Saturday, April 12, 2008

MENARA GADING MULAI LAPUK

SHEIFUL-YAZAN2


Oleh: Drs. Sheiful Yazan MSi


Dosen Komunikasi Fak. Dakwah


IAIN Imam Bonjol Padang



Saya kecewa sekali ketika seorang profesor, guru besar saya membagi-bagikan seluruh buku referensi dari perpustakaan pribadinya. Saya kecewa karena dua hal, pertama saya tidak kebagian warisan tersebut, saya datang seminggu setelah SMS saya terima dari teman, sekitar lima ribuan buku beliau sudah lindang tandeh diboyong para mahasiswa dan koleganya. Kedua, saya kecewa, sampai saat ini belum dapat jawaban mengapa beliau melakukan hal itu. Saya hanya dapat mengira-ngira, dan mencoba membongkar kembali kenangan saya kuliah dengan profesor gaek itu.




Kemungkinan yang pertama adalah rasa penat beliau berenang di dunia yang sudah 80 tahun beliau arungi dan sebagian besar usia beliau habiskan berkelana di antara buku-buku yang sekarang telah pindah tangan tersebut. Sah saja beliau melakukan itu, ingin pensiun dan say good bye. Kemungkinan yang lain adalah keinginan beliau agar semua buku-buku tersebut juga dikunyah oleh penerus tradisi ilmiah yang beliau geluti. Mungkin-mungkin yang lain masih banyak, kalau positive thinking kita lanjutkan.


Tapi ada satu kemungkinan yang mengganggu pikiran saya. Kemungkinan yang satu ini timbul dari beberapa ingatan saya tentang beliau, ingatan terhadap komentar-komentar beliau, di sela-sela perkuliahan, di antara kepulan asap rokok beliau yang menyelimuti hampir setiap pertemuan.


“Kalau dulu orang bilang tempat ini menara gading, menurut saya ini sudah menjadi menara lapuk. Lebih banyak diisi rayap dan ngengat,” lalu beliau berkisah tentang para koleganya yang berebutan meraih kursi legislatif dan bertarung merebut jabatan publik, antri menunggu giliran jabatan birokrasi dan seterusnya.


“Bukan hanya para guru besar, bahkan para ulama juga. Kepada siapa lagi ilmu pengetahuan akan diharap, kalau guru besar dan ulama lebih tertarik pada kekuasaan?” keluh beliau, masih di antara kepulan asap rokok.


****


Hendra Esmara, cina Padang yang guru besar itu pernah mencimeeh sebagian koleganya dengan istilah GBHN, Guru Besar Hanya Nama. Bertahun-tahun cemoohan itu sepertinya menjadi de facto, karena selalu saja para nara sumber pendidikan negeri di atas awan ini berputar-putar pada rutinitas dan kejumudan yang belum membawa titik terang pada kancah di mana mereka bersawah ladang.


Rutinitas dan kejumudan, barangkali kosa kata sarkartis itu sangat kasar, bahkan mungkin kurang ajar. Tapi apa hendak dikata, kalau mata telanjang masyarakat tidak melihat satupun pilar pendidikan di negeri ini yang dapat memberi suluh bendang bagi kemajuan, apalagi kebanggaan di pentas antara bangsa.


****



Seorang guru besar lain mencak-mencak dan marah-marah ketika koleganya sesama guru besar mengumpulkan para anggota senat guru besar dalam rapat rahasia sebelum pemilihan pimpinan, rapat-rapat politik dalam menghadapi “suksesi”. Guru besar yang ini marah-marah karena dia tidak pernah diajak atau dimasukkan ke dalam salah satu barisan penyokong kandidat.


Dalam kemarahan-kemarahan yang vulgar, sang guru besar nekad mengambil sikap maju tak gentar, mencalonkan diri sendiri dengan visi misi sendiri dan akhirnya, dengan suara sendiri mengarungi gelombang suksesi. Gagal, tentu!


Baik kelompok-kelompok yang mengusung suksesi ala demokrasi, maupun para figuran solitair yang maju tak gentar, selalu berada dalam koridor yang sama, “perebutan tampuk kekuasaan.”


Hingar bingar semacam itu terjadi hampir pada setiap perguruan tinggi, pada berbagai tingkatan suksesi. Pemilihan rektor, direktur, ketua, dekan, bahkan untuk setiap pembantunya. Tidak satupun jabatan tambahan tersebut yang didudukkan tanpa “proses demokrasi”. Dan seluruh potensi lembaga terkuras untuk menjalani rutinitas yang melelahkan tersebut. Rektor, direktur, ketua, dekan, dan sebagainya, pada perguruan tinggi merupakan jabatan tambahan bagi dosen yang sebenarnya sudah punya jabatan fungsional.


Segenap potensi lembaga perguruan tinggi akan terakumulasi menjadi chaos demokrasi secara rutin, sekali tiga, empat atau lima tahunan. Bagi perguruan tinggi yang memiliki struktur jabatan tambahan lebih banyak, sampai fakultas dan jurusan, maka “pesta demokrasi” tersebut akan berulang pada berbagai tingkatan secara periodik, simultan, terus menerus.


*****



“Hanya orang bodoh yang tidak tertarik pada jabatan,” salah seorang membela diri, dan sebagai seorang profesor dia merasa bodoh kalau tidak ikut dalam perebutan itu.


“Yaa, kalau kita diamanahkan jabatan, berarti orang percaya dengan kemampuan kita,” kilah yang lain.


“Bung, memangnya gaji dosen saja cukup bagi ente? Realistis dong,” yang berpikir pragmatis membuka kartu, dengan jujur mengakui bahwa jabatan tambahan itu perlu untuk penghasilan.


“Sekali ini saja, dinda. Tolong dipilih saya, apa dinda tidak kasihan adik-adikmu yang sedang kuliah di seberang sana?” demikian rekaman memori telpon dari salah seorang anggota senat pada suatu perguruan tinggi, pada subuh hari sebelum anggota senat tersebut memilih pimpinan. Kandidat ini melakukan pendekatan amat pribadi, tentang kebutuhan pribadinya dan anak-anaknya, agar dia diberi kesempatan menduduki jabatan yang sedang diperebutkan.


Masih segudang kisah dan cerita seputar “pesta demokrasi” yang mengharu biru dunia pendidikan, khususnya dunia pendidikan tinggi negeri ini. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa: jabatan tambahan pada struktur perguruan tinggi adalah sesuatu yang amat sangat menggiurkan bagi para dosen dan guru besar.


****



“Jabatan itu kan halal, amanah, tanda kepercayaan, tidak melanggar undang-undang. Apalagi? Kok jadi permasalahan?”


“Kan pantas-pantas saja, namanya perguruan tinggi, yaa, dipimpin profesor. Kalau ada tunjangan, fasilitas rumah, mobil dan segala macam, apa salahnya. Namanya juga jabatan.”


“Bung jangan macam-macamlah. Semua ketidaksetujuan bung menurut saya, hanya sebuah apologi bagi mereka yang tidak punya peluang dan kesempatan, atau bagi yang pernah mencoba, lalu gagal.”


Bergudang jawaban dan pembelaan akan berhamburan jika topik ini dibawa ke dalam diskusi, atau seminar. Polemik mungkin tidak akan pernah usai. Namun kembali sebuah kenyataan menyeruak, bahwa bagi dosen, bagi guru besar, berlaku adagium bahwa jabatan struktural, jabatan tambahan, jabatan publik, dan berbagai jabatan lain, termasuk jadi anggota legislatif, merupakan sesuatu yang wajar untuk dikejar. Jabatan adalah tangga berikut yang harus ditapaki, kalau perlu dikejar dan diperjuangkan.


Jabatan, ada tangga berikut setelah jadi dosen, setelah jadi guru besar.


*****



Kali lain, seorang doktor yang berhenti jadi pegawai negeri, tidak melanjutkan jadi pengajar karena tidak suka dengan tetek bengek urusan pangkat, bercerita tentang kuliahnya di sebuah negeri.


Di bawah pohok Oak tua di halaman depan sebuah kampus, seorang mahasiswa disuruh berpendapat tentang buah kenari yang berserakan di jalanan sekitar mereka. Mahasiswa itu hanya bercerita tentang buah kenari dan pengalaman waktu kecil di kampungnya. Profesor yang memberi kuliah di bawah pohon itu melanjutkan cerita tentang berbagai produk yang dapat dihasilkan dari buah yang terbuang tersebut pada berbagai negara di seluruh dunia, mulai dari kerajinan tangan, obat-obatan di berbagai suku, sampai peluang menghasilkan produk alternatif pengganti minyak bumi. Profesor itu tidak pernah menyalahkan apapun yang disampaikan mahasiswa. Dia membuka mata mahasiswa itu tentang ribuan inovasi yang bisa terlahir dari sesuatu yang semula terlihat remeh.


“Itu kejadian ketika saya kuliah di sebuah negeri yang terlambat merdeka dibanding negeri kita. Sekarang negeri itu menjadi salah satu pesaing kuat negara-negara G-7.”


Tahun 70-an, seorang putra Pariaman, Sidi Gazalba, menulis rangkaian buku Pengatar Filsafat, kemudian menjadi guru besar dan mendirikan sebuah universitas untuk bumi putera di semenanjung. Universitas yang kemudian menjadi salah satu par-excelent di tanah serumpun itu, bahkan menjadi magnet, lampu pijar yang menarik laron-laron dari mahasiswa dan sarjana dari kampung beliau, untuk berkerumun melanjutkan kuliah ke sana. Konon beliau menolak ketika diminta menduduki beberapa jabatan publik di negerinya.


Mahasiswa ITB tahun 1970 dan 80-an akan mengenal seorang profesor kimia yang tersebut killer, Hiskia Ahmad yang sering memanggil mahasiswa dengan panggilan “Ananda sayang”, teristimewa kalau mahasiswa itu gagal, dapat nilai D atau E. Waktu itu ITB masih menggunakan nilai 1 sampai 5.


Profesor yang konon keturunan India ini akan memanggil mahasiswa yang gagal dan berbincang tentang kesulitan belajar dan permasalahan yang dihadapi. Tidak segan beliau “menguliahi” mahasiswa berjam-jam tentang sikap terhadap ilmu, semangat belajar dan sebagainya. Beliau kemudian menyarankan adanya konseling untuk mahasiswa bermasalah.


Masih di ITB, seorang dosen mengembangkan sebuah kegiatan di mesjid kampus, yang kemudian menjadi proto type, dan panutan masjid kampus di seluruh Indonesia. Bang Imad, nama panggilan Imaduddin Abdurrahim, yang menjadi “mahaguru” untuk berbagai aktivitas masjid kampus.


Ada Kang Jalal, alias Jalaluddin Rahmat yang tidak betah di birokrasi Unpad, lalu melanglang buana ke berbagai mesjid, mendirikan pesantren, sampai menjadi kiyai. Dengan kacama tebal, mantan guru SMA swasta ini menjadi “mahaguru” ke berbagai wilayah yang tak terbayangkan di birokrasi kampus.


****



Saya tidak bermaksud bercerita amburadul kesana kemari.


Tapi saya masih ingin bercerita tentang seorang guru saya yang sebenarnya sudah pensiun waktu mengajar saya di sekolah rakyat dulu. Pak Burhan yang telah jadi guru sejak jaman Hindia Belanda tersebut tidak sempat memakai sepeda yang dihadiahkan muridnya yang telah menjadi walikota Bukittinggi tahun 1972-an, karena beliau sudah meninggal di usia 80 di tahun itu.


Ada beberapa periode, menurut beliau, yang amat berbeda dalam rentang hidup beliau menjadi guru.


Tahun 30-an, seorang guru adalah tokoh dan posisi yang paling tinggi di tengah masyarakat. Paling ditakuti dan dihormati, bukan hanya oleh muridnya dan masyarakat sekitar, bahkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Begitu digjaya dan berpengaruh, bagaikan tokoh Omar Syarif dalam film Lion of The Desert. Periode tersebutlah mungkin yang menyebabkan hampir seluruh anak-anak menumpahkan segenap cita-cita ideal mereka untuk menjadi guru.


Periode paling buruk yang beliau hadapi adalah ketika guru menjadi bagian kelompok masyarakat ekonomi paling lemah di tengah masyarakat. Dikuasai birokrasi, gajinya disunat berbagai potongan, hutang sana sini, bahkan menggalas demi sesuap nasi esok pagi. Mereka masih guru, tapi tergusur secara sosial ekonomi ke tingkat terendah.


****



Akhirnya, yang ingin saya sampaikan adalah kegundahan tentang betapa jauhnya terjadi degradasi terhadap dunia guru. Sehingga para guru besar pun habis “kebesaran” maknanya, ketika mereka terombang-ambing, dan tersedot ke dalam hingar-bingar perebutan kekuasaan.


Guru besar, maha guru, para dosen di perguruan tinggi, adalah benteng tertinggi dan penjaga terakhir ilmu pengetahuan, itu jika kita melihat secara awam posisi guru dari tingkat pendidikan paling rendah.


Tiga puluh tahun lalu, guru saya Pak Burhan mengeluhkan betapa menyedihkan nasib para guru, guru SD maksudnya. Dua puluhan tahun lalu, Iwan Fals menyanyikan kepedihan hidup guru Umar Bakri. Dan sekarang saya nyanyikan betapa para guru besar atau mahaguru perguruan tinggi, tidak lagi punya harapan dan kebanggaan dengan “kebesaran” yang mereka sandang.


Masihkah akan ditemui profesor, guru besar yang punya waktu untuk memberikan konseling untuk mahasiswanya, atau yang meninggalkan birokrasi untuk menjadi guru ke tengah masyarakat, yang mau membina kehidupan mahasiswa di masjid, atau yang mau berdiskusi dengan mahasiswa di bawah pohok Oak, untuk mengajarkan inovasi? Atau mahaguru yang rela membagi-bagikan seluruh isi perpustakaannya untuk para mahasiswa (walaupun kita belum dapat jawaban apa alasan beliau)?


Kalau benteng terakhir ilmu pengetahuan, para profesor, para guru besar, menganggap bahwa masih ada posisi yang lebih penting yang harus dikejar, maka tidak dapat disalahkan kalau ada yang mengatakan bahwa kampus perguruan tinggi hanyalah menara lapuk yang dihinggapi para rayap dan ngengat yang mencari hidup. Bukan menara ilmu pengetahuan yang akan menjadi penerang kehidupan. Terserah lah. []





1 comment:

  1. Sudah beberapa puluh webpage yang menyebut Sidi Gazalba sebagai orang Malaysia... Akhirnya ada juga yang benar menyebut tentang daerah asal Sidi Gazalba. btw Sidi Gazalba memang benar menolak ketika diminta menduduki beberapa jabatan publik di negerinya jadi bukan "konon" lagi.



    Makasih Kili, ini dosen saya Sheiful Yazan. Bagi saya dia banyak ide dalam menulis. Selain itu punya banyak referensi. Soal Sidi Gazalba, yang pernah saya tahu, Sidi, gelar dari Pariaman. Lalu seorang profesor bilang dalam kuliah saya, sebenarnya Gazali, BA, dibuat menjadi Gazalba dengan alasan sebagai nama pena. Bisa jadi.

    ReplyDelete