Jurnalisme Online Situs Radikal

ABDULLAH KHUSAIRI - PADANG 

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) memblokir 22 situs berita yang diduga menyebar informasi tentang radikalisme. Kebijakan ini atas dasar rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dipandang dari sisi kebebasan pers, inilah langkah yang lancang. Namun bukan berarti langkah Kemkominfo ini tak perlu diapresiasi, ketika dilihat dari sisi ilmu jurnalistik dan standar sebuah lembaga pers yang ideal sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sayangnya Kemkominfo begitu cepat mengambil sikap sebelum meminta pandangan Dewan Pers. Begitu pula Dewan Pers, sejauh ini bisa dipandang masih begitu lemah melakukan gerakan cerdas bermedia, dalam arti cerdas mendirikan, profesional menjalankan, juga pencerdasan terhadap publik dalam mengonsumsi media online.


Sejak lahirnya Undang – Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, siapa saja bisa mendirikan lembaga pers. Asal ada kemauan, semuanya diserahkan kepada keadaan pasar. Hebatnya UU ini tidak mengenal lagi istilah breidel bagi media yang mencoba merongrong kekuasaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun memblokir media online sama halnya membreidel media cetak.

Setelah dikekang hampir 32 tahun, pada era reformasi ini, pers sangat bebas. Bahkan dipandang sudah kebablasan. Bebas digunakan sebagai lembaga ekonomi yang meraup untung dari kue iklan, bebas digunakan sebagai lembaga propaganda ideologi dan politik. Sementara, di sisi lain, sangat minim pembinaan agar awak lembaga pers bisa lebih profesional dan proporsional dalam menyiarkan informasi dan propaganda.

Lebih-lebih ketika datangnya era teknologi informasi yang menyediakan jasa online, siapa saja dapat dengan mudah membuat media online. Tidak perlu lagi menyiapkan modal besar. Meminjam istilah Staf Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Atmakusumah, media cetak abal-abal dan wartawan abal-abal, kini telah banyak beralih ke media online. Pada acara-acara resmi, sering kali datang mengaku wartawan online tetapi jauh dari kesan sebagai seorang wartawan profesional. Kadang-kadang, menurut beberapa pejabat Humas di instansi pemerintahan, mereka datang tidak dengan etika umum dan etika profesi yang semestinya.

Jujur sajalah, ini merupakan wajah bopeng pers Indonesia di tengah kebebasan pers yang dibanggakan itu. Hampir tak ada yang bisa membenahi persoalan ini. Penumpang gelap kebebasan pers Indonesia. Organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI), memang memiliki program pembinaan, peningkatan kapasitas profesionalitas, kampanye kenaikan upah layak, ujian kompetensi wartawan (UKW), dsb. Namun itu hanya untuk anggota mereka yang secara sadar berorganisasi profesi. Di luar keanggotaan itu, tidak ada yang memperhatikannya. Siapakah yang bertanggung-jawab untuk membenahi persoalan pers di Indonesia?
Situs Radikal
Kembali ke soal situs-situs yang diduga menyebar radikalisme, apakah layak disebut media online, yang setara dengan news portal? Secara umum dan fungsional, tentu saja layak. Karena memenuhi unsur menyiarkan mencari, mendapatkan, mengolah, menyimpan dan menyampaikan, informasi dan opini, untuk memengaruhi publik. Tetapi sudahkah profesional menjalankan fungsi dalam kaidah jurnalisme? Inilah masalahnya. Kuat dugaan, situs-situs ini tidak menjalankan misi dan visi yang diembannya dengan syarat dan rukun jurnalisme, yang mengacu kepada peraturan dan etika profesi.

Siapa pula yang harus mengawasi dan mengingatkan setiap media online yang tumbuh setiap saat dengan berbagai misi dan visi diembannya? Sementara aturan-aturan selalu terlambat datang dari teknologi informasi yang berlari. Pada konteks inilah, sebenarnya, UU Pers sudah uzur. Perlu diperbaharui.

Kebijakan memblokir situs diduga menyiarkan radikalisme tersebut mengingatkan semua pihak, tidak mudah mendirikan lembaga pers profesional, baik media cetak, media elektronik, maupun media online. Kalaupun masih memaksa diri untuk memiliki media massa haruslah memiliki modal profesionalisme yang mantap dan teguh.

Mendirikan media online, apapun alasannya, harus pula sesuai dengan mekanisme resmi. Sekedar menyebutkan, media online mesti berada dalam badan usaha yang terdaftar di lembaga berwenang. Seperti layaknya memiliki kenderaan pribadi, maka peraturan kepemilikan dan perundangan-undangan Lalu Lintas haruslah dipatuhi kalau ingin selamat.

Sebagai pengguna aktif media online, aktif mengamati perkembangan media massa tersebut, serta juga pernah berkecimpung di semua jenis media ini, dapat mengemukakan; mendirikan sebuah media membutuhkan landasan filosofi profesi, peraturan perundang-undangan, pengetahuan teknis jurnalisme, watak kemediaan, serta hal-hal yang mendukung suksesnya sebuah lembaga pers. Tidaklah serta merta bisa membeli domain, lalu upload seluruh berita dan opini seenaknya. Informasi yang mengandung fitnah, berita bohong, foto sadis, pornografi, menebar kebencian, mengandung SARA, haruslah diukur melalui teori nilai berita dan kode etik serta hukum positif sebelum dipublikasi.

Dua Sisi Mata Uang
Secara ideal media massa, hadir memenuhi hak informasi masyarakat. Sebuah kemestian, kehadirannya juga harus meyakinkan pembaca, pendengar, pemirsa dan pengunjung demi mendapatkan kepercayaan (trust) publik. Kepercayaan publik itulah modal bagi lembaga pers yang akan ditawarkan kepada pemasang iklan (Bill Kovach & Tom Rosenstiel, 2001). Media massa yang ideal tentu saja mampu membuat publik membutuhkan informasi yang disajikannya.

Namun tampaknya, situs radikal memang tidak mengedepankan hal ideal ini. Soal kepercayaan publik tidak menjadi target utama agar mendapatkan keuntungan dari iklan. Mereka hanya mengedepankan idealisme dari pada komersialisme untuk memengaruhi publik. Di sinilah watak kemediaan yang tidak terpenuhi. Secara alamiah, media massa yang akan dinikmati publik, media yang mampu memenuhi kebutuhan idealis dan komersialis sekaligus dan seimbang. Media yang mengusung idealis, lazimnya hanya akan dinikmati secara terbatas dan sulit menjadi besar dan berkembang.

Media ekslusif hanya akan dibaca oleh kaum ekslusif. Dalam konteks ini, negara pada dasarnya tidak patut memblokir media seperti ini jika tingkat keterpengaruhannya kecil dan berlaku khusus bagi mereka  yang membutuhkan informasi dari situs ini. Negara harus membuat gerakan agar publik cerdas memilih media yang dikonsumsi, dengan begitu, media yang tidak profesional dan mengandung unsur memecah belah, fitnah, menyebar berita bohong, dengan sendirinya tidak akan dikonsumsi dan menggeser diri.

Kebebasan Informasi  
Selain UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, kebebasan informasi diatur diatur melalui UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), juga diamankan melalui UU No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sedangkan informasi yang disiarkan diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Inilah hukum positif di Indonesia yang saling melengkapi demi keteraturan arus informasi di tengah masyarakat. Misalnya, soal penghinaan, penipuan, fitnah, pornografi, dsb. yang diatur juga dalam KUHP dan KUHAP.

Melengkapi hal itu, masih ada kode etik profesi. Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJ) disepakati organisasi profesi yang diwadahi Dewan Pers, sementara organisasi profesi wartawan juga membuat kode etik organisasi tersendiri pula. Begitulah hukum positif bagi masyarakat informasi di negeri ini.

Tiga catatan
Ada tiga catatan, setelah membaca dan mempelajari peristiwa pemblokiran 22 situs oleh Kemkominfo. Pertama, main blokir dengan tangan kekuasaan tidaklah bijak. Jauh lebih bermartabat, sebagai negara yang menjunjung tinggi keterbukaan informasi di tengah alam demokrasi saat sekarang ini, membina seluruh situs-situs yang diduga tidak menghargai NKRI dan perdamaian dunia tersebut.

Kedua, membungkam arus informasi pada dasarnya, membungkam demokrasi. Karena salah satu pondasi penting demokrasi itu adalah kebebasan pers, kebebasan berekspresi, berkreasi, keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat.

Ketiga, secara ideal pers ikut mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun pers yang berada di tangan mereka yang tidak profesional tentu saja akan melakukan pembodohan dan pembohongan. Ini membahayakan kehidupan.

Di atas semua itu, itikad baik dalam menjalankan profesi harus dijunjung tinggi. Klaim kebenaran sepihak dan menyebar benih kebencian melalui media massa tidak akan membawa damai. Perang besar biasanya dimulai dari sini; kegagalan komunikasi massa karena tidak profesional menjalaninya.[]
Penulis Buku 

Di Bawah Kuasa Media Massa (2014)

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA