RESENSI BUKU
Mari Cerdas Bermedia
Massa
Judul :
Jurnalisme Era Digital
Penulis :
Ignatius Haryanto
Penerbit :
Kompas
Cetak :
2014
Tebal :
xxvi + 254 hlm
ISBN :
978-979-709-827-8
Resensiator :
Abdullah Khusairi
Kebohongan telah menyebar ke seluruh dunia,
sedangkan kebenaran baru bersiap-siap memakai celana. Demikian dikatakan pelopor berita radio dan
TV, Edward R. Murrow, yang dinukilkan Bill Kovack dan Tom Rosenstiel dalam buku
Blur; Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2012).
Pernyataan
itu disampaikan dalam konteks kecepatan informasi yang tidak berbanding lurus
dengan ketepatan. Sebuah pernyataan cemooh atas kecepatan yang tidak
mempertimbangkan akurasi. Padahal, inti jurnalisme adalah verifikasi demi
akurasi kebenaran pesan. Apakah ada kesempatan verifikasi ketika kecepatan penyampaian
informasi lebih diutamakan? Bill Kovack dan Tom Rosenstiel sedang mengajak
publik memiliki kesadaran dalam menerima kebenaran di tengah era banjir
informasi. Sadar atas nalar media ketika mencari, mengolah, menyimpan dan
menyampaikan informasi. Hendaknya, publik cerdas menerima, mengetahui dan
memahami esensi dari informasi yang disampaikan.
Informasi
yang hari ini berseliweran di media massa dan media sosial semakin
memperlihatkan, persoalan kebenaran informasi harus ditelaah beberapa kali. Media
massa memang memiliki seperangkat aturan jurnalisme, mulai dari perangkat
paling filosofis, teknis dan etis. Tetapi media sosial, nyaris bebas dari
ikatan itu. Siapa saja dapat menyampaikan informasi, dibaca siapa saja dan
lepas. Mereka yang melek informasi bisa langsung mencari informasi pembanding
sementara pada sisi lain, sebagian publik langsung percaya saja pada satu
sumber yang datang.
Publik
yang langsung percaya pada sumber berita lalu menyebarkan kembali melalui media
sosial. Akibatnya potongan informasi itu berkembang sesuai dengan pepatah, titip pesan bisa bertambah, titip uang bisa
berkurang. Alih-alih menambah pemahaman kepada khalayak, persoalan ini
justru menjadi lebih runyam. Kebenaran dalam informasi semakin kabur.
Literasi Media
Buku Jurnalisme Era Digital yang ditulis
Ignatius Haryanto ini, menawarkan pemahaman tentang kecerdasan bermedia massa
dan bermedia sosial. Bahwa informasi yang tersedia hari ini telah melebihi
kaidah jurnalisme sejati. Informasi sudah sedemikian tergerus oleh banyak hal
yang mengitarinya. Ketika ruang media massa makin terbuka, ternyata kebenaran
sejati itu makin sulit dicari. Informasi yang mana bisa dipercaya? Ada banyak
yang menyaru sehingga sepotong informasi bisa tersebar ke tengah publik. Ada
kepentingan politik, ekonomi, budaya, dan seterusnya.
Tidak
banyak yang bisa mengambil posisi seperti penulis buku ini. Ketika kekuasaan
media massa dan media sosial---ditopang kemajuan teknologi informasi---publik
terlena dan hanyut terbawa arus informasi. Terbawa hingga jauh dari konteks
peristiwa sebenarnya.
Jarang
yang mengamati, mempertanyakan hingga jauh ke hulu, siapa yang telah membuat
arus informasi sedemikian deras? Kenapa terjadi banjir informasi? Pada posisi
inilah, penulis mengambil tindakan memberi otokritik terhadap pihak pemegang
kekuasaan industri informasi. Buku ini hendak memberikan bingkai informasi
terletak siapa yang berada di belakang senjata (behind the gun) bernama media.
Kekuasaan Massa
Pers yang
diharapkan sebagai pilar demokrasi, ternyata memiliki banyak persoalan.
Persoalan yang membuat ia rapuh, roboh, dan hanyut menenggelamkan cita-cita
sejati jurnalisme. Ini seiring pula dengan keropos dengan tiga pilar lainnya,
eksekutif, legislative dan yudikatif, karena penyakit kronis korupsi.
Sayangnya,
buku ini kumpulan tulisan yang pernah diterbitkan di media massa. Sekiranya
buku ini tidak digarap sambil lalu, sangat amat memesona dengan judul yang luar
biasa memukau bagi pengkaji jurnalisme dan ilmu komunikasi massa. Sungguhpun
begitu, kumpulan tulisan ini diikat
dengan pengantar penulisnya yang menyadari benang merah antara satu
tulisan dengan tulisan lainnya, yaitu, jurnalisme. Kesadaran penuh terhadap
tantangan industri media di tengah arus teknologi informasi yang begitu kuat
tanpa ada yang bisa menopangnya.
Dan
memang, gagap komunikasi dan budaya dimulai dari sini. Contoh, bagaimana akal
sehat kita bisa menerima? Ketika kepala yang tergeletak di tengah rel difoto
dan diupload tanpa rasa berdosa oleh pemilik akun media sosial? Teknologi
informasi di tangan orang yang tak mengerti, sangat mengerikan! Tetapi
kekuasaan massa di media sosial telah membuat arogansi media massa makin
tergerus.
Kritik Tukang Kritik
Media
pada dasarnya adalah cermin dari masyarakatnya (mirror of mass). Bagaimana wajah masyarakat, lihatlah wajah
medianya. Buku ini hendak menyebutkan wajah media yang timpang dan ganjil di
tengah cita-cita membangun kebebasan pers, tentu saja akhirnya mengarah kepada
pemilik media dan juga penikmat media yang memiliki keterbatasan pengetahuan
jurnalisme di sisi idealisme. Pemilik hanya tahu satu sisi, komersialisme,
sementara penikmat media hanya bisa membenarkan tanpa bisa mengelak kuasa
pemodal.
Ada dua
bagian secara garis besar dipaparkan dalam buku ini, pertama; Tantangan
Jurnalisme Abad 21. Kedua; Tantangan Jurnalisme Media Digital. Kedua hal
tersebut hadir di era yang sama; era informasi. Era yang sudah diingatkan Alvin
Tofler, siapa yang menguasai informasi ia
akan menguasai dunia. Informasi yang dimaksud melingkupi, metode, media,
strategi, teknologi, juga isi pesan yang disampaikan.
Persoalan
yang muncul pada bagian pertama, tiada lain adalah tantangan kebebasan pers
yang harus berjalan di tengah kesunyian karena hiruk pikuk pemegang modal (ownership) industri pers lebih memilih
untuk menegakkan sisi komersialis, yang memang menggiurkan. Merebut kue iklan
triliunan rupiah dengan meriah.
Sementara,
sisi idealis minggir sendiri dulu sejenak. Atau hadir seakan-akan mendukung
melalui rekayasa informasi mutakhir yang akhirnya tiada lain membohongi publik.
Buku ini juga menukilkan pendapat Bill Kovack dan Tom Rosenstiel dalam Elemen of Journalism, bahwa, pada abad
ini di Amerika, para pemimpin redaksi sibuk dengan urusan bisnis dari pada
urusan jurnalisme. Dan kini, hal itu diduga juga merambah keseluruhan awak
redaksi. Pada media tertentu, kasus divisi redaksi diberi target pendapatan
dari adventorial, inforial dan iklan telah diberlakukan. Sungguh ini sudah jauh
bergeser dari cita-cita luhur kehadiran jurnalisme.
Pemodal
dalam dunia pers memang tidak hanya menyangkut untung rugi semata, tetapi
diperparah dengan perhatian minim terhadap kualitas rekrutmen pekerja pers,
lemahnya pemahaman esensi jurnalisme, ditambah lagi dengan kepentingan kekuasaan
politik yang mempengaruhi corak berita. Persoalan terakhir sangat sulit
ditolerir, ketika media massa, khusus penyiaran, justru menjadi ajang narsis
pemodal dunia penyiaran untuk kepentingan politik.
Pada
bagian kedua, persoalan jurnalisme dihadang oleh makhluk baru bernama media
sosial. Digitalitas yang masif seiring pesatnya teknologi smarphone, membuat
jurnalisme mengalami erosi kepercayaan di mata publik. Media massa yang
sebelumnya membangun hegemoni arus pemberitaan, jika berbeda dengan arus
kebenaran logika di lini masa bisa diobrak-abrik, dibully, dengan cara sendiri
di media sosial. Pemerintah, pejabat, politisi, sehari-hari di media sosial
menjadi bahan yang tanpa tedeng aling langsung disasar. Keterbukaan yang bisa
juga dimanfaatkan media massa menjadi sumber awal sebuah berita.
Dunia
penyiaran juga sudah memanfaatkan banyak materi yang diupload ke dunia maya.
Bahan gratis ini menjadi perbincangan tersendiri, karena menyangkut etika
penyiaran dan hak cipta. Tetapi pemilik televisi tak peduli. Bahan gratis, jika
tidak mau disebut mencuri, bisa menyelamat jam tayang dan bisa diisi slot
iklan. Sudahlah gratis produksi, siaran dapat pemasukan pula. Dua kali untung
dengan tutup mata terhadap etika, begitulah.
Amat jarang
kesadaran seperti ini hadir di tengah masyarakat, karena memang pengamatan
sedetail haruslah “dokter spesialis” yang pernah merasakan denyut persoalan dan
penyakit yang diidap pasien. Lebih-lebih terhadap terhadap kemajuan teknologi
telah merobah sikap, persepsi dan tindakan. Teknologi memang memiliki dua sisi
mata uang yang menyakitkan jika tidak dimanfaatkan dengan cara tepat. Buku ini
menjadi kritik penting bagi tukang kritik.
Kemerdekaan Informasi
Akhirnya,
kita menyadari, melalui buku ini, industri media massa di Indonesia mengalami
persoalan tersendiri di tengah kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi.
Satu sisi, industri berkembang pesat seiring kemajuan teknologi, sementara pada
sisi lain, posisi tawar pekerja pers lemah dan jurnalisme kian dikebiri ke arah
kekuasaan industri oleh pemodal.
Kita dihadapkan
kepada kenyataan, keberadaan media massa mencapai puncak kekuasaan informasi.
Kemanapun kita menoleh, media massa ada dan dapat kita nikmati suguhan yang
ditawarkannya. Industri informasi merebak bak jamur di musim hujan. Kanal-kanal
informasi tak lagi bisa mutlak dapat dibendung oleh kekuasaan negara, politik,
agama dan militer sekalipun.
Satu dua
media massa boleh saja runtuh karena tidak mampu bersaing dengan sesama, tetapi
suburnya teknologi informasi tetaplah membuat dunia makin gemuruh. Apalagi
ditambah dengan hadirnya kekuatan baru, media sosial. Sebuah media yang membuat
siapa saja bisa mendapat peruntungan lebih besar dari yang ia kira sebelumnya.
Artis dadakan umumnya muncul dari sini.
Inilah persoalan-persoal
jurnalisme yang terjadi di tengah kita. Ketika pers diharapkan menjadi pilar
keempat demokrasi, ternyata di tubuh pers sendiri begitu banyak
"penyakit" yang harus diobati. Media massa kita tidak sedang kondisi
sehat seperti yang dibayangkan ketika mengumandangkan kebebasan pers.
Buku ini
tidak banyak memberi jawaban teknis dan praktis, tetapi sangat penting membuka
ruang kesadaran terhadap cara kita bermedia dengan baik. Persoalan jurnalis
profesional dan kebebasan informasi; kepemilikan media seiring dengan rapuhnya
pengaturan yang tak pernah usai dunia penyiaran dan online; konvergensi media seiring
kemajuan teknologi, telah dikupas dalam bentuk siap saji yang bisa dibaca tanpa
perlu berurutan. Selamat membaca. []
Abdullah Khusairi, MA
Dosen Program Studi Jurnalistik Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah & Komunikasi IAIN Imam
Bonjol Padang
Thank you Sir 👍
ReplyDelete