahir dan kemudian redum seiring perputaran roda kehidupan. Jika ada pertanyaan “kemana dan kenapa tidak ada tokoh minang dalam kancah politik nasional?” mungkin salah satu jawabannya adalah karena kita sudah mulai “durhaka” dan menjadi “malin kundang” corak baru terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang diwaris oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumangguangan.
* Putra Payakumbuh dan Pengajar Hukum Tata Negara di beberapa PTS.
No comments:
Post a Comment