ABDULLAH
KHUSAIRI - PADANG
Masihkah ada harapan hidup lebih baik
dan bahagia dari suksesi demi suksesi dengan dalil berdemokrasi? Apakah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 ini membawa kemashlahatan kepada umat?
Dua pertanyaan yang bisa dipandang sangat pesimis terhadap sistem berdemokrasi
kita pada hari ini.
Sulit dibantah, di atas kertas, sistem
demokrasi bak bunga-bunga di tepi jurang. Dilihat indah diambil susah dan
berbahaya. Demokrasi menjanjikan keindahan dan harapan di masa depan, tetapi
sejauh sistem ini dijalankan, suksesi berlangsung, senyatanya tak banyak
membawa perubahan menuju cita-citanya. Alih-alih menjadi kenyataan dari
janji-janji para kontestan, yang terealisasi hanyalah perebutan kekuasaan dan melanggengkannya.
Demokrasi saat ini berkembang biak,
tiada lain berjenis tumbuhan liar di tepi jurang itu. Indah dengan kebebasan
tetapi resiko konflik vertikal – horizontal tak terelakkan. Nafsu kuasa telah
menggelapkan mata bathin. Klaim kebenaran sepihak antar kontestan, caci maki,
fitnah-fitnah, berseliweran mengguncang akal sehat. Tak cukup itu, tuhan dan
agamapun dibajak untuk kekuasaan yang akan direbut.
Hal-hal di atas mungkin terlalu ironis.
Tetapi fakta-fakta menunjukkan, apalagi pada Pilkada DKI, wajah demokrasi tak
lagi membahagiakan. Gaduh, riuh, dan menakutkan. Siapakah yang happy dengan
keadaan yang saban hari ada kekerasan verbal ini? Kemana sikap santun dan budi
pekerti luhur yang selalu ada dalam pidato-pidato politisi?
Begini jadinya ketika sistem demokrasi
dipaksakan di tengah masyarakat yang lapar perutnya dengan penalaran yang
dangkal. Sungguh, belum ada kelihatan pendulum mengarahkan ke titik equbilirium
bernama “dinamika yang indah yang dijanjikan demokrasi”. “Siap menang siap kalah.”
Mana pula orang mau kalah, kalah main domino saja tetap naik emosinya, apalagi
kalah Pilkada.
Sistem demokrasi prosedural memang
berjalan tetapi secara substansial, tujuan demokrasi kian jauh panggang dari
api. Memang secara hukum, bisa sah seseorang terpilih tetapi belum tentu bisa
menjalankan amanat. Karena kekuasaan direbut dengan semangat perang
kawan-lawan. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Demokrasi berjalan bak lagu Syahrini, maju-mundur. Satu sisi begitu hebat,
demokratis, tetapi sisi lain, tujuan kedaulatan rakyat kian jauh. Ketimpangan
sosial ekonomi kian jelas, ditambah lagi para elite memainkan peran “adu ayam”
di tengah Pilkada.
Namun apakah kita harus beralih ke
sistem khilafah, sistem monarki, sistem komunis, sistem teokrasi? Tentu tidak!
Terlalu panjang harus ditempuh untuk merobah warisan dari para pahlawan yang
telah berjuang mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Mereka
tentu tidak rela karena begitu banyak yang telah dikorbankan untuk membangun
sebuah negara.
Namun demokrasi seperti apakah yang
membuat rasa puas, damai, bisa berlangsung? Tawarannya tiada lain, adalah peningkatan
kecerdasan melalui pendidikan demokrasi. Siapa yang harus melakukan ini? Tentu
harus dimulai dari semua lini.
Demokrasi sejatinya memang bertujuan menciptakan
rasa aman, rasa nyaman, terpenuhi kebutuhan hajat hidup rakyat. Jika itu tidak
terpenuhi, tentu sistem demokrasi patut dipertanyakan kembali. Atau paling
tidak, dikoreksi dimana kesalahan para pelaku memahaminya.
Jika perut yang kosong, daya nalar
melemah, publik tentunya cepat marah.
Beringas. Siapa yang memberi umpan, itulah yang dipatuhi. Beda kalau
penalaran sudah baik, pendapatan ekonomi sudah mapan, orang tak mudah
dipengaruhi. Diajak berpanas-panas demonstrasi, kampanye, akan berpikir dua
kali.
Susahnya, para elite maunya masyarakat
mau dikebiri kemana-mana sesuai dengan kepentingan mereka. Karenanya, kebodohan
harus dipelihara. Sudah diingatkan Karl Marx jauh-jauh hari, kesenjangan sosial ekonomi akan mampu mencetus
api konflik. Keadaan ini sepertinya sedikit lagi terjadi di negeri yang kaya
raya ini.
Pilkada serentak 2017 hanyalah prosedur
mencari kepala daerah yang lolos menjadi kontestan secara sah tetapi belum
tentu secara kapasitas dan kapabilitas. Satu dua daerah, memang ada tumbuh
pemimpin yang penuh harapan dan terasa oleh masyarakatnya, tetapi yang lebih
banyak ternyata tumbuhnya oligarki, korupsi sistemik dan kian melaratnya arus
bawah.
Sistem demokrasi prosedural, juga
memperlihatkan perebutan kekuasaan merupakan tujuan, bukan ladang amal untuk
menoreh sejarah kepemimpinan. Alih-alih untuk membuat kesejahteraan rakyat,
yang terjadi justru memperkaya diri dan kelompok di dalam lingkaran kekuasaan.
Begitu sederhana harapan rakyat, di
dalam setiap suksesi berlangsung; murahkanlah segala urusan di kantor-kantor
pelayanan publik, gratiskanlah pendidikan dan kesehatan, serta murahkan harga
segala kebutuhan. Jika ini sudah terpenuhi tentunya cara berpikir akan berubah
dengan sendirinya. Orang ingin hidup teratur. Hidup berkualitas. Kenapa orang
sulit diatur, salah satunya belum terpenuhinya standar kehidupan yang layak.
Bila ekonomi sebuah daerah, baik. Pendapatan
perkapita rakyat bisa melebihi kebutuhan hidupnya, tentulah tidak ada jerit
kelaparan. Tentulah tak ada yang mau jadi tukang parkir liar, tukang tunggu WC,
pedagang kaki lima di trotoar. Mereka itu ada karena harus kreatif bertahan
hidup. Kalau negara mampu memberi kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan hidup
layak, siapakah yang mau menjadi tukang-tukang seperti itu?
Pejabat-pejabat masih menutup mata dan
tidak malu dengan keadaan daerah-daerahnya yang masih carut-marut. Padahal,
bila pidato memaparkan demokrasi, prestasi, apresiasi, seperti berada di langit
saja. Sementara, di bumi, di daerah yang dipimpinnya, masih begitu banyak yang
terbengkalai.
Pada sisi lain, kaum berada membuat
tembok tinggi untuk meningkat rasa aman. Kaum papa berada di jalanan, jalanan
tidak aman dan rawan begal dan segala macam kejahatan. Dimana negara, pejabat,
pemerintah, hasil dari sistem demokrasi? Ini pertanda pemegang amanat
kedaulatan rakyat tidak berada di depan perkembangan zaman. Selalu di belakang.
Kini, mari kita bertanya tentang
realitas dari prinsip-prinsip-prinsip demokrasi yang selalu dipelajari itu.
Apakah kebebasan, persamaan, pluralisme, toleransi, keadilan, hukum dan
keteraturan, akuntabilitas publik, tranparansi, penegakan hukum, sudah berjalan
secara baik? Agar pertanyaan pada alinea
pertama bisa terjawab, kita bisa mengukur prinsip-prinsip ini di lapangan.
Jika masih belum maksimal, tentunya setiap Pilkada, hanyalah sekadar pesta
suksesi lomba merebut kekuasaan. Tiada lebih dari itu. Demokrasi di tengah rasa
lapar, adalah omong kosong di siang bolong. []
Diterbitkan di Harian Umum Independen SINGGALANG, Senin, 23
Januari 2017
No comments:
Post a Comment