Wednesday, October 4, 2017

Ahmadiyah Qadian dalam Perspektif Komunikasi Antar Budaya

RESUME DISERTASI

Ahmadiyah Qadian dalam Perspektif Komunikasi Antar Budaya:
Kajian Tentang Agama di Ruang Publik
Disertasi Jufri Alkatiri UIN 2014
Oleh:

Abdullah Khusairi
NIM. 31161200000061



I
Konflik sosial yang berlatarbelakang agama dalam sejarah kehidupan manusia telah membuat banyak darah ummat tumpah ke tanah. Alasan keyakinan memang sangat efektif untuk membawa klaim kebenaran kepada pihak di luar dirinya. Ini seiring dengan pendapat Peter L. Burger, agama adalah alat legitimasi kebenaran dan menekan pihak lain yang berbeda pandangan dan kepentingan.
Karen Amstrong menyebutkan, sejarah perang suci (Holy War) antar ummat agama yang terjadi membuat konflik panjang tak berujung. Benih-benih konflik sewaktu-waktu bisa tumbuh, mekar dan pecah menjadi perang berkepanjangan. Perang Salib contoh yang nyata dari sekian banyak contoh-contoh kecil.

Selain antar ummat agama juga terdapat konflik antar ummat dalam satu agama. Perbedaan penafsiran kitab suci sering menjadi awal konflik. Ditambah lagi perbedaan budaya dan pendidikan. Kesenjangan pemahaman adalah awal dari segala perbedaan. Apalagi bilamana tidak terdapat negoisasi dan pintu toleransi tertutup.
Kasus Ahmadiyah Qadian di Indonesia termasuk konflik ummat dalam satu agama, yaitu agama Islam. Konflik tersebut dipandang dari sisi komunikasi antarbudaya, terjadinya kesenjangan persepsi antara ummat Islam mainstream terhadap ummat Islam Jemaat Ahmadiyah. Namun dipandang dari sisi Jemaat Ahmadiyah, terdapat kelemahan komunikasi antarbudaya dalam dakwah yang mereka lakukan.
Asumsi tentang latar belakang agama dan budaya yang berbeda membuat konflik antar sesama ummat Islam tidak terelakkan. Jalan yang harus dilakukan adalah melihat dari dekat komunikasi antarbudaya yang telah dilakukan.
Penafsiran agama sering kali menjadi akar konflik. Egosentris dan klaim kebenaran menutup ruang dialog. Jurgen Habermas dalam Religion in the Public Sphere menyatakan, agama di ruang publik dituntut melepaskan klaim sebagai satu-satunya yang memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup legitimet. Agama ketika masuk ke ruang publik harus ditafsirkan secara sekuler, berdasarkan prinsip rasionalitas.
Harmonisasi sesama ummat beragama memang harus direkayasa melalui persamaan persepsi atas pluralitas dalam kehidupan. Perbedaan adalah keniscayaan yang alami. Namun antara Ummat Islam mainstream dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak terjadi komunikasi untuk menyamakan persepsi.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak dianggap bagian kehidupan beragama yang telah lama ada di bumi nusantara. Sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat dan tidak menganggap bagian dari Islam. Ini juga terjadi di banyak negara termasuk tempat kelahirannya, di India. Perlu diteliti lebih lanjut, kenapa muncul perbedaan pandangan kehadiran Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak dianggap bagian dari pluralitas, sehingga terjadi konflik yang berakibat fatal. Kerusuhan tidak terelakkan terjadi.

II
Joseph A. DeVito membagikan komunikasi menjadi beberapa bagian; Pertama, komunikasi antara dua budaya yang berbeda. Kedua, komunikasi antar-ras seperti kulit putih dan kulit hitam. Ketiga, komunikasi antarkelompok etnis seperti komunikasi antaretnis Sunda dan etnis Batak. Keempat, komunikasi antarkelompok agama yang berbeda seperti komunikasi antara orang Islam dan Kriten. Kelima, komunikasi antarbangsa-bangsa yang berbeda, yang disebut juga dengan komunikasi internasional seperti komunikasi antara orang Amerika dengan orang Indonesia. Keenam, komunikasi antarsub-kultur yang berbeda seperti komunikasi antara dokter dan pengacara. Ketujuh, komunikasi antara sub-kultur dan kultur dominan, seperti komunikasi antara kelompok homoseks dan heteroseks. Kedelapan, komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda yaitu pria dan wanita.
Penelitian Disertasi ini termasuk dalam komunikasi sub-budaya dengan budaya dominan, dimana budaya Islam arus utama merupakan budaya dominan yang telah berkembang lama di tanah air. Kajian lebih fokus pada komunikasi antarbudaya Ahmadiyah menggunakan pendekatan komunikasi antropologi dengan riset partisipatoris.
Kajian ini menjadi menarik karena telah begitu banyak kajian konflik antar agama namun jarang melihat konflik sesama ummat beragama. Jaringan Ahmadiyah Indonesia dan Islam mainstream adalah ummat seagama. Perbedaan telah menimbulkan konflik. Konflik yang menimbulkan kerugian sosial yang besar, tidak hanya harta tetapi juga nyawa. Lebih dari itu, hancurnya tatanan budaya dan harmoni yang telah dibangun. Awal semua ini karena ada kegagalan komunikasi antara pihak yang berbeda persepsi.
Menurut laporan United Nation Support Facility for Indonesia Recovery (UNSFIR), selama periode 1990-2001 tercatat 6.208 jiwa meninggal akibat kekerasan sosial. Bentuk persentasi kekerasan sosial antara lain, communal conflict sebesar 76,9 persen, separatist violence sebesar 22,1 persen dan sisanya berupa state community violence (1 persen, serta industrial relation related violence (0,1 persen).
Dari sisi variasi kekerasan komunial, kategori kekerasan etnis, agama dan konflik penduduk asli dengan pendatang menempati rangking pertama dari (67,7 persen) total kekerasan. Sebaran wilayah kekerasan lebih banyak berlangsung di daerah kabupaten, bukan di wilayah perkotaan.
Di beberapa daerah misalnya, di Lombok Nusa Tenggara Barat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sering mendapat perlakuan intimidasi, mulai penyegelan masjid tempat mereka ibadah, sampai dijarah hak milik mereka, serta pengusiran secara paksa dari tanah kelahirannya. Sedangkan di Kemang Parung, Bogor, Jawa Barat tahun 2005, 2007, 2013, JAI mengalami hal serupa. Pada tahun 2005, Ahmadiyah di Parung ini tergolong besar, bahkan dikenal sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. JAI berada di Desa Udik, Kemang memiliki pusat pendidikan kader, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pesantren Mubarok dan Perguruan Tinggi Islam Ahmadiyah.
Pada tahun 2007 dan 2009 kelompok tersebar Jemaat Ahmadiyah Qadian di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, diserang dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Islam. Delapan rumah jemaat dihancurkan, sementara tujuh masjid dirusak dan dibakar, tiga diantaranya disegel aparat kepolisian. Dampak yang lebih menakutkan lagi, tiga warga Ahmadiyah dirawat di rumah sakit, satu di antaranya mengalami tusukan benda tajam.
Kasus Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus utama bukan isu kebebasan beragama tetapi penafsiran perbedaan paham kenabian. Menurut salah seorang pengurus PB JAI, Rakeeman R.A.M Jumaan, ada kesalahan persepsi komunikasi akibat warga Ahmadiyah menjadi korban keekerasan karena ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang dan sesat. Perbedaan ini didasarkan pandangan keliru terhadap keyakinan Ahmadiyah dalam hal khatam al-nabiyin. Padahal Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi yang terakhir dan tidak akan datang nabi lagi. Namun sekelompok Ormas Islam menganggap ajaran Ahmadiyah Qadian melenceng dan menyesatkan karena mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Kedua belah pihak telah mengalami perbedaan persepsi.

III
Islam hadir untuk merobah tatanan sosial. Salah satunya mengikat solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yaang baru, buah ikatan perjanjian antara suku, ras dan etnis seperti Bani Qauniqa, Bani 'Auf, Bani al-Najjar. Termasuk dalam segi keyakinan, umumnya Yahudi dan Nashrani. (hal.84). Menurut Nurcholish Madjid, Nabi Muhammad berdakwah dan diplomasi selama 10 tahun di Madinah, sebuah masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-Nya.
Pertama, semangat Rabbaniyah. Kedua, spirit Rabbaniyah yang mewujud dalam semangat perikemanusiaan. Ketiga, adanya ciri-ciri egalitarisme, partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat dan penetuan kepemimpinan melalui pemilihan dan permusyawaratan, bukan berdasarkan keturunan, seperti 30 tahun setelah wafat Muhammad SAW. Keempat, berpangkal pada pandangan hidup ketuhanan berkonsekuensi adanya tindakan kebaikan kepada sesama manusia, seperti yang dimaksudkan dalam Surat Fushshilat: 33. Kelima, adanya tatatan hidup kolekif yang memberi ruang leluasa untuk melakukan pengawasan sosial, dimaan hal ini akan dapat berlangsung bila mana semangat keterbukaan itu dijamin. Keenam, adanya musyawarah sebagai wujud interaksi sosial yang positif, saling memberikan hak untuk menyatakan pendapat, saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat orang lain. Musyawarah juga sebagai media interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari masalah bersama dalam suasana persamaan hak dan kewajiban. Ketujuh, tegaknya nilai-nilai sosial yang luhur, seperti tolerasi di tengah-tengah kondisi pluralisme. Toleransi dan pluralisme adalah wujud dari ikatan peradaban (bond of civility).
Akan halnya konflik di Indonesia, adala proses kebangsaan. Bertrand Jacques Bertrand dalam Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia menyatakan, problem konflik antaragama, antarpaham, antarsuku, konflik antaridentitas religius. Ahmadiyah memiliki identitas religius yang berbeda dengan identitas religius Islam arus utama. Hal ini juga terkait dengan belum tuntasnya konstruksi kebangsaan Indonesia.
Selaras dengan pendapat di atas, Tim Peneliti The Wahid Institute (WI) yang menyatakan, banyak konflik kekerasan dan konflik komunal akibat politisasi agama. Pertama, adanya kekuatan kelompok-kelompok yang dangkal dalam beragama yang baru menggerakan massa pendukung untuk menolak keberadaan kelompok lain yang dianggap sesat. Kedua, adanya kecenderungan aparat negara yang seiring mengikuti tekanan kelompok-kelompok pemaksa ini. Negara sering kali kalah oleh kelompok penekan dan kurang memberi pengayoman terhadap korban yang biasanya kelompok minoritas. Inilah sisi kelam hubungan antaragama di Indonesia.
Disertasi ini melihat faktor-faktor dominan penyebab terjadinya persepsi komunikasi antarbudaya Islam arus utama terhadap komunikasi Jemaat Ahmadiyaah Indonesia. Pertama: menganalisis latar belakang munculnya persepsi komunikasi antar budaya ummat Islam arus utama dengan Jemaat Ahmadiyah di Parung dan Jakarta. Kedua, menganalisa bentuk komunikasi antarbudaya yang dilakukan Jemaat Ahamdiyah di Parung dan di Jakarta terhadap umat Islam arus utama. Ketiga, menganalisis komunikasi praktis dari teori Agama di Ruang Publik Jurgen Habermas yang dilakukan oleh kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Keempat, menganalisis proses konsesus yang terjadi antara ummat Islam mainstream dengan Jemaat Ahmadiyah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif berupa antropologi komunikasi untuk melihat berbagai situasi atau realitas sosial yang berlaku. Selain itu, melakukan wawancara dan mendatangi sumber otoritatif, fairness, accountability, transparancy dan tidak berpihak serta melakukan analisis kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Norman K. Denzin dan Yvona S. Lincoln dalam Handbook of Qualitative Research mengajukan tipologi penelitian yang mencakup empat paradigma: Pertama, positivisme, postpositivisme, kritikal dan konstruktivisme. Guba mengemukakan bahwa setiap paradigma membawa implikasi metodologi masing-masing.
Perbedaan paradigma tersebut mencakup tiga dimensi. Pertama, epistimologois yang antara lain menyangkut asumsi dasar mengenai hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Kedua, ontologis yang berkaitan dengan asumsi mengenai objek dan realitas sosial yang diteliti. Ketiga, metodologis yang berisi asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan suatu objek pengetahuan.
Mengacu pada hal di atas, penelitian komunikasi antarbudaya adalah; Pertama, penelitian terfokus pada bentuk-bentuk dan fungs-fungsi komunikasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial sehari-hari. Kedua, subjek penelitian sebagai pelaku sosial dipandang sebagai interpreter dari lingkungan sosial mereka sendiri. Ketiga, penelitian dilakukan menangkap konstruksi dari anggota budaya. Keempat, fokus pengembangan teori ini adalah relasi antara komunikasi dan budaya.

IV
Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama dalam Intercultural Communication in Contexts menyatakan perbedaan dan penafsiran agama sering kali menjadi akar konflik budaya. Identitas religius dapat menjadi satu dimensi penting dari identitas banyak orang yang menjadi lahan konflik antarbudaya. Identitas religius pun kerap tumpang tindih dengan identitas rasial dan etnis. Keadaan ini membuat makin sulit untuk melihat identitas religius sebagai bagian dari agama tertentu saja.
Selama ini terlihat pola komunikasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan Islam mainstream (Islam Fundamentalis; Wahabi, Front Pembela Islam, Hizbur Tahrir dan Majelis Mujahiddin Indonesia) tidak sejalan sebagaimaan diungkapkan Judi Pearson dalam Human Communication karena itu diperlukan komunikasi antarmanusia untuk meningkatkan hubungan baik sesama ummat beragama.
Komunikasi begitu luas, sulit menemukan arti yang memuaskan. Komunikasi bisa berarti percakapan antara seseorang dengan orang lain, tetapi bisa pula berarti elevisi, informasi yang tersebar, gaya rambut manusia dan kritik literal juga adalah komunikasi namun paling tidak ada dua mazhab utama dalam memahami komunikasi. Menurut John Fiske, pertama, yang memandang komunikasi sebagai tranmission of messages (tranmisi pesan). Bagi mazhab ini, komunikasi adalah bagaimana pengirim mengirim pesan dan penerima memahami pesan, media komunikasi, efisiensi dan akurasi komunikasi serta pengaruh komunikasi.
Kedua, memandang komunikasi sebagai production and exchange of meanings (produksi dan pertukaran makna). Bagi mazhab ini, komunikasi berkaitan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka produksi makna; daam hal ini berkaitan dengan peran teks-teks budaya.
Robert T. Craig menyatakan, komunikasi merupakan proses utama di mana kehidupan kemanusiaan dijalani, bahkan komunikasi mendasari kenyataan. Craig menambahkan pentingnya pemikiran ini terhadap komunikasi sebagai sebuah bidang karena komunikasi bukanlah fenomena sekunder yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor psikologis, sosiologis, kultural atau ekonomi, melainkan komunikasi merupakan proses sosial yang utama dan mendasar yang menjelaskan semua faktor yang lain. Secara tradisional, bidang komunikasi terdapat dua aliran penelitu makro dan mikro.
Komunikasi antarbudaya adalah proses negoisasi karena pesan yang disampaikan harus sampai ke komunikan. Karena komunikan punya nilai-nilai tersendiri, keyakinan, dalam kehidupanya. Tanpa hal itu, sulit bagi sebuah pesan untuk mengubah sebuah masyarakat, apalagi pesan tersebut dimaksudkan untuk melahirkan sebuah budaya baru (reproduksi budaya).
Konflik muncul ketika ketidaksamaan antara tujuan pesan dari komunikator kepada komunikan. Teori konflik yang dikemukakan para pakar, di antaranya memandang masyarakat sebagai sebuah sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian, kelas-kelas, komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Dimana antara satu komponen berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan atau memperoleh sebesar-besarnya. Ini mengacu juga pada teori klasik tentang konflik yang dicetus Karl Marx, tentang kelas-kelas dalam masyarakat.

V
Pada konteks di atas Ahmadiyah diletakkan esebagai objek kajian penelitian, yang tentu saja tidak lepas melihat dinamika pemikiran dan sosial Jemaat Ahmadiyah. Bagaimana sosio historis, hingga sejarah masuk ke Indonesia.
Ahmadiyah didirikan para murid yang mengagumi sang guru bernama Mirza Ghulam Murtaza Ahmad. Lahir di desa Qadian, Punjab India, 13 Februari 1835. Sejak kecil telah mendapat pendidikan agama dan selalu dibesarkan di Masjid. Ayahnya ingin ia menjadi seorang pengacara atau pegawai negeri. Namun ia lebih memilih mendalami ilmu agama. Berdiskusi dengan banyak orang tentang agama, termasuk non muslim.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia berawal dari tiga pemuda asal Pesantren Sumatera Tawalib di Sumatera Barat. Ketiganya meninggalkan kampungnya untuk menuntut ilmu. Mereka adalah Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Pada mulanya ketiga santri tersebut berencana ke Mesir, mengingat saat itu Kairo terkenal pusat studi ilmu keislaman. Namun mereka disarankan agar melanjutkan studi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam. Hingga akhirnya ketiga pemuda itu tiba di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam, atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore.
Pada buku JAI, Bunga Rampai Sejarah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (1925-2000), disebutkan pada perkembangan selanjutnya, ketiga pemuda tersebut memutuskan untuk belajar di Madrasah Ahmadiya yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan keilmuan dan pengajaran Lahore, mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian 23 orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib melanjutkan studi dan bersedia dibaiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Di wilayah Sumatera, gerakan pembaruan Islam banyak dipelopori empat sekawan ulama muda, Syek Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amarullah dan Haji Muhammad Taib Umar. Di antara murid mereka yang terkenal adalah Zaenuddin Labay El Junusi (Padang Panjang) dan Abdul Hamid Hakim bergelar Tuanku Mudo.
Pada tahun 1918 Haji Abdul Malik Karim Amarullah (Hamka) menganjurkan kepada murid-muridnya mendirikan perkumpulan, inilah cikal bakal Sumatera Tawalib yang menjadi komunitas belajar pemuda di Padang Panjang Padang Jepang, Parabek dan Pariaman. Komunitas ini menciptakan kader-kader kritis dan cerdas. Militan dalam gerakan anti penjajahan dan gerakan kemerdekaan. Gerakan pesat terjadi sekitar tahun 1923, aktivitas dan jumlah anggota tumbuh, ditandai pula denga diterbitka surat kabar berbahasa Melayu Arab hasil karya aktivis Sumatera Tawalib.
Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan Ahmad Nuruddin, yang melanjutkan pendidikan ke Lahore juga terinspirasi dengan pentolan Ahmadiyah, Khawaja Khamaludin yang dibacanya melalui surat kabar Tjahaya Sumatera pada tahun 1922. Kala itu Khawaja Khamaludin berkunjung ke Jawa dan pidatonya tentang ketinggian dan kebesaran ajaran Islam dimuat di surat kabar tersebut. Mereka juga dianjurkan para guru dan senior mereka, alasannya sudah terlalu banyak kader yang belajar ke Mesir.
Menurut Murtolo dalam Sejarah Singkat Perkembangan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia selamat 50 Tahun, Ahmadiyah di Betawi mulai berkembang melalui dakwah seseorang bernama Maulana Rahmat Ali. Namun ia lemah dalam bahasa Melayu, sehingga tersendat. Karenanya butuh bantuan dari Ahmadiyah di Padang. Kepengurusan pertama Ahmadiyah terbentuk di Bogor, yang dipimpin Maulana Rahmat Ali. Pada tahun 1933 terjadi perdebatan hangat dan terbuk antara Jemaat Ahmadiyah dengan Persi pimpinan A. Hasan.
Kaum Ahmadi mengikuti aturan dimana ia berada. Di Indonesia, adaptasi registrasi dimulai tahun 1953 dengan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk pendirian dan pengesahan anggaran dasar (AD) dan anggran rumah tangga (ART). Tepat pada tanggal 13 Maret 1953, Menteri Kehakiman RI melalui surat keputusan No. JA.5/23/13 menetapkan bahwa perkumpulan atau Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai Badan Hukum, yang termuat dalam tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 No. 26. Eksistensi tersebut dipertegas dengan pernyataan resmi melalui Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 0628/Ket/1979 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai Badan Hukum berdasarkan statsblaad 1870 Nomor 64.
Kelengkapan organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga diakui telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur pada Undang Undang Nomor: 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sehingga keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinyatakan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada dinamika di lapangan, tetap saja Kaum Ahmadi sulit diterima oleh ummat Islam meanstream. Beberapa penelitian tentang buku Tadzkirah dan hal-hal yang menyangkut penolakan dapat disebutkan, tidak ada yang disanksikan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Resistensi telah dimulai dari awal kehadiran.
Namun demikian, perkembangan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia cukup pesat. Pada tahun 1980, Ahmadiyah baru memiliki 45 cabang, pada tahun 1984 sudah berjumlah 75 cabang. Pada tahun 1989 bertambah hingga 150 cabang, hingga 1999 tahun 228 cabang. Pada tahun 2005 cabang Ahmadiyah di seluruh Indonesia sudah mencapai 498 cabang. 
Ada dua jenis aliran Ahmadiyah di Indonesia, yakni Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Walaupun sesama menganut ajaran Ahmadiyah dan keduanya sama-sama mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa Al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad saw, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan prinsip. Ahmadiyah Qadia mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw namun nabi yang dimaksud tidak membawa syariat, sementara Ahmadiyah Lahore mengakui Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid atau pembaharu. Keduanya tetap mengaku sebagai ummat Islam dan menjunjung tinggi syariat Islam. Ahmadiyah adalah sebuah gerakan dalam Islam, yang dimulai dari Punjab India.
Pengikut Ahmadiyah saat ini diperkirakan berjumlah sekitar 500.000 jiwa. Terus bertambah dan tumbuh di Indonesia, sejak awal abad ke-20. Pada tahun 1953, Ahmadiyah resmi diakui sebagai badan hukum oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kehakimn. Meskipun ada pertentangan dalam bentuk dialog menyangkut ajaran keagamaan Ahmadiyah di beberapa tempat antara sejumlah ulama mainstream dengan tokoh Ahmadiyah, tetapi praktis tidak ada diskriminasi apalagi kekerasan yang berarti terhdap pengikut Ahmadiyah sampai menjelang berakhir kekuasaan Orde Baru.
Ummat Islam arus utama beranggapan ajaran Ahmadiyah Qadian melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yaitu Isa al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya ummat Islam yang mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir. Ummat Islam arus utama lebih percaya bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan selain itu adalah perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Quran. Ahmadiyah sering dikaitkan dengan kitab Tadzkirah. Sebenarnya, kitab tersebut bukanlah satu-satunya kitab yang dibaca warga Ahmadiyah. Kitab Tadzkirah hanyalah satu kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Jemaat Ahmadiyah, layaknya catatan harian. Tidak semua anggota Ahmadiyah pula yang memiliki dan membacanya. Karena selama ini yang dibaca oleh warga Ahmadiyah adalah al-Quran al-Karim.
Ketika dilangsungkan rangkaian dialog, pihak Ahmadiyah tetap mengakui diri mereka muslim. Pimpinan Ahmadiyah juga menegaskan dalam 12 pernyataan, salah satunya di antaranya menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah seorang nabi. Pernyataan itu tertanda 14 Januari 2008.

IV
Realitas sosial menunjukkan perbedaan persepsi Islam arus utama terhadap ajaran Ahmadiyah. Kontroversi yang berujung kericuhan kerap terjadi karena anggapan Ahmadiyah dianggap membawa ajaran sesat terus didengungkan beberapa pihak Islam arus utama. Beberapa klarifikasi yang dilakukan, senyatanya Ahmadiyah melaksanakan kegiatan ibadah sama halnya dengan ummat Islam arus utama. Menurut Ketua Umum PB JAI, Syarif Ahmad Lubis meminta jangan curigai Ahmadiyah dalam mengerjakan ajaran Islam. Jemaat Ahmadiyah Indonesia sama halnya dengan Ormas Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis. Melaksanakan shalat lima waktu, pengajian dan tidak melakukan aktivitas politik praktis.
Tetapi hal tersebut dibantah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta, Mohammad Amin Djamaluddin. Ia menyatakan, Ahmadiyah telah melakukan komunikasi manipulatif dan menyesatkan.  Buktinya, dalam komunitas Ahmadiyah, sesama warga, mereka selalu melakukan shalat berjamaah, wirid remaja setiap minggu, pengajian bersama antara lajah imaliah (ibu-ibu) dan khudam (laki-laki), serta melakukan shalat jumat bersama. Selait itu mereka juga belajar ilmu hadis bersama jemaat serta melakukan penggalan dana. Persoalannya menjadi lain, ketika jemaat Ahmadiyah tak boleh diimami oleh selain warga Ahmadiyah. Pemahaman-pemahaman prinsip tetap ditularkan, termasuk mengakui ada nabi setelah Muhammad saw yang tidak membawa syariat.
Prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya mesti teori komunikasi secara umum, yaitu teori SOR. Stimulus- Organism - Response. Teori ini menekankan peran signifikan yang dimiliki oleh komunikan. Dalam komunikasi massa dikenal teori peluru yang justru tidak mellihat kekuatan apapun pada komunikan. Disebut teori peluru karena komunikan dianggap secara pasif menerima berondongan pesan-pesan dari komunikator. Bila menggunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat diarahkan. Teori ini dikenal juga sebagai jarum hipodermik karena mempunya asumsi bahwa komponen komunikasi (komunikator, pesan dan media) amat perkasa mempengarui komunikan.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin, Ahmadiyah secara teologi tidak dapat dibenarkan, karena kriteria Islam sangat kuat mengenai aqidah. Begitu pula komunikasi yang dilakukan jemaat Ahmadiyah kurang terbuka dan sering menonjolkan aqidah sehingga menganggap ajaran Islam Ahmadiyah yang paling benar. Komunikasi yang dilakukan sangat eksklusif. Jemaat Ahmadiyah adalah warga islam dan tugas ummat Islam mainstream mengingatkan mereka untuk kembali ke ajaran Islam yang sesunggunya sehingga mereka tidak semakin tersesat.
Konflik sosial yang mengatasnamakan agama, sesungguhnya terjadi karena adanya kepentingan politik tertentu, misalnya kekuasaan. Perlu kesadaran dan kewaspadaan terhadap kelompok atau pun perorangan yang menjustifikasi agama bagi kepentingan kekuasaan terutama pelembagaan agama terhadap struktur formal, sebab secara historis agama meang merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif.
Bahkan konflik sosial berbau suku, agama, ras dan antargolongan sangat mudah menjadi anarkis, sehingga masalah tersebut harus diwaspadai. Indonesia bukan negara agama, tetapi memiliki basis agama yang kuat. Dengan ideologi Pancasila diharapkan dapat mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multi etnis dan agama yang ada di Indonesia.
Pada akhir tahun 1935, oleh pemuka Ahmadiyah dipandang perlu membentuk Hoofdbestur atau Pengurus Besar Ahamadiyah Qadian dengan nama Ahmadiyah Qadiyan Departemen Indonesia (AQDI) yang pertama kali diketua oleh R. Mohammad Muhyiddin. Disamping itu dibentuk pula organisasi Ansharullah (Organisasi laki-laki Ahmadiyah yang berusaha 40 tahun) yang diketuai oleh M. Harun dan Lajnah Imailah (Organisasi saya permpuan AHmadiyah berusaha 40 tahun ke atas) yang diketuai Hajjah Abdullah. Selain itu ada juga Majlis Khudamal Ahmadiyah (Pemuda Ahmadiyah), Nasyratul Ahmadiyah (Pemudi Ahmadiyah), Athfalul Ahmadiyah (anal laki-laki Ahmadiyah) dan Banatul Ahmadiyah (anak perumpuan Ahmadiyah). Masing-masing ada pengurus dan kegiatan sendiri-sendiri yang lebih ditekankan pada bidang ra'lim (Pengajaran) dan tarbiyat (Pendidikan).
Adapun gagasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah pembawa panji-panji kemenangan Islam di akhir zaman dengan memberi dorongan terhadap warga jemaat untuk bekerja keras dalam memajukan ummat mereka. Menurut Pemimpin Internasional Jemaat Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, satu-satunya cara untuk memastikan perdamaian bagi dunia adalah menjalankan cara-cara rendah hati, keadilan, tulus, taat dan kembali kepda Tuhan y ang karena manusia akan menjadi manusiawi; kuat agar dapat melayani yang lemah dan miskin yang bermartabat dengan rsa hormat disertai keadilan.
Prof. Atho' Mudzhar menyatakan, mubaligh JAI hanya berpedoman dengan khutbah yang disampaikan pimpinan mereka di Londong Inggris lalu diterjemahkan dan disampaikan kepada umatnya yang ada di seluruh dunia. Warga JAI menerapkan komunikasi satu arah dari pimpinan besar mereka. Sehingga tidak terjadi multitafsir dalam komunikasi agama. Ini disebut sebagai komunikasi satu arah.
Agar sahnya menjadi jemaat Ahmadiyah Qadian harus dibaiat dengan sembilan janji. Yaitu: Pertama, orang yang dibaiat berjanji dengan hati jujur, hingga ke dalam kubur. Jauhi syirik. Dua, senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, menganiaya, khianat, huru-hara, pemberontakan, serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejoak hawa nafsunya mesikipun bagaimana juga dorongan terhadapnya. Tiga, akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus-putus, semata-mata karena Allah dan Rasul. Empat, tidak akan membuat kesusahan kepada makhluk baikd engan lisan, tangan dan dengan cara apa pun. Lima, tetap setia kepada Allah, baik dalam susah mapun senang, dalam duka atau suka, nikmat dan musibah. Enam, akan berhenti dari adat buruk dan menurut hawa nafsu. Tujuh, meninggalkan takabur dan sombong. Delapan, menghargai agama, kehormatan dan mencintai Islam. Sembilan, menaruh belas kasihan kepada makhluk Allah. Sepuluh, mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini Imam Mahdi dan al Masih Muuf.
Ada pun pokok-pokok ajaran Ahmadiyah Qadian yaitu: Pertama, mengimani dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabinya. Mengimani kitab Tadzkirah sebagai kitab suci. Kedua, mengimani Tadzkirah sama derajatnya dengan al-Quran. Ketiga, mengimani dan meyakini wahyu dan kenabian tidak terputus dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. Keempat, mengimani dan meyakini bawa Rabwah (Pakistan) dan Qadian di India adalah tempat suci sebagaimana Mekkah dan Madinah. Lima, mengimani dan meyakini surga berada di Qadian dan Rabwah. Enam, wanita Ahmadiyah haram menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, laki-laki Ahmadiyah boleh. Tujuh, haram hukumnya salat bermakmum dengan orang di luar Ahmadiyah.
Sedangkan Aliran Ahmadiyah Lahore dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia berpusat di Yogyakarta. Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekadar mujaddid dari ajaran Islam. Adapun keyakinan Ahmadiyah Lahore, percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Quran dan Hadits dan percaya semua perkara agama yang telah disetujui para ulama salaf dan ahlus sunnah wal jamaah dan yakin bahwa Nabi Muhammad saw adalah khatam al-nabiyin.
Ahmad Syafii Maarif mengatakan, secara teologis menolak pendapat yang mengatakan bahwa ada nabi pasca Muhamamd sekalipun tidak membawa syariat tetapi ia membela posisi pengikut Ahmadiyah dizalimi, hak mereka dirampok dan keluarga mereka diusir.

V
            Sikap negara terhadap keberadaan dan eksistensi gerakan Jamaah Ahmadiyah Indonesia direpresentasikan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, Nomor 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut Anggota dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI), dan Warga Masyarakat ditetapkan pada 9 Juni 2008.
            Inti SKB memberikan peringatan dan perintah kepada JAI untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam dan bilamana tidak mematuhinya maka akan diberi sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah juga meminta agar masyarakat tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis terhadap eksistensi JAI.
            Menurut Atho’ Mudzhar, SKB tersebut tidak menghakimi Jemaah Ahmadiyah. Justru ikut mengkomunikasikan agar tidak ada umat Islam melakukan tindakan anarkis. Sejauh ini, kedua belah pihak sama-sama memahami SKB tersebut. Perlu diketauhi dan dimaknai, pemerintah melalui SKB tersebut berupaya untuk menyelesaikan kasus Ahmadiyah, agar tidak terjadi lagi gesekan dan misleading dengan ummat Islam arus utama.
            Dikatan Atho’ Mudzhar, SKB tersebut tidak melanggar hak azasi manusia dan bahkan telah diuji kesahihannya. Ada memang sinyalemen Ahmadiyah menyebar agamanya, padahal telah disepakati, bahwa pengurus Pusat Ahmadiyah tidak diperboleh untuk menyebarkan ajarannya karena dikhawatirkan dapat memancing atau menyulur rasa permusuhan dan kemaran ummat Islam arus utama. Inilah yang jadi masalah, ketika pimpinan Ahmadiyah menyebar ajarannya sehingga menimbulkan keresahan. 
            Menurut Ahidul Asror, Islam sebagai fakta sosiologis adalah sebuah fenomena sosial. Di dalam dinamika ruang dan waktu, Islam yang semula berfungsi sebagai subjek pada tingkat kehidupan nyata berlaku sebagai objek dan sekaligus berlaku baginya hukum sosial. Eksistensi Islam antara lain sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana dia tumbuh dan berkembang.
            Membicarakan Islam yang lebih khusus lagi, tentang warna, corak, karakter Islam di dalam dinamika ruang dan waktu tertentu pada hakikatnya adalah berbicara tentang bagaimana pemikiran Islam direkontruksi oleh lingkungan sosialnya. Kenyataan membuktikan bahwa dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan banyak pakar, ditemukan berbagai corak dan karakter pemikiran keislaman pada berbagai tempat dengan berbagai coraknya. Seperti diungkapnkan Clifford Geerts dalam Islam Observed menemukan perbedaan corak Islam Maroko yang puritan dan Islam Indonesia yang sinkretis. Bahkan dalam karya penelitiannya tentang Agama Jawa, Geertz secara lebih khusus membagikan dalam beberapa varian; abangan, santri dan priyayi.    
VI
Ahmadiyah Qadian dipandang dari Perspektif Komunikasi Antarbudaya; kajian tentang agama di ruang publik, ditemukan sejumlah kelemahan dalam berkomunikasi jemaat Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah Qadian dalam melakukan strategi komunikasi antar budaya maupun strategi dakwak bil hal tidak sejalan dan sepaham dengan prinsip-prinsip komunikasi maupun dakwah.
Adanya sejumlah kelemahan telah memunculkan mis-persepsi dan mis-komunikasi bahwa komunikasi dan dakwah yang dilakukan Ahmadiyah Qadian bersifat tertutup dan eksklusif. Padahal persepsi ummat Islam arus utama belum tentu benar, jika Ahmadiyah melakukan strategi dalam komunikasi terbuka, termasuk melakukan komunikasi diplomasi.
Menelaah jauh dalam sejarah panjang perjalanan Ahmadiyah, sikap ekslusivisme telah membuat komunikasi terhambat. Sesuai dengan teori komunikasiantarbudaya, komunikasi adalah negoisasi terhadap antarbudaya komunikator dengan komunikan, yang mempertimbangkan media, bahasa dan situasi. Dakwah juga begitu, mestilah dilakukan dengan strategi agar mad’u mau menerima pesan ilahiyah. Sampaikan sesuai dengan kadar akal mereka yang menerimanya (al-khatib an-nashi al-qadri al-uqulihim), demikian hadits yang sangat populer para da’i.

Kasus Ahmadiyah di Indonesia selain materi aqidah yang dibawa juga sangat tidak dapat diterima juga sikap dalam mengkonstruksi budaya hidup mereka yang tidak dapat diterima. Membatasi pergaulan telah membuat kecurigaan kian bertambah bagi ummat Islam mainstream. Disertasi ini berhasil membedah persoalan melalui teropong keilmuan Komunikasi Antarbudaya. []

No comments:

Post a Comment