Monday, October 2, 2017

Tragedi Tabloid Charlie Hebdo

ABDULLAH KHUSAIRI - PADANG

Agak sulit mencari alasan yang masuk akal atas penembakan di sebuah kantor surat kabar seperti yang terjadi Paris, Prancis itu. Sebab pembunuhan yang dilakukan tanpa proses hukum dengan dalil apapun tidak bisa dibenarkan secara manusiawi. Kalaupun akhirnya harus dikaitkan dengan produk kreatif karikatur yang diproduksi tabloid tersebut, maka yang dapat ditarik ke ranah analisis; keyakinan jika tidak hati-hati bisa membutakan akal!

Teror bisa terjadi kepada siapa saja dari mereka yang tersakiti dan tidak mendapat kesempatan untuk membalas kekalahan. Teror adalah perlawanan dalam bentuk lain ketika menyadari kekuasaan tak terlawan. Inilah cara paling pengecut!


Kebuntuan dialog dalam konflik keyakinan telah melahirkan permusuhan paling purba antar umat agama, maupun antar umat dalam agama. Darah selalu tumpah ketika ketiadaan dialog dan klaim paling benar dari yang lain. Lebih-lebih satu keyakinan dengan keyakinan yang lain tersebut saling mencari kelemahan dan menegasikan kesamaan. Di sinilah lahirnya benih kebencian dan disemai sedemikian rupa.

Tabiat Charlie Hebdo
Tabloid Charlie Hebdo dikenal sebagai tabloid yang menggunakan sikap satire untuk mengungkapkan ekspresi dan apresiasi terhadap sesuatu, baik itu agama, politik, budaya, hingga hal-hal yang kecil. Sikap satir terhadap agama inilah yang menjadi tabloid ini paling sering dikecam oleh tokoh-tokoh agama di dunia. Namun tabloid ini bertahan hidup dan laku di tengah pembacanya, sebagai tanda ia memang diminati oleh publiknya.

Ada tiga hal soal ini perlu diperbincangkan, pertama soal penembakan dan cara kekerasan yang membuat 11 orang menjadi korban. Kedua, soal sikap segelintir teroris yang merasa disakiti ketika simbol agamanya dihina. Ketiga, soal literasi media massa di tengah ummat beragama.

Pertama, aksi membabibuta yang menewaskan manusia jelas sudah menyalahi hukum agama, pun agama yang dianut teroris tersebut. Jika ada hukum perang dalam agama, tidak ada yang membolehkan perang dengan keadaan tidak seimbang. Satu tanpa senjata yang satu dengan senjata.

Agama menurut Sidi Gazalba, adalah seumpama tali kekang kuda agar manusia yang menganutnya tidak tergelincir dari peran kemanusiaan di atas dunia. Menurut bahasa, “a” berarti “tidak”, “gama” berarti “kacau”. Arti dasarnya adalah tidak  kacau! Namun bila agama sudah membawa kekacauan, tentu saja sudah lari dari hakikatnya. Dan ini dapat dipastikan, ada sesuatu yang menyaru di dalamnya dalam bentuk kepentingan berjubah agama!

Sangatlah mengkhawatirkan jika humanisme yang dibangun oleh agama sudah mati dalam retorika kepentingan. Misi agama sebagai pembawa transformasi kasih sayang antar sesama tak lagi terurai secara jelas. Klaim kebenaran sepihak telah membuat kedamaian semakin jauh. Ini fenomena masyarakat modern, meminjam istilah Antony Giddens era juggernaut dan era chauvinistic menurut John Naisbit.

Kedua, sesungguhnya “mata kail” karikatur tabloid itu begitu berhasil memancing emosi. Kecaman terhadap tabloid ini tidak saja datang dari satu tokoh ummat beragama, tapi banyak tokoh dari berbagai agama. Karena menyangkut keyakinan, hal ini pada dasarnya sangat wajar. Namun yang tidak wajar adalah cara segelintir ummat beragama mengekspresikan kemarahan. Karena agama pada dasarnya membawa angin kedamaian di atas dunia.

Jika saja ditemui cara paling elegant membuat sikap tabloid ini bisa merobah haluan, tentulah agama bisa kembali dinyatakan sebagai lembaga suci yang mampu mendamaikan. Inilah tugas yang perlu diusung oleh tokoh-tokoh agama di dunia, mencari titik temu kata damai. Sejauh ini antar seagama saja sudah payah disatukan. Perbedaan dibiarkan meruncing.

Ketiga, media massa adalah kekuasaan sipil, yang bisa jadi tergelincir membawa kekuasaan yang didapatkannya. Kekuasaan atas publik yang dimiliki bisa keluar dari kemestian. Misalnya, mempermainkan dan memperolok-olok keyakinan orang lain. Sungguhpun itu laku dijual, ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak azasi manusia (HAM).

Tabloid itu bermain di wilayah paling rawan.  Wilayah yang tidak bisa serta merta dipermainkan, apalagi diperolok-olok. Sebuah pilihan beresiko tinggi, yang akhirnya tim kerja menerima resiko yang disemai sendiri. Kebencian terhadap tabloid ini sampai ke puncak paling tinggi.

Media massa yang baik, memang selalu berhasil menarik emosi massa membuat media tersebut dilirik, dibeli, dan iklan mengalir. Sesungguhnya, itulah yang dicari oleh pemilik media massa. Karena dengan dibeli, dipercaya, iklan akan datang, maka keuntungan bisa dipetik. Itu lumrah, ketika media massa adalah produk industri informasi di tengah abad informasi saat ini. Pada konteks ini, pada dasarnya, tidak ada kepentingan agama yang dibawa oleh media massa. Karena ciri media massa yang mengusung agama, biasanya tidak akan pernah diminati ummat di luar agama tersebut.

Demokrasi Media
Begitulah, alam bebas demokrasi telah memberikan ruang kepada media massa menjadi  penopang kekuasaan sipil. Ini takkan pernah terjadi di alam kekuasaan otoriter, junta militer, hingga sistem monarki. Namun kesiapan pengetahuan, kesetaraan pemahaman, kesamaan hak, kesamaan pendapatan, yang menjadi kemestian tidak bisa sama. Jika saja, pengetahuan bisa sama antara satu dengan yang lain, antara agama yang satu dengan yang lain, persoalan media massa sudah bisa khatam. Tak akan lagi terjadi penembakan serupa di Prancis itu. Massa yang cerdas akan arif menanggapi media massa yang tidak cerdas memproduksi informasi. Hukuman paling tertinggi, tidak dipercayai menjadi bagian dari massa tersebut. Tidak dibeli, tidak didengar, tidak ditonton. Media massa tersebut akan karam sendiri. Melakukan kekerasan terhadap media massa yang tidak cerdas, sama halnya dengan tidak cerdas pula.

Massa yang cerdas bermedia, akan mencari tahu, siapa punya media, dimana diproduksi, siapa saja yang memproduksi, bagaimana cara produksi, dsb. Dengan begitulah akhirnya paham, sebuah media bisa dipercaya, disukai atau tinggalkan. Kalau sudah demikian, bukan berarti harus dimusnahkan. Sikap ini tidak sesuai dengan kaidah; kata dibalas kata, tablod dibalas tabloid, koran di balas koran, televisi di balas televisi.


Terprovokasi dengan pemberitaan menunjukkan betapa mudah terpancing emosi sehingga bisa dipermainkan. Hal ini menunjukkan tingkat kecerdasan juga keimanan memahami keadaan dan godaan. Itu benarlah tujuan dalang-dalang informasi dunia saat ini. Tabayyun, inilah sikap paling penting saat menerima informasi di era banjir informasi saat ini. Tabik! []

No comments:

Post a Comment