Siang Abdullah.
masih bisa uni mintak tolong menjawab pertanyaan berikut ini.
1. Apa yang melatar belakangi Abdullah terjun sebagai penulis karya sastra.
Masa kecil saya sangat sulit mendapat buku bacaan, sementara saya memiliki keingintahuan yang begitu tinggi. Entah mengapa, saya tak mengerti. Sehingga saya membaca apa saja, termasuk kertas bungkus bawang, ketika emak pulang belanja. Kerja saya masa kecil banyak membaca. Sesekali saya mendapat kiriman bacaan dari paman yang sedang kuliah di kota Jambi (181 km dari Sarolangun). Bacaan itu berupa majalah Bobo dan Ananda. Kalau paman pulang libur semester, di kamarnya, saya membaca Tabloid Bola, Tabloid Monitor, Tabloid Senang, Tabloid Bintang, Tabloid Nova dan Ceria. Pada majalah-majalah inilah saya sudah ketemu dengan esai Emha Ainun Najid, Seno Gumira Adji Darma, WS. Rendra, ZaraZetira, dll. Kamar paman adalah surga bagi saya. Syaratnya, rapikan kembali. Sedangkan di kamar Mak Cik saya juga, ada banyak buku yang tidak dijualbelikan dari Depdikbud, berupa buku cerita, dongeng, saya membaca di situ. Di sini, saya ketemu dengan karya Montiqobusye. Itu buku dari kantor kakek, yang guru Madrasyah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Sarolangun.
Kelas enam SD, ada pelajaran mengarang. Saya mencoba menulis, entah mengapa, lancar sekali. Lalu saya mendapat nilai paling tinggi. Sejak itu, saya kira, mulai merasakan, kerja masa depan saya adalah membaca dan menulis. Menulis sastra, awalnya saya tak tahu mana yang sastra mana yang tidak, saya menulis saja. Menulis buku harian, menulis surat cinta remaja --- juga disuruh untuk teman yang tak pandai mengarang. Saya rajin menulis catatan harian sejak SLTP, pesantren kecil milik adik nenek saya. Mulai berkenalan dengan cerita silat seperti Wiro Sableng, Pendekar Rawajali Sakti, Ko Ping Ho. Juga novel dewasa yang sebenarnya saya belum boleh baca, tapi serial silat sering lambat datang ke kota saya. Maka saya membaca novel karya Fredy S. Tetapi saya juga sudah membaca novel Merantau Ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van Derk Wijk karya Hamka,
Inilah latar dimana saya memiliki sense untuk menulis. Ada modal bacaan, selain bacaan buku pelajaran sekolah. Ditambah lagi, saya kursus mengetik 11 jari yang membuat saya lancar.
2. tokoh atau sosok siapa yang ikut membangun kreatifitas Abdullah sebagai penulis sastra.
Saya merasakan apa yang baca tentunya memengaruhi kreativitas. Penulis seperti Seno, Emha, Wisran Hadi, Darman Moenir, AA Navis, dll. Tiga nama terakhir, saya banyak setelah kuliah. Ketika kuliah, saya lebih banyak membaca lagi. Karena akses pustaka di tempat kuliah. Saya juga memilih yang sangat berdekatan dengan dunia tulis menulis, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang.
Saya punya dosen hebat, seperti Sheiful Yazan, Mafri Amir, Pasni Sata, Effendi Koesnar, Yulizal Yunus, Shofwan Karim, yang terus memompa motivasi dunia jurnalistik dan dunia tulis menulis.
Bacaan motivasi menulis juga banyak saya baca, sehingga menetapkan diri untuk memilih kerja di bidang tulis menulis, baik sastra maupun jurnalistik.
3. seperti apa proses penciptaan karya-karya abdullah
Sebagai jurnalis, saya memilih untuk dekat dengan sastra. Karenanya, material kegiatan jurnalistik saya sering menjadi inspirasi awal menjadi karya. Kadang-kadang, karya yang awalnya untuk karya jenis jurnalistik (feature) lalu menjadi cerita pendek. Ini sering terjadi. Tetapi sering pula proses penciptaan karya karena ada sebuah hal yang harus diperjuangkan. Tetapi jurnalistik tidak dapat memenuhinya. Saya menumpahkan perasaan, apapun itu, baik marah, benci, senang, sedih ke dalam proses karya kreatif. Saya berjuang perasaan itu benar-benar lekat dalam karya dan lepas dari penulisnya. Proses karya, umumnya lama dan jarang cepat jadi. Hanya beberapa karya yang cepat jadi, tetapi sering membuat saya tak puas. Kalau yang berhari-hari, biasanya saya puas.
4. bagaimana sikap abdullah terhadap kritik (kritikan yang diberikan orang lain terhadap karya sendiri)
Saya senang dikritik. Karena saya sudah terbiasa untuk itu. Setiap karya saya selalu melalui proses kritik itu, baik dari isteri maupun dari teman-teman sesama penulis. Saya terbiasa dengan kritik dan saran, karena sistem kerja redaksi waktu saya jadi jurnalis selalu ada kesempatan berdiskusi terbuka dalam banyak hal demi mendapatkan kualitas karya jurnalistik yang bagus. Di sini juga, saya ketemu senior-senior yang selalu memotivasi menulis sastra. Mereka di antaranya, Ode Barta Ananda (alm), Yusrizal KW, Khairul Jasmi (KJ), dll. Dua nama terakhir, sering kali saya membaca karya mereka dan mengidolakan cara menulis mereka. KJ itu penulis hebat yang saya akhirnya banyak juga terlibat kerja sama penulisan buku.
5. impiannya sekarang mau menulis apa???
Sekarang saya fokus menulis karya akademik, seiring saya memilih jalan baru, dari seorang jurnalis menjadi seorang akademisi. Tetapi saya tetap menulis sastra, jika ada waktu luang. Semacam wisata, menulis dengan kesenangan, bukan dengan tugas. Saya kini seorang akademisi yang terus diminta untuk menulis karya ilmiah, yang memang terasa kaku dan penuh dengan catatan kaki. Kini (2016), sedang sibuk menulis Disertasi, untuk mendapat gelar doktor bidang Filsafat Islam.
Impian paling indah bagi seorang penulis, dapat waktu membaca dan menulis yang luas tanpa direcoki persoalan finansial. Umumnya, penulis-penulis selalu menemukan persoalan finansial, jika terlalu asyik tenggelam dalam
dunia sendiri, lupa ada kebutuhan-kebutuhan dan kewajiban hidup yang mesti dipenuhi. Itu tak bisa dipenuhi dengan kata-kata, tetapi harus bekerja. Bekerja sebagai penulis di negeri ini, belum terlalu menjanjikan, kecuali bagi mereka yang sudah beruntung. Mungkin perlu perjuangan lebih berat lagi,.
Demikian jawaban saya Uni Tila, semoga membantu...
Salam hangat dari Ciputat
Abdullah Khusairi
No comments:
Post a Comment