Saturday, October 28, 2017

METODE TAFSIR TAHLILI

METODE TAFSIR TAHLILI

ABDULLAH KHUSAIRI 

     Pendahuluan
Salah satu dampak positif dari pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama yang diduga menistakan agama oleh sebagian golongan ummat Islam adalah tafsir-tafsir al-Quran dibicarakan di ruang publik secara terbuka. Khususnya Surat al-Maidah ayat: 51.[1]
Terlepas kepentingan politik praktis kekuasaan yang telah mengitari persoalan penafsiran surat al-Maidah ayat: 51 tersebut, yang jelas di panggung publik, media massa dan media sosial, tafsir al-Quran khusus ayat-ayat yang berkenaan dengan kepemimpinan telah disuarakan secara lantang. Persoalan serupa ini memang sering muncul dalam kontestasi politik menjelang dunia suksesi di daerah bahkan dalam Pemilihan Presiden.[2]
Walau pun akhirnya, memang pendalaman kajian tafsir harus terus dipaparkan kepada publik agar tidak terjebak dalam logika sempit dan menjauhkan simpati dan menegasi keberagaman dan al-islam al-rahmat al-amin.[3]
Kita tidak akan mengupas pro kontra penafsiran Surat al-Maidah ayat: 51 tersebut. Peristiwa ini cukuplah menjadi titik balik bersama untuk mendalami lebih jauh metode-metode tafsir al-Quran. Perbedaan penafsiran adalah keniscayaan yang harus dihormati sejauh tidak memiliki efek negatif dan berlawanan maksud kehadiran al-Quran sebagai petunjuk bagi ummat manusia (al-hudan al-nash).[4] 
Melanjutkan materi kuliah Quranic Exgesis of Methode, setelah kita mengenal beberapa pendekatan dalam tafsir (bi al ma'tsur dan bi al-ra'yi), corak-corak penafsiran, faktor-faktor penyebab penyimpangan dalam tafsir, kaidah-kaidah dalam penafsiran, dsb. maka pada makalah ini akan khusus mengupas Metode Tafsir Tahlili.
Metode Tafsir Tahlili merupakan satu dari empat metode tafsir yang dibahas dalam memelajari Ilmu Tafsir. Empat metode tersebut adalah, Metode Tafsir Ijmali, Metode Tafsir Tahlili, Metode Tafsir Maudhu'i dan Metode Tafsir Muqarin.[5]
Makalah ini akan memaparkan pengertian, ciri-ciri dan contoh-contoh kitab-kitab Tafsir Tahlili, contoh-contoh penafsiran, kelebihan dan kelemahan, serta pendapat penulis.
     
     Pengertian
Secara bahasa (al lughah), kata Tahliliy berasal dari akar kata bahasa arab, hallala-yuhallilu-tahlilan. Artinya, analisa atau menguraikan. Bahasa Inggrisnya, to analize, detailing.[6] Demikian arti dari segi bahasa (al lughah).
Secara istilah, menurut M. Quraish Shihab, Metode Tafsir Tahlili merupakan suatu bentuk tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai sisi dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran sebagaimana tercantum dalam mushaf.
Menurut Muhammad Baqir al-Shadr menamakan Metode Tafsir Tahlili sebagai Metode Tajzi’iy, yaitu metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai segi dengan memerhatikan susunan surat dan ayat al-Quran.[7] Sedangkan Abdul Hayy al-Farmawi menyatakan, Tafsir Tahlili dengan suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan  ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya.[8]
Pada kerjanya Metode Tafsir Tahlili menganalisis dari sisi bahasa, (al-lughah), sebab-sebab turun ayat (al-asbab al-anuzul), hubungan antar ayat, nasikh mansukh, perkembangan kebudayaan generasi  nabi dan sahabat maupun tabi’in. Di samping itu, khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami kandungan al-Quran.
Artinya Metode Tafsir Tahlili dapat disebutkan sebuah cara mengangkat dan menarik isi kandungan teks ayat-ayat al-Quran dengan cara menganalisis dari berbagai sisi. Kandungan inilah dijadikan sebagai acuan untuk memahami perintah, mengerjakan perintah dari Allah Swt. 

Ciri-Ciri dan Contoh Kitab Tafsir Tahlili
Sungguhpun para mufassir memiliki kecenderungan corak penafsiran sesuai menurut kadar kedalaman keilmuan yang dimilikinya namun mereka tetap menggunakan kaidah-kaidah umum Ilmu Tafsir al-Quran. Yaitu, Kaidah Quraniyah, Kaidah Sunnah, Kaidah Bahasa, Kaidah Ushul al-Fiqh dan Kaidah Ilmu Pengetahuan.[9]
Ciri-ciri metode Tafsir Tahlili di antaranya adalah, ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutan dalam mushhaf Utsmany, atau dimulai dari Surat al-Fatihah, diakhir dengan surat an-Nash. Mufassir menguraikan kosa kata, lafaz dan menjelaskan arti yang ditetapkannya.
Sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang di-istinbath-kan dari ayat, yaitu: hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah-perintah, larangan, janji, ancaman, hakikat, majaz, kinayah, dan al isti’arah.
Di samping itu juga mengemukakan kaitan antara Ayat-Ayat dan relevansinya Surat sebelum dan sesudahnya. Dilengkapi lagi dengan sebab-sebab turun ayat (al-asbab al-nuzul), hadits-hadits Rasulullahh SAW dan pendapat para sahabat dan tabi’in-tabi’in yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan.
Mufassir yang menggunakan metode tahlili umumnya menguasai lebih dari satu bidang ilmu. Seperti diketahui ulama pada masa dahulu tidak hanya menguasai satu bidang ilmu saja. Mereka bisa disebut multidisipliner.
Hasil dari Metode Tafsir Tahlili ini melahirkan beragam kitab tafsir. Ada yang ditulis dengan panjang lebar (al-ithnab), ada yang secara singkat (al-ijaz) dan ada pula di antara keduanya, pertengahan (al-musawah).
Kitab Tafsir al-Quran yang ditulis Mufassir al-Alusy, al-Fakhr al-Razy, al-Qurthuby dan Ibn Jarir al-Thabary termasuk katagori al-ithnab. Kitab tafsir karya Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din al-Mahally dan al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi masuk kategori singkat (al-Ijaz). Sedangkan karya Imam al-Baydlawy, Syeikh Muhammad ‘Abduh, al-Naysabury, masuk kategori pertengahan (al-musawah).[10]
Sekalipun mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili akan tetapi corak Tahlili masing-masing berbeda. Sesuai dengan kecenderungan mufasir tersebut. Lebih lengkap, kitab tafsir dengan Metode Tafsir Tahlili adalah:
1.                Tafsir al-Qur’an al-‘azhim karya Ibn Katsir.
2.                Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawy al-Bantany.
3.    Tafsir al-Fakh al-Razy yang terdiri dari  tafsir al- Kabir (Mafatih al-Ghaib) yang terdiri dari 30 jilid  dan Tafsir al-Saghir (Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil).
4.    Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir Al-Thabary
5.    Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan  Al-Tafsir al-Manqul, karangan Imam Al-Baghawy
6.    Madarik al –Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Mahmud Al-Nasafy
7.    Anwar al-Tanzil wa Asrarnal-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Al-Baydlawy
8.                Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, karangan Imam Al-Tustary
9.    Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Sulamy (w. 421 H)
10.     Ahkam Al-Qur’an, karangan Al-Jasshash (w. 370 H)
11.     Al-Jami’ li Al-Qurthuby (w. 671 H)
12.     At-Tafsir al-‘Ilm li al-Kauniyat al-Qur’an al-Karim, karya Hanafi Ahmad
13.     Al-Islam Yatahadda, karangan Al-‘Allamah Wahid al-Din Khan
14.     Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha (w. 1345 H)
15.     Tafsir a-Jalalain, karya Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din al-Mahally
16.     Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Salthut
17.     Tafsir Imam al-Zamakhsari (Al-Ksyasaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘uyun al-Aqawil fi Wujud al-Ta’wil), karya Tafsir Imam al-Zamakhsari [11]

    Corak Metode Tafsir Tahlili
Pada pertemuan terdahulu kita telah mengupas beragam corak penafsiran al-Quran. Pemahaman tentang corak ini, tiada lain adalah ragam dari metode yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir oleh kalangan ulama.[12] Berbeda metode penafsiran, kedalaman dan penguasaan ilmu, tentunya menghasilkan bentuk tafsir yang berbeda. Namun perbedaan tersebut tidak kontra dari makna awal ayat.
Metode Tafsir Tahlili dikelompokkan menjadi beberapa macam. Yaitu, tafsir bil Ma’tsuri, tafsir bir Ra’yi, tafsir as-Shufi, tafsir al-Fikhi, tafsir al-Falsafi, tafsir al-‘Ilmi, tafsir al-Adab al-ijtimi’i.[13] Lebih jelasnya, sbb:

1. Bentuk Tafsir Ma’tsuri (Riwayat)
Tafsir bil Ma’tsuri yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lain, dengan sunnah Nabi SAW, dengan pendapat sahabat Nabi SAW dan dengan perkataan  tabi’in.
Menurut Subhi as-Shalih, bentuk tafsir seperti ini sangat rentan terhadap masuknya pendapat-pendapat di luar Islam, seperti kaum zindiq Yahudi, Parsi dan masuknya hadits-hadits yang tidak shahih.
Namun demikian pada tafsir Ibnu Jarir al-Thabary (w.310 H), Jami al-Bayani fi Tafsir al-Quran dan tafsir Ibn Katsir (w.774 H), tafsir al-Quran, kecil kemungkinan terdapat penyimpangan maksud. Mengingat para mufassir bekerja dengan itikad ibadah dan kehati-hatian yang tinggi.

2.  Bentuk Tafsir bir ar-Ra’yi (Nalar)
Tafsir bir Ra’yi merupakan cara penafsiran Al-Qur’an dengan dan penalaran dari mufasir. Mufasir dalam punya kebebasan menafsirkan al-Qur’an. Hal tersebut tentu dibatasi oleh kaidah-kaidah penafsiran al-Qur’an, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Model Tafsir bir ar-ra’yi dapat dilihat dalam kitab tafsir, sbb:
§   ا نوا ر ا لتنزيل وا سرا ر ا لتاء ويل- al-Baidhawy (691 H).
§   مدا رك التنزيل وحقا تق ا لتاء ويل- al-Nasafy (w. 701 H).
§   لبا ب ا لتاءويل فى ا لتنزيل- al-Khazin (w. 741 H).
§   ا رشا د ا لعقل ا لسليم الى مزا يا ا لكتب  ا لكريم-Abu al-Su’ud (w. 982)
§مفا تيح ا لغيب  - al-Fakhr al-Razi (w. 606 H).[14]

3. Bentuk Tafsir as-Shufi
Tafsir as-Shufi mulai berkembang ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar di seluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya. Tafsir ini lebih menekankan pada aspek esoterik atau isyarat-isyarat yang tersirat dari ayat oleh para sufi.
Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti zhahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang dimaksudkan.
Di antara kitab-kitab tafsir al-Quran bercorak sufi adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim oleh al-Tustari (w. 383 H); Haqaiq al-Tafsir, oleh al-Sulami (w.412 H), ‘Araisy al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karya al-Syairazi (w. 606 H), Latha’if  al-Isyarah, karya al-Qusyairi (w.465 H).[15]

4. Bentuk Tafsir al-Fikhi (Hukum)
Tafsir Fikih adalah tafsir yang menekankan pada tinjauan hukum dari ayat yang ditafsirkan. Tafsir ini banyak di temukan dalam kitab-kitab fikih yang ditulis imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda. Tafsir yang ditulis tersebut menguatkan dalil atas kebenaran mazhab.[16]
Para mufasir menggunakan kaidah ushul dalam menafsirkan ayat. Kaidah-kaidah tersebut adalah:
a.    Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy
Al-amr adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti melarang untuk melakukan sebaliknya.
b.    Kaidah-kaidah ushuli lainnya antara lain:
1. Am dan Khash. Am adalah lafaz yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Sedangkan lafaz khash merupakan kebalikan dari lafaz Am, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2. Mujmal dan Mubayyan. Mujmal adalah lafaz yang mengandung dua makna atau lebih, yang kesemuanya masih sulit untuk ditentukan secara pasti mana yang lebih tepat untuknya, karena makna yang dikandung oleh lafaz tersebut sama-sama kuatnya. Sedangkan mubayyan merupakan penjelas terhadap lafaz yang masih mujmal pengertiannya.
3. Manthuq dan Mafhum. Manthuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh ucapan lafaz itu sendiri. Dengan kata lain, pengucapan lafaz itu sendirilah yang memberi jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandungannya sehingga tidak ada kemungkinan makna lain kecuali apa yang dapat dimengerti dari teks itu sendiri. Sedangkan mafhum adalah sesuatu (makna) dari suatu lafaz yang ditunjukkan secara tersirat.
4.  Muthlaq dan Muqayyad. Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan kepada satu-satuan tertentu tetapi tanpa adanya pembatasan. Sedangkan yang dimaksud lafazh muqayyad  adalah kebalikan dari lafazh muthlaq. Manna’ al-Qaththan dalam Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, mendefinisikannya sebagai suatu lafazh yang menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya batasan.
5.  Hakikat dan Majas. Hakikat merupakan suatu lafaz yang tetap pada makna aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir (makna yang diakhirkan) di dalamnya. Sedangkan majaz adalah lafaz yang digunakan untuk suatu arti, yang semua lafaz itu bukan diciptakan untuknya.[17]

Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsir al-Fikhi ini adalah:
§  احكا م ا لقر ا ن , oleh al-Jash-Shash (w. 370 H)
§  ا حكا م ا لقران , karya Ibn al-Arabi (w. 543 H)
§  الجا مع لا حكا م ا لقرا ن , oleh al-Qurthuby (w. 671) [18]
5. Bentuk Tafsir al - Falsafi (Filsafat)
Tafsir Falsafi merupakan ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filsafat. Pendekat filsafat yang digunakan adalah pendekatan yang berusaha melakukan sintesis dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu juga menggunakan pendekatan yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir ini hadir di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya dan gerakan penerjemahan buku-buku falsafah dari Yunani dimasa Dinasti Bani Abbasiyah. Tokoh-tokoh Islam yang membaca buku-buku filsafat dari Yunani terbagi kepada dua golongan.
Pertama, golongan yang menolak falsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara falsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang falsafat dan berupaya menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam Ghazali[19] dan al-Fakr al-Razi. Imam Ghazali bahkan secara khusus menulis tentang metode falsafat yang menurutnya rancu.[20]
Kedua, golongan yang mengagumi dan menerima falsafat, meskipun didalamnya terdapat ide-ide yang bertentangan dengan nash-nash syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan.
Di antara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasar corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak falsafat adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghaib, oleh al-Fakhr al-Razi (w. 606 H). Al-Imam al-Ghazali, melalui kitabnya Ihya ‘ulum ad-Din dan Jawahir al-Qur’an, Al-Imam al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan.
Sayangnya tak ada kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap dan utuh versi para filosof. Namun demikian ada yang tematik dan mengupas mendalam tentang ketuhanan, kosmologi dan hal-hal yang menjadi kajian utama filsafat. Hikmah bersentuhannya filsafat Yunani dengan Islam, lahirnya filosof-filosof dari kalangan Islam.
6. Bentuk Tafsir al-‘Ilmi (Ilmu)
Tafsir ini mulai muncul dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, sehingga tafsir ini dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan. Dalam tafsir ini mufasir berusaha mengkaji al-Qur’an dengan dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Tafsir ini terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dengan ayat-ayat lain yang berbicara pada masalah yang sama. Tafsir ini lebih dekat kepada model metode Tafsir Ijmali. 
Meskipun terdapat berbagai kendala dan rintangan serta tantangan, nampaknya masih ada tokoh-tokoh ulama kontemporer yang berminat melakukan kajian al-Tafsir al-‘Ilmi untuk menyingkapi makna ayat-ayat kauniyah. Tokoh ulama yang dimaksud antara lain:
a.    Al-Ustazd Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawi. Didalam kitabnya, Sunanullah al-Kauniyah, dia telah mengemukakan pembahasan panjang lebar mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang menunjuk kepada masalah meteorologi.
b.    Al-Ustazd Dr. Abd al-Aziz Ismail. Didalam karyanya, al-Islam wa al-Thib al-Hadist, tokoh ini menafsirkan sebagian ayat-ayat kawniyah secara ilmiah seraya mengungkapkan aspek-aspek kemukjizatannya.
c.    Al-Syekh Thanthawi Jauhari. Melalui kitab tafsirnya yang tebal, beliau telah mengemukakan pembahasan mengenai berbagai macam ilmu yang disyaratkan oleh ayat-ayat kawniyah. Andaikan tokoh ini tidak sempat memberikan penjelasan yang luas dan panjang lebar, niscaya masih banyak hakikat dan nilai ilmu yang ada di dalam ayat tersebut tetep tersembunyi.
d.   Ahmad Mukhtar al-Ghazi. Didalam kitab yang diberi judul Riyadh al-Mukhiar, tokoh ini banyak membahas ayat-ayat kawniyah, pembahasannya tersebut terbatas pada sudut pandang salah satu aspek dari sekian banyak aspek ilmu modern.
e.    Al-Ustadz Hanafi Ahmad, seperti yang terdapat dalam karyanya, al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kawniyah fi al-Qur’an al-Karim. [21]

7.  Bentuk Adab al-Ijtima’i
Tafsir adalah suatu metode tafsir yang coraknya menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan, serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dengan mengemukakannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.[22]
Tafsir ini mengandalkan kekuatan bahasa dan sastra budaya mufasir, dikaitkan dengan persoalan kekinian pada masanya. Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dapat digolongkan mengikuti corak ini, yang banyak memberi sumbangan persoalan kemasyarakatan kekinian pada masa itu.

      Contoh-Contoh Tafsir Tahlili
1.      Contoh Metode Tafsir Ma'tsuri
Salah satu contoh Metode Tafsir Tahlili yang menggunakan bentuk penafsiran ayat dengan ayat, yaitu: kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 2, Surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung. (Q.S. 2.3-5)
2.      Contoh Metode Tafsir bir ar-Ra'yi
Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”, mengenai surat al-Isra’ ayat 85:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.

Imam al-Mahalli menafsirkan kata ”ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.

3.    Contoh Metode Tafsir as-Shufi
Contoh yang dalam bentuk shufiyaitu dari al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah (Q.S. al-Baqarah: 45), sebagai berikut:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, keculi bagi orang-orang yang khusyu’. (Q.S. 2: 45)
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa.
Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’), sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa.
Contoh lain, dapat dikemukakan Al-alusi ketika menolak pendapat Mu’tazilah dan membela Asy’ariyah, dalam menafsirkan surat al Kahfi ayat 29.

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا


Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. 18:29)

Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah.
Hal ini karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya.
Kedua, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan ayat 30.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. 76:30)
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Demikian menurut al-Alusi.[23]
4.    Contoh Metode Tafsir al-Fikhi
Tafsir al-fikhi menitikberatkan perspektif hukum yang akan diambil dari al-Quran. Namun demikian tetap dengan kajian komperehensif. Hal ini seperti yang ditulis Al-Qurtubi.
Metodologi tafsirnya adalah; menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), mengemukakan ragam Qira’at dan i’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib (asing), melacak dan menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum.
Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari. Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasiy dan Abu bakar Al-Jasshash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik  madzhab.
Contohnya saat menafsirkan firman Allah, al-Baqarah ayat 187.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah meng-ampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minum-lah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Q.S.2:187)
Ada banyak hal yang dibahas dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari dibulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat Imam Malik, yang mengatakan batal dan wajib mengqadha; Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadha’nya. Dan puasanya tetap sempurna.
Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, katanya, Rasulullah bersabda, “jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadha’nya.”
Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakannya itu Al-Qurtubi tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia berlaku adil terhadap madzhab lain.
 Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi ynag ekstrim.
Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan didorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh ibn ‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Dan jika perlu mengkritik, maka kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat.
5.    Contoh Metode Tafsir al-Falsafi         
Beberapa pendapat para filosof muslim dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dilihat dalam karya Al-Farabi, Ikhwanus Shafa dan Ibnu Sina. Al-Farabi menulis Fushus al-Hikam yang memuat beberapa penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan filosofis.
Salah satunya adalah penafsirannya terhadap Surat al-Hadid ayat 3.
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S.57:3)

Penafsiran Al-Farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni penafsiran Plato tentang kekekalan alam. Oleh karena itu Al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari segi bahwa segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah berasal dari-Nya. Allah adalah yang pertama dari segi ada-Nya. Ia yang pertama dari setiap waktu yang keberadaanya bergantung pada-Nya. Telah ada waktu ketika tidak ada sesuatu selain dari-Nya.[24]
Berkenaan dengan lanjutan ayat ini yaitu pada kalimat “وَٱلظَّٰاهِرُ وَٱلْبَاطِنُ” artinya “Dia Yang Maha Dhahir dan Maha Bathin”, al-Farabi menafsirkan dengan menyatakan bahwa Tidak ada wujud yang lebih sempurna selain dari wujudNya, tidak ada yang tersembunyi kekurangan wujudNya dan Dia ada pada dzat yang Dhahir, dan tidak pantas muncul pada yang batin. DenganNya nampak segala sesuatu yang dhahir seperti matahari, dan nampak segala sesuatu yang tersembunyi dari persembunyiannya.
Contoh tafsir ibn Rusyd
Jika alam ini baru dan yang mengadakan adalah Allah maka pertanyaan yang muncul, bagaimana membuktikan bahwa Allah itu esa. Dalam hal ini rupanya Ibnu Rusyd menggunakan argumen teologis yang biasa dipakai oleh kaum teolog, yaitu Surat al-Anbiya’ ayat 22.

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚفَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (Q.S. 21 : 22).

Sebagaimana halnya para teolog di sini ibn Rusyd menjelaskan ayat tersebut dengan al-Qiyas ‘ala al-gho’ib bi asy-Syahid yaitu menganalogikan yang gaib dengan yang nyata. Kata Ibnu Rusyd: ”Sudah menjadi hal yang maklum bahwa berkumpulnya dua penguasa di satu negeri menyebabkan rusaknya negeri tersebut”.
Demikian pula jika di alam ini ada-dua tuhan bahkan lebih niscaya akan alam ini akan rusak, namun kenyataan membuktikan bahwa alam ini tetapberjalan baik dan teratur, berartl Allah itu esa.
Ibnu Rusyd kemudian memperkuat logika tersebut dengan ayat lain yaitu:
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَٰهٍ ۚإِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَٰهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚسُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain besertanya, kalau ada Tuhan besertanya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhantuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. (Q.S: al-Mukminun: 23: 91)[25]

6.    Contoh Metode Tafsir al-Ilmi
Contoh-contoh penafsiran dengan tafsir ilmi dapat diambil dari Q.S al-Baqarah: 61 yang bercerita tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas dengan makan satu jenis makanan di pegunungan.

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الأرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ


Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?(Q.S. 2. 61)

Thantowi Jauhari (w. 1940 M) mengomentari ayat ini dengan mengambil teori ilmiah Eropa, yakni bahwa model kehidupan Baduwi di pedesaan atau pegunungan, yang biasanya orang mengkonsumsi makanan manna wa salwa (jenis makanan yang tanpa efek samping) dengan kondisi udara yang bersih, jauh lebih baik daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan lainnya, ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan.[26]
Contoh lain dapat ditemukan dalam penafsiran M. Abduh terhadap surat al-Fil: 3 - 4 yang menafsirkan kata thayran ababil (burung Ababil) dengan mikroba dan kata al-hijarah (batu) dengan kuman penyakit. Atau, penafsiran Abdul al-Razq Nawfal pada Q.S. al-A’raf : 189.
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ 
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". (Q.S. &: 189)
Al-Razq menafsirkan kata nafsu al-wahidah (diri yang satu) dengan proton dan zawjaha dengan pasangannya elektron, dan masing-masing keduanya membentuk unsur atom. Contoh lain, ada penafsiran ayat dalam surah Yasiin ayat 38:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Yaasin: 38)

Pada masa-masa sebelumnya, para mufassir menafsirkan ayat ini dengan gerakan lahiriah matahari yang berjalan sehari-hari atau per musim. Akan tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah dan sains baru, para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan matahari menuju suatu titik tertentu yang di situ terdapat planet Vega.
Semua penafsiran itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif. Akan tetapi, di beberapa kalangan mufassirin kita melihat keteledoran dan keberlebihan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan rangka mendukung metode penafsiran ilmiah.

7. Contoh Metode Tafsir Adab al-Ijtima'i
Corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya memfokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk dalam hidup.
Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran Juz Amma oleh Muhammad Abduh dalam QS. al-Fiil: 3-4.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيل 
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ

Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. (Q.S.105: 3-4)

Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. sedangkan yang dimaksud dengan طيرا ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak, ”yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.[27]
Abduh menjelaskan bahwa lafaz طيرا tersebut merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan lafaz بحجارة itu berasal dari tanah kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.[28]
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat soaial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
Berbeda hal nyadengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh beberapa ulama era klasik ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya penafsiran dalam Tafsir al-Qurthubi dengan corak fiqhinya, yang hanya menafsirinya dengan memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni hanya membahas mengenai segi kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya pada riwayat-riwayat dari beberapa sahabat.
Tanpa memaknainya dengan mengkaitkan kehidupan sosial atau pengetahuan yang ada ketika itu dalam masyarakat. Beliau lebih mencantumkan mengenai perbedaan dari beberapa sahabat dengan pengertian bahwa lafaz طيرا berarti burung yang lebih mirip dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah.
Disebutkan juga bahwa lafaz tersebut bermakna burung khudlur (riwayat Said bin Jubair), dan sebagainya. Sedangkan mengenai lafaz بحجارة dalam tafsir tersebut ditafsiri dengan batu yang terbuat dari tanah liat, yang dibakar di atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang berhak atasnya.[29]
Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam corak Adabi Ijtimai mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam penafsirannya. Yakni bahwa corak tafsir tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial dan perkembangan pengetahuan yang berkembang pada masa modern.

    Kelebihan dan Kelemahan
Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia dengan segenap kemampuannya selalu memiliki kelemahan dan keistimewaan. Pun begitu Metode Tafsir Tahlili.
Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud bukanlah suatu hal yang negatif karena kegiatan ini usaha untuk menggali kandungan al-Quran, yang tentunya mufassir selalu berhati-hati dan berkerendahan hati.  
Tafsir Tahlili ditemukan beberapa keistimewaan diantaranya: Pertama, tafsir ini biasanya selalu memaparkan beberapa hadist ataupun perkataan sahabat dan para tabiin yang berkenaan dengan pokok pembahasan pada ayat. Juga didalamnya terdapat beberapa analisa mufassir mengenai hal-hal umum yang terjadi sesuai dengan ayat. Dengan demikian, informasi wawasan yang diberikan dalam tafsir ini sangat banyak dan dalam.
Kedua, keistimewaan lainnya adalah adanya potensi besar untuk memperkaya arti kata-kata dengan usaha penafsiran terhadap kosa-kata ayat. Potensi ini muncul dari luasnya sumber tafsir metode tahlili tersebut. Penafsiran kata dengan Metode Tahlili akan erat kaitannya dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak tertutup kemungkinan, kosa-kata ayat tersebut sedikit banyaknya bisa dijelaskan dengan kembali kepada arti kata tersebut seperti pemakaian aslinya. Pembuktian seperti ini akan banyak berkaitan dengan syair-syair kuno.
Ketiga, keistimewaan lainnya adalah luasnya bahasan penafsiran. Pada dasarnya, selain detail, keluasan bahasan juga menjadi salah satu ciri khusus yang membedakan tafsir tahlili dengan tafsir ijmali. Sebuah ayat yang tidak ditafsirkan oleh metode ijmali kadang kala membutuhkan ruang yang banyak bila ditafsirkan dengan metode tahlili.
Disamping keistimewaan, juga ada kelemahan. Namun sekali lagi kelemahan disini bukanlah merupakan kelemahan yang mengharuskan kita tidak menggunakan atau mengabaikan tafsir ini. Akan tetapi hendaknya dalam menyikapi kelemahan ini, kita harus dapat memilah milih beberapa informasi dan wawasan yang dipaparkan dalam metode penafsiran ini. Lebih dari itu, ketika zaman berganti, kekuatan penalaran berkembang, hasil usaha tafsir tahlili tentu saja beberapa penjelasan tidak lagi bisa diadopsi zaman.
Kelemahan-kelemahan itu di antaranya adalah; pertama, yang sering disebutkan adalah berkenaan dengan israiliyat yang mungkin terkadang masuk dalam informasi yang diberikan mufassir. Juga sama halnya dengan berbagai hadist lemah yang tidak selayaknya digunakan pada tempat dan kondisi sesuai.
Jadi analisa kritis yang mendalam, kelemahan-kelemahan  ini sangat mungkin untuk dihindarkan. Selayaknyalah memang seorang mufassir yang berkompeten untuk memberikan perhatian serius terhadap sumber informasi yang ia gunakan dalam menafsirkan sebuah ayat.
Israiliyyat tidaklah begitu sulit untuk dikenali, konsepnya hanyalah apakah informasi tersebut mempunyai sumber yang jelas atau tidak, bila sumbernya jelas dan kuat maka informasi tersebut bisa dipakai dan sebaliknya.
Demikian pula dengan hadist-hadist dha’if ataupun pendapat-pedapat para sahabat maupun tabi’i. Hukum dasar hadist da’if adalah tidak boleh diamalkan, hal ini tentu saja berlaku dalam pemakaian sebagai sumber tafsir. Hadist dha’if tersebut hanya bisa dipakai sebagai penguat apabila ada hadist yang lebih kuat menjelaskan senada dengan hadist da’if tersebut.
Kedua, tafsir tahlili adalah kesan pemaparan yang bertele-tele dan tidak sistematis. Tentu saja ini terjadi mengingat metode ini mengikuti susunan surat dan ayat dalam mushaf usmani. Sehingga tidak bisa disebut sistematis menurut alur pikir manusia hari ini. Keluasan masalah yang akan dipaparkan tentunya membuat panjang lebar dan berbeda dengan model pemaparan tafsir ijmali.
Keluasan bahasan Tafsir Tahlili dalam menguraikan sebuah ayat tentu saja membutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama bagi seorang mufassir. Bagi beberapa golongan hal ini juga dianggap sebagai kelemahan dibandingkan dengan Tafsir Ijmali yang praktis dan sederhana. 

     Penutup
Sebagai catatan penutup, Metode Tafsir Tahlili merupakan tafsir al-Quran yang memiliki kelebihan dan kelemahan. Namun kitab-kitab tafsir yang dilahirkan dari metode inilah yang paling tepat untuk dibaca dan memahami al-Quran, setelah itu dilanjutkan dengan memelajari metode tafsir ijmali dan maudhui sebagai zoom out dan zoom in agar mendapat kandungan al-Quran. Begitu pula ketika akan menulis tafsir al-Quran, kita tidak bisa lepas dengan karya para ulama yang telah menulis tafsir dengan menggunakan metode ini.
Setelah mengupas makalah ini, penulis dapat menyimpulkan, kerja tafsir bukan pekerjaan interpretasi biasa. Tetapi usaha sungguh-sungguh dan mendalam agar memahami ayat-ayat al-Quran secara komprehensif, tidak hanya satu dua ayat yang bisa berbahaya dari tujuan utama al-Quran diturunkan.[]
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Tafsir Juz Amma, tej.  Muhammad Bagir, Bandung: Mizan, 1999
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej. Dudi Rosyadi dan Faturrahman, Jakarta: PustakaAzzam, 2009
Abu al Fadl Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’am fi Tafsir al-Qur’an ‘Azim wa Sab’i al-Matsani, (Beirut, Dar Ihya al-Turats al’arabi, t.th) 
Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia,  2008)
Aqil, Said Husin al-Munawwar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I. Yogyakarya: Pustaka Pelajar, 1998
Hasan, ‘Ali Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Hayy Al-Farmawi, Abdul, Tafsir Maudhu‟i Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Husaini, Sayid Musa, Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir Modern, http://quran.al-shia.org/id/metode/01.htm, diakses Jumat (28/10), 09.00 WIB.
Kholis, Nur, Pengantar Al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008
Mustaqim, Abdul, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode klasik hingga kontemporer, Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005
Majid, Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Mohammad Maghfur Wachid.  Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin, Bangil: Al-Izzah, 1997
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2011, cet. III
Syarif, M.M., Para Filosof Muslim, cet: I, (Bandung : Mizan, 1985)
Suryadilaga, M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras. 2005
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I, II Jakarta: UI-Press, 1979
_______________,Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. III, Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Solihin, M, Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika, 2002
Tantawi Jauwhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mushtamil ‘ala ‘Ajaib Badai’ al-Mukawwanat wa Gharib al-Ayat al-Bahirat al-Musama, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004
Quraish, M. Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998
________________, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
__________________, Sejarah & al-Ulum al-Qur’an, Jakarta:  Pustaka Firdaus, 2001
Yuminah, Corak Penafsiran, dipresentasekan dalam kuliah, Senin (3/10)




[1]Basuki Tjahya Purnama alias Ahok dalam suatu kesempatan di Kepulauan Seribu melontarkan pernyataan tentang pihak lawan politiknya memakai propaganda deengan landasan ayat al-Maidah 51, agar warga Jakarta tak memilih dirinya dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017-2002. Pernyataan Ahok itu diunggah tidak lengkap, setelah mengalami pemenggalan dan editing, lalu diunggah ke situs video online, Youtube.Com.
[2]Ketika Megawati Soekarno Putri menjadi calon presiden R.I. dalam Pemilu 2004 dan 2009, wacana tentang pemimpin perempuan dalam Islam juga mengemuka. Tafsir ayat al-Quran tentang kepemimpinan yang mengemuka adalah QS. An Nisaa: 34. Setelah panggung pesta demokrasi itu terlewati, publik dan media massa sudah tak lagi intens membicarakan soal kepemimpinan seorang perempuan.
[3]QS. Al-Anbiya’ : 107, lihat Kitab Tafsir Ibnu Katsir Juz 5, hal. 385
[4]Q.S: 2:213, Q.S: 17:9, Q.S: 24:1, Q.S: 57:25
[5]Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
[6]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Cet.I. Yogyakarya: Pustaka Pelajar, 1998)
[7]M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), lihat juga, M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996).
[8]Abdul Hayy Al-Farmawi, op.cit.
[9] M. Alfatih Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005. hal. 70
[10]Nur Kholis, Pengantar Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008)

[11]‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)
[12]Lebih lengkap dalam makalah Yuminah, Corak Penafsiran, dipresentasekan dalam kuliah, Senin (3/10).
[13]Said Aqil Husin al-Munawwar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hal.69 
[14]Said Aqil Husin al-Munawwar, op.cit. hal. 74-80
[15]M. Quraish Shihab, Sejarah & Ulum al Qur’an, (Jakarta:  Pustaka Firdaus, 2001)
[16]Said Aqil Husein al Munawwar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehn Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 70-71
[17]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005).
[18]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cet. III, hal. 20 
[19]Imam Al-Ghazali menulis buku Tahafut al Falasifah, sebagai kritik tajamnya terhadap metode berpikir filsafat. Kritik ini juga dibalas Ibn Rusyd dengan buku Tahafut al Tahafut. Polemik dua tokoh Islam ini dapat ditemukan dalam M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, cet: I, (Bandung : Mizan, 1985). Lihat, Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, cet. v (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), serta Harun Nasution, Jilid II, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1979), Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
[20]Imam Al-Ghazali menulis buku Tahafut al Falasifah, sebagai kritik tajamnya terhadap metode berpikir filsafat. Kritik ini juga dibalas Ibn Rusyd dengan buku Tahafut al Tahafut. Polemik dua tokoh Islam ini dapat ditemukan dalam M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, cet: I, (Bandung : Mizan, 1985). Lihat, Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, cet. v (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), serta Harun Nasution, Jilid II, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1979), Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
[21]Lihat Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia,  2008), lihat juga dalam Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005).
[22]M. Alfatih Suryadilaga, op.cit., hal. 55.
[23]Abu al Fadl Mahmud al-alusi, Ruh al-Ma’am fi Tafsir al-Qur’an ‘Azim wa Sab’i al-Matsani, (Beirut, Dar Ihya al-Turats al’arabi, t.th) v.15 h.266. Juga dalam M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedalh Tema-tema Penting Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) hal.59-61
[24]Sayid Musa Husaini,  Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir Modern, http://quran.al-shia.org/id/metode/01.htm, diakses Jumat (28/10), 09.00 WIB.
[25]Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Mohammad Maghfur Wachid.  Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin, (Bangil: Al-Izzah, 1997) hlm. 279.
[26]Tantawi Jauwhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mushtamil ‘ala ‘Ajaib Badai’ al-Mukawwanat wa Gharib al-Ayat al-Bahirat al-Musama Tafsir Tantawi Jawhari, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 66-67 sebagaimana dikutub dalam Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Islamika, 2002) hlm 316
[27]Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej.  Muhammad Bagir (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 320
[28]Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej.  Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 322
[29]Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej. Dudi Rosyadi dan Faturrahman (Jakarta: PustakaAzzam, 2009), hlm. 755-760

No comments:

Post a Comment