Sebuah
Strategi Menguasai Media Massa & Media Sosia
Bukalah situs Youtube.com, domain penyedia sarana siaran video gratis di internet
dengan key word “Polantas”, akan
ditemukan beberapa video yang mungkin saja mengagetkan. Umumnya video tentang Polisi
Lalu Lintas (Polantas) yang direkam entah oleh siapa, lalu diunggah sehingga
setiap orang bisa menonton, setiap waktu, dimana saja. Konten tontonan itu
sungguh membuat citra baik polisi tercoreng. Karena ada oknum-oknum Polantas
yang nakal memermainkan hukum di lapangan.
Tentu saja tindakan ini tidak bisa
terjadi sepihak saja. Ada dua pihak, antara oknum Polantas dan anggota
masyarakat. Mereka bernegoisasi dan akhirnya melanggar hukum yang sudah
disepakati. Tilang tak jadi, urusan selesai setelah negoisasi saling
menguntungkan terjadi.
Menariknya, di salah satu video
itu, ketika berakhir tertera kata-kata, jangan
ditiru, masih banyak polisi yang jujur!
Sumber
Opini Negatif
Lembaga Kepolisian Negara
Indonesia sudah menyadari pentingannya gerakan untuk membangun opini positif di
tengah arus opini negatif terhadap aparat hukum pada era informasi ini. Jajaran
petinggi Polri menyadari arus informasi bisa memutar yang baik menjadi buruk,
yang buruk menjadi baik. Era keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk citra baik lembaga kepolisian.
Sejauh ini, gerakan membangun
citra baik yang sudah dilakukan belum signifikan dibanding dengan serangan
opini negatif terhadap polisi. Ini dimaklumi karena, lembaga penegak hukum
sebesar Polri memiliki banyak lawan yang tidak kelihatan (enemy of silent). Diduga, mereka muncul karena pernah merasa
dirugikan pihak Polisi ketika menjalankan tugas, mereka yang benar-benar
tertekan oleh oknum-oknum yang nakal di lapangan, juga tak menutup kemungkinan
di dalam tubuh Polri sendiri yang kecewa dengan sistem. Dari sinilah awalnya,
di samping yang iseng-iseng, mendapat kesempatan untuk mematahkan semua hal
yang sudah dilakukan oleh Polri.
Membasmi
Opini Negatif
Hasil suatu penelitian terhadap
seratus top eksekutif di bidang produksi
barang dan jasa, lebih dari 50 persen mengaku penting sekali untuk memelihara citra
baik di hadapan publik. ( Soemirat& Ardianto, 2002:111).
Namun hal itu tidak bisa datang
sendiri. Harus ada gerakan bersama dalam sebuah lembaga agar persepsi publik
bisa berubah dari pendulum negatif ke positif. Selain ada gerakan tentu ada
proses, strategi, juga evaluasi terus menerus. Mengingat dinamika di lapangan
tidak bisa serta merta diatur. Perubahan sangat dinamis di tengah publik
seiring arus informasi yang dinamis.
Gerakan
Citra Baik
Kampanye untuk citra yang baik sudah
dilakukan secara terprogram oleh lembaga kepolisian di setiap daerah hingga ke
pusat. Begitu pula sebaliknya. Tetapi belum mampu melawan citra negatif yang
datang menyerang secara masif. Diduga, hal ini karena prosedur di kepolisian
membutuhkan administrasi dan instruksi ketat. Struktur kepemimpinan dan alur
komunikasi membuatnya pola dan iklimnya seperti itu. Dapatkan merobah struktur
dan alur komunikasi tersebut? Bisa. Tergantung pola kepemimpinan yang sedang
berjalan.
Sudah dapat dipercaya, kinerja
polisi sudah berjalan sebagaimana mana mestinya di rel aturan-aturan hukum yang
mengaturnya. Ada banyak prestasi polisi yang dicatat, terdokumentasi dan
diberitakan, namun itu semua belum mampu mengalahkan opini negatif yang
berkembang. Sering lembaga kepolisian mengalami degradasi citra karena ulah
satu dua orang oknum saja. Karena nila
setitik rusak susu sebelanga.
Strategi
Membangun Citra
Tidaklah sulit melakukan sebuah
gerakan bila telah tumbuh kesadaran atas apa yang sudah terjadi di lapangan.
Apalagi saat ini, media massa yang sudah bercorak industri murni, sudah bisa
diajak bekerja sama dalam berbagai bentuk sehingga bisa menguntungkan antara
lembaga media massa dengan lembaga kepolisian. Misalnya, menggunakan jalur
pariwara, periklanan dan adventorial.
Persoalan yang masih mengganjal,
adakah kerja sama itu bisa membangun citra? Belum tentu. Karena publik sudah
cerdas. Aparat bertugas untuk membangun citra, di semua jajaran, harus mengerti
tentang watak media dan watak publik dalam membaca, mendengar dan menonton
media yang ada di hadapannya. Watak media, akan selalu tampak tampil independen
dan kritis, bahkan cenderung menyalahkan, ini disebabkan, nilai berita yang
dianut bad news good news. Pengertian
berita anjing menggigit manusia, bukan
berita. Manusia menggigit anjilah, yang berita. Sejalan dengan itu, sudah
tertanam dalam watak publik, akan sangat suka yang jelek dari pada yang bagus.
Istilah lain, berita jual kecap nomor
satu tidak akan mampu mengalahkan nilai berita negatif tentang kecap. Berangkat
dari pernyataan itu, senyatanya pariwara dan sejenisnya tidak akan mampu
mengangkat citra polisi. Ia hanya mampu membangun relationship antar dua lembaga secara normal dan biasa-biasa saja.
Tidak ada yang luar biasa.
Bagaimanakah melahirkan yang luar
biasa? Menarik minat media juga minat insani publik? Di sinilah perlu
kreativitas. Hanya saja, di lembaga seperti Polri, kreativitas bisa dianggap
tabu bila meloncat rambu-rambu hukum dan konsesus. Bisa dianggap tidak baik dan
tidak nyaman bagi pimpinan. Kasus Norman Kamaru, contoh kecil untuk ini.
Strategi yang sangat memungkinkan
adalah, jajaran pimpinan yang langsung bersentuhan dengan publik, setiap saat mau
berbagi informasi secara aktif. Tidak menyimpan dan menunggu. Tersedia setiap
waktu, di luar pertanyaan wartawan yang ingin tahu setiap kasus, isu-isu
strategis bersifat menaikkan citra.
Tidak hanya berita rutin semisal penangkapan
semata yang sudah saban hari ada sehingga tak lagi menjadi sesuatu yang besar.
Tetapi bagaimana yang unik dan langka. Sekadar misal, ada anggota polisi yang
ternyata berprestasi di bidang olahraga, polisi di luar kedinasan melaksanakan
kegiatan kemanusiaan, baik secara personal maupun secara kelompok dan kesatuan.
Ini tentu perlu didiskusikan secara mendalam dampak lainnya.
Satu lagi, ada anggota polisi yang
bekerja di luar kapasitas yang mesti dipertimbangkan. Misalnya, ada foto
anggota Polisi Wanita (Polwan) yang bersepeda membawa kotak suara Pemilu ke
daerah terpencil. Ini justru lebih menarik diekspos tanpa menyinggung siapapun,
tanpa perlu menepuk dada, tetapi diceritakan apa adanya.
Ini pengalaman, setiap pagi pada
jam dinas, melihat anggota Polantas mengatur lalu lintas yang padat dan tentu
penuh debu. Sementara, para pengendera tidak memedulikan mereka. Tugas ini
sangat mulia agar tidak terjadi kemacetan dan merugikan masyarakat. Tetapi
pandangan masyarakat dan mungkin saja bagi pimpinan, dianggap sudah tugas
biasa. Ini bisa menjadi berita luar biasa, jika dikemas dengan kreatif.
Mengatur masyarakat urban yang sungguh tergesa-gesa pergi kerja bukanlah
persoalan yang mudah. Semuanya ingin mendahului, sementara polisi hanya
beberapa orang saja di persimpangan.
Secara teoritis ilmu jurnalistik,
semua hal bisa dijadikan berita asalkan para jurnalis mampu dan memiliki
motivasi memberitakannya. Mengemas sesuatu yang biasa menjadi luar biasa adalah
pekerjaan para jurnalis, aparat kepolisian harus memberi ruang untuk itu kepada
jurnalis yang ditunjuk secara profesional.
Dinamika
Wartawan
Media massa dapat dipandang
sebagai lembaga industri informasi yang bisa diajak kerja sama secara strategis
saling menguntungkan. Kapan perlu bisa dilakukan secara gratis karena nilai
berita yang bagus dan dibutuhkan media massa tersebut. Khususnya cetak, di
lokal, biasanya mau bekerja sama dengan baik. Hal itu juga terjadi dengan media
elektronik, radio dan televisi lokal. Hanya perlu membuka akses dan duduk
bersama. Tentunya, ini sudah dilakukan, tinggal lagi bagaimana lebih intens dan
mendalam.
Mungkin yang perlu dikelola secara
khusus dan berani, pihak aparat mengajak awak media yang benar-benar jelas
medianya. Bukan mereka para jurnalis yang tidak memiliki kartu identitas. Ada
dua jenis identitas tersimpan di saku jurnalis profesional.
Pertama,
kartu dari lembaga pers tempat mereka menjadi karyawan perusahaan pers. Kedua, juga ada kartu uji kompetensi
wartawan yang dikeluarkan lembaga profesi, seperti PWI, AJI dan beberapa
lembaga lain yang ditunjuk Dewan Pers. Dua kartu ini harus menjadi persyaratan,
mengingat banyaknya wartawan yang tidak mau memperlihatkan identitas tetapi
bergentayangan melacur diri untuk mendapatkan amplop dari nara sumber. Kode
Etik Jurnalistik (KEJ) dan UU Pers No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menjelaskan
hal ini.
Kapan perlu, jika memang ada oknum
yang berlagak tidak sesuai dengan KEJ dan UU Pers, aparat polisi tak perlu
menunggu laporan untuk menindaknya. Ini perlu, untuk melindungi wartawan yang
resmi dan bisa diajak kerja sama secara profesional dan lembaga pers sebagai
mitra lembaga kepolisian.
Memahami
Media Sosial
Ada perbedaan yang sangat krusial
antara watak media sosial dengan media massa. Media massa memiliki badan hukum
dan awak redaksi yang jelas dan resmi. Sementara media sosial, dimiliki oleh
perorangan. Sungguhpun ada yang dimiliki secara lembaga, namun tentu sangat
kecil kemungkinan mampu memberikan penetrasi karena aturan pada lembaganya.
Akun-akun media sosial milik
perorangan, sering sekali menarik perhatian karena konten yang diunggahnya.
Analogi akun-akun liar anonim, pada dasarnya di online sama halnya pemilik
kenderaan bodong di lalu lintas. Harus ditangkap dan dilarang. Persoalannya,
bagi polisi tidaklah sulit untuk melakukannya. Peran Cyber Police sangat penting di sini.
Di Indonesia, Facebook menduduki peringkat tertinggi sebagai media sosial yang
paling banyak digunakan, disusul twitter,
instagram, path, linked, dll. Sementara
itu, untuk chatting, fasilitas massenger, selain Blackberry, juga diramaikan Whatapps, Lines, Telegram dll. Sejauh
ini, opini negatif bagi polisi banyak berada di sini media sosial ini, di
sela-sela opini positif yang belum dikemas secara rapi dan menarik.
Penutup
Beranjak pemikiran di atas perlu
dilaksanakan gerakan komunikasi efektif ke dalam ke luar lembaga kepolisian
untuk melahirkan strategi-strategi yang matang demi tercapainya citra positif
lembaga kepolisian.
”The management of communication between an organization and its public.”
(Baskin, Aronoff dan Lattimore, 1997:5) Manajemen komunikasi untuk publik itu
tidak bisa hanya sekadar memenuhi hasrat ingin tahu semata. Harus pula dipenuhi
selera dan hal-hal yang di luar batas keingintahuan. Kaidah nilai berita bisa
digunakan untuk ini. Nilai berita lebih tinggi dari berita-berita rutin selama
ini.
Kerja sama dengan para pihak untuk
mengelola sistem informasi yang efektif dan strategis perlu ditingkatkan. Era
ini, tidak mungkin lagi menutup akses informasi, yang perlu dilakukan adalah
membuka saluran dan mengarahkannya secara benar agar opini publik tidak
dimainkan oleh kelompok kepentingan di luar lembaga Polri.
Media massa dan media sosial butuh
informasi, lembaga Polri adalah gudang informasi yang perlu kemasan dengan daya
kejut yang luar biasa. Kemasan komunikasi itulah yang perlu kreasi dinamis.
Semoga bisa dilakukan segera untuk citra positif di masa depan. Salam.[]
Sumber Bacaan
Grunig, J.E. 1992. Excellence in
Public Relations and Communication Management. New Jersey, Lawrence Erlbaum
Associate, Inc.
I Gusti Ngurah Putra.
1999.Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit UAJ.
Jefkins, Frank. 1996. Public
Relations (terjemahan). Jakarta: penerbit Erlangga.
Rosady Ruslan.1999. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
ABDULLAH
KHUSAIRI, S.Ag., MA., adalah penulis
buku Di Bawah Kuasa Media Massa (2014),
staf pengajar di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah &
Ilmu Komunikasi IAIN Imam Bonjol Padang. Sempat menjalankan profesi jurnalis selama
10 tahun di Harian Pagi Padang Ekspres,
Padang TV, POSMETRO PADANG. Kini masih aktif menulis di Harian Umum Independen SINGGALANG.
No comments:
Post a Comment