ABDULLAH KHUSAIRI - PADANG
Agak sulit mencari
alasan yang masuk akal atas penembakan di sebuah kantor surat kabar seperti
yang terjadi Paris, Prancis itu. Sebab pembunuhan yang dilakukan tanpa proses
hukum dengan dalil apapun tidak bisa dibenarkan secara manusiawi. Kalaupun
akhirnya harus dikaitkan dengan produk kreatif karikatur yang diproduksi
tabloid tersebut, maka yang dapat ditarik ke ranah analisis; keyakinan jika
tidak hati-hati bisa membutakan akal!
Teror bisa terjadi
kepada siapa saja dari mereka yang tersakiti dan tidak mendapat kesempatan
untuk membalas kekalahan. Teror adalah perlawanan dalam bentuk lain ketika
menyadari kekuasaan tak terlawan. Inilah cara paling pengecut!
Kebuntuan dialog
dalam konflik keyakinan telah melahirkan permusuhan paling purba antar umat
agama, maupun antar umat dalam agama. Darah selalu tumpah ketika ketiadaan
dialog dan klaim paling benar dari yang lain. Lebih-lebih satu keyakinan dengan
keyakinan yang lain tersebut saling mencari kelemahan dan menegasikan kesamaan.
Di sinilah lahirnya benih kebencian dan disemai sedemikian rupa.
Tabiat Charlie Hebdo
Tabloid Charlie Hebdo dikenal sebagai tabloid yang
menggunakan sikap satire untuk mengungkapkan ekspresi dan apresiasi terhadap
sesuatu, baik itu agama, politik, budaya, hingga hal-hal yang kecil. Sikap
satir terhadap agama inilah yang menjadi tabloid ini paling sering dikecam oleh
tokoh-tokoh agama di dunia. Namun tabloid ini bertahan hidup dan laku di tengah
pembacanya, sebagai tanda ia memang diminati oleh publiknya.
Ada tiga hal soal
ini perlu diperbincangkan, pertama
soal penembakan dan cara kekerasan yang membuat 11 orang menjadi korban. Kedua, soal sikap segelintir teroris
yang merasa disakiti ketika simbol agamanya dihina. Ketiga, soal literasi media massa di tengah ummat beragama.
Pertama, aksi
membabibuta yang menewaskan manusia jelas sudah menyalahi hukum agama, pun
agama yang dianut teroris tersebut. Jika ada hukum perang dalam agama, tidak
ada yang membolehkan perang dengan keadaan tidak seimbang. Satu tanpa senjata
yang satu dengan senjata.
Agama menurut Sidi
Gazalba, adalah seumpama tali kekang kuda agar manusia yang menganutnya tidak
tergelincir dari peran kemanusiaan di atas dunia. Menurut bahasa, “a” berarti
“tidak”, “gama” berarti “kacau”. Arti dasarnya adalah tidak kacau! Namun bila agama sudah membawa
kekacauan, tentu saja sudah lari dari hakikatnya. Dan ini dapat dipastikan, ada
sesuatu yang menyaru di dalamnya dalam bentuk kepentingan berjubah agama!
Sangatlah
mengkhawatirkan jika humanisme yang dibangun oleh agama sudah mati dalam
retorika kepentingan. Misi agama sebagai pembawa transformasi kasih sayang
antar sesama tak lagi terurai secara jelas. Klaim kebenaran sepihak telah
membuat kedamaian semakin jauh. Ini fenomena masyarakat modern, meminjam
istilah Antony Giddens era juggernaut
dan era chauvinistic menurut John Naisbit.
Kedua, sesungguhnya
“mata kail” karikatur tabloid itu begitu berhasil memancing emosi. Kecaman
terhadap tabloid ini tidak saja datang dari satu tokoh ummat beragama, tapi
banyak tokoh dari berbagai agama. Karena menyangkut keyakinan, hal ini pada
dasarnya sangat wajar. Namun yang tidak wajar adalah cara segelintir ummat
beragama mengekspresikan kemarahan. Karena agama pada dasarnya membawa angin
kedamaian di atas dunia.
Jika saja ditemui
cara paling elegant membuat sikap tabloid ini bisa merobah haluan, tentulah
agama bisa kembali dinyatakan sebagai lembaga suci yang mampu mendamaikan.
Inilah tugas yang perlu diusung oleh tokoh-tokoh agama di dunia, mencari titik
temu kata damai. Sejauh ini antar seagama saja sudah payah disatukan. Perbedaan
dibiarkan meruncing.
Ketiga, media
massa adalah kekuasaan sipil, yang bisa jadi tergelincir membawa kekuasaan yang
didapatkannya. Kekuasaan atas publik yang dimiliki bisa keluar dari kemestian.
Misalnya, mempermainkan dan memperolok-olok keyakinan orang lain. Sungguhpun
itu laku dijual, ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak azasi
manusia (HAM).
Tabloid itu bermain
di wilayah paling rawan. Wilayah yang
tidak bisa serta merta dipermainkan, apalagi diperolok-olok. Sebuah pilihan
beresiko tinggi, yang akhirnya tim kerja menerima resiko yang disemai sendiri.
Kebencian terhadap tabloid ini sampai ke puncak paling tinggi.
Media massa yang
baik, memang selalu berhasil menarik emosi massa membuat media tersebut
dilirik, dibeli, dan iklan mengalir. Sesungguhnya, itulah yang dicari oleh
pemilik media massa. Karena dengan dibeli, dipercaya, iklan akan datang, maka
keuntungan bisa dipetik. Itu lumrah, ketika media massa adalah produk industri
informasi di tengah abad informasi saat ini. Pada konteks ini, pada dasarnya,
tidak ada kepentingan agama yang dibawa oleh media massa. Karena ciri media
massa yang mengusung agama, biasanya tidak akan pernah diminati ummat di luar
agama tersebut.
Demokrasi Media
Begitulah, alam
bebas demokrasi telah memberikan ruang kepada media massa menjadi penopang kekuasaan sipil. Ini takkan pernah
terjadi di alam kekuasaan otoriter, junta militer, hingga sistem monarki. Namun
kesiapan pengetahuan, kesetaraan pemahaman, kesamaan hak, kesamaan pendapatan,
yang menjadi kemestian tidak bisa sama. Jika saja, pengetahuan bisa sama antara
satu dengan yang lain, antara agama yang satu dengan yang lain, persoalan media
massa sudah bisa khatam. Tak akan lagi
terjadi penembakan serupa di Prancis itu. Massa
yang cerdas akan arif menanggapi media massa yang tidak cerdas memproduksi
informasi. Hukuman paling tertinggi, tidak dipercayai menjadi bagian dari
massa tersebut. Tidak dibeli, tidak didengar, tidak ditonton. Media massa
tersebut akan karam sendiri. Melakukan kekerasan terhadap media massa yang
tidak cerdas, sama halnya dengan tidak cerdas pula.
Massa yang cerdas
bermedia, akan mencari tahu, siapa punya media, dimana diproduksi, siapa saja
yang memproduksi, bagaimana cara produksi, dsb. Dengan begitulah akhirnya
paham, sebuah media bisa dipercaya, disukai atau tinggalkan. Kalau sudah
demikian, bukan berarti harus dimusnahkan. Sikap ini tidak sesuai dengan
kaidah; kata dibalas kata, tablod dibalas tabloid, koran di balas koran,
televisi di balas televisi.
Terprovokasi dengan pemberitaan
menunjukkan betapa mudah terpancing emosi sehingga bisa dipermainkan. Hal ini
menunjukkan tingkat kecerdasan juga keimanan memahami keadaan dan godaan. Itu benarlah tujuan dalang-dalang
informasi dunia saat ini. Tabayyun, inilah
sikap paling penting saat menerima informasi di era banjir informasi saat ini. Tabik! []
No comments:
Post a Comment