METODE
TAFSIR TAHLILI
ABDULLAH KHUSAIRI
Pendahuluan
Salah satu dampak
positif dari pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama yang diduga
menistakan agama oleh sebagian golongan ummat Islam adalah tafsir-tafsir al-Quran
dibicarakan di ruang publik secara terbuka. Khususnya Surat al-Maidah ayat: 51.[1]
Terlepas kepentingan
politik praktis kekuasaan yang telah mengitari persoalan penafsiran surat
al-Maidah ayat: 51 tersebut, yang jelas di panggung publik, media massa dan
media sosial, tafsir al-Quran khusus ayat-ayat yang berkenaan dengan
kepemimpinan telah disuarakan secara lantang. Persoalan serupa ini memang
sering muncul dalam kontestasi politik menjelang dunia suksesi di daerah bahkan
dalam Pemilihan Presiden.[2]
Walau pun akhirnya, memang
pendalaman kajian tafsir harus terus dipaparkan kepada publik agar tidak
terjebak dalam logika sempit dan menjauhkan simpati dan menegasi keberagaman
dan al-islam al-rahmat al-amin.[3]
Kita tidak akan mengupas
pro kontra penafsiran Surat al-Maidah ayat: 51 tersebut. Peristiwa ini cukuplah
menjadi titik balik bersama untuk mendalami lebih jauh metode-metode tafsir
al-Quran. Perbedaan penafsiran adalah keniscayaan yang harus dihormati sejauh
tidak memiliki efek negatif dan berlawanan maksud kehadiran al-Quran sebagai
petunjuk bagi ummat manusia (al-hudan
al-nash).[4]
Melanjutkan materi kuliah
Quranic Exgesis of Methode, setelah kita mengenal beberapa pendekatan dalam
tafsir (bi al ma'tsur dan bi al-ra'yi),
corak-corak penafsiran, faktor-faktor penyebab penyimpangan dalam tafsir,
kaidah-kaidah dalam penafsiran, dsb.
maka pada makalah ini akan khusus mengupas Metode
Tafsir Tahlili.
Metode Tafsir Tahlili
merupakan satu dari empat metode tafsir yang dibahas dalam memelajari Ilmu
Tafsir. Empat metode tersebut adalah, Metode
Tafsir Ijmali, Metode Tafsir Tahlili,
Metode Tafsir Maudhu'i dan Metode Tafsir Muqarin.[5]
Makalah ini akan
memaparkan pengertian, ciri-ciri dan contoh-contoh kitab-kitab Tafsir Tahlili,
contoh-contoh penafsiran, kelebihan dan kelemahan, serta pendapat penulis.
Pengertian
Secara bahasa (al lughah), kata Tahliliy berasal dari akar kata bahasa arab, hallala-yuhallilu-tahlilan. Artinya, analisa atau menguraikan.
Bahasa Inggrisnya, to analize, detailing.[6]
Demikian arti dari segi bahasa (al
lughah).
Secara istilah, menurut M. Quraish Shihab, Metode
Tafsir Tahlili merupakan suatu bentuk
tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai sisi
dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran sebagaimana tercantum dalam
mushaf.
Menurut Muhammad Baqir
al-Shadr menamakan Metode Tafsir Tahlili
sebagai Metode Tajzi’iy, yaitu metode
tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai
segi dengan memerhatikan susunan surat dan ayat al-Quran.[7]
Sedangkan Abdul Hayy al-Farmawi menyatakan, Tafsir Tahlili dengan suatu metode
tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya.[8]
Pada kerjanya Metode
Tafsir Tahlili menganalisis dari sisi bahasa, (al-lughah), sebab-sebab turun ayat (al-asbab al-anuzul), hubungan antar ayat, nasikh mansukh, perkembangan kebudayaan generasi nabi dan sahabat maupun tabi’in. Di samping
itu, khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami kandungan
al-Quran.
Artinya Metode Tafsir
Tahlili dapat disebutkan sebuah cara mengangkat dan menarik isi kandungan teks
ayat-ayat al-Quran dengan cara menganalisis dari berbagai sisi. Kandungan
inilah dijadikan sebagai acuan untuk memahami perintah, mengerjakan perintah
dari Allah Swt.
Ciri-Ciri dan Contoh Kitab Tafsir
Tahlili
Sungguhpun para
mufassir memiliki kecenderungan corak penafsiran sesuai menurut kadar kedalaman
keilmuan yang dimilikinya namun mereka tetap menggunakan kaidah-kaidah umum
Ilmu Tafsir al-Quran. Yaitu, Kaidah Quraniyah, Kaidah Sunnah, Kaidah Bahasa, Kaidah Ushul al-Fiqh dan Kaidah Ilmu Pengetahuan.[9]
Ciri-ciri metode Tafsir
Tahlili di antaranya adalah, ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan, ayat demi ayat
dan surat demi surat, sesuai urutan dalam mushhaf Utsmany, atau dimulai dari
Surat al-Fatihah, diakhir dengan surat an-Nash. Mufassir menguraikan kosa kata,
lafaz dan menjelaskan arti yang ditetapkannya.
Sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat,
menjelaskan apa yang di-istinbath-kan
dari ayat, yaitu: hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma
akhlak, aqidah atau tauhid, perintah-perintah, larangan, janji, ancaman, hakikat,
majaz, kinayah, dan al isti’arah.
Di samping itu juga
mengemukakan kaitan antara Ayat-Ayat dan relevansinya Surat sebelum dan
sesudahnya. Dilengkapi lagi dengan sebab-sebab turun ayat (al-asbab al-nuzul), hadits-hadits Rasulullahh SAW dan pendapat para
sahabat dan tabi’in-tabi’in yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan.
Mufassir yang
menggunakan metode tahlili umumnya menguasai lebih dari satu bidang ilmu. Seperti
diketahui ulama pada masa dahulu tidak hanya menguasai satu bidang ilmu saja.
Mereka bisa disebut multidisipliner.
Hasil dari Metode Tafsir
Tahlili ini melahirkan beragam kitab tafsir. Ada yang ditulis dengan panjang
lebar (al-ithnab), ada yang secara singkat (al-ijaz) dan ada pula di antara keduanya, pertengahan (al-musawah).
Kitab Tafsir al-Quran
yang ditulis Mufassir al-Alusy, al-Fakhr al-Razy, al-Qurthuby dan Ibn Jarir al-Thabary
termasuk katagori al-ithnab. Kitab
tafsir karya Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din al-Mahally dan al-Sayyid
Muhammad Farid Wajdi masuk kategori singkat (al-Ijaz). Sedangkan karya Imam al-Baydlawy, Syeikh Muhammad ‘Abduh,
al-Naysabury, masuk kategori pertengahan (al-musawah).[10]
Sekalipun mereka
sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili akan tetapi
corak Tahlili masing-masing berbeda. Sesuai dengan kecenderungan mufasir
tersebut. Lebih lengkap, kitab tafsir dengan Metode Tafsir Tahlili adalah:
1.
Tafsir al-Qur’an al-‘azhim karya Ibn
Katsir.
2.
Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawy
al-Bantany.
3. Tafsir
al-Fakh al-Razy yang terdiri dari tafsir
al- Kabir (Mafatih al-Ghaib) yang
terdiri dari 30 jilid dan Tafsir
al-Saghir (Asrar al-Tanzil wa Anwar
al-Ta’wil).
4.
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karangan
Imam Ibn Jarir Al-Thabary
5.
Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan Al-Tafsir
al-Manqul, karangan Imam Al-Baghawy
6.
Madarik al –Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan
Al-Ustadz Mahmud Al-Nasafy
7.
Anwar al-Tanzil wa Asrarnal-Ta’wil, karangan
Al-Ustadz Al-Baydlawy
8.
Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, karangan
Imam Al-Tustary
9.
Haqaiq al-Tafsir, karangan al-Sulamy
(w. 421 H)
10.
Ahkam Al-Qur’an, karangan
Al-Jasshash (w. 370 H)
11.
Al-Jami’ li Al-Qurthuby (w. 671 H)
12.
At-Tafsir al-‘Ilm li al-Kauniyat al-Qur’an al-Karim, karya Hanafi
Ahmad
13.
Al-Islam Yatahadda, karangan Al-‘Allamah
Wahid al-Din Khan
14.
Tafsir al-Manar, karya Rasyid
Ridha (w. 1345 H)
15.
Tafsir a-Jalalain, karya Jalal
al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din al-Mahally
16.
Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud
Salthut
17. Tafsir Imam al-Zamakhsari
(Al-Ksyasaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘uyun al-Aqawil fi Wujud al-Ta’wil), karya Tafsir
Imam al-Zamakhsari [11]
Corak
Metode Tafsir Tahlili
Pada pertemuan terdahulu
kita telah mengupas beragam corak penafsiran al-Quran. Pemahaman tentang corak
ini, tiada lain adalah ragam dari metode yang digunakan dalam melahirkan karya
tafsir oleh kalangan ulama.[12]
Berbeda metode penafsiran, kedalaman dan penguasaan ilmu, tentunya menghasilkan
bentuk tafsir yang berbeda. Namun perbedaan tersebut tidak kontra dari makna
awal ayat.
Metode Tafsir Tahlili dikelompokkan
menjadi beberapa macam. Yaitu, tafsir bil
Ma’tsuri, tafsir bir Ra’yi, tafsir as-Shufi, tafsir al-Fikhi, tafsir al-Falsafi,
tafsir al-‘Ilmi, tafsir al-Adab al-ijtimi’i.[13]
Lebih jelasnya, sbb:
1.
Bentuk Tafsir Ma’tsuri (Riwayat)
Tafsir bil Ma’tsuri yaitu menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan ayat-ayat lain, dengan sunnah Nabi SAW, dengan pendapat
sahabat Nabi SAW dan dengan perkataan
tabi’in.
Menurut Subhi as-Shalih, bentuk tafsir seperti ini sangat
rentan terhadap masuknya pendapat-pendapat di luar Islam, seperti kaum zindiq
Yahudi, Parsi dan masuknya hadits-hadits yang tidak shahih.
Namun demikian pada tafsir Ibnu Jarir al-Thabary
(w.310 H), Jami al-Bayani fi Tafsir
al-Quran dan tafsir Ibn Katsir
(w.774 H), tafsir al-Quran, kecil
kemungkinan terdapat penyimpangan maksud. Mengingat para mufassir bekerja
dengan itikad ibadah dan kehati-hatian yang tinggi.
2. Bentuk Tafsir bir ar-Ra’yi (Nalar)
Tafsir bir Ra’yi merupakan cara penafsiran Al-Qur’an
dengan dan penalaran dari mufasir. Mufasir dalam punya kebebasan menafsirkan al-Qur’an.
Hal tersebut tentu dibatasi oleh kaidah-kaidah penafsiran al-Qur’an, agar tidak
terjadi penyalahgunaan wewenang dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Model Tafsir bir ar-ra’yi dapat dilihat dalam kitab
tafsir, sbb:
§ ا نوا ر ا لتنزيل وا سرا ر ا لتاء ويل- al-Baidhawy (691 H).
§ مدا رك التنزيل وحقا تق ا لتاء ويل- al-Nasafy (w. 701 H).
§ لبا ب ا لتاءويل فى ا لتنزيل- al-Khazin (w. 741 H).
§ ا رشا د ا لعقل ا لسليم الى مزا يا ا لكتب ا لكريم-Abu al-Su’ud (w. 982)
3.
Bentuk Tafsir as-Shufi
Tafsir as-Shufi mulai berkembang ketika ilmu-ilmu
agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar di seluruh
pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya. Tafsir ini lebih
menekankan pada aspek esoterik atau isyarat-isyarat yang tersirat dari ayat
oleh para sufi.
Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti
zhahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh
para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang
dimaksudkan.
Di antara kitab-kitab tafsir al-Quran bercorak sufi adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim oleh al-Tustari
(w. 383 H); Haqaiq al-Tafsir, oleh
al-Sulami (w.412 H), ‘Araisy al-Bayan fi
Haqaiq al-Qur’an, karya al-Syairazi (w. 606 H), Latha’if al-Isyarah, karya
al-Qusyairi (w.465 H).[15]
4.
Bentuk Tafsir al-Fikhi (Hukum)
Tafsir Fikih adalah tafsir yang menekankan pada tinjauan
hukum dari ayat yang ditafsirkan. Tafsir ini banyak di temukan dalam
kitab-kitab fikih yang ditulis imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda.
Tafsir yang ditulis tersebut menguatkan dalil atas kebenaran mazhab.[16]
Para mufasir menggunakan kaidah ushul dalam
menafsirkan ayat. Kaidah-kaidah tersebut adalah:
a.
Kaidah
yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy
Al-amr
adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih
tinggi derajatnya kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan
kebalikan dari al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti melarang
untuk melakukan sebaliknya.
b.
Kaidah-kaidah
ushuli lainnya antara lain:
1.
Am dan Khash. Am adalah lafaz
yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas
dalam jumlah tertentu. Sedangkan lafaz khash merupakan kebalikan dari lafaz Am, yaitu yang tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2.
Mujmal dan Mubayyan. Mujmal adalah lafaz
yang mengandung dua makna atau lebih, yang kesemuanya masih sulit untuk
ditentukan secara pasti mana yang lebih tepat untuknya, karena makna yang
dikandung oleh lafaz tersebut sama-sama kuatnya. Sedangkan mubayyan merupakan
penjelas terhadap lafaz yang masih mujmal pengertiannya.
3.
Manthuq dan Mafhum. Manthuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh ucapan
lafaz itu sendiri. Dengan kata lain, pengucapan lafaz itu sendirilah yang
memberi jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandungannya sehingga tidak
ada kemungkinan makna lain kecuali apa yang dapat dimengerti dari teks itu
sendiri. Sedangkan mafhum adalah sesuatu (makna) dari suatu lafaz yang
ditunjukkan secara tersirat.
4. Muthlaq
dan Muqayyad. Muthlaq adalah suatu
lafazh yang menunjukkan kepada satu-satuan tertentu tetapi tanpa adanya
pembatasan. Sedangkan yang dimaksud lafazh muqayyad adalah kebalikan dari lafazh muthlaq. Manna’
al-Qaththan dalam Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, mendefinisikannya sebagai suatu
lafazh yang menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya batasan.
5. Hakikat dan Majas. Hakikat merupakan suatu lafaz
yang tetap pada makna aslinya, dan tidak ada taqdim (makna yang didahulukan)
dan ta’khir (makna yang diakhirkan) di dalamnya. Sedangkan majaz adalah lafaz yang
digunakan untuk suatu arti, yang semua lafaz itu bukan diciptakan untuknya.[17]
Di antara kitab-kitab tafsir yang
bercorak tafsir al-Fikhi ini adalah:
§ احكا م ا لقر
ا ن
, oleh
al-Jash-Shash (w. 370 H)
§ ا حكا م ا
لقران , karya Ibn
al-Arabi (w. 543 H)
5.
Bentuk Tafsir al - Falsafi (Filsafat)
Tafsir Falsafi merupakan ilmu
tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filsafat.
Pendekat filsafat yang digunakan adalah pendekatan yang berusaha melakukan
sintesis dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Selain itu juga menggunakan pendekatan yang berusaha menolak teori-teori
filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir ini hadir di tengah-tengah
pesatnya perkembangan ilmu dan budaya dan gerakan penerjemahan buku-buku
falsafah dari Yunani dimasa Dinasti Bani Abbasiyah. Tokoh-tokoh Islam yang
membaca buku-buku filsafat dari Yunani terbagi kepada dua golongan.
Pertama, golongan
yang menolak falsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara
falsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang falsafat dan berupaya
menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam Ghazali[19]
dan al-Fakr al-Razi. Imam Ghazali bahkan secara khusus menulis tentang metode falsafat
yang menurutnya rancu.[20]
Kedua, golongan
yang mengagumi dan menerima falsafat, meskipun didalamnya terdapat ide-ide yang
bertentangan dengan nash-nash syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan
atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan
segala pertentangan.
Di antara kitab-kitab tafsir yang
ditulis berdasar corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak
falsafat adalah kitab tafsir Mafatih
al-Ghaib, oleh al-Fakhr al-Razi (w. 606 H). Al-Imam al-Ghazali, melalui
kitabnya Ihya ‘ulum ad-Din dan Jawahir al-Qur’an, Al-Imam
al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan.
Sayangnya tak ada kitab tafsir
al-Qur’an secara lengkap dan utuh versi para filosof. Namun demikian ada yang
tematik dan mengupas mendalam tentang ketuhanan, kosmologi dan hal-hal yang
menjadi kajian utama filsafat. Hikmah bersentuhannya filsafat Yunani dengan
Islam, lahirnya filosof-filosof dari kalangan Islam.
6.
Bentuk Tafsir al-‘Ilmi (Ilmu)
Tafsir ini mulai muncul dampak dari perkembangan
ilmu pengetahuan yang sangat pesat, sehingga tafsir ini dalam menafsirkan al-Qur’an
dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau dengan menggunakan teori-teori ilmu
pengetahuan. Dalam tafsir ini mufasir berusaha mengkaji al-Qur’an dengan
dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Tafsir ini
terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dengan
ayat-ayat lain yang berbicara pada masalah yang sama. Tafsir ini lebih dekat
kepada model metode Tafsir Ijmali.
Meskipun terdapat berbagai kendala dan rintangan serta tantangan, nampaknya
masih ada tokoh-tokoh ulama kontemporer yang berminat melakukan kajian
al-Tafsir al-‘Ilmi untuk menyingkapi makna ayat-ayat kauniyah. Tokoh ulama yang dimaksud antara lain:
a.
Al-Ustazd Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawi. Didalam
kitabnya, Sunanullah al-Kauniyah, dia telah mengemukakan pembahasan
panjang lebar mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang menunjuk kepada masalah
meteorologi.
b.
Al-Ustazd Dr. Abd al-Aziz Ismail. Didalam karyanya, al-Islam
wa al-Thib al-Hadist, tokoh ini menafsirkan sebagian ayat-ayat kawniyah
secara ilmiah seraya mengungkapkan aspek-aspek kemukjizatannya.
c.
Al-Syekh Thanthawi Jauhari. Melalui kitab tafsirnya
yang tebal, beliau telah mengemukakan pembahasan mengenai berbagai macam ilmu
yang disyaratkan oleh ayat-ayat kawniyah. Andaikan tokoh ini tidak sempat
memberikan penjelasan yang luas dan panjang lebar, niscaya masih banyak hakikat
dan nilai ilmu yang ada di dalam ayat tersebut tetep tersembunyi.
d.
Ahmad Mukhtar al-Ghazi. Didalam kitab yang diberi
judul Riyadh al-Mukhiar, tokoh ini banyak membahas ayat-ayat kawniyah, pembahasannya
tersebut terbatas pada sudut pandang salah satu aspek dari sekian banyak aspek
ilmu modern.
e.
Al-Ustadz Hanafi Ahmad, seperti yang terdapat dalam
karyanya, al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kawniyah fi al-Qur’an al-Karim. [21]
7. Bentuk
Adab al-Ijtima’i
Tafsir adalah suatu metode tafsir yang coraknya
menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
kehidupan kemasyarakatan, serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah
kemasyarakatan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dengan mengemukakannya
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.[22]
Tafsir ini mengandalkan kekuatan bahasa dan sastra budaya mufasir,
dikaitkan dengan persoalan kekinian pada masanya. Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dapat
digolongkan mengikuti corak ini, yang banyak memberi sumbangan persoalan
kemasyarakatan kekinian pada masa itu.
Contoh-Contoh Tafsir Tahlili
1. Contoh Metode Tafsir Ma'tsuri
Salah satu
contoh Metode Tafsir Tahlili yang menggunakan bentuk penafsiran ayat dengan
ayat, yaitu: kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 2, Surat
al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ
قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
Yaitu orang-orang yang beriman
kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami
berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang
telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung. (Q.S.
2.3-5)
2.
Contoh Metode Tafsir bir ar-Ra'yi
Salah satu contoh penafsiran bi al-Ra’yi adalah
penafsiran yang dikemukakan oleh imam al-Mahalli dan imam as-Sayuthi dalam
kitab tafsir kolaborasi mereka “Tafsir Jalalain”, mengenai surat al-Isra’ ayat
85:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ
الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.
Imam al-Mahalli menafsirkan kata ”ruh” bahwa
sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia,
maka manusia bisa hidup. Kemudian imam as-Suyuthi memberikan penafsiran bahwa
perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari
memberikan defenisinya adalah lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-Ra’yi yang
ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan
pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat
dan syari’at.
3. Contoh Metode Tafsir as-Shufi
Contoh yang dalam bentuk shufi, yaitu
dari al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan oleh
firman Allah (Q.S. al-Baqarah: 45), sebagai berikut:
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat,
keculi bagi orang-orang yang khusyu’. (Q.S. 2: 45)
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan hati untuk menangkap tajally (penampakan
diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan
lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah
yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa.
Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di
hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan
sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam
sifat-sifat Allah (baqa’), sehingga mereka tidak menemukan selain
eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa.
Contoh lain, dapat dikemukakan Al-alusi ketika menolak
pendapat Mu’tazilah dan membela Asy’ariyah, dalam menafsirkan surat al Kahfi
ayat 29.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا
لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا
يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ
مُرْتَفَقًا
Dan katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek. (QS. 18:29)
Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah.
Hal ini karena free
will dan free act bertentangan
dengan dua hal; Pertama, bila untuk
berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga
perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis
yang tidak ada ujung pangkalnya.
Kedua, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan ayat 30.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan
itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.(QS. 76:30)
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu
terjadi atas kehendak Allah. Demikian menurut al-Alusi.[23]
4. Contoh Metode Tafsir al-Fikhi
Tafsir al-fikhi menitikberatkan perspektif hukum
yang akan diambil dari al-Quran. Namun demikian tetap dengan kajian
komperehensif. Hal ini seperti yang ditulis Al-Qurtubi.
Metodologi tafsirnya adalah; menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab
turunnya ayat), mengemukakan ragam Qira’at dan i’rab, menjelaskan
lafazh-lafazh yang gharib (asing), melacak dan menghubungkan berbagai
pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para
mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama
terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum.
Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari. Ibnu ‘Athiyah, Ibnu
Arabi, Alkiya Harrasiy dan Abu bakar Al-Jasshash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan
masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya.
Dia tidak fanatik madzhab.
Contohnya saat menafsirkan firman Allah, al-Baqarah ayat 187.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ
اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari
bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah meng-ampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minum-lah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa. (Q.S.2:187)
Ada banyak hal yang dibahas dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan
pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari dibulan
Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat Imam Malik, yang mengatakan batal
dan wajib mengqadha; Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik,
tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan
jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia
tidak wajib mengqadha’nya. Dan puasanya tetap sempurna.
Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, katanya, Rasulullah bersabda,
“jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang
demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib
mengqadha’nya.”
Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakannya itu
Al-Qurtubi tidak lagi sejalan dengan madzhabnya sendiri, ia berlaku adil terhadap
madzhab lain.
Al-Qurtubi juga melakukan
konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. misalnya, ia menyanggah kaum
Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi ynag
ekstrim.
Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan didorong oleh rasa keadilan,
kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh ibn ‘Arabi dan
mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Dan
jika perlu mengkritik, maka kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara
sopan dan terhormat.
5. Contoh Metode Tafsir al-Falsafi
Beberapa
pendapat para filosof muslim dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dilihat dalam
karya Al-Farabi, Ikhwanus Shafa dan Ibnu Sina. Al-Farabi menulis Fushus
al-Hikam yang memuat beberapa penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
dengan pendekatan filosofis.
Salah
satunya adalah penafsirannya terhadap Surat al-Hadid ayat 3.
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir
dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S.57:3)
Penafsiran
Al-Farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni penafsiran Plato tentang
kekekalan alam. Oleh karena itu Al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari
segi bahwa segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah
berasal dari-Nya. Allah adalah yang pertama dari segi ada-Nya. Ia yang pertama
dari setiap waktu yang keberadaanya bergantung pada-Nya. Telah ada waktu ketika
tidak ada sesuatu selain dari-Nya.[24]
Berkenaan
dengan lanjutan ayat ini yaitu pada kalimat “وَٱلظَّٰاهِرُ وَٱلْبَاطِنُ”
artinya “Dia Yang Maha Dhahir dan Maha Bathin”, al-Farabi menafsirkan dengan
menyatakan bahwa Tidak ada wujud yang lebih sempurna selain dari wujudNya,
tidak ada yang tersembunyi kekurangan wujudNya dan Dia ada pada dzat yang
Dhahir, dan tidak pantas muncul pada yang batin. DenganNya nampak segala
sesuatu yang dhahir seperti matahari, dan nampak segala sesuatu yang
tersembunyi dari persembunyiannya.
Contoh tafsir ibn Rusyd
Jika
alam ini baru dan yang mengadakan adalah Allah maka pertanyaan yang muncul,
bagaimana membuktikan bahwa Allah itu esa. Dalam hal ini rupanya Ibnu Rusyd
menggunakan argumen teologis yang biasa dipakai oleh kaum teolog, yaitu Surat
al-Anbiya’ ayat 22.
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ
إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚفَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا
يَصِفُونَ
Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan. (Q.S. 21 : 22).
Sebagaimana
halnya para teolog di sini ibn Rusyd menjelaskan ayat tersebut dengan al-Qiyas
‘ala al-gho’ib bi asy-Syahid yaitu menganalogikan yang gaib dengan yang
nyata. Kata Ibnu Rusyd: ”Sudah menjadi hal yang maklum bahwa berkumpulnya dua
penguasa di satu negeri menyebabkan rusaknya negeri tersebut”.
Demikian
pula jika di alam ini ada-dua tuhan bahkan lebih niscaya akan alam ini akan
rusak, namun kenyataan membuktikan bahwa alam ini tetapberjalan baik dan
teratur, berartl Allah itu esa.
Ibnu
Rusyd kemudian memperkuat logika tersebut dengan ayat lain yaitu:
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ
وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَٰهٍ ۚإِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَٰهٍ بِمَا خَلَقَ
وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚسُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Allah sekali-kali tidak
mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain besertanya, kalau ada Tuhan besertanya,
masing-masing tuhan itu akan
membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhantuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.
Maha suci Allah dari apa yang
mereka sifatkan. (Q.S: al-Mukminun: 23: 91)[25]
6.
Contoh Metode Tafsir al-Ilmi
Contoh-contoh penafsiran dengan tafsir ilmi dapat diambil dari Q.S
al-Baqarah: 61 yang bercerita tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas dengan
makan satu jenis makanan di pegunungan.
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الأرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata:
“Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab
itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari
apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya,
kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang
rendah sebagai pengganti yang lebih baik?(Q.S. 2. 61)
Thantowi Jauhari (w. 1940 M) mengomentari ayat ini dengan mengambil teori
ilmiah Eropa, yakni bahwa model kehidupan Baduwi di pedesaan atau pegunungan,
yang biasanya orang mengkonsumsi makanan manna wa salwa (jenis makanan
yang tanpa efek samping) dengan kondisi udara yang bersih, jauh lebih baik
daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi
makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan lainnya, ditambah
lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan.[26]
Contoh lain dapat ditemukan dalam penafsiran M. Abduh terhadap surat al-Fil:
3 - 4 yang menafsirkan kata thayran ababil (burung Ababil) dengan
mikroba dan kata al-hijarah (batu) dengan kuman penyakit. Atau,
penafsiran Abdul al-Razq Nawfal pada Q.S. al-A’raf : 189.
هُوَ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ
إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا
أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ
مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah Yang
menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya,
agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu
mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa
waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon
kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi
kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang
bersyukur". (Q.S. &: 189)
Al-Razq menafsirkan
kata nafsu al-wahidah (diri yang satu) dengan proton dan zawjaha
dengan pasangannya elektron, dan masing-masing keduanya membentuk unsur atom. Contoh lain, ada penafsiran ayat dalam surah Yasiin ayat 38:
وَالشَّمْسُ
تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Dan matahari berjalan ditempat
peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Yaasin: 38)
Pada masa-masa sebelumnya, para mufassir menafsirkan ayat ini dengan
gerakan lahiriah matahari yang berjalan sehari-hari atau per musim. Akan
tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah dan sains baru,
para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan matahari menuju suatu
titik tertentu yang di situ terdapat planet Vega.
Semua penafsiran itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat
moderatif. Akan tetapi, di beberapa kalangan mufassirin kita melihat
keteledoran dan keberlebihan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
rangka mendukung metode penafsiran ilmiah.
7. Contoh Metode
Tafsir Adab al-Ijtima'i
Corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya memfokuskan pada pemaknaan
linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau
persoalan yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi
dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat
berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni
sebagai petunjuk dalam hidup.
Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi
ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran Juz Amma oleh Muhammad Abduh dalam QS. al-Fiil: 3-4.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيل
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ
Dan Dia kirimkan kepada mereka,
burung-burung yang berbondong-bondong. Yang
melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. (Q.S.105: 3-4)
Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang
masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. sedangkan yang dimaksud
dengan طيرا ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil
ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak, ”yang melempari
mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل berasal dari bahasa
Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.[27]
Abduh menjelaskan bahwa lafaz طيرا tersebut merupakan dari jenis nyamuk
atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan lafaz بحجارة itu berasal
dari tanah kering yang bercampur dengan
racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut. Dan
apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk ke
dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya
menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.[28]
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat
soaial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan
ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang
dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya
upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat.
Berbeda hal nyadengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh beberapa
ulama era klasik ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya penafsiran dalam
Tafsir al-Qurthubi dengan corak fiqhinya, yang hanya menafsirinya dengan
memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni hanya membahas mengenai segi
kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya pada riwayat-riwayat dari beberapa
sahabat.
Tanpa memaknainya dengan mengkaitkan kehidupan sosial atau pengetahuan yang
ada ketika itu dalam masyarakat. Beliau lebih mencantumkan mengenai perbedaan
dari beberapa sahabat dengan pengertian bahwa lafaz طيرا berarti burung yang
lebih mirip dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana yang
diriwayatkan Aisyah.
Disebutkan juga bahwa lafaz tersebut bermakna burung khudlur (riwayat Said
bin Jubair), dan sebagainya. Sedangkan mengenai lafaz بحجارة dalam tafsir
tersebut ditafsiri dengan batu yang terbuat dari tanah liat, yang dibakar di
atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang
berhak atasnya.[29]
Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam corak Adabi Ijtimai
mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam penafsirannya. Yakni bahwa
corak tafsir tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial dan perkembangan pengetahuan
yang berkembang pada masa modern.
Kelebihan
dan Kelemahan
Suatu metode yang
dilahirkan seorang manusia dengan segenap kemampuannya selalu memiliki
kelemahan dan keistimewaan. Pun begitu Metode Tafsir Tahlili.
Namun perlu disadari
keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud bukanlah suatu hal yang negatif karena
kegiatan ini usaha untuk menggali kandungan al-Quran, yang tentunya mufassir
selalu berhati-hati dan berkerendahan hati.
Tafsir Tahlili ditemukan
beberapa keistimewaan diantaranya: Pertama,
tafsir ini biasanya selalu memaparkan beberapa hadist ataupun perkataan sahabat
dan para tabiin yang berkenaan dengan pokok pembahasan pada ayat. Juga
didalamnya terdapat beberapa analisa mufassir mengenai hal-hal umum yang
terjadi sesuai dengan ayat. Dengan demikian, informasi wawasan yang diberikan
dalam tafsir ini sangat banyak dan dalam.
Kedua,
keistimewaan lainnya adalah adanya potensi besar untuk memperkaya arti
kata-kata dengan usaha penafsiran terhadap kosa-kata ayat. Potensi ini muncul
dari luasnya sumber tafsir metode tahlili tersebut. Penafsiran kata dengan Metode
Tahlili akan erat kaitannya dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak tertutup
kemungkinan, kosa-kata ayat tersebut sedikit banyaknya bisa dijelaskan dengan
kembali kepada arti kata tersebut seperti pemakaian aslinya. Pembuktian seperti
ini akan banyak berkaitan dengan syair-syair kuno.
Ketiga,
keistimewaan lainnya adalah luasnya bahasan penafsiran. Pada dasarnya, selain detail,
keluasan bahasan juga menjadi salah satu ciri khusus yang membedakan tafsir
tahlili dengan tafsir ijmali. Sebuah ayat yang tidak ditafsirkan oleh metode
ijmali kadang kala membutuhkan ruang yang banyak bila ditafsirkan dengan metode
tahlili.
Disamping keistimewaan,
juga ada kelemahan. Namun sekali lagi kelemahan disini bukanlah merupakan
kelemahan yang mengharuskan kita tidak menggunakan atau mengabaikan tafsir ini.
Akan tetapi hendaknya dalam menyikapi kelemahan ini, kita harus dapat memilah
milih beberapa informasi dan wawasan yang dipaparkan dalam metode penafsiran
ini. Lebih dari itu, ketika zaman berganti, kekuatan penalaran berkembang,
hasil usaha tafsir tahlili tentu saja beberapa penjelasan tidak lagi bisa
diadopsi zaman.
Kelemahan-kelemahan itu
di antaranya adalah; pertama, yang
sering disebutkan adalah berkenaan dengan israiliyat yang mungkin terkadang
masuk dalam informasi yang diberikan mufassir. Juga sama halnya dengan berbagai
hadist lemah yang tidak selayaknya digunakan pada tempat dan kondisi sesuai.
Jadi analisa kritis
yang mendalam, kelemahan-kelemahan ini
sangat mungkin untuk dihindarkan. Selayaknyalah memang seorang mufassir yang
berkompeten untuk memberikan perhatian serius terhadap sumber informasi yang ia
gunakan dalam menafsirkan sebuah ayat.
Israiliyyat
tidaklah begitu sulit untuk dikenali, konsepnya hanyalah apakah informasi
tersebut mempunyai sumber yang jelas atau tidak, bila sumbernya jelas dan kuat
maka informasi tersebut bisa dipakai dan sebaliknya.
Demikian pula dengan
hadist-hadist dha’if ataupun pendapat-pedapat para sahabat maupun tabi’i. Hukum
dasar hadist da’if adalah tidak boleh diamalkan, hal ini tentu saja berlaku
dalam pemakaian sebagai sumber tafsir. Hadist dha’if tersebut hanya bisa dipakai sebagai penguat apabila ada
hadist yang lebih kuat menjelaskan senada dengan hadist da’if tersebut.
Kedua,
tafsir tahlili adalah kesan pemaparan yang bertele-tele dan tidak sistematis.
Tentu saja ini terjadi mengingat metode ini mengikuti susunan surat dan ayat
dalam mushaf usmani. Sehingga tidak bisa disebut sistematis menurut alur pikir
manusia hari ini. Keluasan masalah yang akan dipaparkan tentunya membuat
panjang lebar dan berbeda dengan model pemaparan tafsir ijmali.
Keluasan bahasan Tafsir
Tahlili dalam menguraikan sebuah ayat tentu saja membutuhkan usaha yang lebih
keras dan waktu yang lebih lama bagi seorang mufassir. Bagi beberapa golongan
hal ini juga dianggap sebagai kelemahan dibandingkan dengan Tafsir Ijmali yang
praktis dan sederhana.
Penutup
Sebagai catatan
penutup, Metode Tafsir Tahlili merupakan tafsir al-Quran yang memiliki
kelebihan dan kelemahan. Namun kitab-kitab tafsir yang dilahirkan dari metode inilah
yang paling tepat untuk dibaca dan memahami al-Quran, setelah itu dilanjutkan
dengan memelajari metode tafsir ijmali
dan maudhui sebagai zoom out dan zoom in agar mendapat
kandungan al-Quran. Begitu pula ketika akan menulis tafsir al-Quran,
kita tidak bisa lepas dengan karya para ulama yang telah menulis tafsir dengan
menggunakan metode ini.
Setelah mengupas
makalah ini, penulis dapat menyimpulkan, kerja tafsir bukan pekerjaan
interpretasi biasa. Tetapi usaha sungguh-sungguh dan mendalam agar memahami
ayat-ayat al-Quran secara komprehensif, tidak hanya satu dua ayat yang bisa
berbahaya dari tujuan utama al-Quran diturunkan.[]
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh,
Muhammad, Tafsir Juz Amma, tej. Muhammad Bagir, Bandung: Mizan, 1999
Al-Qurthubi,
Tafsir al-Qurthubi, tej. Dudi Rosyadi
dan Faturrahman, Jakarta: PustakaAzzam, 2009
Abu
al Fadl Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’am fi
Tafsir al-Qur’an ‘Azim wa Sab’i al-Matsani, (Beirut, Dar Ihya al-Turats
al’arabi, t.th)
Anwar,
Rosihan, Ilmu Tafsir, (Bandung :
Pustaka Setia, 2008)
Aqil,
Said Husin al-Munawwar, al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Baidan,
Nashruddin, Metodologi Penafsiran
Al-Quran, Cet.I. Yogyakarya: Pustaka Pelajar, 1998
Hasan,
‘Ali Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi
Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Hayy
Al-Farmawi, Abdul, Tafsir Maudhu‟i Suatu
Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Husaini,
Sayid Musa, Metode Penafsiran Saintis di
Dalam Buku-buku Tafsir Modern, http://quran.al-shia.org/id/metode/01.htm,
diakses Jumat (28/10), 09.00 WIB.
Kholis,
Nur, Pengantar Al-Qur’an dan Hadis,
Yogyakarta: Sukses Offset, 2008
Mustaqim,
Abdul, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode
klasik hingga kontemporer, Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005
Majid,
Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer, terj. Mohammad Maghfur Wachid.
Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir
fi al-Ashri ar-Rahin, Bangil: Al-Izzah, 1997
Izzan,
Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir,
Bandung: Tafakur, 2011, cet. III
Syarif,
M.M., Para Filosof Muslim, cet: I,
(Bandung : Mizan, 1985)
Suryadilaga,
M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta:
Teras. 2005
Nata,
Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan
Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, I, II Jakarta: UI-Press, 1979
_______________,Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam, cet. III, Jakarta: Bulan Bintang, 1983
Solihin,
M, Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema
Penting Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Supiana
dan M. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung:
Pustaka Islamika, 2002
Tantawi
Jauwhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an
al-Karim al-Mushtamil ‘ala ‘Ajaib Badai’ al-Mukawwanat wa Gharib al-Ayat
al-Bahirat al-Musama, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004
Quraish,
M. Shihab, Mukjizat Al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1998
________________,
Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan,
1996
__________________,
Sejarah & al-Ulum al-Qur’an,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Yuminah,
Corak Penafsiran, dipresentasekan
dalam kuliah, Senin (3/10)
[1]Basuki Tjahya Purnama alias Ahok
dalam suatu kesempatan di Kepulauan Seribu melontarkan pernyataan tentang pihak
lawan politiknya memakai propaganda deengan landasan ayat al-Maidah 51, agar warga
Jakarta tak memilih dirinya dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017-2002. Pernyataan Ahok
itu diunggah tidak lengkap, setelah mengalami pemenggalan dan editing, lalu
diunggah ke situs video online, Youtube.Com.
[2]Ketika Megawati Soekarno Putri
menjadi calon presiden R.I. dalam Pemilu 2004 dan 2009, wacana tentang pemimpin
perempuan dalam Islam juga mengemuka. Tafsir ayat al-Quran tentang kepemimpinan
yang mengemuka adalah QS. An Nisaa: 34. Setelah panggung pesta demokrasi itu
terlewati, publik dan media massa sudah tak lagi intens membicarakan soal
kepemimpinan seorang perempuan.
[3]QS. Al-Anbiya’ : 107, lihat Kitab
Tafsir Ibnu Katsir Juz 5, hal. 385
[5]Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i Suatu Pengantar,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
[7]M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), lihat juga, M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1996).
[9] M. Alfatih Suryadilaga. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta:
Teras. 2005. hal. 70
[10]Nur Kholis, Pengantar
Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008)
[12]Lebih lengkap dalam makalah
Yuminah, Corak Penafsiran, dipresentasekan
dalam kuliah, Senin (3/10).
[13]Said Aqil Husin al-Munawwar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hal.69
[16]Said Aqil Husein al Munawwar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehn Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 70-71
[17]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode klasik
hingga kontemporer, (Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005).
[19]Imam Al-Ghazali menulis buku Tahafut al Falasifah, sebagai kritik
tajamnya terhadap metode berpikir filsafat. Kritik ini juga dibalas Ibn Rusyd
dengan buku Tahafut al Tahafut. Polemik
dua tokoh Islam ini dapat ditemukan dalam M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, cet: I, (Bandung : Mizan, 1985). Lihat,
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat
dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, cet. v (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), serta Harun Nasution, Jilid II, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1979), Harun Nasution,
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,
cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
[20]Imam Al-Ghazali menulis buku Tahafut al Falasifah, sebagai kritik
tajamnya terhadap metode berpikir filsafat. Kritik ini juga dibalas Ibn Rusyd
dengan buku Tahafut al Tahafut. Polemik
dua tokoh Islam ini dapat ditemukan dalam M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, cet: I, (Bandung : Mizan, 1985). Lihat,
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat
dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, cet. v (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001), serta Harun Nasution, Jilid II, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1979), Harun Nasution,
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,
cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
[21]Lihat Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir,
(Bandung : Pustaka Setia, 2008), lihat juga dalam Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, dari perode klasik
hingga kontemporer, (Yogyakarta; Kreasi Warna, 2005).
[23]Abu al Fadl Mahmud al-alusi, Ruh al-Ma’am fi Tafsir al-Qur’an ‘Azim wa
Sab’i al-Matsani, (Beirut, Dar Ihya al-Turats al’arabi, t.th) v.15 h.266.
Juga dalam M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedalh Tema-tema Penting Tasawuf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2003) hal.59-61
[24]Sayid Musa Husaini, Metode Penafsiran
Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir Modern, http://quran.al-shia.org/id/metode/01.htm, diakses Jumat (28/10), 09.00 WIB.
[25]Abdul Majid Abdussalam
al-Muntasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj.
Mohammad Maghfur Wachid. Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri
ar-Rahin, (Bangil: Al-Izzah, 1997) hlm. 279.
[26]Tantawi Jauwhari, Al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mushtamil ‘ala ‘Ajaib Badai’ al-Mukawwanat wa
Gharib al-Ayat al-Bahirat al-Musama Tafsir Tantawi Jawhari, Juz 1 (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 66-67 sebagaimana dikutub dalam Supiana dan
M. Karman, Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka
Islamika, 2002) hlm 316
[29]Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej. Dudi Rosyadi dan
Faturrahman (Jakarta: PustakaAzzam, 2009), hlm. 755-760
No comments:
Post a Comment