RESUME DISERTASI
Ahmadiyah Qadian
dalam Perspektif Komunikasi Antar Budaya:
Kajian Tentang
Agama di Ruang Publik
Disertasi Jufri
Alkatiri UIN 2014
Oleh:
Abdullah
Khusairi
NIM.
31161200000061
I
Konflik sosial yang berlatarbelakang
agama dalam sejarah kehidupan manusia telah membuat banyak darah ummat tumpah
ke tanah. Alasan keyakinan memang sangat efektif untuk membawa klaim kebenaran
kepada pihak di luar dirinya. Ini seiring dengan pendapat Peter L. Burger,
agama adalah alat legitimasi kebenaran dan menekan pihak lain yang berbeda
pandangan dan kepentingan.
Karen Amstrong menyebutkan, sejarah perang
suci (Holy War) antar ummat agama yang
terjadi membuat konflik panjang tak berujung. Benih-benih konflik sewaktu-waktu
bisa tumbuh, mekar dan pecah menjadi perang berkepanjangan. Perang Salib contoh
yang nyata dari sekian banyak contoh-contoh kecil.
Selain antar ummat agama juga terdapat
konflik antar ummat dalam satu agama. Perbedaan penafsiran kitab suci sering
menjadi awal konflik. Ditambah lagi perbedaan budaya dan pendidikan. Kesenjangan
pemahaman adalah awal dari segala perbedaan. Apalagi bilamana tidak terdapat
negoisasi dan pintu toleransi tertutup.
Kasus Ahmadiyah Qadian di Indonesia
termasuk konflik ummat dalam satu agama, yaitu agama Islam. Konflik tersebut
dipandang dari sisi komunikasi antarbudaya, terjadinya kesenjangan persepsi
antara ummat Islam mainstream
terhadap ummat Islam Jemaat Ahmadiyah. Namun dipandang dari sisi Jemaat
Ahmadiyah, terdapat kelemahan komunikasi antarbudaya dalam dakwah yang mereka
lakukan.
Asumsi tentang latar belakang agama dan
budaya yang berbeda membuat konflik antar sesama ummat Islam tidak terelakkan.
Jalan yang harus dilakukan adalah melihat dari dekat komunikasi antarbudaya
yang telah dilakukan.
Penafsiran agama sering kali menjadi
akar konflik. Egosentris dan klaim kebenaran menutup ruang dialog. Jurgen
Habermas dalam Religion in the Public
Sphere menyatakan, agama di ruang publik dituntut melepaskan klaim sebagai
satu-satunya yang memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup
legitimet. Agama ketika masuk ke
ruang publik harus ditafsirkan secara sekuler, berdasarkan prinsip rasionalitas.
Harmonisasi sesama ummat beragama memang
harus direkayasa melalui persamaan persepsi atas pluralitas dalam kehidupan.
Perbedaan adalah keniscayaan yang alami. Namun antara Ummat Islam mainstream
dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak terjadi komunikasi untuk menyamakan
persepsi.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak
dianggap bagian kehidupan beragama yang telah lama ada di bumi nusantara. Sehingga
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat dan tidak menganggap
bagian dari Islam. Ini juga terjadi di banyak negara termasuk tempat
kelahirannya, di India. Perlu diteliti lebih lanjut, kenapa muncul perbedaan
pandangan kehadiran Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak dianggap bagian dari
pluralitas, sehingga terjadi konflik yang berakibat fatal. Kerusuhan tidak
terelakkan terjadi.
II
Joseph A. DeVito membagikan komunikasi
menjadi beberapa bagian; Pertama,
komunikasi antara dua budaya yang berbeda. Kedua,
komunikasi antar-ras seperti kulit putih dan kulit hitam. Ketiga, komunikasi antarkelompok etnis seperti komunikasi
antaretnis Sunda dan etnis Batak. Keempat,
komunikasi antarkelompok agama yang berbeda seperti komunikasi antara orang
Islam dan Kriten. Kelima, komunikasi
antarbangsa-bangsa yang berbeda, yang disebut juga dengan komunikasi
internasional seperti komunikasi antara orang Amerika dengan orang Indonesia. Keenam, komunikasi antarsub-kultur yang
berbeda seperti komunikasi antara dokter dan pengacara. Ketujuh, komunikasi antara sub-kultur dan kultur dominan, seperti
komunikasi antara kelompok homoseks dan heteroseks. Kedelapan, komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda yaitu pria
dan wanita.
Penelitian Disertasi ini termasuk dalam komunikasi
sub-budaya dengan budaya dominan, dimana budaya Islam arus utama merupakan
budaya dominan yang telah berkembang lama di tanah air. Kajian lebih fokus pada
komunikasi antarbudaya Ahmadiyah menggunakan pendekatan komunikasi antropologi
dengan riset partisipatoris.
Kajian ini menjadi menarik karena telah
begitu banyak kajian konflik antar agama namun jarang melihat konflik sesama
ummat beragama. Jaringan Ahmadiyah Indonesia dan Islam mainstream adalah ummat seagama. Perbedaan telah menimbulkan
konflik. Konflik yang menimbulkan kerugian sosial yang besar, tidak hanya harta
tetapi juga nyawa. Lebih dari itu, hancurnya tatanan budaya dan harmoni yang
telah dibangun. Awal semua ini karena ada kegagalan komunikasi antara pihak
yang berbeda persepsi.
Menurut laporan United Nation Support Facility for Indonesia Recovery (UNSFIR),
selama periode 1990-2001 tercatat 6.208 jiwa meninggal akibat kekerasan sosial.
Bentuk persentasi kekerasan sosial antara lain, communal conflict sebesar 76,9 persen, separatist violence sebesar 22,1 persen dan sisanya berupa state community violence (1 persen,
serta industrial relation related
violence (0,1 persen).
Dari sisi variasi kekerasan komunial,
kategori kekerasan etnis, agama dan konflik penduduk asli dengan pendatang
menempati rangking pertama dari (67,7 persen) total kekerasan. Sebaran wilayah
kekerasan lebih banyak berlangsung di daerah kabupaten, bukan di wilayah
perkotaan.
Di beberapa daerah misalnya, di Lombok
Nusa Tenggara Barat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sering mendapat perlakuan
intimidasi, mulai penyegelan masjid tempat mereka ibadah, sampai dijarah hak
milik mereka, serta pengusiran secara paksa dari tanah kelahirannya. Sedangkan
di Kemang Parung, Bogor, Jawa Barat tahun 2005, 2007, 2013, JAI mengalami hal serupa.
Pada tahun 2005, Ahmadiyah di Parung ini tergolong besar, bahkan dikenal
sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. JAI berada di Desa Udik, Kemang
memiliki pusat pendidikan kader, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pesantren
Mubarok dan Perguruan Tinggi Islam Ahmadiyah.
Pada tahun 2007 dan 2009 kelompok
tersebar Jemaat Ahmadiyah Qadian di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat,
diserang dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan
Islam. Delapan rumah jemaat dihancurkan, sementara tujuh masjid dirusak dan
dibakar, tiga diantaranya disegel aparat kepolisian. Dampak yang lebih
menakutkan lagi, tiga warga Ahmadiyah dirawat di rumah sakit, satu di antaranya
mengalami tusukan benda tajam.
Kasus Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus
utama bukan isu kebebasan beragama tetapi penafsiran perbedaan paham kenabian.
Menurut salah seorang pengurus PB JAI, Rakeeman R.A.M Jumaan, ada kesalahan
persepsi komunikasi akibat warga Ahmadiyah menjadi korban keekerasan karena
ajaran Ahmadiyah dianggap menyimpang dan sesat. Perbedaan ini didasarkan pandangan
keliru terhadap keyakinan Ahmadiyah dalam hal khatam al-nabiyin. Padahal Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw
adalah nabi yang terakhir dan tidak akan datang nabi lagi. Namun sekelompok Ormas
Islam menganggap ajaran Ahmadiyah Qadian melenceng dan menyesatkan karena
mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Kedua belah pihak telah
mengalami perbedaan persepsi.
III
Islam hadir untuk merobah tatanan
sosial. Salah satunya mengikat solidaritas untuk membangun dan mempertahankan
sistem sosial yaang baru, buah ikatan perjanjian antara suku, ras dan etnis
seperti Bani Qauniqa, Bani 'Auf, Bani al-Najjar. Termasuk dalam segi keyakinan,
umumnya Yahudi dan Nashrani. (hal.84). Menurut Nurcholish Madjid, Nabi Muhammad
berdakwah dan diplomasi selama 10 tahun di Madinah, sebuah masyarakat yang
adil, terbuka dan demokratis dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada
ajaran-Nya.
Pertama, semangat
Rabbaniyah. Kedua, spirit Rabbaniyah
yang mewujud dalam semangat perikemanusiaan. Ketiga, adanya ciri-ciri egalitarisme, partisipasi aktif seluruh
anggota masyarakat dan penetuan kepemimpinan melalui pemilihan dan
permusyawaratan, bukan berdasarkan keturunan, seperti 30 tahun setelah wafat
Muhammad SAW. Keempat, berpangkal
pada pandangan hidup ketuhanan berkonsekuensi adanya tindakan kebaikan kepada
sesama manusia, seperti yang dimaksudkan dalam Surat Fushshilat: 33. Kelima, adanya tatatan hidup kolekif
yang memberi ruang leluasa untuk melakukan pengawasan sosial, dimaan hal ini
akan dapat berlangsung bila mana semangat keterbukaan itu dijamin. Keenam, adanya musyawarah sebagai wujud
interaksi sosial yang positif, saling memberikan hak untuk menyatakan pendapat,
saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat orang lain. Musyawarah juga
sebagai media interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebenaran dan
kebaikan serta ketabahan dalam mencari masalah bersama dalam suasana persamaan
hak dan kewajiban. Ketujuh, tegaknya
nilai-nilai sosial yang luhur, seperti tolerasi di tengah-tengah kondisi
pluralisme. Toleransi dan pluralisme adalah wujud dari ikatan peradaban (bond of civility).
Akan halnya konflik di Indonesia, adala
proses kebangsaan. Bertrand Jacques Bertrand dalam Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia menyatakan, problem
konflik antaragama, antarpaham, antarsuku, konflik antaridentitas religius. Ahmadiyah
memiliki identitas religius yang berbeda dengan identitas religius Islam arus
utama. Hal ini juga terkait dengan belum tuntasnya konstruksi kebangsaan
Indonesia.
Selaras dengan pendapat di atas, Tim Peneliti
The Wahid Institute (WI) yang menyatakan, banyak konflik kekerasan dan
konflik komunal akibat politisasi agama. Pertama,
adanya kekuatan kelompok-kelompok yang dangkal dalam beragama yang baru
menggerakan massa pendukung untuk menolak keberadaan kelompok lain yang
dianggap sesat. Kedua, adanya
kecenderungan aparat negara yang seiring mengikuti tekanan kelompok-kelompok
pemaksa ini. Negara sering kali kalah oleh kelompok penekan dan kurang memberi
pengayoman terhadap korban yang biasanya kelompok minoritas. Inilah sisi kelam
hubungan antaragama di Indonesia.
Disertasi ini melihat faktor-faktor
dominan penyebab terjadinya persepsi komunikasi antarbudaya Islam arus utama
terhadap komunikasi Jemaat Ahmadiyaah Indonesia. Pertama: menganalisis latar belakang munculnya persepsi komunikasi
antar budaya ummat Islam arus utama dengan Jemaat Ahmadiyah di Parung dan
Jakarta. Kedua, menganalisa bentuk
komunikasi antarbudaya yang dilakukan Jemaat Ahamdiyah di Parung dan di Jakarta
terhadap umat Islam arus utama. Ketiga,
menganalisis komunikasi praktis dari teori Agama di Ruang Publik Jurgen
Habermas yang dilakukan oleh kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Keempat, menganalisis proses konsesus
yang terjadi antara ummat Islam mainstream dengan Jemaat Ahmadiyah.
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif berupa antropologi komunikasi untuk melihat berbagai
situasi atau realitas sosial yang berlaku. Selain itu, melakukan wawancara dan
mendatangi sumber otoritatif, fairness,
accountability, transparancy dan tidak berpihak serta melakukan analisis
kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Norman K. Denzin dan Yvona S. Lincoln
dalam Handbook of Qualitative Research
mengajukan tipologi penelitian yang mencakup empat paradigma: Pertama, positivisme, postpositivisme,
kritikal dan konstruktivisme. Guba mengemukakan bahwa setiap paradigma membawa
implikasi metodologi masing-masing.
Perbedaan paradigma tersebut mencakup
tiga dimensi. Pertama, epistimologois
yang antara lain menyangkut asumsi dasar mengenai hubungan antara peneliti
dengan yang diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan mengenai objek yang
diteliti. Kedua, ontologis yang
berkaitan dengan asumsi mengenai objek dan realitas sosial yang diteliti. Ketiga, metodologis yang berisi
asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang berhubungan
dengan suatu objek pengetahuan.
Mengacu pada hal di atas, penelitian
komunikasi antarbudaya adalah; Pertama,
penelitian terfokus pada bentuk-bentuk dan fungs-fungsi komunikasi dalam hubungannya
dengan interaksi sosial sehari-hari. Kedua,
subjek penelitian sebagai pelaku sosial dipandang sebagai interpreter dari
lingkungan sosial mereka sendiri. Ketiga,
penelitian dilakukan menangkap konstruksi dari anggota budaya. Keempat, fokus pengembangan teori ini
adalah relasi antara komunikasi dan budaya.
IV
Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama
dalam Intercultural Communication in
Contexts menyatakan perbedaan dan penafsiran agama sering kali menjadi akar
konflik budaya. Identitas religius dapat menjadi satu dimensi penting dari
identitas banyak orang yang menjadi lahan konflik antarbudaya. Identitas
religius pun kerap tumpang tindih dengan identitas rasial dan etnis. Keadaan
ini membuat makin sulit untuk melihat identitas religius sebagai bagian dari
agama tertentu saja.
Selama ini terlihat pola komunikasi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan Islam mainstream
(Islam Fundamentalis; Wahabi, Front Pembela Islam, Hizbur Tahrir dan Majelis
Mujahiddin Indonesia) tidak sejalan sebagaimaan diungkapkan Judi Pearson dalam Human Communication karena itu
diperlukan komunikasi antarmanusia untuk meningkatkan hubungan baik sesama
ummat beragama.
Komunikasi begitu luas, sulit menemukan
arti yang memuaskan. Komunikasi bisa berarti percakapan antara seseorang dengan
orang lain, tetapi bisa pula berarti elevisi, informasi yang tersebar, gaya
rambut manusia dan kritik literal juga adalah komunikasi namun paling tidak ada
dua mazhab utama dalam memahami komunikasi. Menurut John Fiske, pertama, yang memandang komunikasi
sebagai tranmission of messages
(tranmisi pesan). Bagi mazhab ini, komunikasi adalah bagaimana pengirim
mengirim pesan dan penerima memahami pesan, media komunikasi, efisiensi dan
akurasi komunikasi serta pengaruh komunikasi.
Kedua, memandang
komunikasi sebagai production and exchange
of meanings (produksi dan pertukaran makna). Bagi mazhab ini, komunikasi
berkaitan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan masyarakat dalam
rangka produksi makna; daam hal ini berkaitan dengan peran teks-teks budaya.
Robert T. Craig menyatakan, komunikasi
merupakan proses utama di mana kehidupan kemanusiaan dijalani, bahkan
komunikasi mendasari kenyataan. Craig menambahkan pentingnya pemikiran ini terhadap
komunikasi sebagai sebuah bidang karena komunikasi bukanlah fenomena sekunder
yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor psikologis, sosiologis, kultural atau
ekonomi, melainkan komunikasi merupakan proses sosial yang utama dan mendasar
yang menjelaskan semua faktor yang lain. Secara tradisional, bidang komunikasi
terdapat dua aliran penelitu makro dan mikro.
Komunikasi antarbudaya adalah proses
negoisasi karena pesan yang disampaikan harus sampai ke komunikan. Karena
komunikan punya nilai-nilai tersendiri, keyakinan, dalam kehidupanya. Tanpa hal
itu, sulit bagi sebuah pesan untuk mengubah sebuah masyarakat, apalagi pesan
tersebut dimaksudkan untuk melahirkan sebuah budaya baru (reproduksi budaya).
Konflik muncul ketika ketidaksamaan
antara tujuan pesan dari komunikator kepada komunikan. Teori konflik yang
dikemukakan para pakar, di antaranya memandang masyarakat sebagai sebuah sistem
sosial yang terdiri dari bagian-bagian, kelas-kelas, komponen-komponen yang
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Dimana antara satu komponen berusaha
untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan atau memperoleh
sebesar-besarnya. Ini mengacu juga pada teori klasik tentang konflik yang
dicetus Karl Marx, tentang kelas-kelas dalam masyarakat.
V
Pada konteks di atas Ahmadiyah
diletakkan esebagai objek kajian penelitian, yang tentu saja tidak lepas
melihat dinamika pemikiran dan sosial Jemaat Ahmadiyah. Bagaimana sosio
historis, hingga sejarah masuk ke Indonesia.
Ahmadiyah didirikan para murid yang
mengagumi sang guru bernama Mirza Ghulam Murtaza Ahmad. Lahir di desa Qadian,
Punjab India, 13 Februari 1835. Sejak kecil telah mendapat pendidikan agama dan
selalu dibesarkan di Masjid. Ayahnya ingin ia menjadi seorang pengacara atau
pegawai negeri. Namun ia lebih memilih mendalami ilmu agama. Berdiskusi dengan
banyak orang tentang agama, termasuk non muslim.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia berawal
dari tiga pemuda asal Pesantren Sumatera Tawalib di Sumatera Barat. Ketiganya
meninggalkan kampungnya untuk menuntut ilmu. Mereka adalah Abu Bakar Ayyub,
Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Pada mulanya ketiga santri tersebut berencana
ke Mesir, mengingat saat itu Kairo terkenal pusat studi ilmu keislaman. Namun
mereka disarankan agar melanjutkan studi ke India karena negara tersebut mulai
menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam. Hingga akhirnya ketiga pemuda itu
tiba di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam, atau dikenal
dengan nama Ahmadiyah Lahore.
Pada buku JAI, Bunga Rampai Sejarah
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (1925-2000), disebutkan pada perkembangan
selanjutnya, ketiga pemuda tersebut memutuskan untuk belajar di Madrasah
Ahmadiya yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan keilmuan dan
pengajaran Lahore, mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib
untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian 23 orang pemuda Indonesia dari
Sumatera Tawalib melanjutkan studi dan bersedia dibaiat masuk ke dalam Jemaat
Ahmadiyah.
Di wilayah Sumatera, gerakan pembaruan
Islam banyak dipelopori empat sekawan ulama muda, Syek Muhammad Djamil Djambek,
Haji Abdullah Ahmad, Haji Abdul Karim Amarullah dan Haji Muhammad Taib Umar. Di
antara murid mereka yang terkenal adalah Zaenuddin Labay El Junusi (Padang
Panjang) dan Abdul Hamid Hakim bergelar Tuanku Mudo.
Pada tahun 1918 Haji Abdul Malik Karim
Amarullah (Hamka) menganjurkan kepada murid-muridnya mendirikan perkumpulan,
inilah cikal bakal Sumatera Tawalib yang menjadi komunitas belajar pemuda di
Padang Panjang Padang Jepang, Parabek dan Pariaman. Komunitas ini menciptakan
kader-kader kritis dan cerdas. Militan dalam gerakan anti penjajahan dan
gerakan kemerdekaan. Gerakan pesat terjadi sekitar tahun 1923, aktivitas dan
jumlah anggota tumbuh, ditandai pula denga diterbitka surat kabar berbahasa
Melayu Arab hasil karya aktivis Sumatera Tawalib.
Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan
Zaini Dahlan Ahmad Nuruddin, yang melanjutkan pendidikan ke Lahore juga terinspirasi
dengan pentolan Ahmadiyah, Khawaja Khamaludin yang dibacanya melalui surat
kabar Tjahaya Sumatera pada tahun
1922. Kala itu Khawaja Khamaludin berkunjung ke Jawa dan pidatonya tentang
ketinggian dan kebesaran ajaran Islam dimuat di surat kabar tersebut. Mereka juga
dianjurkan para guru dan senior mereka, alasannya sudah terlalu banyak kader
yang belajar ke Mesir.
Menurut Murtolo dalam Sejarah Singkat Perkembangan Jemaat
Ahmadiyah di Indonesia selamat 50 Tahun, Ahmadiyah di Betawi mulai
berkembang melalui dakwah seseorang bernama Maulana Rahmat Ali. Namun ia lemah
dalam bahasa Melayu, sehingga tersendat. Karenanya butuh bantuan dari Ahmadiyah
di Padang. Kepengurusan pertama Ahmadiyah terbentuk di Bogor, yang dipimpin
Maulana Rahmat Ali. Pada tahun 1933 terjadi perdebatan hangat dan terbuk antara
Jemaat Ahmadiyah dengan Persi pimpinan A. Hasan.
Kaum Ahmadi mengikuti aturan dimana ia
berada. Di Indonesia, adaptasi registrasi dimulai tahun 1953 dengan Pengurus
Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan kepada Pemerintah Republik
Indonesia untuk pendirian dan pengesahan anggaran dasar (AD) dan anggran rumah
tangga (ART). Tepat pada tanggal 13 Maret 1953, Menteri Kehakiman RI melalui
surat keputusan No. JA.5/23/13 menetapkan bahwa perkumpulan atau Jemaat
Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai Badan Hukum, yang termuat dalam tambahan
Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 No. 26. Eksistensi tersebut dipertegas
dengan pernyataan resmi melalui Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
0628/Ket/1979 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui
sebagai Badan Hukum berdasarkan statsblaad 1870 Nomor 64.
Kelengkapan organisasi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia juga diakui telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur pada Undang
Undang Nomor: 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sehingga
keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinyatakan telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pada dinamika di lapangan, tetap saja
Kaum Ahmadi sulit diterima oleh ummat Islam meanstream. Beberapa penelitian
tentang buku Tadzkirah dan hal-hal yang menyangkut penolakan dapat
disebutkan, tidak ada yang disanksikan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Resistensi
telah dimulai dari awal kehadiran.
Namun demikian, perkembangan Jemaat
Ahmadiyah di Indonesia cukup pesat. Pada tahun 1980, Ahmadiyah baru memiliki 45
cabang, pada tahun 1984 sudah berjumlah 75 cabang. Pada tahun 1989 bertambah
hingga 150 cabang, hingga 1999 tahun 228 cabang. Pada tahun 2005 cabang
Ahmadiyah di seluruh Indonesia sudah mencapai 498 cabang.
Ada dua jenis aliran Ahmadiyah di
Indonesia, yakni Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Walaupun sesama menganut
ajaran Ahmadiyah dan keduanya sama-sama mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah Isa Al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad saw, akan tetapi
keduanya memiliki perbedaan prinsip. Ahmadiyah Qadia mengakui adanya nabi
setelah Nabi Muhammad saw namun nabi yang dimaksud tidak membawa syariat,
sementara Ahmadiyah Lahore mengakui Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid atau
pembaharu. Keduanya tetap mengaku sebagai ummat Islam dan menjunjung tinggi
syariat Islam. Ahmadiyah adalah sebuah gerakan dalam Islam, yang dimulai dari
Punjab India.
Pengikut Ahmadiyah saat ini diperkirakan
berjumlah sekitar 500.000 jiwa. Terus bertambah dan tumbuh di Indonesia, sejak
awal abad ke-20. Pada tahun 1953, Ahmadiyah resmi diakui sebagai badan hukum
oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kehakimn. Meskipun ada
pertentangan dalam bentuk dialog menyangkut ajaran keagamaan Ahmadiyah di
beberapa tempat antara sejumlah ulama mainstream dengan tokoh Ahmadiyah, tetapi
praktis tidak ada diskriminasi apalagi kekerasan yang berarti terhdap pengikut
Ahmadiyah sampai menjelang berakhir kekuasaan Orde Baru.
Ummat Islam arus utama beranggapan
ajaran Ahmadiyah Qadian melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya karena
mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yaitu Isa al Masih dan Imam Mahdi, hal
yang bertentangan dengan pandangan umumnya ummat Islam yang mempercayai Nabi
Muhammad saw sebagai nabi terakhir. Ummat Islam arus utama lebih percaya bahwa
Isa al Masih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan
permasalahan-permasalahan selain itu adalah perbedaan penafsiran ayat-ayat
al-Quran. Ahmadiyah sering dikaitkan dengan kitab Tadzkirah. Sebenarnya, kitab tersebut bukanlah satu-satunya kitab
yang dibaca warga Ahmadiyah. Kitab Tadzkirah hanyalah satu kumpulan pengalaman
rohani Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Jemaat Ahmadiyah, layaknya catatan harian.
Tidak semua anggota Ahmadiyah pula yang memiliki dan membacanya. Karena selama
ini yang dibaca oleh warga Ahmadiyah adalah al-Quran al-Karim.
Ketika dilangsungkan rangkaian dialog,
pihak Ahmadiyah tetap mengakui diri mereka muslim. Pimpinan Ahmadiyah juga
menegaskan dalam 12 pernyataan, salah satunya di antaranya menyatakan bahwa
Mirza Ghulam Ahmad bukanlah seorang nabi. Pernyataan itu tertanda 14 Januari
2008.
IV
Realitas sosial menunjukkan perbedaan
persepsi Islam arus utama terhadap ajaran Ahmadiyah. Kontroversi yang berujung
kericuhan kerap terjadi karena anggapan Ahmadiyah dianggap membawa ajaran sesat
terus didengungkan beberapa pihak Islam arus utama. Beberapa klarifikasi yang
dilakukan, senyatanya Ahmadiyah melaksanakan kegiatan ibadah sama halnya dengan
ummat Islam arus utama. Menurut Ketua Umum PB JAI, Syarif Ahmad Lubis meminta
jangan curigai Ahmadiyah dalam mengerjakan ajaran Islam. Jemaat Ahmadiyah
Indonesia sama halnya dengan Ormas Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis.
Melaksanakan shalat lima waktu, pengajian dan tidak melakukan aktivitas politik
praktis.
Tetapi hal tersebut dibantah Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Jakarta, Mohammad Amin
Djamaluddin. Ia menyatakan, Ahmadiyah telah melakukan komunikasi manipulatif
dan menyesatkan. Buktinya, dalam
komunitas Ahmadiyah, sesama warga, mereka selalu melakukan shalat berjamaah,
wirid remaja setiap minggu, pengajian bersama antara lajah imaliah (ibu-ibu)
dan khudam (laki-laki), serta melakukan shalat jumat bersama. Selait itu mereka
juga belajar ilmu hadis bersama jemaat serta melakukan penggalan dana.
Persoalannya menjadi lain, ketika jemaat Ahmadiyah tak boleh diimami oleh
selain warga Ahmadiyah. Pemahaman-pemahaman prinsip tetap ditularkan, termasuk
mengakui ada nabi setelah Muhammad saw yang tidak membawa syariat.
Prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya
mesti teori komunikasi secara umum, yaitu teori SOR. Stimulus- Organism -
Response. Teori ini menekankan peran signifikan yang dimiliki oleh komunikan.
Dalam komunikasi massa dikenal teori peluru yang justru tidak mellihat kekuatan
apapun pada komunikan. Disebut teori peluru karena komunikan dianggap secara
pasif menerima berondongan pesan-pesan dari komunikator. Bila menggunakan
komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat
diarahkan. Teori ini dikenal juga sebagai jarum hipodermik karena mempunya
asumsi bahwa komponen komunikasi (komunikator, pesan dan media) amat perkasa mempengarui
komunikan.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Din Syamsuddin, Ahmadiyah secara teologi tidak dapat dibenarkan, karena
kriteria Islam sangat kuat mengenai aqidah. Begitu pula komunikasi yang
dilakukan jemaat Ahmadiyah kurang terbuka dan sering menonjolkan aqidah
sehingga menganggap ajaran Islam Ahmadiyah yang paling benar. Komunikasi yang
dilakukan sangat eksklusif. Jemaat Ahmadiyah adalah warga islam dan tugas ummat
Islam mainstream mengingatkan mereka untuk kembali ke ajaran Islam yang sesunggunya
sehingga mereka tidak semakin tersesat.
Konflik sosial yang mengatasnamakan
agama, sesungguhnya terjadi karena adanya kepentingan politik tertentu,
misalnya kekuasaan. Perlu kesadaran dan kewaspadaan terhadap kelompok atau pun
perorangan yang menjustifikasi agama bagi kepentingan kekuasaan terutama
pelembagaan agama terhadap struktur formal, sebab secara historis agama meang
merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif.
Bahkan konflik sosial berbau suku,
agama, ras dan antargolongan sangat mudah menjadi anarkis, sehingga masalah
tersebut harus diwaspadai. Indonesia bukan negara agama, tetapi memiliki basis
agama yang kuat. Dengan ideologi Pancasila diharapkan dapat mengakomodasi
seluruh kepentingan kelompok sosial yang multi etnis dan agama yang ada di
Indonesia.
Pada akhir tahun 1935, oleh pemuka
Ahmadiyah dipandang perlu membentuk Hoofdbestur atau Pengurus Besar Ahamadiyah
Qadian dengan nama Ahmadiyah Qadiyan Departemen Indonesia (AQDI) yang pertama
kali diketua oleh R. Mohammad Muhyiddin. Disamping itu dibentuk pula organisasi
Ansharullah (Organisasi laki-laki Ahmadiyah yang berusaha 40 tahun) yang
diketuai oleh M. Harun dan Lajnah Imailah (Organisasi saya permpuan AHmadiyah
berusaha 40 tahun ke atas) yang diketuai Hajjah Abdullah. Selain itu ada juga
Majlis Khudamal Ahmadiyah (Pemuda Ahmadiyah), Nasyratul Ahmadiyah (Pemudi
Ahmadiyah), Athfalul Ahmadiyah (anal laki-laki Ahmadiyah) dan Banatul Ahmadiyah
(anak perumpuan Ahmadiyah). Masing-masing ada pengurus dan kegiatan
sendiri-sendiri yang lebih ditekankan pada bidang ra'lim (Pengajaran) dan
tarbiyat (Pendidikan).
Adapun gagasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia
adalah pembawa panji-panji kemenangan Islam di akhir zaman dengan memberi
dorongan terhadap warga jemaat untuk bekerja keras dalam memajukan ummat
mereka. Menurut Pemimpin Internasional Jemaat Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza
Masroor Ahmad, satu-satunya cara untuk memastikan perdamaian bagi dunia adalah
menjalankan cara-cara rendah hati, keadilan, tulus, taat dan kembali kepda Tuhan
y ang karena manusia akan menjadi manusiawi; kuat agar dapat melayani yang
lemah dan miskin yang bermartabat dengan rsa hormat disertai keadilan.
Prof. Atho' Mudzhar menyatakan, mubaligh
JAI hanya berpedoman dengan khutbah yang disampaikan pimpinan mereka di Londong
Inggris lalu diterjemahkan dan disampaikan kepada umatnya yang ada di seluruh
dunia. Warga JAI menerapkan komunikasi satu arah dari pimpinan besar mereka.
Sehingga tidak terjadi multitafsir dalam komunikasi agama. Ini disebut sebagai
komunikasi satu arah.
Agar sahnya menjadi jemaat Ahmadiyah
Qadian harus dibaiat dengan sembilan janji. Yaitu: Pertama, orang yang dibaiat berjanji dengan hati jujur, hingga ke
dalam kubur. Jauhi syirik. Dua,
senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi
terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, menganiaya, khianat,
huru-hara, pemberontakan, serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejoak hawa
nafsunya mesikipun bagaimana juga dorongan terhadapnya. Tiga, akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa
putus-putus, semata-mata karena Allah dan Rasul. Empat, tidak akan membuat kesusahan kepada makhluk baikd engan
lisan, tangan dan dengan cara apa pun. Lima,
tetap setia kepada Allah, baik dalam susah mapun senang, dalam duka atau suka,
nikmat dan musibah. Enam, akan
berhenti dari adat buruk dan menurut hawa nafsu. Tujuh, meninggalkan takabur dan sombong. Delapan, menghargai agama, kehormatan dan mencintai Islam. Sembilan, menaruh belas kasihan kepada
makhluk Allah. Sepuluh, mengikat tali
persaudaraan dengan hamba ini Imam Mahdi dan al Masih Muuf.
Ada pun pokok-pokok ajaran Ahmadiyah
Qadian yaitu: Pertama, mengimani dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah nabinya. Mengimani kitab Tadzkirah sebagai kitab suci. Kedua, mengimani
Tadzkirah sama derajatnya
dengan al-Quran. Ketiga, mengimani dan meyakini wahyu dan kenabian
tidak terputus dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. Keempat, mengimani dan
meyakini bawa Rabwah (Pakistan) dan Qadian di India adalah tempat suci
sebagaimana Mekkah dan Madinah. Lima,
mengimani dan meyakini surga
berada di Qadian dan Rabwah. Enam,
wanita Ahmadiyah haram menikah
dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, laki-laki Ahmadiyah boleh. Tujuh, haram hukumnya salat bermakmum dengan orang di luar Ahmadiyah.
Sedangkan
Aliran Ahmadiyah Lahore dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia berpusat di
Yogyakarta. Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi, melainkan hanya sekadar mujaddid
dari ajaran Islam. Adapun keyakinan Ahmadiyah Lahore,
percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al-Quran dan Hadits
dan percaya semua perkara agama yang telah disetujui para ulama salaf dan ahlus sunnah wal jamaah dan yakin bahwa Nabi Muhammad saw adalah khatam
al-nabiyin.
Ahmad Syafii
Maarif mengatakan, secara teologis menolak pendapat yang mengatakan bahwa ada
nabi pasca Muhamamd sekalipun tidak membawa syariat tetapi ia membela posisi
pengikut Ahmadiyah dizalimi, hak mereka dirampok dan keluarga mereka diusir.
V
Sikap
negara terhadap keberadaan dan eksistensi gerakan Jamaah Ahmadiyah Indonesia
direpresentasikan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa
Agung, Menteri Dalam Negeri, Nomor 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor
199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut Anggota dan atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI), dan Warga Masyarakat
ditetapkan pada 9 Juni 2008.
Inti
SKB memberikan peringatan dan perintah kepada JAI untuk menghentikan penyebaran
penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam dan
bilamana tidak mematuhinya maka akan diberi sanksi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah juga meminta agar masyarakat tidak
melakukan tindakan-tindakan anarkis terhadap eksistensi JAI.
Menurut
Atho’ Mudzhar, SKB tersebut tidak menghakimi Jemaah Ahmadiyah. Justru ikut
mengkomunikasikan agar tidak ada umat Islam melakukan tindakan anarkis. Sejauh
ini, kedua belah pihak sama-sama memahami SKB tersebut. Perlu diketauhi dan
dimaknai, pemerintah melalui SKB tersebut berupaya untuk menyelesaikan kasus
Ahmadiyah, agar tidak terjadi lagi gesekan dan misleading dengan ummat
Islam arus utama.
Dikatan
Atho’ Mudzhar, SKB tersebut tidak melanggar hak azasi manusia dan bahkan telah
diuji kesahihannya. Ada memang sinyalemen Ahmadiyah menyebar agamanya, padahal
telah disepakati, bahwa pengurus Pusat Ahmadiyah tidak diperboleh untuk
menyebarkan ajarannya karena dikhawatirkan dapat memancing atau menyulur rasa
permusuhan dan kemaran ummat Islam arus utama. Inilah yang jadi masalah, ketika
pimpinan Ahmadiyah menyebar ajarannya sehingga menimbulkan keresahan.
Menurut
Ahidul Asror, Islam sebagai fakta sosiologis adalah sebuah fenomena sosial. Di
dalam dinamika ruang dan waktu, Islam yang semula berfungsi sebagai subjek pada
tingkat kehidupan nyata berlaku sebagai objek dan sekaligus berlaku baginya
hukum sosial. Eksistensi Islam antara lain sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sosial di mana dia tumbuh dan berkembang.
Membicarakan
Islam yang lebih khusus lagi, tentang warna, corak, karakter Islam di dalam
dinamika ruang dan waktu tertentu pada hakikatnya adalah berbicara tentang
bagaimana pemikiran Islam direkontruksi oleh lingkungan sosialnya. Kenyataan
membuktikan bahwa dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan banyak pakar,
ditemukan berbagai corak dan karakter pemikiran keislaman pada berbagai tempat
dengan berbagai coraknya. Seperti diungkapnkan Clifford Geerts dalam Islam Observed menemukan perbedaan corak
Islam Maroko yang puritan dan Islam Indonesia yang sinkretis. Bahkan dalam
karya penelitiannya tentang Agama Jawa, Geertz secara lebih khusus membagikan
dalam beberapa varian; abangan, santri dan priyayi.
VI
Ahmadiyah Qadian dipandang dari
Perspektif Komunikasi Antarbudaya; kajian tentang agama di ruang publik,
ditemukan sejumlah kelemahan dalam berkomunikasi jemaat Ahmadiyah. Jemaat
Ahmadiyah Qadian dalam melakukan strategi komunikasi antar budaya maupun
strategi dakwak bil hal tidak sejalan dan sepaham dengan prinsip-prinsip
komunikasi maupun dakwah.
Adanya sejumlah kelemahan telah
memunculkan mis-persepsi dan mis-komunikasi
bahwa komunikasi dan dakwah yang dilakukan Ahmadiyah Qadian bersifat tertutup
dan eksklusif. Padahal persepsi ummat Islam arus utama belum tentu benar, jika
Ahmadiyah melakukan strategi dalam komunikasi terbuka, termasuk melakukan
komunikasi diplomasi.
Menelaah jauh dalam sejarah panjang
perjalanan Ahmadiyah, sikap ekslusivisme telah membuat komunikasi terhambat.
Sesuai dengan teori komunikasiantarbudaya, komunikasi adalah negoisasi terhadap
antarbudaya komunikator dengan komunikan, yang mempertimbangkan media, bahasa
dan situasi. Dakwah juga begitu, mestilah dilakukan dengan strategi agar mad’u
mau menerima pesan ilahiyah. Sampaikan sesuai dengan kadar akal mereka
yang menerimanya (al-khatib an-nashi
al-qadri al-uqulihim), demikian hadits yang sangat populer para da’i.
Kasus Ahmadiyah di Indonesia selain
materi aqidah yang dibawa juga sangat tidak dapat diterima juga sikap dalam
mengkonstruksi budaya hidup mereka yang tidak dapat diterima. Membatasi
pergaulan telah membuat kecurigaan kian bertambah bagi ummat Islam mainstream. Disertasi ini berhasil membedah
persoalan melalui teropong keilmuan Komunikasi Antarbudaya. []
No comments:
Post a Comment