ISLAM DAN DEMOKRASI: BEDA TAPI SAMA

Oleh :


Riki Saputra


Direktur Eksekutif Majelis Sinergi Islam dan Tradisi (MAGISTRA) Indonesia


RIKI-SYAHPUTRA


Pembicaraan demokrasi dewasa ini masih begitu hangat dan mendapat tempat dalam pemikiran manusia. Manusia di seluruh dunia, baik dengan latar belakang agama, peradaban, dan sejarah, umumnya mengakui demokrasi sebagai sesuatu yang harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demokrasi dipuji banyak orang terutama dalam ranah politik - walaupun saat ini nilai demokrasi mulai di kembang luaskan pada bidang lain, termasuk dalam masalah agama. Sistem politik yang tidak sesuai dengan demokrasi dianggap ketinggalan kereta, karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman dan sangat mustahil bisa membawa kemajuan. Jadi ada benarnya apa yang di sampaikan Saiful Mujani seorang peneliti pada Pusat Kajian Masyarakat Islam bahwa “Hampir tidak mungkin menolak demokrasi di zaman sekarang ini. Demokrasi sudah menjadi semangat dan anak zaman. Menolak demokrasi sama artinya dengan menolak zaman”.



Kita mungkin selalu menggunakan kata yang sama, yaitu "demokrasi". Tapi perlu dipahami kita selalu memahami demokrasi tersebut dengan makna yang berbeda-beda. Walaupun demikian jika ditelusuri hakikat demokrasi secara mengakar, kita semua sepakat mengatakan sampai pada arti demokrasi yang kurang lebih adalah kedaulatan di tangan rakyat, semua orang sepakat. Sampai pada slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak ada pihak yang tidak sepakat.


Demokrasi, yang secara teorinya dimaksudkan sebagaimana pemahaman di atas, maka dalam tataran praktiknya akan selalu mengalami berbagai penyesuaian dan perubahan, sehingga aplikasinya bersifat trial and error, atau yang lebih ekstrem lagi, demokrasi itu bersifat projek. Lihat saja perkembangan demokrasi di negara-negara muslim seperti Indonesia, cenderung menampakkan kekakuan dan sangat perlahan, sehingga dapat kita tarik kesimpulan banyak orang inilah faktor utama yang telah menghambat kemajuan masyarakat Islam. Dan bisa di pastikan, pemahaman Islam secara eksklusif (tertutup) sangat berpengaruh hingga menyebabkan antipati terhadap hal-hal yang berbau modernisme, di samping mereka juga terbuai oleh romantisme masa lalu.


Maka dari itu, masyarakat Islam wajib berfikir dengan kemasan inklusif, karena demi kemajuan Islam yang hadir harus sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman . Mungkin gagasan rekonstruksi inilah yang menjadi pesan yang gigih disampaikan oleh mereka yang ingin menerapkan demokrasi ke dalam dunia Islam. Lalu ungkapan seperti “nilai demokrasi juga terkandung oleh Islam”, “demokrasi merupakan bahagian dari Islam”, ataupun “demokrasi adalah Islam itu sendiri” kerap dikumandangkan belakangan ini.


Sepanjang perjalanan politik di Indonesia, sebenarnya pembahasan seputar Islam dan demokrasi mengalami pasang surut dan tarik-menarik dengan frekuensi yang berbeda. Sebut saja, banyak kalangan pemikir-pemikir Muslim Indonesia bersilang berpendapat tentang Islam dan demokrasi. Tapi yang perlu di garis bawahi, kontroversi tersebut sangat wajar terjadi karena, pertama, itu semua adalah sebuah lahan ijtihad manusia yang mencoba memahami doktrin al-Qur`an yang berbicara secara prinsip dan tidak ada dalil (al-Qur`an maupun Sunnah) yang tegas mengatakan bentuk hubungan Islam dan demokrasi. Kedua, dari proses lahirnya Islam dan demokrasi muncul dari belahan dunia yang sangat berbeda. Islam pada awalnya turun di bagian Timur, sedangkan demokrasi lahir dan besar di dunia Barat.


Akan lebih mak nyus kiranya, jika kita uraikan analisa Nurcholish Madjid (Islam dan Politik, 1998) atau yang lebih akrab dengan sebutan Caknur, melihat mengapa pembahasan Islam dan demokrasi ini tak kering-keringnya. Pertama, sumber atau rujukan bahasan ini sangat banyak dan kaya. Ini merupakan hasil akumulasi pengalaman Dunia Muslim dalam membangun kebudayaan dan peradaban selama sekitar lima belas abad. Pengalaman historis ini menjadi modal sangat penting, dan sekaligus membuahkan banyak sumber bagi penulisan tentang Islam dan Demokrasi, khususnya di dunia Muslim. Kedua, kompleksitas permasalahan Islam dan demokrasi yang dibahas. Hal ini mendorong para pengkaji dan peneliti kepada pembahasan dengan menggunakan satu atau beberapa pintu pendekatan yang sangat spesifik. Sebab, bila menggunakan pendekatan pembahasan yang komprehensif, maka dituntut tidak hanya kemampuan menyeluruh pula, tapi juga kesadaran untuk tidak terjebak kepada reduksionisme dan kecenderungan untuk menyederhanakan masalah yang sebenarnya sangat komplek dan rumit. Ketiga, adanya pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat Muslim. Perkembangan keduanya tidak bisa dihindarkan, karena mereka hadir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kita.



Untuk melihat perkembangan Islam dan demokrasi yang terjadi di Indonesia, ada tiga model yang dapat kita klasifikasikan. Pertama, mayoritas masyarakat Islam dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Ada beberapa tokoh Muslim yang menganggap bahwa Islam memiliki hubungan yang baik dengan demokrasi. Demokrasi inheren atau bagian integral dalam Islam, untuk itu, demokrasi tidak perlu dijauhi. Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini bisa disebut dengan hubungan simbiosis-mutualisme. Hubungan Islam dan demokrasi tidak terpisahkan sama sekali. Dalam pandangan ini, Islam dianggap sebagai doktrin (Islam asli), yakni Islam sebagai teks al-Qur`an atau lebih umum sebagai tradisi otoritatif. Islam bukanlah agama sebagaimana diartikan kalangan Barat. Islam dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia. Dengan alasan ini, maka kalangan masyarakat Muslim ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupannya, termasuk dalam urusan politik maupun demokrasi, pada ajaran Islam.



Kedua, sebagian masyarakat menegaskan bahwa ada hubungan yang canggung antara Islam dan demokrasi. Mereka menjadi wakil para pendukung yang mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Hubungan Islam dan demokrasi dipandang saling bermusuhan. Islam dan demokrasi tidak ada hubungan sama sekali. Dalam Islam tidak ada konsep demokrasi karena demokrasi berasal dari Barat yang dianggap kelompok ini sebagai kalangan sekular. Tetapi kemudian karena adanya tekanan dari penjajah Barat dan terjadinya pendangkalan pemahaman Islam (menjadi hanya sekedar pesan-pesan moral kehidupan) maka timbullah pengakomodasian nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Sebagian kaum muslimin, terutama kaum muslimin yang merasa lelah berjuang melawan kezaliman bangsa Barat yang menjajah mereka, justru mulai melihat bahwa demokrasi dapat dimanfaatkan untuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka mulai ‘menutup mata’ terhadap perbedaan antara nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Mereka hanya mau melihat ‘seolah-olah’ ada persamaan di antara keduanya. Akhirnya tak sedikit kaum muslimin yang menerima gagasan demokrasi, namun berbeda dari makna yang sesungguhnya terdapat pada lafazh tersebut.


Ketiga, sebagian masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan Islam dan demokrasi, sekaligus memberi catatan-catatan penting secara kritis. Islam bisa menerima adanya hubungan demokrasi, namun dengan beberapa catatan penting. Hubungan Islam dan demokrasi semacam ini ditandai dengan proses saling mempelajari posisi masing-masing yang bersifat lentur dan fleksible. Islam dan demokrasi adalah sesuatu yang incompatible. Yaitu, kalangan pemikir Islam melihat bahwa antara Islam dan demokrasi terdapat beberapa kesamaan, dan sekaligus juga ada perbedaan.


Melihat tiga bentuk hubungan Islam dan demokrasi di atas, maka model yang ketigalah bisa kita katakan bahwa antara Islam dan demokrasi tersebut sama tapi beda. Karena membedakan antara demokrasi yang berasal dari Barat dengan Islam. Dalam Islam terdapat nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, semisal al-Adalah, al-Musawa, al-Syura, dan lainnya. Nah, sekalipun nilai dan prinsip ini memiliki kesamaan dengan demokrasi ala barat, tapi dalam aplikasinya tentu berbeda.


Jika kita jelajahi pemikiran tokoh-tokoh muslim dunia maupun Indonesia, banyak yang memposisikan ide-ide mereka dalam model yang ketiga ini. Sebut saja, Rashid Ghannoushi, pemimpin al-Nahdah dari Tunisia yang sangat militan, mengatakan “Apabila demokrasi yang dituju adalah model pemerintahan Barat, yaitu satu sistem dimana rakyat bebas memilih wakil dan pemimpin mereka, dan ada pergantian kekuasaan, serta kebebasan dan HAM untuk publik, maka Muslim tidak menemukan sedikitpun dalam agama mereka yang menentang demokrasi, dan tidak menguntungkan pula bagi mereka untuk menentangnya. (Jhon E. Esposito, 1996).


Senada dengan Rashid Ghannoushi, Yusuf Qordhawi walaupun agak lebih kritis, menegaskan “Ideologi Islam, pergerakan Islam, dan kebangkitan Islam tidak akan pernah berkembang kalau tidak berada dalam lingkaran demokrasi dan kebebasan. (Yusuf Qardhawi, 2002). Di Indonesia tokoh Masyumi sekaliber Muhammad Natsir tidak pernah mendikhotomikan Islam dan demokrasi. Baginya konsep negara Islam tidak bisa diraih dengan gencatan senjata, melainkan mesti diperjuangkan dengan nuansa politik yang demokratis.


Walaupun terjadi perselisihan pendapat di kalangan pemikir-pemikir Islam Indonesia khususnya, sekali itu sangat wajar dalam mengisi kancah perpolitikan di negeri yang kita cintai ini. Tapi yang perlu dipahami dan dihayati baik yang pro maupun yang kontra terhadap hubungan Islam dan demokrasi ini, tidak mesti menuai kebijakan-kebijakan atau pernyataan yang ekstrim ketika terjadi perselisihan dengan ungkapan “saling mengkafirkan”. Karena kita sebagai manusia tidak berhak untuk mengkafirkan seseorang, kalau itu kita ucapkan berarti kita mencakaraui kebijaksanaan Tuhan. Itu semua adalah sunatullah yang tidak akan pernah terjadi di dunia ini satu ragam pendapat saja. Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana untuk selalu berpikir prinsip dalam memahami doktrin Islam dan jangan berfikir sistem. Sebab kalau berfikir prinsip terasa dunia ini luas, sedangkan sebaliknya ketika berfikir sistem seolah-olah dunia ini sempit. Wallahualam bishsawab.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA