RESENSI BUKU
Sejarah Air Mata
Orang Muda
Judul : Anak-Anak
Revolusi 1-2
Penulis : Budiman
Sudjatmiko
Penerbit : PT. Gramedia
Cetak : 2013 -
2014
Tebal : 473 +
575 Halaman
ISBN : 978-602-03-0277-4
ISBN : 978-602-03-0277-5
Resensiator : Abdullah Khusairi
Sekecil apapun sebuah perjuangan
akan tetap membutuhkan pengorbanan. Apalagi perjuangan besar, meruntuhkan rezim
kuat sedang berkuasa. Alangkah banyak pengorbanan yang harus dibayar. Bukan
hanya waktu, pikiran, tenaga dan bahkan nyawa menjadi taruhannya.
Perjuangan melawan rezim berkuasa,
membebaskan rakyat dari belenggu tirani, merupakan agenda besar. Tak cukup
energi anak muda semata, mesti ada banyak faktor pendukung. Energi anak muda
yang teruji, miliki idealisme yang matang, mental yang terasah, juga nalar yang
luas. Dan sesungguhnya, pergerakan membutuhkan kecerdasaan dalam semua hal.
Dua buku ini ditulis dengan cara
mengisah dari sudut paling personal. Kisah perjalanan hidup seorang anak muda
yang syarat dengan perjuangan. Awalnya hanyalah penolakan terhadap kenyataan
dari sesosok mayat yang mengejutkan. Seorang kakek yang tergantung, bunuh diri
karena tidak sanggup melanjutkan penderitaan hidup. Inilah titik pertama ketika
rasa iba, marah, takut, juga kecamuk pertanyaan tentang kehidupan dimulai.
Realitas ternyata memiliki perbedaan yang lebar dengan idealitas. Maka
muncullah pertanyaan yang menumbuhkan daya kritis dan tajam terhadap persoalan
sosial. Siapa semestinya bertanggung jawab ketika nasib dikebiri keadaan?
Sebagai autobiografi, buku ini tidak
sekedar menceritakan perjalanan semata. Lebih jauh dari itu, ia diperkaya
dengan peristiwa perjuangan yang mengitarinya. Sesungguhnya, munculnya sikap
perlawanan terhadap tirani, karena kesadaran terhadap lingkungan memang diasah
sejak kecil. Itu semua ternyata berkat dari pengetahuan yang memang telah diisi
dengan tekun. Modal awalnya, rajin membaca, diskusi, peka terhadap keadaan,
mental yang diasah dan tumbuhnya emosi dalam bentuk empati.
Budiman Kecil
Buku pertama dikisahkan tentang perjalanan
Budiman kecil yang sudah kutu buku. Hingga remaja ia sudah suka berdiskusi di
kampus-kampus. Sudah mau turun dan bergerak dalam aksi massa dengan petani
melawan kebijakan yang dianggap bengis dan memiskinkan. Sikap kutu buku itulah
membawanya ke arah pemikiran sosialis. Memasuki usia remaja, minat telah
mengarah kepada dunia sosial politik. Di tengah zaman yang mengagungkan ilmu
eksak, ia mulai justru membaca buku pergerakan. Telah mulai membaca keadaan
rezim yang memenangkan pemilihan umum. Kemenangan mutlak Golkar pada saat
kekuasaan Orde Baru menguat dan stabil.
Di sela-sela dunia kecil, dunia
remaja, Budiman menggiring kehidupan ke dalam keadaan perjuangan. Cerita
tentang pergerakan kemerdekaan, PNI, PKI, telah akrab di dengar dari kakeknya yang
sangat mengidolakan Soekarno. Tidak itu saja, nyaris cerita politik orang
dewasa pada masanya, sudah masuk ke dalam pemikiran Budiman. Walau sesungguhnya
belum menjadi kekuatan, sebenarnya sikap perjuangan mulai bersemi dari sini.
Lebih-lebih ia bertemu teman remaja yang juga suka dengan cerita politik.
Mereka sudah mau menertawakan sikap politik para guru, penyeragaman Orde Baru
yang sudah memasuki wilayah pendidikan. Melibas sesuatu yang dianggap sumbang.
Budiman mulai sumbang dalam sikap dan pemikiran.
Kenakalan bersikap dan bertindak
memang dimulai dari kenakalan berpikir. Benar. Bila disebutkan, anak-anak nakal
pada dasarnya memiliki kecerdasan yang mesti diarahkan. Dirangkul dan diajak
untuk bersama memahami kehidupan. Bisa dibayangkan, ketika bacaan tentang
pergerakan di dunia luar sudah dibaca, sementara para guru hanya membaca buku
ajar, tentulah akan sangat berbeda cara pandang yang didapatkan. Selalu akan
memiliki gesekan. Pemilu 1982 telah dibahas Budiman di SMP, malahan ia
mendapatkan bacaan berupa selebaran-selebaran terlarang pada masanya.
Adakah anak-anak SMP, SMA, hari
ini yang sudah mulai begini? Tentu saja ada, entah dimana, yang jelas mereka
adalah orang-orang sedikit. Orang-orang yang dianggap ganjil terhadap minat
teman seusianya. Kadang-kadang di dunia mahasiswa sekalipun, membicara tentang
pergerakan, politik, juga tidak banyak yang minat. Mereka lebih minat dengan
dunia baru, gadget, lalu tamat secepatnya.
Memasuki masa SMA, Budiman hijrah
sekolah ke Jogjakarta. Di sinilah alam pikiran yang telah disemai menjadi
tumbuh mekar. Ia bertemu Nietzche, Jean-Paul Sartre, hingga Alber Camus.
Bertemu Hasan al Banna, hingga Sayyid Qutb. Tempat diskusi begitu banyak,
baginya adalah ladang persemaian yang kian menyuburkan. Sebagai SMA 1 Muhammadiyah
bagi Budiman, cantolan paling dekat hingga ke sumbu pergerakan. Ia bertemu
lebih banyak aktivis dari perguruan tinggi yang suka berdiskusi tentang ilmu
pengetahuan dan telah biasa dengan pergerakan. Budiman di antara pusaran itu.
Budiman adalah aktivis sejati yang
lahir dan memilih jalan pergerakan dan perjuangan kerakyatan. Paling tidak,
jika membaca kumpulan kisah ini, akan sebanding dengan Andrea Hirata yang
jenaka memaparkan perjalanan Ikal, untuk melanjutkan pendidikan sedangkan
Budiman dengan Iko. Budiman mengakui, buku ini lahir dari percikan semangat
dari Andrea Hirata yang sukses dengan Laskar
Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Bulan dalam Gelas, Sebelas
Patriot. Jika Andrea Hirata mengakui karyanya sebagai novel, sedangkan
Budiman menyatakan sebagai autobiografi. Keduanya berbasis pada pengalaman dan
perjalanan hidupnya. Ikal dan Iko, dua subjek yang berbeda tetapi merupakan
konstruksi anak-anak Indonesia. Mereka berjuang dengan jejak kaki kecil hingga
meraih dunia.
Berbeda dengan Ikal, Iko dalam drama
kehidupan pergerakan, babak demi babak yang disuguhkan pada buku ini, juga
memberi kengerian yang luar biasa. Tertangkap dan disiksa aparat. Bergerak
tengah malam, rapat dalam kelam, sembunyi di kamar pengap, membuat betapa dekat
pentungan, peluru, dari aparat untuk sebuah kematian. Tapi perjuangan harus
tetap dilanjutkan dengan segala macam strategi. Sekali lagi, pembacaan mereka
sudah jauh. Mereka sudah akrab dengan Aksi
Massa punya Tan Malaka. Bacaan
terlarang pada masa itu. Aksi mereka juga telah merambah banyak daerah. Jogja,
Semarang, hingga Surabaya.
Hingga memasuki masa kuliah,
ketika perlawanan terhadap rezim orde baru mulai masif dilakukan, Budiman lebih
banyak tertarik ke dalam bingkai pergerakan. Bersama teman-teman aktivis, ia
melahirkan Partai Rakyat Demokratik (PRD), dengan jejaring Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Meletusnya peristiwa 27 Juli 1996,
di markas PDIP membuat aktivis PRD tertuduh sebagai biang kerusuhan. Ini diduga
sudah strategi dari negara atau tangan kekuasaan di militer. Melalui
penangkapan yang sangat mencekam, Budiman diambil dari kamar persembunyian
bersama aktivis lainnya. Jadilah ia tahanan politik (Tapol).
16 Tahun Reformasi
Adian Napitupulu, aktivis
reformasi pendiri Forum Kota (Forkot), dalam program televisi Mata Najwa di Metro TV yang bertajuk Elegi
Reformasi, Rabu, 14 Mei 2014, pukul 20.00 WIB. menyebutkan, reformasi yang berhasil menggalang massa membuat
Soeharto jatuh dari tampuk kekuasaan tidak bisa berdiri sendiri. Pergerakan
dimulai jauh hari. Penggalangan yang tidak mudah, hingga munculnya momentum.
Ditambah Indra J. Piliang, peluru yang menewaskan mahasiswa Universitas Tri
Sakti itulah mempercepat Soeharto turun dari singgasananya.
Buku ini memperkuat pendapat Adian
Napitupulu dan Indra J. Piliang. Dimana jauh sebelum 21 Mei 1998, hari
berakhirnya Soeharto memegang tampuk kekuasaan, telah dimulai pergerakan
perlawanan. Sungguh menjadi amat emosional dan penuh romantisme jika dibaca
para aktivis yang pernah dalam kerumunan massa, di saat musim demonstrasi April
– Mei 1998. Musim sejarah meruntuhkan kekuasaan yang telah 32 tahun
dilanggengkan.
“Soeharto berkuasa terlalu lama,
tapi jatuh terlalu cepat,” tulis Budiman. Saat Soeharto jatuh, ia dalam penjara
dan dibebaskan di masa transisi melalui perdebatan alot soal amnesti atau
garasi, karena menyangkut masa depan dan juga teman-teman yang sempat tak ada
namanya di dalam surat pembebasan dari Menteri Hukum dan HAM.
Enam belas tahun lalu, sebagai
orang yang ikut dalam pusaran gerakan demonstrasi, banyak yang tak dapat
dimengerti. Buku ini menjawab satu persatu, melengkapi puzzle sejarah air mata orang muda yang bergerak di jalanan.
Melawan tirani dengan kekuatan massa. Perlawanan yang mengerikan saat rezim
berkuasa mengarah moncong senjata kepada mahasiswa dan aktivis.
Reformasi merupakan jalan kompromi
yang tidak pernah mampu menghapus sebuah rezim. Hanya mampu menumbangkan
Soeharto dari tampuk kekuasaan yang telah didiaminya selama 32 tahun. Cakar-cakar
kekuasaan masih kuat dan bunglon politik masih gentayangan. Transisi hingga 16
tahun kemudian, hari ini, agenda reformasi yang menjadi tuntutan mahasiswa
masih banyak yang terbengkalai. (Soal ini, dapat dibaca dalam sebuah esai saya,
Gerakan Reformasi Berhenti di Kaki
Pelangi).
Cerita Budiman, Cerita Gerakan
Walau buku ini pada dasarnya
sangat subjektif, namun penceritaan yang dipenuhi dengan adigium filsafat dari
tokoh-tokoh yang dibaca, juga lagu-lagu yang didengar, tetap saja memiliki
semangat perlawanan terhadap keadaan. Sungguhpun itu adalah romantika
percintaan yang didapatkan, di balik jeruji penjara, cerita bergulir masih saja
tentang perjuangan. Alangkah pahit, cinta tumbuh ketika berada di balik
belenggu jeruji penjara yang entah kapan selesainya. Sementara kematian terus
mengintai.
Dua buku, hingga fase sekolah ke
Inggris, duduk di legislatif, cerita pergerakan tidak pernah usai. Siapa yang
tahu, diam-diam di tengah malam buta, dalam hujan dan jalan berlumpur ternyata Budiman
sudah Mesuji, Sumatera Selatan. Belantara kebun sawit yang diduga merampas hak
rakyat. Kemiskinan berdampingan dengan kemakmuran dari kekuasaan. Ia bertemu
dengan jelata yang dirampas tanahnya. Ketidakadilan masih berlangsung hingga
kini di bumi pertiwi.
Inilah sebuah buku yang melengkapi
khazanah sejarah yang masih hangat. Sejarah air mata orang muda, yang jauh dari
kesan cengeng! Mesti dibaca oleh para mahasiswa yang mengaku aktivis dan hendak
memilih jalan perjuangan dan pergerakan. Selebihnya, ia patut dibaca oleh siapa
saja. Salam. []
Abdullah Khusairi
Dosen Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah & Komunikasi
IAIN Imam Bonjol Padang
Buku Anak Anak Revolusi patut masuk daftar bacaan nih, buat nambah wawasan tentang era reformasi :D
ReplyDelete