RESENSI - ANDIKA CAHAYA - DARMAN MOENIR

Main Aman
Demi Kekuasaan

Judul              : Andika Cahaya
Penulis            : Darman Moenir
Penerbit          : AKAR Indonesia
Cetak              : Februari 2012
Tebal             : 234 Halaman
ISBN               : 978-979-9983-95-4

Kekuasaan itu sesungguhnya jahat tetapi dibutuhkan (power is devil but necessary). Kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, sekecil apapun kekuasaan itu. Oleh karenanya, agar kekuasaan tidak disalahgunakan mutlak diperlukan pengawasan. Jika pengawasan sudah mati atau mungkin jadi kekuasaan baru, maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan.

Novel ini adalah pintu masuk melihat kekuasaan dipermainkan oleh segelintir tokoh yang mendapatkan kesempatan memegang kekuasaan di berbagai lini di dalam sebuah museum. Museum yang berisi benda-benda antik, dibeli dengan cara yang antik pula. Di sini, kekuasaan berlaku mangkus untuk berbuat apa saja tanpa pengawasan. Kepala Museum (Museum) begitu piawai memainkan peran sebagai pemegang kekuasaan.


Inilah akibat pengawasan yang lemah. Kekuasaan menjadi mekar dan berakar. Sulit dicabut. Turun temurun. Ia menjadi hegemoni rezim karena sudah berkarat memegang tampuk kekuasaan di satu tempat.

Kenapa kekuasaan begitu menggoda? Karena kekuasaan bersaudara dengan uang. Jika sudah berkarat menguasai suatu tempat, tentu saja budaya korupsi, manipulasi data, hingga membunuh nurani sudah menjadi biasa. Orang baru jangan coba-coba untuk mendekat. Ia akan tersingkir dengan sempurna. Seperti korban yang telah berjatuhan karenanya.

Orang-orang berkuasa memang kerap mati rasa. Paling tidak, inilah yang ingin dikatakan novel ini. Sebuah bentuk protes pengarang terhadap keadaan yang berkenaan dengan kekuasaan.

Tentu saja, sesuai dengan kontek zaman dan pemikiran yang berkembang pada masa dimana cerita dimulai dari novel ini. Ketika itu, kekuasaan sangat terpusat, kuat, sementara di daerah, sedang terjadi degradasi mental akibat kalah perang melawan tentara pusat. Di sinilah mereka yang oportunis menang mendapat kesempatan. Novel ini protes yang keras atas hegemoni kekuasaan terpusat tersebut. Protes terhadap mereka yang main aman, tunduk pada atasan akan selamat sampai tujuan. Walau secara sadar, nurani mati suri, nalar tak lagi sehat.

Begitulah berkisah dari awal, dua tokoh sentral, Jotambi, Ikrar Gantiang dan Lulu Permata Sari, memainkan peran yang sempurna dalam mengelola museum yang berisi barang antik. Nyaris sampai pada fakta, novel ini tidak hendak langsung menghujam, tetapi berupaya memberi keterangan yang jelas, kemana arah sasaran tembaknya.

Jangan berharap ada romantisme serupa novel kebanyakan pada novel ini, tetapi membacanya akan mendapatkan sesuatu selain dari sekedar romantisme itu. Lebih dari itu, ada diskripsi dan narasi yang total, kritik sosial yang tajam, kejujuran nurani yang bening. Terkadang, tokoh-tokohnya, yang terdiri dari bawahan Jotambi dan Lulu Permata Sari begitu lugu untuk sekedar jujur melihat keadaan. Selebih dari itu, gumam dari jauh terdengar tapi tak kuat untuk mengubah keadaan.

Demikianlah, Andika Cahaya, sebuah cerita yang mengungkapkan sesuatu dari sisi yang paling menyedihkan. Ketika benda antik harusnya mendapatkan perlakuan istimewa dari orang-orang yang mengerti terhadap benda mahal dan langka tersebut, tetapi sebaliknya, benda-benda cagar budaya itu tak lebih dipermainkan keadaan cuaca kekuasaan. Satu keadaan yang membuat kita mengurut dada, ketika kekuasaan berada di tangan orang-orang yang tidak memungkinkan. Berbahaya dan menjadi ancaman. Beginilah jadinya, jika kekuasaan tidak didasari dengan iman. Orang selalu bermain aman demi kekuasaan tersebut. [abdullah khusairi]



Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA