Aneka Pendekatan Studi Agama

RESUME
Aneka Pendekatan Studi Agama
Peter Conolly (ed.)

ABDULLAH KHUSAIRI
MUHAMMAD ZAINUL HASAN SYARIF

       I.            Pendahuluan
Perkembangan ilmu-ilmu sosial telah memberi kesempatan besar dan terbuka bagi bidang penelitian studi agama. Kesadaran atas saling hubung kait antara satu ilmu sosial yang satu dengan yang lain, telah membuat studi berkembang pesat. Khusus studi agama, kini banyak pendekatan telah dilakukan, mengingat studi agama tidak bisa serta merta bisa total bilamana dipelajari dari sisi saja.
Di antaranya adalah pendekatan antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, psikologis, sosiologis dan teologis. Dari sekian banyak metode pendekatan dalam studi agama, memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing sesuai dengan sudut pandang para ahli yang berkompeten dalam bidangnya. Pada kesempatan kali ini, kami akan menguraikan penjelasan tentang semua pendekatan itu baik dari pendekatan antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, psikologis, sosiologis dan teologis.


    II.            Pembahasan
1.      Pendekatan Antropologis
A.     Perkembangan Historis Pendekatan Antropologis
Antropologi sering disebut sebagai penelitian terhadap asal usul manusia. Perkembangan tentang antropologi terus mengalami perubahan dimulai pada abad -19. Penelitian ini bermula dengan melihat ciri-ciri fisik dengan mengumpulkan fosil-fosil yang ada. Pada saat itulah muncul ide tentang evolusi. Peneliti-peneliti pada awal abad -19 disebut juga evolusionis, Mereka beranggapan bahwa semua bagian masyarakat senantiasa berevolusi dengan meningkatkan rasionalitas mereka demi mencapai ke tingkat yang lebih baik. Namun ada juga masyarakat yang tetap bertahan dalam keprimitifan mereka.
Pandangan masyarakat di atas mendapat dukungan dari Darwin, tentang teori evolusinya. Namun pada kenyataannya teori tersebut di atas telah lama muncul sebelum teori Darwin mencuat di masyarakat. Teori evolusi sosial ini terkait dengan teori evolusi biologis ditolak oleh fundamentalis populis di USA.
            Pada periode itu terjadi perdebatan yang sangat sengit dengan menentukan bagaimana bentuk dari masyarakat pada periode awal, seperti apakah perempuan memegang kekuasaan ataukah laki-laki. Demikian juga tentang agama, apakah keyakinan keagamaan dimulai dengan menyembah patung? Apakah memercayai roh? dsb. Sebagian beranggapan bahwa kajian tentang masyarakat dan agama primitif itu menarik.
                        David memberi contoh dengan mengemukakan dua karya populer abad-19, yakni The Golden Bough karya Sir James Frazer dan The Element Forms of Religious Life karya Emil Durkheim. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1890.  Karya ini menggambarkan contoh sihir dan ritual dari teks klasik, dan mencakup seluruh dunia. Buku ini menjelaskan bahwa seluruh agama sebagai bentuk sihir fertilitas (selalu melahirkan keturunan baru). Frazer menyimpulkan sejarah manusia melewati tiga fase yang didominasi oleh: magic (sihir), agama, dan ilmu.
Berbeda dengan karya Frazer, kajian antropologis The Elementary Forms karya Durkheim menyadari bahwa pengambilan contoh dari seluruh dunia tanpa memperhatikan konteks aslinya adalah keliru. Menumpuk contoh-contoh yang diduga sama harus dilakukan selama contoh-contoh tersebut disepakati sama. Dan hal tersebut harus dibuktikan kebenarannya.
B.     Teori Agama Durkheim
Durkheim menekankan bahwa semua agama adalah benar menurut gaya masing-masing. Semua memenuhi eksistensi manusia meskipun dengan cara-cara yang berbeda. Ia juga menyebutkan bahwa agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan hal yang sakral atau suci, yakni segala sesuatu yang terasingkan dan terlarang dari keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas yakni gereja, di mana semua orang tunduk padanya.
Adapun menurut Marxis bahwa agama berfungsi mengabadikan posisi golongan penguasa dan mengabadikan struktur sosial yang ada. Dalam pandangan fungsionalisme struktural, agama menjadi pemersatu masyarakat. Inti teori ini adalah ketika meningkatnya tuduhan terhadap ilmu gaib kemudian terjadilah perubahan sosial yang cepat menyebabkan masyarakat menuduh pihak lainnya melakukan magic. Namun hal ini dipatahkan oleh Peter Worsley yang menulis penafsiran Marxis, dengan memberi contoh gerakan messianik di pasifik, pimpinan Cargo Cult yang memerintahkan anggotanya untuk menghancurkan tempat-tempat suci.
Kebanyakan para antropolog saat ini pasrah pada subjek kajian mereka yang tidak mencapai kesepakatan teoritis. Terdapat keragaman pendekatan dimana para antropolog mengorientasikan kajian keagamaan pada psikologi kognitif, sebagian kepada feminisme dan sebagian lain pada sejarah sosiologis.
Salah satu konsep inti dari antropologi adalah holisme, yakni kegiatan atau praktek sosial harus diteliti berdasarkan konteksnya dan secara esensi dilihat dengan praktek-praktek lainnya yang juga sedang diteliti. Seperti, melihat kegiatan keagamaan, bertani, kekeluargaan, politik, magic dan pengobatan secara bersamaan, tanpa ada pemisahan wilayah kajian.
C.     Persoalan dan Perdebatan
Perdebatan panjang untuk mendefenisikan agama terus terjadi, mengacu kepada yang telah lalu terkait dengan definisi agama yang dilontarkan oleh Durkheim. Defenisi klasik Tylor “keyakinan pada apa yang spiritual” kemudian diperbaharui oleh Spiro “suatu institusi yang terdiri dari interaksi yang dipola secara kultural dengan “ada” diluar manusia yang dipostulasikan secara kultural”. Penekanan Durkheim dalam pentingnya ritual dalam mendekati hal yang fundamental dimunculkan kembali oleh Geertz dalam Religion as a Cultural System, 1973. Ketika menjelaskan tentang bagaimana “kekekalan suasana hati dan motivasi” itu ditanamkan, jawabannya adalah dengan ritual.
Persoalan tentang pendefinisian sering merefleksikan perbedaan yang lebih mendalam. Beberapa perdebatan dalam karya antropologi dapat dikemukan sebagai berikut :
a.         Apakah ada wilayah keagamaan transkultural atau spiritual dipahami oleh seluruh dunia dengan cara yang berbeda-beda?
b.         Apakah agama harus diinterpretasikan dengan cara yang sama atau tidak?
c.         Apakah agama sebagai penolong bagi minoritas, misalnya perempuan?
d.         Dengan agama yang memiliki kitab suci, seberapa relevankah kitab itu memahami kaum awam serta pengikutnya?
Meskipun terlihat perbedaan-perbedaan antropolog tersebut semua sepakat bahwa tidak ada agama atau budaya masyarakat lain yang dapat diterima. Dan kesalahan apabila memaksakan apa yang dikatakan oleh teks terhadap pemahaman orang awam.
2.      Pendekatan Feminis
A.     Perkembangan Historis Pendekatan Feminis
Pendekatan feminis dalam studi agama merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan agama terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin istraksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain. Daid bouchier mendeskripsikan feminisme dengan berbagai bentuk perlawanan terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial, personal, atau ekonomi, dimana perempuan sebagai pihak yang mendederita karna jenis kelaminnya.
Asal usul studi feminis terhadap agama sangatlah panjang. Semua  bermula dari penentangan  pembatasan yang dikenakan oleh otoritas keagamaan kepada perempuan. Bentuk yang dapat dikenal dari feminisme religius anglo american muncul pada abad 19 dan didominasi oleh dua isu utama, perbedaan tentang persamaan akses terhadap jabatan pendeta dan kristisme injil. Feminis menyadari bahwa generasi pengalaman yang diasumsikan oleh metodologi androsentris lebih sering menunjukkan sesuatu persoalan tentang pengabaian perempuan secara terus terang daripada permusuhan palsu meskipun hasilnya sama.
B.     Karakteristik Dasar Pendekatan feminis
Pandangan-pandangan kritis tentang tugas feminis awal membawa pada tahap rekontruksi komprehensip terhadap kategori-kategori utama pemikiran keagamaan. Sejak tahun 1980, pertumbuhan dan diversifikasi pendekatan feminis dicirikan dengan upaya untuk menciptakan sumber materil baru dan digunakannya paradigma keserjanaan keagamaan yang baru, memperbaiki model androsentris sebelumnya dengan mengistimewakan pengalaman perempuan.
Feminis religius berupaya menyesuaikan simbol-simbol Tuhan yang ada dengan mengusulkan rangkaian image yang beragam dan inklusif yang merefleksikan pengalaman kedua jenis gender. Salah satu aspek ketuhanan feminim paling signifikan yang diselamatkan feminis adalah personifikasi perempuan tentang kearifan Tuhan
Perkembangan teoritis belakangan dalam studi keagamaan perempuan menunjukkan bahwa disamping mencari asal status inspirasional seluruh perempuan masa lampau, juga memunculkan pertanyaan yang perlu dijawab mengenai dinamika historis agama, gender, dan kekuasaan. Perempuan mungkin tidak pernah menjadi pembentuk formatif yang mula-mula tentang hubungan agama budaya, tetapi ketika menyetujui idiologi yang ada baik status penolakan maupun status pemeliharaan, muncul banyak respon.
C.     Persoalan Dan Perdebatan
Dalam menghadapai masyarakat pluralis yang berkembang cepat, sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya khusunya pendekatan dalam studi agama, persefektif feminis dihadapkan pada kebutuhan mengukuhkan suatu kerangka kerja teoritis yang solid guna terselenggaranya dialog antariman dan antarbudaya diantara perempuan. Maka salah salah satu perkembangan yang paling mutakhir dalam pendekatan feminis adalah kontribusi sarjana two thirds world yang menyoroti keragaman budaya, ekonomi dan rasial dalam kehidupan keagamaan perepuan.
Merupakan kekeliruan bila dikatakan bahwa kesarjanaan feminis dominan secara konsisten tetap tidak menyadari perlunya mengintegrasikan pengalaman kaum miskin atau perempuan non kulit putih kedalam analisis patriarkis religius. Meskipun kritik yang valid dari feminisme religius eksklusif pada mulanya terfokus pada pengalaman perempuan kulit putih yang terdidik diperguruan tinggi.
Adapun peredebatan utama dalam feminis religius yang juga sangat terkait dengan persoalan pluralitas adalah persoalan separatisme feminis. Dalam penolakannya terhadap agama traditional , feminis radikal dimana Mary Daly sebagai tokoh utamanya mendorong perempuan agar melampui batas masyarakat patriarkal dan menciptakan suatu dunia alternatif yang berpusat pada perempuan.
Selama dua abad yang lalu, studi agama yang dilakukan kaum feminis telah membongkar realitas seksisme dalam setiap aspek kajian keagamaan dan teologis. Dalam suatu rangkaian perdebatan yang hidup dan kreatif, keahlian dekontruksi yang diasah oleh feminis menundukkan simbolisme keagamaan, bahasa, literatur, sejarah dan doktrin pada penelitian yang kritis dan menyeluruh.
3.      Pendekatan Fenomenologis
A.     Perkembangan Histori Pendekatan Fenomenologis
            Seorang tokoh yang bernama Jacques Waardenberg dalam teks penelitiannya yang berjudul Classical Approaches to the Study of Religion (1973), Dia menyatakan perkembangan historis fenomenologi agama adalah untuk menjadikan agama sebagai subjek penelitian empiris dan mulai menelitinya sebagai realitas manusia, niscaya tidak hanya upaya yang sungguh-sungguh tetapi juga keteguhan hati dan keberanian, salah satu lapangan utama yang secara tradisional dianggap “irasional” dibuka tidak hanya terhadap penelitian filosofif tetapi juga penelitian rasional.
            Dari pernyataan Waardenberg diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa term kunci yang digunakannya adalah empiris dan rasional. Pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian ilmiah sebagai metode pengelompokkan ilmu alam yang diterapkan pada ilmu sosial merupakan term kunci emipiris. Sedangkan rasional mengacu pada penelitian perilaku manusia yang sesuai dengan penemuan-penemuan ilmiah. Agama sebagai suatu fenomena yang tidak berjalan dengan parameter tersebut mengidikasikan bentuk yang tidak rasional. Pada masa modern, sebagian orang menyebut agama sebagai bentuk takhayul atas aktivitas manusia. Mereka berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang tidak rasional merupan bentuk tindakan takhayul yang tidak ilmiah. Sebab praktek ajaran keagamaan merupakan hal yang tidak rasional.
Pendekatan fenomenologis bermula sebagai upaya membangun metode yang koheren bagi studi agama. Pada masa ini kita mampu untuk melihat perkembangan model pendekatan ini dengan lebih dalam. Dalam karyanya yang berjudul The Phenomenology of The Spirit (1806).Filsafat yang dibangun oleh Hegel menjadi dasar pendekatan fenomenologis. Tesis yang dibuat oleh Hegel bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan manifestasi (Erschinungen). Hegel mengembangkan tesis tersebut agar kita mengetahui esensi dari suatu agama yang masih menjadi perdebatan sebagian besar penganutnya.
Nathan Soderblom dan William Brede Kristensen merupakan tokoh yang khusus dalam pendekatan fenomenologis. Soderblom merupakan tokoh Kristen liberal yang lebih berkomitmen dibandingkan tokoh-tokoh lainnya yang hidup pada masanya. Van der Leeuw menganggap Soderblom sebagai pelopor terjadinya perubahan sejarah dalam agama. Pandangannya yang tajam dan teliti dalam permasalahan agama menjadikannya sebagai tokoh terpenting pada masanya. Di Swedia dia bertanggung jawab terhadap pengukuhan kedudukan perbandingan agama. Pada akhir hidupnya dia menyatakan “saya tahu bahwa Tuhan hidup, saya dapat membuktikannya melalui sejarah agama”. Pernyatan ini penuh makna dan ungkapan kesetiannya pada agama sebagai ungkapan kesucian. Dia meletakkan dasar-dasar agama yang kuat terhadap sebagian besar penganut gereja yang taat menjalankan ajaran agama.
Bila kita mencatat pengaruh Rudolf Otto dalam karyanya The Idea of The Holy (1923) dalam mengarahkan perkembangan pendekatan fenomenologis selanjutnya. Karya Rudolf Otto ini menjadi penting dalam pandangan Waardenberg karena peletakan “orang suci” sebagai kategori makna dan nilai. Dia memposisikan agama sebagai hal berbeda dari wilayah kehidupan lainnya yang memberikan pemahaman terhadap pengetahuan keagamaan. Pencapaian ini bisa diperoleh melalui pengalaman akan hal yang bersifat sakral. Beberapa problem dasar yang menghambat studi fenomenologis telah dipecahkan Otto dengan menyatukan sejumlah aliran dan pendekatan yang terpisah dengan menganalisis pengalaman keagamaan.
B.     Karakteristik Dasar Pendekatan Fenomenologis
Tujuan yang diinginkan oleh para fenomenolog tidak berbeda dari para ilmuan alam yang mengidentifikasi berbagai spesies secara khusus. Oleh karena itu, kita dapat memberikan spesifikasi-spesifikasi tertentu dalam klasifikasi tipe-tipe suatu tipologi. Namun konsekuensinya, pengetahuan kita tentang agama akan diperluas dengan cara yang sama. Sehingga kita akan mendapatkan pengetahuan keagamaan yang utuh dalam memahami aliran-aliran keagamaan. Penjelasan ini memberikan gambaran kepada kita akan aliran-alirankeagamaan yang sedang berkembang dimasyarakat. Fenomenologi secara langsung dapat terlibat dengan peroalan-persoalan hermeneutik yang membangun suatu metodologi yang menggambarkan suatu pendirian teoretis partikular.
Fenomenolog menarik suatu teori interpretasi dari disiplin yang menetapkan dalam melaksanakan studi agama nontelogis. Bentuk tipologi yang didadasarkan dalam pada teoritis tidak hanya terlibat dalam mengidentifikasi serangkaian fenomena. Tipologi tersebut memberikan signifikansinya dengan melihat pentingnya kebermaknaan manusia dalam memaknai ajaran agama. Sebab agama tidak hanya sekedar bentuk ritual peribadatan yang hanya sebatas pada pelaksanaan ajaran-ajarannya. Memaknai ajaran agama secara mendalam akan memberikan gambaran spiritual yang dalam tentang ajaran agama.
Mengakui gagasan studi agama mengenai fenomenologis yang merupakan upaya menjustifikasi studi agama berdasarkan pemahaman ilmiah merupakan pilihan yang yang tepat. Gagasan umum yang terdapat dalam pandangan ini lebih bersifat liberal yang menekankan pentingnya pengkajian yang berbeda-beda dalam pendekatan studi agama. Karakteristik fenomenologi ditunjukan dan diperdebatkan oleh oleh mereak yang concern dengan pendekatan.
Psilkolog William James sering disebut sebagai seorang eksemplar studi fenomenologis. Namunia tidak memahami dirinya sebagai seorang fenomenolog. Dia memberi ciri pada suatu pendekatan yang menggambarkan cocern fenomenologis. Dalam bukunya The Varietes of Religious Experience: A Study of Human Nature yang mendasarkan studi-studi psikologis individual tentang suatu watak deskriptif dan merumuskan kesimpulan-kesimpulan filosofis sesuai dengan posisinya sebagai seorang pragmatis. Kekuatan pendekatan James terletak dalam bagaimana ia membatasi subjek kajian pada contoh-contoh individual partikular melalui suatu sampel empiris dan kualitatif yang secara tipologis diinterpretasikan menurut prinsip psikologis.
C.     Persoalan dan Perdebatan
Para peneliti seperti mahasiswa harus terlibat dalam percakapan atau dialog guna mengungkapkan pengalaman multikultural. Namun istilah ini bukan pernyataan yang dikemukakan oleh James dengan istilah pandangan dunia.Smart lebih dekat kepada model penelitian selanjutnya seperti yang dijelaskan oleh Tworuschka sebagai sebuah fenomena. Ide-ide yang dikemukakan oleh Tworuschka terbilang serius. Seorang terkadang seolah-olah memahami (versthen) pandangan dunia masyarakat lain yang memberikan kemungkinan pada kita bukan kemungkinan objektivitas tetapi kemampuan merasakan apa yang mereka rasakan.
Dalam kritik ini, Tworuschka memberikan pemahaman terhadap grammer dari wacana orang lain sebagai tujuan utamanya. Tworuschka menggambarkan hal tersebut dengan mengacu pada Van der Leeuw. Sedangkan Jackson menarik kesimpulan bahwa fenomenologi gagal menyiapkan perangat untuk menafsirkan pandangan dunia orang lain dengan sedikit distorsi. Dia menyimpulkan persoalan ini adalah adanya epistimologi, bukan persoalan sensibilitas yang luar biasa untuk berpikir, merasa dan memahami yang asli.
Menurut Geertz anda harus benar-benar memahami budaya partikular dan terlibat percakapan dengan mereka yang tinggal didalamnya. Geertz melakukan observasi dibeberapa wilayah di Jawa, Bali, serta Maroko tentang keberagamaan meskipun dalam pengertian yang berbeda. Edward Said memiliki concern terhadap imperialisme kebudayaan Barat ketika melakukan penelitian budaya Timur.Dalam karyanya Orientalisme dia mebahas tentang watak identitas Timur-Tengah, Islam da Arab. Fenomenolog klasik saat itu mengkaji produk penemuan mereka sendiri.
Fenomenologi agama melepaskan diri dari kritisisme. Hal ini berlangsung sampai ilmu pengetahuan menawarkan diri secara objektif dengan menghilangkan subjektivitas. Sebab pengetahuan ilmiah diyakini memiliki referensi pada dirinya sendiri. Bahkan tidak dapat lari dari kritisisme  karena mengacu pada pengalaman dekat. Konsep realitas yang konstruk merupakan bagian dari tugas modernitas guna mengkomunikasikan dengan sesama modernis. Wilayah menengah yang ditempati oleh Habermas dan Rorty yang menggunakan perspektif postmodernitas yang mencari konsensus melalui diskusi. Secara signifikan mereka punya pandangan yang berbeda dan keduanya berusaha memastikan kritik yang diberikan oleh modernis bahwa suatu komunitas harus tetap dipertahankan.
4.      Pendekatan Filosofis
A.     Perkembangan Historis Pendekatan filosofis
Pendekatan filosofis dalam studi agama saat ini sangatlah kurang, mungkin kita dapat menemukan orang yang menggunakan Pendekatan filosofis di departemen filsafat, studi agama, teologi, dan departemen kemanusiaan. Maka tampak bahwa pendekatan filosofis tidak hanya ada dalam satu tempat saja.
Filsafat terdiri dari dua kata yaitu philia (cinta) dan sopia (kebijakan) yang berarti filsafat adalah cinta pada kebijakan. Orang yang menekuni bidang filsafat maka disebutlah filsuf yang berarti orang yang mencintai kebijakan. Adapun kebijakan filsuf adalah akumulasi pengalaman dan pembelajaran dalam hidup serta cerdas dalam mengambil keputusan.
Menurut plato filsuf adalah orang yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang belajar dan tidak pernah putus asa. Adapun Aristoteles mendifinisikan tentang filsafat sebagai pengetahuan mengenai kebenaran. Maka kunci yang menyusun filsafat adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesedian membaca, dan mempertimbangkan seluruh wilayah pemikiran  dan memiliki perhatian pada kebenaran.
Menurut Brenda Almond bahwa filsafat sesungguhnya mencakup dua komitmen. Pertama: berfilsafat menunjukkan bahwa anda sedang memperlihatkan komitmen pada kebenaran. Kedua: ketika berfilsafat maka kita sedang memperlihatkan  diri kita menerima nilai metode ini, bahwa proses dialog akan kita gunakan dimanapun.
Filsafat dan agama mempunyai hubungan yang erat, ini terlihat dari Ada empat posisi utama mengenai hubungan antar keduanya:
a.       Filsafat sebagai agama
b.      Filsafat sebagai pelayan agama
c.       Filsafat sebagai yang membuat ruang bagi keimanan
d.      Filsafat sebagai suatu perangkat analitis bagi agama
e.       Filsafat sebagai studi dalam pemikiran keagamaan
B.     Karakteristik Prinsipil  Pendekatan Filosofis
John Hick memberikan suatu cara dalam membahas karakteristik pendekatan filosofis melalui empat cabang yaitu:
a.       Cabang Logika, adalah seni argumen rasional dan koheren
b.      Cabang Metafisika yang terkait dengan hal yang paling mendasar tentang kehidupan, eksistensi, dan watak atau being
c.       Cabang Cabang Epistimologi yang menitik beratkan pada apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita mengetahui
d.      Cabang Etika atau perilaku yang mengatur cara kita hidup.
C.     Persoalan dan Perdebatan
Dalam mendekati studi agama ada tiga wilayah yang banyak menarik minat dan peneltian yaitu:
a.       Wilayah pertama adalah studi kultural linguistik atau bahasa keagamaan. Bahasa yang kita gunakan dapat mempengaruhi dan membentuk model pengalaman yang kita miliki, dan juga bahasa dapat dikatakan menciptakan pengalaman.
b.      Wilayah kedua adalah persoalan kejahatan yang terfokus pada penderitaan dan kesengsaraan.
c.       Wilayah yang ketiga adalah persoalan perbuatan Tuhan didunia. Diskusi keagamaan cendrung mengansumsikan bebrapa konsep tentang keterkaitan Tuhan dan aktivitasnya didunia. Terdapat banyak persoalan dalam pemikiran  bahwa Tuhan itu aktif dengan dunia, persoalan itu cendrung  berkisar pada empat tema penting.
Pertama   :Persoalan bagaimana kita harus memahami perbuatan dan agensitas Tuhan.
Kedua      :Persoalan tentang perbuatan Tuhan dalam sejarah.
Ketiga      :Persoalan tentang perbuatan Tuhan dialam yang memiliki implikasi terhadap hubungan ilmu dan keyakinan keagamaan.
Keempat   :Persoalan berkaitan dengan apa yang kadang-kadang dikenal dengan pemeliharaan Tuhan yang khusus.
5.      Pendekatan Psikologis
A.     Perkembangan Histori Pendekatan Psikologis
Studi agama dari persepektif psikologi hampir sama tuanya dengan psikologi itu sendiri. Di inggris psikologi agama lebih mungkin ditemukan didepartemen psikologi, hal serupa juga terjadi di amerika bahkan lebih banyak psikolog di amerika. Oleh karena itu departemen psikologi di amerika lebih intensif memeberikan kuliah psikologi agama. Psikolog kontemporer dengan suara bulat menyepakati Wilhrlm Wundt sebagai orang yang membawa psikologi sebagai suatu ilmu dengan mmendirikan laboratorium psikologis di universitas Leipziq tahun 1879.
Pembahasan tentang fenomena psikologis kebanyakan cukup kompleks. Dalam berbagai penjelasan tentang pengalaman keagamaan, psikolog religius akan cendung menyatakan bahwa mengakui yang sacred sebagai sebab itu lebih hemat dari pada harus mencari mekanisme psikologis yang menjelaskan bagaimana orang yang memiliki pengalaman itu dianggap disebabkan oleh adanya hubungan dengan beberapa wilayah transempiris. Sebaliknya psikolog nonrelligius cendung menyatakan bahwa penjelasan yang memuat realitas transempiris selalu kurang hemat dibanding penjelasan yang tanpa memuat realitas transempiris selalu menjadi dua faktor tambahan.
Perlu dibedakan antar psikologi agama dengan psikologi keagamaan. Psikologi agama mengacu pada penerapan metode-metode dan data psikologis kedalam studi tentang keyakinan, pengalaman, dan sikap keagamaan. Sedangkan psikologi keagamaan mengacu pada gangguan metode dan data psikologis oleh orang yang agamis dengan tujuan memperkaya dan membela keyakinan, pengalaman dan prilaku keagamaan.
B.     Karakteristik Dasar Pendekatan Psikologis
Psikologi agama di amerika  menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif (misalnya studi kasus individual dan studi populasi yang didasarkan pada kuesioner) dengan ukuran yang kurang lebih sama. Pendekatan psikologi agama jelas mepersentasikan bagian spektrum psikolgi kualitatif, karena mereka mengambil inspirasi teoritisnya dari pengalaman personal, penelitian klinis, dan tidak jarang tulisan-tulisan filosofis. Adaupn metode kuantitatif tidak hanya menyangkut eksperimen (ideal dari banyak psikolog sosial khusunya yang dilatih secara psikolog) melainkan juga psikometris (ukuran-ukuran pikiran), biasanya dengan kusioner yang idelanya diberikan pada sutu sampel yang representatif dari populasi target.
C.     Persoalan dan Perdebatan
Perdebatan yang terjadi di wilayah psikologi agama tidak dicirikan dengan kontoversi, karena hubungan antara tokoh-tokoh dari beragam persefektif itu sungguh terbatas. Kalaupun ada perdebatan itu kebanyakan terjadi didalam persepektif dari pada lintas persepektif. Psikonalis jarang mengkeritik psikolog sosial dan sebaliknya psikolog sosial jarang juga mengkritik psikonalis.
Dalam masalah  persepektif harus ditemukan suatu tinjauan luas di bidang ini, paling tidak dengan pemecahan yang diberikan dengan pembatasan kesalahan interpretasi terhadap bukti, kemajuan pemahaman ilmiah terhadap agama dapat dicapai. Pada saat yang sama suatu studi tentang dimensi psikologis agama memunculkan pertanyaan umum yang menuntut respon multipersepektif.
6.      Pendekatan Sosiologis
A.     Perkembangan Historis Pendekatan Sosiologis
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang pola kehidupan masyarakat yang menyangkut banyak hal. Dalam pandangan sosiologi, agama merupakan bentuk konstruksi sosial yang berlaku dalam sebuah komunitas masyarakat. Kepercayaan kepada tuhan, ritual keagamaan, keyakinan, dan perilaku religius menurut sosiolog digunakan untuk memperoleh kekuatan kreatif dari kekuatan lain dalam dunia sosial.
Kajian sosiologis terhadap agama tidak hanya memberikan perhatian pada depedensi keyakinan dan komunitas keagamaan pada kekuatan serta proses sosial. Kekuatan menjadi penggerak organisasi dan doktrin keagamaan dalam dunia sosial. Peran para agamawan dalam menyandarkan pada pembahasan dan penjelasan sosiologis tentang naik turunnya pola keagamaan dalam kehidupan modern. Sekte-sekte gerakan keagamaan akan mencari legitimasi atas kebebasan kaberagamaan yang mereka upayakan dalam menghadapi serangan terhadap eksistenstinya.
Pada pertengahan abad 20 para sosiolog baik yang berasal dari Eropa maupun Amerika Utara melihat agama memiliki signifikansi terpinggirkan dalam dunia sosial. Sebab agama bergerak dalam garis tepi studi sosiologis pada waktu itu. Dengan datangnya post modernitas yang kemudian menjadi modernitas, Agama kemudian bangkit dalam beragam konteks global atau menyeluruh, Agama kemudian memperoleh signifikansi sosiologis baik dalam masyarakat yang sedang berkembang di Eropa dan Amerika Utara.
Auguste Comte yang dikenal bapak Sosiologi dan Henry Saint Simon dianggap sebagai tokoh pendiri sosiologi. Dalam pandanganAuguste Comte, sosiologi mengikuti kajian ilmu alam dalam pembahasannya. Observasi terhadap masyarakat akan memunculkan kajian rasional dan positivistik mengenai kajian sosial yang akan memberikan pengorganisasian bagi ilmu kemasyarakatan.
Perkembangan masyarakat berjalan secara terus dan berkembang dari sesuatu yang bersifat magis kepada rasional. Dalam karyanya The Elemnatary Forms Of The Religious Life. Emile Durkheim memberikan analisis yang lebih kaya tentang fungsi sosial agama berdasarkan praktik-praktik religius masyarakat Aborigin Australia. Dia mengidentifikasi suatu “prinsip totemik” dalam hubungan yang saling mempengaruhi antara keyakinan dan praktek religius dengan watak kesukuan. Sosiologi agama yang menjadi kajian Durkheim adalah fungsi yang dimainkan agama dalam meredam ketegangan untuk menghasilkan solidaritas sosial guna menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya, Baik ancaman yang berasal dari dalam
Max Weber berpendapat bahwa agama merupakan spirit yang menimbulkan semangat etos kerja. Bukan semata-mata produk sosial, atau sekedar sebagai wujud kemampuan manusia untuk menciptakan masyarakat. Agama merupakan sumber ide yang dapat berakibat terhadap dunia sosial dengan cara independen dan tidak bisa diramalkan. Perspektif Weberdalam konteks agama dapat menjadi perubahan dan tantangan sosial dan keteraturan sosial.Weber meyakini bahwa agama secara gradual akan kehilangan signifikansi sosial sebagai konsekuensi dari rasionalisasi organisasi sosial maupun ekonomi modern.
B.     Karakteristik Dasar Pendekatan Sosiologis
Teori sosiologis tentang watak agama serta signifikansinya dalam dunia sosial mendorong ditetapkannya serangkaian kategori sosiologis yang meliputi:
a.       Stratifikasi sosial seperti kelas dan etnisitas.
b.      Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawainan, keluarga, masa kanak-kanak, dan usia.
c.       Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi.
d.      Proses sosial seperti farmasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan dan globalisasi.
Kategori-kategori itu berperan dalam studi sosiologis terhadap agama yang ditentukan oleh pengaruh paradigma-paradigma utama tradisi sosiologis oleh refleksi realitas empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan. Paradigma fungsionalis yang berasal dari Durkheim kemudian dikembangkan oleh sosiolog Amerika Utara Talcott Parsons.
Manusia membangun proses dan struktur yang ekstentif yang dengannnya individu dimasukan atau disosialisasikan kedalam pola-pola perilaku yang telah ditentukan. Agama melabelkan kekuatan sacred pada objek-objek dan makna-makna yang dengannya manusia membangun dunia sosial dengan model kosmos. Agama mempresentasikan upaya menetapkan proyek upaya manusia di pusat dunia untuk memberikan kebermaknaan manusia.Agama bukan hanya bagian penting kecenderungan manusia melakukan eksternalisasi serta membangun makna dunia sosial.
C.     Persoalan dan Perdebatan
Dalam kajian sosiologi, perdebatan utama agama kontemporer adalah antara pembela dan penantang tesis sekularisasi yang mendominasi teori sosial sejak Auguste Comte hingga Emile  Durkheim. Sekularisasi mengacu pada proses dimana agama kehilangan dominasi sosial dalam masyarakat. Mundurnya pengaruh agama dapat diamati dengan adanya gejala sebagai berikut:
a.       Kemunduran partisipasi dalam aktivitas dan upacara-upacara keagamaan.
b.      Kemunduran keanggotaan organisasi-organisasi keagamaan.
c.       Kemunduran pegaruh isntitusi-institusi keagamaan dalam kehidupan dan institusi-institusi sosial.
d.      Berkurangnya otoritas yang dimiliki dan menurunnya keyakinan terhadap ajaran-ajaran keagamanaan.
e.       Berkurangnya ketaatan privat, doa dan keyakinan.
f.       Kemunduran otoritas tradisional yang didukung oleh nilai-nilai moral secara keagamaan.
g.       Berkurangnya signifikansi sosial dari professional-profesional keagamaan, kekurangan dalam lapangan kerja, dan dibeberapa negara anti klerikalisme (mereka yang menentang paham yang mendukung campur tangan kaum rohainawan (Katolik Roma) dalam urusan politik).
h.      Privatisasi atau sekularisasi internal terhadap ritual-ritual dan system keyakinan keagamaan.
Pergeseran masyarakat dari pedalaman kepada urbanisasi melibatkan kompleksifikasi masyarakat yang disebut sebagai “Diferensiasi Sosial”. Dalam rumah tangga pramodern, proses diferensiasi sosial disebut Bryant Wilson dengan “sosialiasasi”.Masyarakat tradisional dicirikan dengan komunitas kecil yang saling bertatap muka.Setiap individu merespon massifikasi dan anomitas kehidupan sosial modern dengan meletakkan kembali makna dan tujuan dalam pengertian otonom dan identitas personal yang lebih kuat.
Max Weber menyatakan bahwa dinamika sosial mendasar yang menghasilkan sekularisasi adalah rasionalisasi yang kebanyakan sosiolog modern menyetujui pernyataan Weber. Organisasi kerja teknologis dan meningkatnya meditasi teknologi elektronik dalam pertukaran sosial adalah contoh dari rasionalisasi. Kehidupan masyarakat modern tidak hanya terbatas pada ritual-ritual di gereja atau waktu yang liturgis sacred. Para sosiolog menentang tesis sekularisasi dengan berdasarkan bahwa modernisasi tidak menyebabkan kematian agama. Sekularisasi lebih menekankan pada munculnya bentuk agama baru yang lebih indivualistik dan mistis yang tetap memberikan makna dan formasi identitas dalam kesadaran individu dan kelompok atau gerakan keagamaan kecil. Sekalipun agama kehilangan beberapa wilayahnya pada publik.
7.      Pendekatan Teologis
Teologi telah ada sejak bangsa Sumeria, ia mulai menjadi sebuah perkataan dalam istilah Yunani, theologia. Istilah ini mengacuh pada Tuhan-Tuhan. Greek-English Lexicon karya Liddel dan Scott mencatat 233 derivasi kata theos, 222 darinya terkait dengan tuhan atau tuhan-tuhan. Maka, kurang lebih teologi terfokus pada tuhan atau tuhan-tuhan. Teologi adalah bagian dari pendidikan umum. Sejauh berkaitan dengan tuhan-tuhan, pada dasarnya teologi mengacu pada candi yang dimaksudkan untuk diperembahkan kepada tuhan-tuhan di Yunani dan Romawi. Orang-orang kristen mewarisi teologi dari Yunani dan diterapkan dalam suatu cara khusus. Teologi menjadi terkemuka di kalangan apologis Kristen dan pendiri awal greja kristen sebagai suatu cara membumikan tradisi Kristen dalam kebudayaan Yunani-romawi dan seiring dengan “Perubahan” kekaisaran Romawi setelah 313 SM, teologi dengan cepat monopoli tradisi kristen dan umat Kristen setelahnya. Pada masa Aquinas, teologi memperlus cakupannya hingga meliputi doktrin, etika spritualitas, filsafat, peraturan-peratra greja, dan mistisme. Teologi menjadi “ratunya ilmu” (Queen of Science) meskipun sangat terkait dengan humanitas dan ilmu.
Dalam bentuk yang ringkas, kita telah melihat perbedaan antara teologi dan studi-studi keagamaan. Sekarang kita akan melihat peran teologi dan implikasinya terhadap studi keagamaan, dalam tiga kerangka kerja pengetahuan seperti berkembang di dunia barat. Kerangka fikir ini disandarkan pada arketipe-arketipe kunci yaitu humanitas, tuhan (atau transendensi) dan alam. Disiplin-disiplin yang berkaitan meliputi ilmu kemanusiaan, teologi, dan ilmu alam.
Interkoneksi antara teologi dan studi-studi keagamaan lebih jelas ditunjukkan oleh analisis tentag keragaman model beragama. Model ini mengandaikan pengetahuan tentang backround historis suatu tradisi keagamaan tertentu, dan pada dasarnya dapat diterapkan dalam seluruh tradisi. Model ini diawali dengan konsp transendensi yang memiliki bentuk yang berbeda-beda dalam setiap tradisi, tuhan melalui kristus bagi umat kristen, Allah melalui al-Quran bagi Muslim, Yahweh melalui Taurat bagi umat Yahudi, Brahman melalui ketuhanan personal Hindu atau Atman bagi umat Hindu dan Nirvana melalui Budha atau Dharma melalui umat Budha.
Pada tingkat yang memugkinkan untuk diteliti, model ini memiliki delapan elemen yang dapat dipisahkan berdasarkan tujuan analisis tetapi membentuk suatu continum dalam pengalaman orang-orang yang hidup dalam tradisi yang sedang diteliti.
a.    Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja, ummah, sanghala, dan lain-lain) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat beiman ke dalam suatu konteks global.
b.    Ritual yang dapaat dipahami dalam tiga aspek: penyembahan yang terus menerus, sakramen, da upacara-upacara.
c.    Etika: seluruh tradisi memiiki keinginan mengonseptualisasikan dan membimbing ke arah kehidupan yang baik, dan semua menyepakati persoalan-persoalan dasar seperti keharusn menghindari kebohongan , mencuri, pembunuhan, membawa aib keluarga, dan mengingkari cinta.
d.    Keterlibatan sosisal dan politis: komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat dalam masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaptasi dengannya kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti dalam agama-agama primal.
e.    Kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci dalam kitab suci atau tradisi oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mngenyampingkan agama-agama primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebaagai suatu canon (peraturan-peraturan).
f.     Konsep atau doktrin: tradisi kristen dengan gagasannya tentang ortodoksi doktrin lebih menekankan pada konsep dan teologi dibanding lainnya, namun seluruh tradisi memiliki sejumlah konsep yang sangat penting bagi mereka.
g.    Estetika: dalam tingkat akar rumput disepanjang sejarah, estetika merupakan hal signifikan, meski dalam masyarakat yang tidak dapat membaca.
h.    Spritualitas yang menekankn sisi dalam (batin) dari agama: beberapa orang menyatakan bahwa seluruh spritualitas pada dasarnya sama, sebagian lainnya menyatakan bahwa ia berbeda menurut tradisi atau menurut struktur dasar.
Barangkali patut dicatat bahwa kata “teologi” adalah kata yang sangat terasa dalam agama Kristen dan Barat dan dalam kaitan dengan tradisi Budhis yang menolak gagasan tentang ketuhanan (dalam pengertian Brahman), dan bahkan (real self) dari yang sungguhnya (dalam pengertian atman) kata itu tidak cukup akrab. Meskipun di sini tidak ada ruang untuk memperdebatkan persoalan ini secaraa penuh, adakalanya digunakan kata seperti”transendentologi” sebagai ganti teologi untuk mengakomodasi gagasan-gagasan Budha tentang Nirvana, dan Dharma yang memiliki nuansa transendensi.
Terdapat beberapa teologi dalam masing-masing tradisi. Secara mendasar terdapat emat macam tipe:
a.       Tipe teologi deskriptif, historis, positivistik.
b.      Tipe teologi sistematik yang berusaha meringkas  doktrin-doktrin dari komunitas berian dalam suatu pengertian pengakuan.
c.       Tipe teologi filosofis yang berusaha terlibat dengan posisi-posisi lain pada tingkat filosofis, dengan membawa dan memberikan reaksi kepadanyasecara serius.
d.      Terdapat apa yang lebih luas disebut dengan teologi dialog.
Untuk tujuan pembahasan ini, fokus utamanya adalah titik temu pemikiran teologis dan filosofis yang menakjubkan di abad-12 dan abad-13 M, ketika pemikir-pemikir seperti Al-Ghazali dalam Islam (yang lebih agak dekat), Maimonides (1135-1204) dalam tradisi Yahudi, Aquinas (1225-1274) dan Bona Ventura (1217-1274) dalam tradisi Kristen, Ramanuja (1017-1137?!) dalam tradisi Hindu, Chui His (1130-1200) dalam tradisi KongHucu dan Dogen (1200-1253) dalam tradisi Budha Jepang, semuanya terlibat dalam perbincangan teologis yang sama.
Dalam Islam Al-Ghazali memadukan syari’ah (hukum) mistisme sufi dan elemen-elemen filsafat rasional ke dalam satu sistem total yang tetap valid dalam dunia Islam berabad-abad. Maimonides melakukan penelitian serupa dalam dunia Yahudi melalui penafsiran besarnya terhadap Taurat, di India, Ramanuja memasukkan dan mengadaptasikan elemen-elemen ke dalam tradisi Hindu dengan didasarkan pada Vedanta dan memasukkan elemen-elemen devositamil India Selatan  ke dalam sintesis teologi/filosofis tersebut dalam tingkatannya tetap menjadi dasar filosofis bagi Hinduismedevosional hingga saat ini.
John Hick mengemukakan gagasan yang termasyhur bahwa terdapat sikap-sikap teologi pokok yang dapat diterapkan tradisi keagamaan terhadap wilayah keagamaan yang lebih luas, eksklusivisme, suatu pendapat bahwa satu-satunya posisi yang benar adalah posisi keagamaannya sendiri, inklusivisme, suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan lain juga memuat kebenaran religius tetapi dihari akhir akan di masul ke dalam posisi yang mereka miliki, dan pluralisme pendapat bahwa tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the Real) dan memberi respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultural yang berbeda-beda bagi manusia.
Sejumlah teori penting dalam studi keagamaan telah menggunakan gagasan transendensi secara serius dan berusa mengekspresikannya. Baragkali kedua teori yang paling terkenal adalah teori Rudolf Otto dan MirceaEliade. Dalam buku The Idea of The Holy Otto mendapat ide tentang yang suci (the holy) sebagai gagasan sentral dalam studi keagamaan. Seperti yang dia kemukakan tidak ada gama ketika”yang suci” tidak hidup sebagai inti paling dalam yang sesungguhnya, dan tanpa yang suci tidak ada agama yang layak diberi nama agama.
Tujuan akhir dalam pendekatan teologi dalam studi agama berpusat pada pencarian suatu etika teologis global. Sebagian ini terkait dengan karya Hans Kung tetapi semangat dan instingnya segera menjadi lebih luas. Etika teologis global adalah teologi agma-agama global dalam pengertian bahwa berbagai teradisi keagamaan memberidukungan terhadapnya dengan pengan daian ahwa seluruh agama (budaya dan negara) berada di dalamnya secara bersama-sama. Guna meciptakan dunia yang terjaga kehidupannya dan haronis untuk anak cucu kita, niscaya membutuhkan kerja sama. []



Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA