Akademisi Budaya Islam dan Minangkabau
Membuhul Agama, Negara, dan Nagari
Apa jadinya, bila tidak ada tali yang menghubungkan, membuhul, dan merangkai kekuatan agama, adat, dan negara? Jawabannya pernah tersirat dalam sebuah karangan yang berkisah tentang seorang anak yang baik. Ceritanya begini. Kala itu, musim hujan. Jam pelajaran Bahasa Indonesia sudah habis. Tapi, hujan masih lebat. Anak-anak tidak bisa pulang. Daniar, ibu guru Bahasa Indonesia, berinisiatif mengisi waktu kosong itu dengan mengajak murid-muridnya membuat karangan bebas.
Salah satu karangan yang ditulis murid bu guru Daniar berjudul: "Anak yang Baik". Karangan ini bercerita tentang seorang anak taat beragama, cinta pada adat, dan negaranya. Namun, ia selalu dijahati temannya. Setiap kali bermain atau sedang berdua di jalan pulang, teman jahatnya itu selalu ingin mengalahkannya dengan berjalan di depan. Kalau ada genangan lumpur, si jahat menendang air berlumpur itu ke hadapan si baik. Tapi, malang bagi si jahat, ia terjatuh ke dalam banda (sungai kecil) ketika mengusili si baik dan tak bisa keluar lagi. Si anak baik, tidak menaruh dendam. Ia justru iba melihat temannya itu terjerembab di dalam banda dan memmbantunya untuk keluar.
Ibu guru Daniar tak mampu menahan tawa ketika membaca akhir karangan itu: Lalu, nya ambilnya seutas tali. Nya masukkan ke dalam lubang. Nya ulurkannya ke temannya itu. Nya tarik nafasnya dalam-dalam. Nya tariknya temannya itu keluar dari banda. Dan ibu guru Daniar pun tentu tak akan kuasa menyembunyikan bangga, ketika berpuluh tahun kemudian, ia tahu, muridnya, Yulizal Yunus, sang pengarang "Anak yang Baik" itu telah menjadi "orang". Si anak baik itu barangkali dirinya, yang ternyata sangat gemar mencatat saripati pengalaman empiris dan pertumbuhan intelektualnya sebagai anak bangsa, tokoh adat dan agama.