MAKALAH HADITS

HADITS – HADITS
LARANGAN TASYABUH
TERHADAP UMMAT YAHUDI & NASHRANI

ABDULLAH KHUSAIRI 


A.  Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial diciptakan berbeda-beda dan dianjurkan saling kenal mengenal.[1] Proses kenal mengenal itu tentunya membentuk interaksi, yang secara sadar maupun tidak sadar, akan saling memengaruhi pandangan, sikap dan perbuatan.
Anjuran saling kenal mengenal ternyata dibatasi pula dengan peringatan agar tidak meniru dan menyerupai kaum yang dikenal. Apalagi terpengaruh dan hanyut alam pikiran dan budaya yang dikenal tersebut. Di sini, disikap seorang muslim dituntut punya prinsip-prinsip teguh untuk tetap berada ajaran Islam.
Peringatan untuk tidak menyerupai atau meniru ummat lain, dalam hal ini, Yahudi dan Nashrani sudah diterangkan dalam al-Quran.[2] Kemudian dijelaskan pula dalam beberapa hadits. Para ulama hadits telah mengkaji lebih dalam persoalan tasyabbuh dalam hadits. 
Makalah ini mencoba menelusuri seputar hadits-hadits mengenai penyerupaan (tasyabuh), memaparkan konteks dan teks hadits dan pendapat para ulama hadits, sehingga diharapkan dapat memberikan pemahaman baru terhadap penyerupaan terhadap agama lain.


B.   Memahami Tasyabuh
1.    Pengertian Tasyabbuh
Terma “tasyabbuh” diambil dari akar kata “sya-ba-ha” yang berarti penyerupaan kepada sesuatu, persamaan warna dan sifat. Sementara itu, bentukan kata “tasyabbaha” (mazid satu huruf) dimaknai dengan menyerupai atau meniru antara sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga terlihat samar atau mengelirukan.[3]
Ada juga yang mengatakan bahwa at-Tasyabbuh terambil dari akar kata al-Musyabahah yang berarti meniru, mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri dan mengikat diri. At-Tasybih berarti peniruan sedangkan mutasyabihah berarti serupa; serupa dengannya, meniru dan mengikutinya.[4]
Dari kerangka di atas, bisa dimaklumi jika penulis seperti Muhammad al-Ghazi mendaftar makna yang luas terhadap terma tasyabbuh. Ungkapan ini menurutnya mengacu pada upaya  seseorang untuk menyerupakan dirinya dengan sesuatu yang diinginkannya serupa dengan hal tersebut bisa bentuk tingkah laku, pakaian atau sifat-sifat. Jadi  tasyabbuh, menurutnya, adalah ungkapan tentang tingkah laku yang diinginkan atau dilakukan.[5]
Konsep tasyabbuh di atas, setidaknya ada dua hal; pertama, penyerupaan mengandaikan adanya dua hal yang semula berbeda menjadi kelihatan serupa; kedua, hal atau keadaan yang serupa tersebut bisa dalam bentuk warna atau sifat menjadi hampir tidak bisa dibedakan keduanya.
Sesuatu memang akan terlihat samar dan sewaktu-waktu dapat mengelirukan jika yang terlihat serupa atau menyerupai tersebut adalah warna (arti harfiah syabaha).  Karena warna adalah kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang dikenainya. Kita misalnya menyebut sawo matang yang tak lain adalah sesuatu berwarna coklat kemerah-merahan atau merah kehitam-hitaman.  Bisa juga dalam bentuk kumpulan bermacam-macam karangan yang penting, menarik atau bagus-bagus yang biasa disebut sebagai bunga rampai.[6]
Warna dalam pemaknaan lebih luas bisa berwujud simbol, lambang-lambang,  tanda, alat-alat atau pakaian yang biasa digunakan sebagai pengendali arah atau petunjuk. Ini lazim dipakai dalam kehidupan sehari tanpa dipersoalkan asal usul dan keabsahannya. Namun tidak demikian halnya, jika simbol, lambang-lambang, tanda, alat-alat atau pakaian yang bernuansa  agama karena sudah dimaknai atau mendapat arti tertentu. Meniru atau penyerupaan yang terjadi dalam wilayah ini dim samping membingungkan, juga dianggap tidak lazim.
Peniruan dalam konteks sifat terutama dapat mewariskan rasa kagum yang disertai kecenderungan hati untuk menolong atau membantu orang yang ditiru. Sebegitu jauh, ia akan melahirkan keakraban dan persahabatan  yang diklaim dapat mewariskan kasih sayang, kecintaan dan loyalitas terhadap orang yang ditiru.[7]
Meniru atau menyerupai adalah bagian yang tak terhindarkan dalam proses interaksi sosial. Hubungan antara dua individu manusia atau lebih dalam Interaksi sosial merupakan  hubungan yang saling mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki.
Manakala proses sosial terjadi, maka akan meninggalkan bekas yang tidak dapat dihapus dan pengaruh yang tak terelakkan terhadap proses sosial berikutnya.[8]
Ada dampak positif dan negatif peniruan terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang atau setidaknya dapat mematikan kreatifitas.[9]

2.    Dibolehkan dan Dilarang
Sepintas terlihat paradok antara Hadits-Hadits larangan “menyerupai suatu kaum” dengan Hadits “penyerupaan  tidak mungkin dihindari hingga ke lobang biawak sekalipun.” Namun jika dikaji lebih jauh tidaklah demikian.
Menurut Syeikh Muhammmad Umar Salim Bazmul (lahir 1391 H), kata “tasyabbuh derivasi dari wazan “tafa’ul” yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa) dan tadarruj (bertahap) dalam melakukan suatu perbuatan. Ini berarti tasyabbuh bermula dari sedikit demi sedikit sampai dalam proses yang cukup lama  menjadi terbiasa mengerjakan. Sehingga dapat disimpulkan, “barang siapa yang menyerupai suatu kaum, lama kelamaan akan tunduk pada mereka.”[10]
Sementara itu, yang dimaksud dengan syibr (sejengkal),  Ziro’(sehasta) dan dhob (lobang biawak) dalam Hadits bahwa penyerupaan seakan tak terhindarkan, menurut Imam Nawawi (w. 676 H) adalah tamsilan bahwa tingkah laku kaum muslimin yang sangat mirip sekali dengan tingkah laku kaum Yahudi dan Nasrani. Tingkah laku tersebut termasuk dalam hal kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, namun bukan dalam hal kekafiran. Pernyataan Nabi  ini menurut Nawawi adalah  mukjizat baginya karena apa yang dinyatakan tersebut sudah terjadi pada saat ini.[11]
Kafir secara literal berarti orang yang mengingkari kebenaran Islam  dan keluar dari Islam.  Atau seseorang yang tidak percaya dengan Allah dan rasulNya. Dari segi kaum atau komunitas kelompok ini dapat diidentikan dengan penyembah berhala, penyembah api atau kaum Majusi.[12]  Ini berarti orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak termasuk dalam deretan ini. Hanya saja Iman Nawawi tidak menyebutkan bentuk-bentuk perbuatan maksiat dan berbagai penyimpangan dimaksud. Apakah dengan begitu dapat dipahami bahwa kendati tingkah laku yang dilakukan tersebut sudah tergolong sebagai penyimpangan bahkan sudah menjurus pada maksiat, namun belum sampai pada tingkat pengingkaran?
Hal ini telah membuka ruang untuk membicarakan bahwa tidak semua tasyabbuh dianggap tercela terlebih jika dihubungan dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang masih satu rumpun religiusitas dengan kaum muslimin, yang juga menerima risalah tauhid sejak Nabi Ibrahim As.
Pada banyak kasus misalnya Nabi Muhammad memiliki kedekatan hubungan orang–orang Yahudi dan Nasrani. Mulai dari tanda kerasulannya yang dibaca oleh seorang pendeta Buhairo atau Nestor sampai ketika ia menerima wahyu pertama datang menghadap sepupu Khadijah, Waraqah bin Naufal ibn Asad ibn Abdul ‘Uzza, yang juga beragama Kristen. Jadi tidak hanya di ranah  teologis,  pada aspek sosial budaya pun Nabi  memiliki hubungan yang dekat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Nabi tercatat memiliki budak perempuan berlatar belakang Kristen koptik Mesir, Maria binti Samma’un  al-Qibtiyah al-Mishriyah, hadiah raja Iskandariah dan nabi menggaulinya. Dari hubungan tersebut, ia memiliki seorang putra yang bernama Ibrahim.
Nabi juga memiliki isteri yang bernama Shafiyah binti Hayy yang merupakan anak seorang pemimpin kelompok Yahudi. Ini juga berlanjut  dan intens ketika Nabi berada di Madinah. Di Madinahlah munculnya Piagam Madinah antara kaum muslimin dengan kamunitas keagamaan lainnya seperti Yahudi dan Nasrani.[13] Dengan demikian  secara sosiologis, imitasi, mencontoh dan saling meniru menjadi sulit untuk dihindari.
Oleh sebab itu, meniru dalam hal-hal umum yang dipandang positif masih dimungkinkan dan dibolehkan. Nashir bin Abdul Karim al-’Aql menghukum mubah meniru perbuatan orang non-muslim  dan kafir jika terkait masalah keduniaan dan bukan termasuk ciri khusus orang tersebut.
Pun tidak memberikan mudharat terhadap kaum muslimin atau sebaliknya menguntung non-muslim yang membuat kaum muslimin diremehkan. Misalnya ilmu-ilmu keduniaan atau  rekayasa materi murni yang tidak terkait dengan masalah akidah.
Murni dalam konteks ini adalah tidak mengandung unsur atau tanda-tanda yang bertentangan dengan nash-nash atau kaidah syar’i. Atau sekali lagi, yang dapat menjerumuskan kaum muslimin pada kehinaan dan kekerdilan. Termasuk mubah juga meniru penemuan atau pembuatan barang-barang yang bersifat umum seperti senjata dan sebagainya, jika sesuai dengan persyaratan yang sudah disebutkan. Nabi juga pernah menggunakan teknologi menggali parit yang berasal dari non-muslim  di Persia ketika terjadi perang Khandak.[14]
Sebaliknya akan jatuh menjadi makruh setidaknya untuk tidak mengatakan haram manakala tidak bersesuaian dengan persyaratan tersebut. Kendati ia menyangkut benda-benda umum-biasa sekalipun.  Dan  sudah dapat dipastikan (qath’i) haram bertasyabbuh  dalam masalah akidah dan ibadah. Misalnya miniru pemahaman akidah trinitas umat Kristen atau meniru-niru gaya ibadah kedua umat beragama tersebut.[15]
Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang berpendirian keras terhadap tasyabbuh. Ketika mengomentari Hadits bahwa umat Islam akan mengikuti umat-umat terdahulu sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta, menyebut kalau umat Islam sudah banyak terpengaruh oleh sifat orang Yahudi dan Nasrani.[16]

C.  Hadits-hadits Tasyabbuh
Para muhaditstsin membagi tiga kelompok hadits tentang tasyabbuh. Yaitu, pelarangan secara umum, tasyabbuh sulit dihindari dan macam-macam tasyabbuh terlarang.
1.    Pelarangan Secara Umum
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, adalah sahagian dari kaum tersebut.Demikian bunyi matan hadits tentang tasyabbuh. Terdapat  lima atau tujuh jalur sanad yang telah meriwayatkan Hadits-Hadits dengan redaksi matan seperti di atas.
Menurut Ridho Busamah Hafizullah, jalur tersebut adalah Ibnu Umar, Khuzaifah bin al-Yaman, Anas bin Malik – Ta’wus, jalur ini dinilai mursal (hadits yang gugur karena perawi dari sanadnya setelah tabi’in). Sementara jalur Hasan al-Basri dinilai mursal pula.[17]
Sebagai contoh beberapa jalur dirujuk sebagai landasan untuk melarang tasyabbuh.

a.    Dari Abdullah Ibnu Umar

عن أَبي النَّضْرِ، حدَّثنا عَبدُ الرَّحمنِ بنُ ثَابِتٍ، حدَّثنا حسَّانُ بن عَطِيَّةَ عن أبي مُنِيبٍ الجُرَشِيِّ عن ابنِ عمرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي؛ وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Dari Abi Nadr telah menceritakan pada kami ‘Abdurahman bin Tsabit, telah menceritakan pada kami Hassan bin ‘Attiyah dari Munib al-Juraysiy dari Ibnu Umar telah berkata, berkata Rasul saw. “Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga hanya Allah sematalah yang disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya; dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku; dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihi perkaraku. Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.

Hadits di atas, tersebar dalam beberapa kitab seperti:
1.  Ibn Abi Shaibah dalam Musnadnya (Hadits no. 13062)
  1. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad (Hadits no.5114, 5115 dan 5667)
  2. Abdul Ibn Hamid (1408 H) dalam al-Muntakhab min al-Musnad (h. 50-51)
  3. Al-Tahawi dalam Mushkal al-‘Athar (h. 88)
  4. Imam al-Bukhari dalam Sahihnya pada Bab Jihad
  5. al-Tabrani dalam al-Awsat dari Huzaifah ibn al-Yamani (h. 274)
  6. Abu Daud dalam Sunannya pada kitab al-Libas bab libas al-Shuhrah (Hadits no. 4031)
  7. Abu Nu’aim dalam Akbar al-Asfahan dari Anas bin Malik (h. 169)
  8. al-Harawi dalam Dham al-Kalam wa Ahlihi dari Abu Hurairah (h.54) ditahqiq oleh ‘Abdurrahman Al-Syibli (1418 H/1998 M).[18]
Sementara itu, jalur sanad yang meriwayatkannya, setidaknya didapati dari empat jalur; pertama, dari Abu Nadr dari `Abd al-Rahman bin Tsabit bin Thauban dari Hassan bin `Atiyyah, dari Ubay bin al-Jarshi, dari Ibn `Umar. Jalur ini disampaikan di antaranya oleh Ahmad, `Abid bin Hamid, Ibn Abi Shaibah dan Abu Dawud.
Kedua,  dari al-Sadqah, dari al-Awza`i, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Ibn Salamah, dari Abu Hurairah. Ini dinukilkan oleh al-Harawi dari ‘Amru bin Abi Salamah.
Ketiga, dari Basir bin al-Husin Al-Asfahani, dari al-Zubair bin `Adi, dari Anas bin Malik r.a. Jalur ini dinukilkan oleh al-Harawi dan Abu Nu’aim al-Asfahan.
Keempat, berkata al-Tabrani dari Ibn Zakariya dari Muhammad bin Marzuq dari `Abd al-Razzaq bin Khattab, dari ‘Ali bin Ghurab dari Hisham bin Hassan, dari Ibnu Sirin, dari ‘Abi `Ubaidah dari Huraizah. Jalur ini dikeluarkan oleh al-Tabrani.[19]
Menurut Ibnu Taimiyah[20], sanad Hadits ini tergolong hasan karena Ibnu Abi Shaibah, Abu al-Nadr dan Hissan bin ‘Athiyyah adalah para perawi terpercaya, termasyhur lagi terhomat. Mereka termasuk para perawi dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Mereka bahkan dianggap terlalu terhormat untuk sekedar dikatakan, “sebagai para perawi dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Sementara terhadap ‘Abdurrahman bin Thabit bin Thauban memang disifati oleh Yahya bin ma’in dalam al-Taqrib sebagai, “Orang yang jujur akan tetapi terkadang keliru, dianggap berpemahaman keagamaan qadariyah dan hafalannya berubah menjadi jelek di akhir hidupnya.” Abu Zur’ah dan Ahmad bin Hanbal al-Ajili berkomentar “tidak apa-apa.” ‘Abdurrahman bin Duhaim juga berkomentar, “Ia terpercaya”, yang diperkuat oleh Abu Hatim yang mengatakan bahwa  ia “Orang yang lurus periwayatan Haditsnya.”
Sedangkan Abu Munib al-Juraisy telah mendapat penilaian dari Ahmad bin Hanbal al-‘Ajili sebagai, “Perawi terpercaya. Aku katanya tidak pernah mendengar seorang ulama pun yang menyebut kekurangan dan kejelekannya.” Hassan bin Attiyah pernah mendengar Hadits darinya dan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri menjadikan Hadits ini sebagai hujjah.
Syeikh al-Bani menyebut Hadits ini sebagai Hadits hasan. Hadits Hassan sendiri dianggap sebagai Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak begitu kuat ingatan (hafalannya). Bersambung sanadnya dan tidak  terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits dalam kategori ini dapat dijadikan hujjah untuk persoalan-persoalan yang tidak prinsipil (akidah).[21]
b.   Dari Huzaifah bin al-Yaman

Hadits ini disebutkan oleh al-Tabrani dalam al-Ausat (Hadits no. 8327) dan al-Bazzar dalam musnadnya, al-Bahruz al-Zakhar, (Hadits no. 2966) dari jalur Muhammad bin Marzuq dari ‘Ali bin Ghurab, dari Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin Sirin dari Abu ‘Abaidah bin Hudzaifah dari ayahnya.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ غُرَابٍ، قَالَ:أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ حُذَيْفَةَ، عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّه عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم 

Telah menceritakan pada kami Muhammad bin Marzu’q ia berkata, telah mengabarkan pada kami ‘Abd al-‘Azi’z ibn Khatab ia berkata, telah mengabarkan ‘Ali’ bin Ghrab telah berkata dia telah mengabarkan pada kami Hisham bin Hasan dari Muhammad bin Siri’n dari Abi ‘Utidah bin Khuzaifah dari bapaknya r.a. bahwa Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka di bahagian dari kaum tersebut.


حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ زَكَرِيَّا، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ، نا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْخَطَّابِ، ثَنَا عَلِيُّ بْنُ غُرَابٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ حُذَيْفَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم


Dari segi kualitas perawi, terhadap Muhammad bin Marzuq (w.284 H) dikatakan bahwa ia seorang  adalah yang saduq, akan tetapi memiliki beberapa kelemahan. Riwayatnya dipakai oleh  Muslim dalam Sahih-nya (Taqribu al-Tahzib  Hadits no. 6311). Sementara ‘Abdu  al-‘Aziz ibn Khatab (w 224 H) menurut penilaian Abu Hatim  dan Ibnu Hajar adalah saduq (jujur), dalam penilaian Nasai ia adalah thiqah (teguh) sementara menurut Ya’kub bin Syaibah ia thiqah lagi shaduq.
Terhadap ‘Ali bin Ghurab (w. 184 H), terdapat berbagai penilaian.  Menurut Ahmad bin Hanbal, “Aku mendengar darinya dalam suatu majelis dan ia melakukan tadlis. Dan aku tidak melihat kecuali ia seorang yang shaduq.”
Sementara terhadap Hisyam bin Hassan dinyatakan  oleh Muhammad bin Sirin (w.147/148 H) sebagai seorang yang tsiqah dan paling tsabit riwayatnya. Ia dipakai oleh al-Bukhari dan Muslim dalam shahihnya. Sedangkan untuk terhadap Muhammad bin Sirin dianggap sebagai tabiy mashur atau seorang yang thiqah lagi thabit yang dipakai oleh juga oleh Bukhari dan muslim dalam shahihnya. Sedangkan  Abu Ubaidah bin Hudhaifah sendiri dianggap seorang yang yang diterima; ‘Ali bin Ghurab dapat dianggap tsiqah.[22]

c.         Dari Abu Hurairah

  أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَعْقُوبَ الْحَجَّاجِيُّ، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ هَاشِمِ بْنِ مِرْثَدٍ، أَنَّ دُحَيْمًا حَدَّثَهُمْ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَّبَهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

    حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، ثنا ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " إِنَّ اللَّهَ تعالى بَعَثَنِي بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجَعَلَ رِزْقِي فِي ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذُّلَّ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم.

أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ اللَّتِّيِّ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْوَقْتِ، أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْحَجَّاجِيُّ، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا دُحَيْمٌ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ 


Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat, dan telah dijadikan rezkiku di bawah dibawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang berbeda dengan urusanku, barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka termasuk bahagian dari mereka.

Hadits pertama diriwayatkan oleh Al-Harawi dalam zammul Kalam, Hadits kedua  oleh Umayyah al-Tursusi dalam Musnadnya dan yang terakhir oleh al-Zahabi dalam Ash-Syiar. Ketiga Hadits berasal dari jalur sanad yang sama; dari Shadaqah bin ‘Abdillah dari al-Auzai dari Yahya bin Kasir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW. Hanya saja riwayat ini sudah dita’lil oleh beberapa ulama.

2.    Tasyabbuh Sulit Dihindari
Jika Hadits-Hadits sebelumnya menyatakan larangan menyerupai suatu kelompok atau kaum, maka Hadits-Hadits berikut mengarisbawahi kalau hal tersebut tidak mungkin dihindari. Karena meski pelan namun pasti sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta umat Islam pasta akan mengikuti umat sebelumnya, bahkan ke lobang dhob; yang sempit sekalipun. Misalnya:
       حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ، حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ، بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ‏"‏ ‏.‏ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ ‏"‏ فَمَنْ ‏"‏[23]
Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab , “Lantas siapa lagi?
       Imam Bukhari (Hadits no. 6889)  telah mentakhrij Hadits di atas. Oleh sebab itu dapat digolongkan sebagai Hadits shahih sekaligus dapat disebut Hadits muttafaq ‘alaih karena diriwayatkan juga oleh Imam Muslim (Hadits no. 4828). Imam Bukhari meriwayatkannya dari Sa’id bin Abi Maryam, diceritakan oleh Abu Ghassân dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah Saw.[24] Abu Hurairah juga meriwayatkan sebuah Hadits terkait masalah ini:
حدثنا محمد بن يونس: حدثنا بن أبي ذئب، عن المقبري، عن أبي هريرة  رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:لا تقوم الساعة حتى تأخذ أمتي بأخذ القرون قبلها، شبرا بشر وذراعا بذراع  فقيل: يا رسول الله، كفارس والروم؟ فقال: ومن الناس إلا أولئك؟!

Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Lalu ada yang menanyakan kepada rasul saw, “apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?”. Rasul menjawab, “Selain mereka, siapa lagi? (HR. Bukhari No. 7319).

3.    Tasyabbuh Terlarang
Berbeda dari kategori pertama yang tidak menyebutkan siapa kaum dilarang untuk ditiru, maka pada kategori ketiga disebutkan dengan jelas, siapa lagi kalau bukan kaum Yahudi dan Nasrani dan beberapa contoh perbuatan terlarang. Misalnya Hadits berikut;

عَنْ أَبِى عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنَ الأَنْصَارِ قَالَ اهْتَمَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لِلصَّلاَةِ كَيْفَ يَجْمَعُ النَّاسَ لَهَا فَقِيلَ لَهُ انْصِبْ رَايَةً عِنْدَ حُضُورِ الصَّلاَةِ فَإِذَا رَأَوْهَا آذَنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ قَالَ فَذُكِرَ لَهُ الْقُنْعُ – يَعْنِى الشَّبُّورَ – وَقَالَ زِيَادٌ شَبُّورَ الْيَهُودِ فَلَمْ يُعْجِبْهُ ذَلِكَ وَقَالَ « هُوَ مِنْ أَمْرِ الْيَهُودِ ». قَالَ فَذُكِرَ لَهُ النَّاقُوسُ فَقَالَ « هُوَ مِنْ أَمْرِ النَّصَارَى ». فَانْصَرَفَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ

“Nabi memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat’. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai terompet. Nabi pun tidak setuju, lantas beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi pun pulang.” (HR. Abu Daud)

       Hadits di atas dinilai shahih oleh Syeikh al-Bani karena termuat dalam kitab Sunan Abi Daud (Hadits no. 551). Menurut Ibnu Taimiyah seperti dikutip Al-Bani, Nabi melarang terompet yang ditiup dan lonceng yang dipukul  untuk menghimpun orang untuk sholat karena kedua alat tersebut sudah digunakan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Terompet yang ditiup lazimnya digunakan oleh orang Yahudi kendati konon berasal dari Nabi Musa. Sementara lonceng dianggap sebagai bid’ah buatan pendeta dalam agama Nasrani.[25]  
       Hadits ini sekaligus menunjukkan larangan penggunaan kedua alat tersebut secara mutlak termasuk di luar sholat karena kebiasaan orang-orang Nasrani juga membunyikan lonceng dalam banyak acara kebaktian. Sedangkan syiar Islam yang benar untuk memanggil orang sholat adalah azan yang mengandung ajakan berzikir kepada Allah yang membuka pintu-pintu langit, syetan-syetan melarikan diri dan rahmat Allah turun.[26]
Al-Bani kemudian memperkuatnya dengan Hadits Nabi, "Lonceng adalah seruling setan." yang diriwayatkan oleh Iman Muslim (VI: 163), Abu Dawud (1:401), Al-Hakim.(l: 445), Al-Khathib (XIII: 70), Al-Baihaqi (V: 253), dan Ahmad (II: 366,372). Juga pada Hadits lain disebutkan, bahwa "Para malaikat tidak  menggiringgi suatu pertemuan yang di dalamnya terdapat lonceng.”
       Selain Hadits di atas, juga anjuran untuk berbeda dari kaum Yahudi dan Nasrani.

حدثنا عبدالعزيز بن عبدالله، قال: حدثني إبراهيم بن سعد، عن صالح، عن ابن شهاب قال: قال أبو سلمة بن عبدالرحمن إن أبا هريرة - رضي الله تعالى عنه - قال: إن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: إن اليهود والنصارى لا يصبغون، فخالفوه
           
Hadits ini diriwayatkan oleh Shahih Bukhari (Hadits no. 3462) dan Shahih Muslim (Hadits no. 2103). Menurut Syeikh Albani, kendati  anjuran di atas lebih menyangkut adat/tradisi, namun Hadits di atas sudah cukup untuk memberi isyarat untuk berbeda dengan umat Yahudi maupun Nasrani sekalipun dengan merobah warna rambut.[27]

D.       Penutup
Tasyabbuh adalah meniru, mencontoh atas menyamakan diri dari kaum lain. Sebuah tindakan yang tidak akan terhindarkan dalam hubungan sosial kemasyarakatan.
Hadits-Hadits di atas memberikan pemahaman, seperti dianalisis para muhaditstsin, bahwa sepanjang mencontoh demi kebaikan dan tidak merobah aqidah, merusak ibadah dapat dibolehkan.
Apa lagi dalam kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan, Nabi Muhammad SAW bahkan menganjurkan agar ummatnya untuk mendalami ilmu dunia dan ilmu akhirat. []








KEPUSTAKAAN
Al-Quran al-Karim Terjemahan Bahasa oleh Tim Kemenag R.I.
Abdul Aziz Dahlan,, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta, PT. Intermasa, 2006), 856.
Abd Moqsith, Perspektif Al-Qur’an tentang Pluralitas Umat Beragama, (Jakarta,Desertasi SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 70-73.
Ahmad Faris, Mu’jam Maqayis al-Luqhah, (Beirut, Dar al-jail, 1411), 243.
H.R. Bukhari dalam kitab al-I’tishom no. 6889 dan Shahih Muslim dalam Kitab al-Ilmi bab Ittiba’ Sunan al-Yahudi wa al-Nashara no. 4828.
Ibnu Taimiyah, Jalan Islam Versus Jalan Setan terj. Abu Fudhail, Solo, al-Tibyan, 2001
Muhammad Nasiruddin Al-Bani, Jilbab Wanita Muslimah terj. Hidayati, (Yogyakarta, Media Hidayah, 2002), 185-86.   
Ibnu Taimiyah, Jalan Islam Versus Jalan Setan terj. Abu Fudhail, Solo, al-Tibyan, 2001
Nashir Bin Abdul Karim Al-Aql, Sikap Meniru Kaum Kafir, terj. Abu Hawarie, Jakarta, CP. Pustakakamantiq, 1994.
Muhammad al-Ghazi, Husn al-Tanabbauh Lima Warada fi al-Tasyabbuh, (t.t.p: t.p., n.d.,  manuskrip)
Mochammad Asrukin, Hadits: Sebuah Tinjauan Pustaka, dalam http://library.um.ac.id/images/stories/pustakawan/pdfasrukin/HADITS_Sebuah%20Tinjauan%20Pustaka.pdf  - diakses, 01-11-2016
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia,  Kamus Bahasa Indonesia II, (Jakarta, P.T. New Aqua Press, 1983), 2453-2454.
Piotr Sztompko, Sosiologi Perubahan Sosial terj. Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta, Prenada, 2004), 13.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta, P.T. Grafindo Persada, 2002), 63.
http://uqu.edu.sa/page/ar/85342 diakses  - 1-11- 2016.

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7813&idto=7814&bk_no=53&ID=1249 diakses 1 -11- 2016.

http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/ diakses 1 November 2016



[1]Lihat Q.S. al-Hujurat: 13.  
[2]Lihat Q.S. Ali ‘Imran: 105; Q.S. Al-Hadid: 16.
[3]Lihat,  Ahmad Faris, Mu’jam Maqayis al-Luqhah, (Beirut, Dar al-jail, 1411), 243.
[4]Nashir Bin Abdul Karim Al-Aql, Sikap Meniru Kaum Kafir, terj. Abu Hawarie, (Jakarta, CP. Pustakakamantiq, 1994), h. 6.
[5]Muhammad al-Ghazi, Husn al-Tanabbauh Lima Warada fi al-Tasyabbuh, (t.t.p: t.p., n.d.,  manuskrip)
[6]Lihat Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia,  Kamus Bahasa Indonesia II, (Jakarta, P.T. New Aqua Press, 1983), 2453-2454.
[7]Nashir Bin Abdul Karim Al-Aql, Sikap Meniru Kaum Kafir, terj. Abu Hawarie, (Jakarta, CP. Pustakakamantiq, 1994), 8. 
[8]Piotr Sztompko, Sosiologi Perubahan Sosial terj. Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta, Prenada, 2004), 13.
[9]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta, P.T. Grafindo Persada, 2002), 63.
[10]Lihat, http://uqu.edu.sa/page/ar/85342 diakses  - 1-11- 2016.
[12]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta, PT. Intermasa, 2006), 856.
[13]Abd Moqsith, Perspektif Al-Qur’an tentang Pluralitas Umat Beragama, (Jakarta, Disertasi SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 70-73.
[14]Ahmad Badri Abdullah dkk, Aplikasi Kaedah Fiqh dalam Isu Penyerupaan (al-Tasyabbuh) dengan Orang Bukan Islam dalam Konteks Mayarakat Majemuk. Lihat di
[15]Ibnu Taimiyah, Jalan Islam Versus Jalan Setan terj. Abu Fudhail, (Solo, al-Tibyan, 2001), 270.
[16]Ibnu Taimiyah, Jalan Islam Versus Jalan Setan terj. Abu Fudhail, (Solo, al-Tibyan, 2001), 337.
[17]http://www.rayatalislah.com/index.php/al-hadith/item/39-2013-06-30-10-15-59 diakses  1 November 2016. Lihat juga Abu al-Jauza’a; dari Ibnu Umar, dari Khuzaifah bin al- Yaman, dari Abu Harairah, dari Abu Umamah al-Bahil, dari Anas bin Malik, dari Hasan al-Basri secara mursal dan dari Tawus juga secara mursal, http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/ diakses 1 November 2016).  
[18]Lihat Paizah Hj Ismail dkk, Pengenalpastian elemen Tasyabbuh (penyerupaan)  dalam Budaya Perkahwinan Masyarakat Islam Kontemporari Dalam Rangka Mempertahankan Sunnah Nabawiyyah, dalam http://repository.um.edu.my/30949/1/musnad.pdf diakses 01-11-2016.
[19]Paizah Hj Ismail dkk, Pengenalpastian elemen Tasyabbuh (penyerupaan)  ... diakses 01-01-2016.
[20]Ibnu Taimiyah, Jalan Islam Versus Jalan Setan terj. Abu Fudhail, (Solo, al-Tibyan, 2001), 179.
[21]Hadits: Sebuah Tinjauan Pustaka oleh Mochammad Asrukin,  dalam http://library.um.ac.id/images/stories/pustakawan/pdfasrukin/HADITS_Sebuah%20Tinjauan%20Pustaka.pdf  - diakses, 01-11-2016
[23]H.R. Bukhari dalam kitab al-I’tishom no. 6889 dan Shahih Muslim dalam Kitab al-Ilmi bab Ittiba’ Sunan al-Yahudi wa al-Nashara no. 4828.
[25]Muhammad Nasiruddin Al-Bani, Jilbab Wanita Muslimah terj. Hidayati, (Yogyakarta, Media Hidayah, 2002), 185-86.  Lihat jugaIbnu Taimiyah, Jalan Islam Versus Jalan Setan terj. Abu Fudhail, (Solo, al-Tibyan, 2001), 400-402.
[26]Muhammad Nasiruddin Al-Bani, Jilbab Wanita Muslimah terj. Hidayati, (Yogyakarta, Media Hidayah, 2002), 185-186.
[27]Muhammad Nasiruddin Al-Bani, Jilbab Wanita Muslimah terj. Hidayati, (Yogyakarta, Media Hidayah, 2002), 187.

Comments

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA