Sunday, December 17, 2006

HIPOKRISI dalam POSMODERNISME

Jika masih mengaku modern maka bersiap-siaplah untuk dikatakan ketinggalan zaman. Karena sekarang dunia berada pada puncak posmodernis. Sebentar lagi melompat ke neoposmodernis. Dan seterusnya entah apalagi kodefikasi kemajuan ummat manusia. Yang jelas, lompatan terjadi sangat cepat. Bisa jadi musim 3G (Three Generation) sebuah bentuk neoposmodernis itu.

Sudah berada dimanakah kita? Bisa jadi belum masuk dalam kategori manapun. Atau lazim terjadi, pada banyak sektor kehidupan kita, mencamplok setiap kodefikasi itu serba sedikit. Misalnya, belum matang pada pre modern, sudah masuk ke kehidupan modern, tetapi sangat terpaksa hidup di zaman posmodernis. Dampaknya adalah terperangah dengan segala atraksi zaman. Tak ayal, menjadi penonton di ranah global yang sudah dikuasai kapitalisme dari berbagai sudut kehidupan. Kita dikepungnya. Mulai dari tempat tidur sampai kamar mandi. Misalnya? Apa merk sabun mandi yang kita pakai?

Tulisan ini terekspresi dari laporan Zelfeni Wimra di Padang Ekspres, Minggu (9/12) ditulis atas seminar yang menghadirkan Yasraf Amir Piliang, di Universitas Negeri Padang (UNP).
Ada beberapa yang patut disadari, seperti di atas tadi, dimana ada dan selalu ada hipokrisi zaman baru. Termasuk posmodernisme itu.

Benar apa yang dikatakan Amir, betapa ceroboh ketika padu padan fashion antara jilbab dengan baju ketat senteng ditambah celana jeans. Atau contoh lain, seorang anak muda gondrong dengan kopiah dan baju koko tapi pakai anting-anting sebelah kiri saja.

Ini amatlah sesuai dengan cerita, seekor monyet ingin belajar berjalan dengan gaya kura-kura. Ia belajar dengan seksama tetapi selalu gagal. Setelah sadar, tak mungkin ia bisa sempurna seperti kura-kura. Akhirnya, ingin kembali seperti gaya monyet semula. Sayang, gaya itupun ia tak lagi mampu.
Agaknya, perlu kritis lagi bertanya kepada hati nurani sendiri, ketika spritualitas ternyata dijemput lagi. Sesungguhnya, spritualitas itu adalah hikmah bangsa timur. Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjemput jati diri kita yang paling murni itu? Bisakah sesuai dengan keotentikannya dengan masa lalu? Tidak, ia harus mengalami bias zaman yang harus menopanginya.

Agaknya, sekali lagi, hipokrasi tetap akan terjadi dalam posmodernis ini. Dimana sisa modernisme masih menyelip di antara cara pikir hidup sehari-hari. Atau yang paling naif terjadi, mengaku berpikir posmodernis tetapi nyatanya adalah masih modern. Bahkan jauh sebelum itu, tradisional dan ortodok.
Satu hal yang positip, spiritualitas sudah dijemput setelah tuhan dinyatakan mati. Bagaimana? Ya, mengulang kaji dan buka kembali setiap buku-buku dan kitab suci yang dimiliki. Di situlah ada spritualitas. Jika masih menggunakan yang sudah ada, maka spritualitas akan teras garing, formalitas, juga simbol-simbol. Artinya, kita masih berada di zaman modern yang sudah ketinggalan.

Kalau sudah begitu, apakah kita akan bernasib sama dengan kera tadi? Entahlah, semoga ini tak terjadi. Perlu diingat, jika dinamika rasionalitas berkembang pesat dengan bukti laju teknologi dari ilmu pasti yang sudah menjadi produk kapitalis, sejauh manakah laju spiritualitas kita memahami nilai-nilai transeden? Statis atau dinamis? Saya masih banyak percaya pada hal yang pertama. Statis. Buktinya, wilayah spritualitas dianggap tak boleh lagi diotak-atik. Filsafat agama dianggap berbahaya.

Asah otak untuk mendekatkan spritualitas kepada Yang Maha Esa cenderung ditutupi secara tidak langsung. Ia dianjurkan dengan metode ibadah sebanyak-banyaknya tanpa tahu makna sakral dan jalan menuju tuhan. Imbasnya, ibadah menjadi simbol. Padahal, spritualitas harusnya tidak saja didekati dengan hati, tetapi juga dengan akal.

Bukan artian ibadah tidak penting, tetapi wilayah ini tak lagi harus pakai cambuk untuk mengerjakannya. Ia harusnya sudah menjadi gaya hidup yang matang.

Pada zaman pertengahan, memang filsafat ”dikanvas” oleh Al-Ghazali, karena dianggap menyesatkan dan cenderung membuat manusia melompat ke wilayah terlarang, bicara dzat tuhan. Di sinilah lahirnya fundamentalis yang bertahan pada wilayah sakral agama tak boleh digerogoti oleh filsafat. Tetapi beberapa dekade setelah itu, filsafat berkembang baik menjadi “hikmah dari timur.” Ia dicari oleh bangsa Barat. Karena Barat sudah mendapatkan rasionalitas yang berkembang menjadi ilmu pasti. Kalaupun perlu jujur, rasionalitas Barat juga dibawa oleh Averoes (Ibn Rusd) dari timur.
”Averoes sukses di Barat, Al-Ghazali berhikmah di Timur.” Begitulah bahasa yang dapat disederhanakan.

Begitulah akhirnya hari ini masalah rasionalitas dan spritualitas terus menggoncang manusia. Bagaimana menyeimbangnya dalam kehidupan sehari-hari.

Zaman modern kemarin, agama tak penting kalau hanya membawa kemunduran berpikir. Sekarang, agama dijemput untuk keseimbangan. Tetapi, kalau tidak dipelajari lebih dalam dan berdinamika rasional, tidak terkooptasi di wilayah halal- haram, harapan spritualitas dan rasionalitas bisa membuat ummat manusia makin sempurna.

Seperti diungkapkan Adik Hasan Albana—pendiri Ikhwanul Muslimin, Gamal Albanna, umat Islam memahami syariat sebagai ajaran ritual dalam Islam, seperti Shalat, Puasa, Haji dan lain sebagainya. Menurutnya, dengan mengutip pandangan tokoh terkemuka di dunia Islam, Ibnu Qayyim, syariat adalah keadilan, kerahmatan dan kemaslahatan. Apabila sebuah ajaran tak berjalan di atas nilai-nilai universal di atas, itu bukan syariat. Syariat terkait erat dengan pemerintahan dan kemaslahatan masyarakat.

Ironisnya, nilai-nilai universal di atas justru menjadi titik lemah umat Islam secara umum. Berbagai macam aksi kekerasan, ketidakadilan,

Pertanyaan lain, sejauh mana bisa didalami spritualitas? Bagaimana mensejajarkannya antara ummat yang satu, kelompok yang satu, dengan yang lain? Perbedaan sering kali masuk pada klaim paling benar. Di sinilah sesaknya spiritualitas membunuh antara satu yang lain. Kata lainnya adalah, pemahaman yang sempit akan membawa orang berpikir sempit pula. Sebaliknya, pemahaman yang luas akan membawa orang berpikir lapang pula.

Jika seperti ini, apa yang dikomentari oleh Corinne Maier, menjadi tepat. Industri, orang-orang yang terlibat di dalamnya, konsumen yang dijajahnya, harus selalu ereksi setiap hari. Kalau tidak, ia bukan berada di zaman itu.

Paparan ini disimpulkan, hipokrisi akan berjalan dengan bebas di zaman posmodernis ini, kalau tidak dibuat format pemahaman spritualitas yang tak-tis sesuai dengan tingkat rasionalitas terendah masa ini. Tetapi tentulah dimulai dari kekuatan cendikiawan dan ilmuwan sosial dan agama mencari dan mengintervensinya ke wilayah publik. Kalau tidak, hipokrisi atas aliran-aliran yang masih berkeliaran akan tetapi terjadi.

Akankah kita harus hidup berputar pada kain sarung ketololan dan kemunafikan? Tentu saja tidak.***
Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres Edisi Minggu, 17 Desember 2006

Monday, December 11, 2006

ARISTO MUNANDAR: BUKA AKSES MODAL untuk KELUARGA MISKIN BERBASIS MASJID

Budaya malu bisa menekan angka kemiskinan di tengah masyarakat. Lebih-lebih di Ranahminang masih memiliki adat dan budaya yang masih kental. Bagaimana format agar kemiskinan bisa dihapuskan dengan budaya malu?
"Kita mulai dengan membangkitkan kekerabatan yang sudah ada. Menata dan mengambil data base kemiskinan yang ada di tengah masyarakat. Khusus urang minang, keluarga, suku, jorong, nagari, adalah sesuatu yang penting bagi dirinya. Nah, kita akan lihat suku mana yang miskin itu, jorong mana, nagari mana," ungkap Bupati Kabupaten Agam, Aristo Munandar, ketika koran ini berkunjung ke kediaman Komplek Wisma Lapai Jaya Blok E Padang, (10/12).
Aristo Munandar baru saja pulang dari Rapat Kerja Nasional Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) se-Indonesia di Medan, 7-8 Desember 2006. Di acara tersebut, Aristo mendapatkan penghargaan dari Pinbuk Award 2006 atas usaha Pemkab Agam usahanya dalam Pinbuk dan Baitul Mal at-Tanwil (BMT) di Kabupaten Agam.
"Budaya malu kita sangat tinggi. Jika dikatakan suku, nagari, jorong, apalagi keluarga dekat, termasuk orang miskin. Artinya, kita tidak memperhatikan keluarga kaum kerabat," papar bupati yang menjabat dua periode ini.
Apa saja yang kebijakan bupati untuk mengangkat kaum papa? Ia memaparkan beberapa konsep pelayanan terhadap kaum papa yang memang sangat sedikit tersentuh oleh program pemerintah.
"Mereka tidak dapat akses modal karena prosedur yang berlaku. Oleh karenanya, kita merubah prosedur. Prosedur kekeluargaaan," paparnya.
Prosedur ini berbeda dengan peminjaman yang berdasarkan agunan. Hanya bermodalkan kepercayaan dan kekerabatan yang ada di tengah masyarakat dan jamaah masjid. Dari pengalaman di BMT, ini bisa berjalan dengan baik. Ke depan, tinggal lagi pengembangan dan pembinaan.
"Setelah saya cermati dari apa yang sudah dilakukan, turun ke bawah dan merasakan denyut masyarakat. Hasilnya, ternyata harus ada format baru agar orang miskin bisa diangkat menjadi keluarga pra sejahtera. Caranya, beri obat sesuai dengan penyakit. Data satu persatu. Tanya satu persatu. Tidak bisa digenerasilir," ungkap bupati yang sering mendapat penghargaan nasional ini.
Pemkab Agam memodali pendataan ulang Rp350 juta. "Walau ada bias pada data, tetapi setiap program penanggulangan kemiskinan akan dicek ulang ke bawah. Penajaman data harus dilakukan. Kemudian, program harus disosialisasi dengan matang. Biarlah perencanaannya agak lama yang penting matang dari pada cepat nekad tanpa hasil," tegasnya.
Gerakan yang sudah dilakukan seperti BMT memang mendapat tempat di hati masyarakat. Masjid sebagai basis ternyata berdampak positif terhadap pergerakan ekonomi dan silaturrahmi.
"Inilah modal ke depan. Akan digelar raker agar semua paham bagaimana program pengentasan kemiskinan berbasis surau dan masjid akan mampu berjalan baik. Melibatkan ninik mamak, alim ulama, wali nagari, perantau. Pada gilirannya, rasa malu akan muncul ketika diketahui oleh perantau yang berhasil ternyata masih ada dunsanak mereka, anak kemanakan mereka yang masih butuh perhatian," paparnya semangat.
Masjid dan surau akan menjadi posko penanggulangan dan diisi oleh pembina yang dilatih profesional. Memberi kesempatan bagi rapat suku, jamaah masjid dan perangkat nagari untuk mengumpulkan semua ide untuk mendapatkan celah usaha baru bagi anak kemanakan yang butuh bantuan. Legitimasi pencairan dana tidak perlu dilakukan secara konvensional bank tetapi cukup kepercayaan dan tanggung jawab ninik mamak setempat.
"Implikasi positifnya adalah, adat dan agama akan bergandengan melalui pola ekonomi," jelas Aristo.
Menguatkan hal ini, akan dibuat detail format pengawasan dan pembinaan dan evaluasi kepada Kelompok Usaha Bersama (KUBE). "Kalaulah demikian adanya, pikiran enterpreneushif akan muncul. Misalnya, satu KK, ia bisa apa dan maunya apa. Nah, sebatas itulah ia diberikan dengan kepastian jaminan ninik mamak dan pengawasan. Motivasi dan pembinaan. Nah, dinamika usaha akan hidup," tuturnya.
Program Agam Mandiri, Agam Madani memang sudah dimulai dan memperlihatkan hasil. Penghargaan sebagai pusat pelayanan terbaik dan Pinbuk ini adalah bukti dari keseriusan dan kerja keras pria yang murah senyum ini.
Tahun 2005, Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Agam mencapai 6.13 persen. Tahun 2004, 6,01 persen. Tahun 2003, 5,29 persen.
Pemikiran untuk peningkatan pendapatan masyarakat terus dilakukan. "Untuk produksi saya pikir tidak ada masalah lagi. Kini tinggal peningkatan mutu dan daya saing dengan cara mencari nilai tambah (value added). Beberapa produk unggulan usaha kecil sudah sangat dikenal dari Agam seperti dodol labu, dodol wartel, air tebu sudah mendapat sentuhan packaging yang baik," tuturnya.
Sementara itu, aksi nyata untuk peningkatan ekonomi rakyat yang lain, diserahkan 32 kebijakan bupati ke kecamatan. Hal ini dilakukan demi efesiensi waktu dan memberi ruang kepada camat untuk mendekatkan program dengan kebutuhan masyarakat.
Seperti diberitakan koran ini, Sabtu (9/12), Aristo bersama kepala daerah lain, seperti Bupati Langkat (Sumut), Bupati Tanah Bumbu (Kalsel), Bupati Tanjung Balai (Kepri), Bupati Tebing Tinggi (Sumut), dan Bupati Pekalongan (Jateng) mendapatkan Pinbuk Award 2006.
Sementara di tingkat menteri, penghargaan diberikan kepada Menteri Sosial Bachtiar Chamsah, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadarma Ali, Dirut Bank Muamalat Syaefudin A, dan mantan Guberbur Sumut Alm. T. Rizal Nurdin.
Penghargaan “Pinbuk Award 2006” ini diserahkan oleh Ketua Pinbuk Pusat, Prof.Dr. Ir. M. Amin Aziz, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pinbuk se-Indonesia, di Medan. Dalam Rakernas yang dibuka Deputi Bidang Pengentasan Kemiskinan Menko Kesra DR. Sujana Rohiyat, dan berlangsung tiga hari itu, hadir para kepala daerah se-Indonesia, dan sejumlah pejabat depertemen terkait.
Dikatakan Aristo, bagaimana pun, tugas pemerintah adalah mensejahterakan masyarakat. Tetapi, fenomena yang menyakitkan ketika kenyataan bahwa, dengan digulirkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), ternyata menjadi titik balik, bahwa angka keluarga miskin membengkak. Kabupaten Agam mengalami hal tersebut, dimana KK miskin tahun 2004 bisa ditekan hingga 10.566 KK waktu ada pendataan untuk BLT, mencapai 23.661 KK. Padahal program untuk mengentas kemiskinan sudah dijalani. "Berangkat dari kenyataan inilah, kita harus tegas dalam aksi nyata. Bagaimana pendekatan kekerabatan yang menjadi modal penting dalam adat budaya kita bisa dilakukan. Saya pikir akan muncul pemikiran baru dan aksi baru dari ide-ide seperti ini. Kini tinggal pemantapan dan pelaksanaan," jelas Aristo.*

Monday, November 20, 2006

TEMPURUNG KEPALA

Penulis buku Jaringan Ulama di Nusantara, Prof Dr H Azyumardi Azra, dalam sebuah kesempatan memberikan materi kuliah menyatakan pentingnya penguatan institusi agama dalam mengembangkan ummat. Kemajuan peradaban selalu dimulai dari berkembangnya cara berpikir ummat. Cara berpikir berhubungan erat dengan cara pandang, sedangkan cara pandang membutuhkan wawasan dan kearifan dari ilmu-ilmu. Ilmu-ilmu didapatkan dari penguatan institusi agama; seperti institusi pendidikan, keagamaan dan organisasi keagamaan.
Putra Lubuk Alung Pariaman yang segera menyerahkan estafet Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Ciputan Jakarta ini, juga mengatakan, di tengah arus global dengan berbagai aliran pemikiran, adalah pantas jika terjadi kehausan orang terhadap agama.
Hal ini membuat lahirnya tasawuf modern, karena corak kehidupan agama di perkotaan yang bersentuhan dengan industri. Agama secara tidak sengaja memberi konsekwensi terhadap industri. Sekedar misal, perkembangan model fashion.
Sayangnya, pada tataran ini, acap terkesan agama sebuah komoditas. Lebih-lebih jika sudah bersentuhan dengan selebritas. Alih-alih untuk memajukan ummat, yang terjadi adalah prestise mengungkapkan pengalaman religi seseorang dan lahan produksi kesalehan formal. Artinya, simbol agama dikedepankan dari pada substansi beragama.
“Maka lahirlah derai air mata dalam doa bersama. Seakan-akan telah diampuni dosa-dosa dan sorga di depan mata.” Begitu teman saya berkomentar pada lain kesempatan. Sedikit bernada bergurau dengan makna yang paling dalam. Saya hanya tersenyum simpul saja.
Membaca pemikiran Azyumardi Azra, tampaklah kecendrungan analisa keummatan menurut sejarah yang akan berkembang. Maklum, sebagai akademisi dan peneliti, ia menemukan akar sejarah hingga hari ini masih mengitari peradaban.
Sekedar misal, jika istilah pluralisme sudah tercoreng, sekarang muncullah istilah multikulturalisme. Bila abad pertengahan istilahnya adalah salafi, hari ini istilahnya adalah neo salafi. Begitulah seterusnya.
Sejak mendapatkan segelintir pemikiran lulusan Columbia University New York tadi, saya selau bertanya-tanya tentang loncatan peradaban yang bisa dilakukan ummat. Bagaimanakah caranya? Karena ummat masih, sedang dan akan beranjak bersamaan dari pra agraris, agraris, industri, teknologi informasi dan jasa. Semuanya berkembang pada alur itu. Jika jawabannya adalah institusi pendidikan, sejauh ini wilayah yang jadi harapan ini dirasuki konflik politik internal yang membuat runtuhnya kepercayaan publik. Jangankan membangun pencitraan, memulai untuk pembenahan saja amatlah rumit. Hal ini terjadi di banyak tempat pada institusi yang diharapkan ummat.
Suatu hari saya membaca pendapat Rasyid Ridha, katanya, etos kerja dan perkembangan suatu ummat juga dipengaruhi faktor iman dan cara ia beriman. Apakah ummat berada dalam kegamangan atau gagap dalam memahami iman? Saya cepat-cepat menepisnya karena ini hal paling sensitif. Menurut Rasyid Ridha, pada titik iman akan mempengaruhi cara kerja (etos). Di situlah lahir motivasi. Sekedar misal, orang akan bekerja keras bila ia menyadari hidup di dunia adalah modal di akhirat. Maka ia bekerja keras untuk hidup terbaik di dunia. Beramal saleh dan ambisi mendapat tempat terbaik. Mencari harta untuk beramal.
Berbeda dengan ummat yang berserah diri kepada nasib—sesuai pandangan iman yang dimiliki—akan lamban berubah. Menurut Iqbal, ummat seperti ini tidak lebih baik dari ummat lain yang berpikir. Apakah pada hari ini sudah berpikir? ”Ya, sudah amat dalam berpikirnya. Karena harus bertahan hidup. Yang diperlukan itu tak sekedar pendidikan, tetapi juga pembinaan.”
Soal pembinaan, ummat butuh tokoh. Nah, di sinilah persoalan yang sering terkendal. Tokoh kita jarang bisa jadi panutan keran acap terlibat konflik.
”Pendidikan, pembinaan tiada berarti kalau tidak ada ketulusan dan kesadaran tentang iman. Bukalah tempurung yang ada dalam kepalamu agar tidak ada katak yang berdiam di sana.” Begitu kata seseorang yang saya anggap dekat memberi kearifan dengan berfilsafat tidak sengaja. Setelah saya pikir-pikir. Benar juga. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

RESENSI NU Studies

Berselancar di Ombak Zaman


Judul: NU Studies

Penulis : Ahmad Baso
Penerbit : Erlangga
Cetakan : Agustus 2006
Resensiator : Abdullah Khusairi

JIKA pandangan kita terhadap Nahdhatul Ulama (NU) sebagai organisasi agama dengan corak tradisional? Ada baiknya membaca buku ini. Ada banyak hal yang bisa membantah pandangan kita selama ini. Salah satunya adalah, anak muda NU lebih dinamis dan modern menatap zaman. Mereka menyadari benar, adalah sesuatu yang percuma, kalau memiliki stigma pemikiran modern tetapi justru lamban menerima perubahan.
Pada tataran ini, NU bermain selancar yang mahir di gelombang zaman. Pemikiran yang diteruskan aksi strategis telah membuat posisi dan image tradisional kini luruh satu-satu. ?Setidaknya itulah yang tergambar dalam buku NU Studies ini. Memotret dari dalam wajah NU dari realitas zaman ke zaman.

Dipaparkan oleh penulisnya, elit dan kaum ”kiai sarung” ternyata mampu menguasai rezim digitalisasi tanpa gagap menyergap, tanpa menggoyahkan kultur ke-NU-annya. NU Studies adalah terobosan, dimana terdedahkan tradisi, pencerahan dan kritisme elite NU membaca fenomena. Mereka ikut di dalamnya sebagai orang NU Indonesia. Pada tataran ini, kekalahan psikologis bagi NU itu tidak ada dalam tatanan perkembangan ummat. Karena tradisionalisme NU amatlah rasional dan dinamis. Tidak vakum dan jumud pada tradisionalnya.

Namun demikian, sejauh perkembangan yang ada, dimana lahirnya berbagai aliran pemikiran tetapi tetap memiliki akar yang kuat pada kutub sejarah—kutub ini selalu ada dalam sejarah Islam. Fundamental Islam dan Neo Liberal.

Dalam sejarahnya, asy'ariah dan mu'tazilah. Satunya bebas berpikir melawan arus dengan alasan yang kuat, sedangkan yang satu lagi ”taat pada teks tanpa perlu hermeneutik”. Satu kutub berkiblat ke Amerika dan melawan kutub lain yang berkiblat ke Saudi Arabia. Lagi-lagi Timur-Barat. Yang pertama berbicara sebagai populis dan pembebasan. Sementara yang terakhir berbicara tentang pemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial-politik Indonesia, dengan mengabaikan kenyataan bahwa ”kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam”, dan bukan ”orang Islam yang tinggal di Indonesia.”

Buku ini memaparkan hal-hal di atas dengan kritis. Pertama diawali dengan sebuah landasan metodologis seputar persepsi awal. Dimana munculnya NU Kultural---kembali ke khittah. Dalam kontek seperti ini, NU bukan ditulis dari luar tetapi NU sendiri yang menulis sejarah atas dirinya (Bab 2). Sebagai subjek sekaligus objek. Sementara itu, pada bab 3, dipaparkan fiqih (hukum) sebagai wacana tandingan sekaligus perlawanan. Fiqih ini sebagai pemaknaan sosial atas eksistensi NU.
Pada bab 3, 4 & 5, diungkapkan kesejarahan tradisi ahlusunnah waljamaah secara history politic. Di sini letak pencerahan pemikiran Islam sebagai bingkai Islam dengan paradigma moderat. Tetapi, ia bukanlah seperti mobilisasi Islam moderat-liberal seperti saat ini. Pada bagian kedua, buku ini menampilkan kehadiran NU sebagai kritik epistimologis, termasuk cara-cara kerja operasional. Bab 6, diawali denga menampilkan kritik dan metode postmodernisme sebagai varian dalam NU. Kemudian dalam bab 7, kritik diarahkan kepada noe-modernisme Islam dengan fokus utama pemikiran Nurcholis Madjid dilanjutkan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid. Penulis buku ini mencoba mencari titik temu dua tokoh sentral sebagai genealogi NU (8 & 9).

Pada bagian ketiga, dipaparkan secara jelas dan rinci praksis dari NU. Bab 10 mengemukakan bagaimana praksis Nu berkaitan dengan kebangsaan dan keislaman dan praksis itu dibahasakan dengan kerja "menulis". Dilengkapi pada Bab 11, mengungkapkan NU berpendapat tentang jihad dan terorisme terutama dalam konteks konstruk ideologis ”benturan peradaban”, dalam konteks globalisasi kapitalisme dan militerisme neo-liberal seperti sekarang ini. Pada bab-bab selanjutnya pada bagian ketiga ini, peran NU terhadap kemanusiaan dan agama yang ditindas oleh negara dan kapital.

Beranjak dari potret kritis pada buku ini, maka hapuslah pendapat bahwa NU sebuah lembaga tradisional dalam agama.

Penulis buku ini seperti membantah hal tersebut secara tidak langsung dengan paparan lugas dinamika kehidupan NU dalam melihat fenomena yang berkembang. Wajar, NU peselancar di gelombang zaman.

Baik oleh individu NU maupun sebagai lembaga, permainan di tengah gelombang zaman itu membuat NU semakin hari-semakin indah.
Silahkan banding dengan organisasi seperti NU di negeri ini setelah membaca buku ini, semuanya akan terasa berbeda. Buku ini penting dibaca oleh sejarawan, penganut ilmu sosial dan keagamaan.
Karena ada warna dan corak baru pada teknik pemaparan kritis persoalan dengan berlandaskan persepsi kekinian. Selamat membaca. []

Thursday, November 16, 2006

MAKAN TEMAN

Saya dapat pengalaman menarik dalam sebuah perjalanan. Dua orang dewasa bercerita tentang salah seorang dari mereka telah dimakan oleh temannya sendiri. ”Kenapa tidak kau usut?” komentar lawan bicaranya.
”Saya tak mau memperpanjang masalah,” jawab yang bercerita.
”Lha. Kalau begitu anda rela dimakan terus menerus.”
”Bukan rela. Tapi sangat naif rasanya. Uang saya yang dia makan itu tak seberapa. Saya tahu sedang ditipu tapi yang penting menjaga pergaulan. Biarlah satu kali ini saja. Saya pikir, teman saya itu akan malu sendiri, saya yakin dia akan tahu saya menertawai dia.”
”Alasan yang sedikit bisa diterima. Tapi orang seperti itu biasanya tidak sejauh itu arif ia berpikir.”
”Ya, biarlah. Pergaulan ini macam-macam bentuknya. Teman dan saudara antara satu dengan yang lainnya tentu berbeda.”
”Tapi kita mesti punya sikap jantan. Kalau sudah merugikan tapi diam saja itu pertanda membiarkan diri teraniaya.”
”Saya menghargai sikap anda dan semoga anda menghargai kebodohan saya. Saya tetap berkeyakinan, teman yang telah memakan hak orang lain akan mendapatkan balasan yang setimpal.”
Lawan bicaranya diam. Saya yang asyik mendengar dari tadi bingung. Rencana tidur di perjalanan tidak kesampaian. Saya justru memikirkan teman yang suka makan teman seperti yang diceritakan tadi. Kenapa begitu mudahnya orang menipu dan saling tipu? Kenapa mau menipu teman sendiri? Bukankah bau busuk akhirnya akan tercium dari sumbernya?
”Menurut saya, teman yang memakan anda itu memang bukan karena tidak tahu tapi rakus. Bodoh dan tidak arif. Kalau boleh tahu, siapakah teman anda itu?”
”Justru dia bawahan saya.” Yang bertanya terheran-heran bercampur takjub.
”Ternyata bawahannya bisamemakan atasan. Lha, kalau bawahan sudah bisa makan atasan, apalagi atasan.”
”Belum tentu. Saya tidak seperti itu. Saya justru mendapat kebahagiaan ia menipu saya.”
”Ini aneh namanya.”
Karena suatu hari ia pasti sadar akan kebodohannya. Mengingat saya pernah menduduki posisi bawahan saya itu.”Berarti anda juga pernah melakukannya pada atasan anda dulu.”
”Tidak pernah itu terjadi karena saya tidak mendapat tempat untuk memakan atasan. Atasan saya justru yang selalu makan saya.”
”Artinya anda bodoh. Di bawah juga kena makan dan sudah naik pun tetap kena makan.”
”Saya tidak selera untuk makan teman. Karena bagi saya, lebih baik bekerja jujur dan ikhlas. Di situlah ada kearifan. Rezeki tidak kemana. Tetapi saya bisa tersenyum lega melihat bawahan saya selalu bingung bila bertatap dengan saya. Ya, saya pikir dia akan berpikir dua atau tiga kali kalau ia mau melakukannya lagi.”
”Bukankah jika dibiarkan akan merembet dan makin menjadi-jadi?” ”Itu teori normal di dalam akal sehat. Tetapi tiliklah dalam wilayah psikologis, seorang pencuri tidak akan pernah jadi perampok kalau hanya mampu makan teman sendiri. Dalam arti kata, ia besar dengan akan dikenal seorang teman makan teman. Hal ini berlangsung selama hidupnya.”
”Walau terasa agak aneh dan terbalik, saya salut kepada anda. Semoga anda tak lagi kena makan.”
Keduanya tertidur. Saya yang sedari tadi pura-pura tak mendengar akhirnya tak pernah bisa tidur. Karena saya berpikir tentang orang makan orang. Saling makan. Betapa jahatnya orang. Benarkah demikian? Saya lalu ingat seorang teman yang bercerita tentang sifat manusia. Mulai dari yang penjilat, cari muka, sampai suka makan teman. Teman saya ini juga korban.
”Mujurlah saya selalu tawakkal. Sering baca buku kejiwaan. Saya mesti banyak bersabar,” katanya merendah. Ia juga mengingat saya agar baca buku Emosi; Penjelajahan Religio-Psikologis Manusia di dalam Al-Quran yang ditulis M Darwis Hude. Sejak kejadian itu saya jadi malas makan. Takut termakan hak teman. Saya jadi hati-hati, karena banyak teman yang suka makan. Waspadalah. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

Saturday, November 11, 2006

Konfirmasi

Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpa suatu musibah kepada suatu kaum. (QS.Al Hujarat; 6)
Maka kalau ada isu beredar, janganlah cepat percaya. Bertanyalah, cari tahu kepastiannya dengan sumber yang benar-benar menguasai persoalan.
Konfirmasi (memastikan) adalah sebuah keharusan. Apalagi jika ingin menyampaikan kepada yang lain. Harus benar-benar terukur kebenaran faktual materi informasi yang disampaikan.
"Seorang jurnalis bukan saja harus konfirmasi agar berita yang disampaikan medianya bernas. Tapi juga harus verifikasi. Keduanya berbeda. Konfirmasi itu memastikan. Verifikasi itu menjernihkan. Silahkan buka buku, Sembilan Elemen Jurnalisme (Pantau 2003), ditulis Bill Kovach," ujar dosen komunikasi massa sebuah universitas swasta di Padang.
Usaha verifikasi dilakukan dengan melihat aturan, bertanya pada pakar bukan untuk jadi sumber berita, selanjutnya juga termasuk memaparkan data dan fakta yang ada secara kronologis. Sehingga berita jernih disampaikan.
"Kalau tidak dilakukan, wartawan bisa keliru dan ditipu nara sumber," jelas dosen kita ini.
Saya mengangguk-angguk, geleng-geleng, seperti orang yang mengerti benar. Tetapi yang dapat dipahami adalah verifikasi amatlah penting. Bukankah seorang wartawan, mengerti baru bertanya, paham baru menulis?
"Jangan samakan konfirmasi dengan verifikasi. Jangan samakan intensif dengan insentif. Bisa bahaya itu," jelasnya kesal. Langsung menutup selulernya.
Maka tinggallah saya yang bodoh dan didatangi seorang teman. Teman ini menyatakan, seringkali informasi mengandung bumbu penyedap terlalu banyak dari materi yang disampaikan.
Saya katakan, di dunia jurnalistik, agar berita dapat dipercaya oleh khalayak harus dilakukan diperiksa kebenarannya. Istilahnya, konfirmasi, verifikasi, check and recheck dan balance agar berita disampaikan menjadi cover both side dan independen. Di sinilah letak sikap seorang wartawan, jujur dan amanah. Saya pun secara rinci menjelaskan bagaimana jurnalisme harus dijalankan secara hati-hati.
"Tapi banyak wartawan tidak seperti itu. Baru jadi wartawan sudah bagak sekali," ia memotong.
Mendengar itu, saya kesal sekali. Tapi teman saya ini mengungkapkan banyak fakta. Saya kalah telak. Lalu mundur dan menyatakan, ada wartawan yang baru jadi wartawan ada yang sudah berkarat. Tentu beda. Jurnalisme adalah profesi yang membutuhkan proses dalam pematangan.
"Tapi saya melihat banyak yang tersesat. Tidak menjunjung tinggi etika profesi," teman ini melepas jeb.
Bisa jadi benar. Karena wartawan tidak punya dunia pendidikan formal. Ia banyak dilahirkan oleh alam. Tetapi bagi yang berkecimpung tentu saja dengan suka cita mencintai profesi yang satu ini. Pemahaman saya, soal moral memang harus dikembalikan kepada pribadi-pribadi, toh memang banyak penumpang gelap dalam berbagai profesi. Misalnya, wartawan gadungan, dokter gadungan, polisi gadungan. Penumpang gelap ini mengambil untung melebihi orang yang berprofesi sesungguhnya. Misalnya wartawan gadungan lebih wartawan dari wartawan yang resmi. Padahal, wartawan resmi itu ada kartu pers yang ditandatangani pemimpin redaksi dan terdaftar jadi anggota organisasi profesi. Begitulah amanat UU No 40 Tahun 1999.
"Apa wartawan seperti itu bisa ditangkap aparat?"
"Bisa asal ada yang lapor," jawab saya cepat.
"Bagaimana mungkin. Tentu orang takut melapor wartawan."
"Di sinilah letak persoalannya. Ada banyak orang hanya main aman saja. Tak mau repot. Membiarkan diri untuk setiap waktu mau ditakuti. Takut berarti memang ada kesalahan," saya balik menekan dia.
"Bung jangan menyatakan begitu. Saya cuma mengadu begitulah adanya di lapangan."
"Lha saya tidak bermaksud menyatakan bapak salah. Kalau seseorang takut biasanya tanda seseorang itu salah. Kan pernyataan yang lumrah. Kenapa bapak merasa bersalah?" ujar saya naik pitam.
Teman saya ini mengeluarkan kartu pers dari sebuah surat kabar yang entah masih terbit atau tidak. Juga mengeluarkan kartu dari sebuah organisasi profesi. Saya salut ternyata dia kini seorang wartawan surat kabar di provinsi bagian utara sumatera.
"Saya mau ke Jakarta bisa bantu saya?"
Melihat gelagat itu saya cepat menggeleng.
"Meliput acara tapi tak punya ongkos," katanya.
"Dari kantor?" tanya saya.
"Gaji saja tidak ada. Bagaimana uang jalan ada. Modal kami hanya kartu-kartu ini," ujarnya yakin. Mantap.
Saya tak dapat bicara lagi. Keinginan saya ada satu setelah itu, konfirmasi ke kantornya. Setelah itu melakukan verifikasi persoalan, check and recheck, triple check. Kepada teman dekatnya, kapan perlu kepada "orang rumahnya". Apa benar ia seorang wartawan? Apa kartu tadi hanya dibuat dikomputer lalu dilaminating? Sungguh, informasi ini baru sepihak saya dapatkan. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

Tuesday, November 7, 2006

SAJAK USAI LEBARAN

Usai Lebaran

Kau dayung ke hulu
melawan arus Tembesi
menuju nasib kalah menang
akhir lebaran orang-orang menyudahi salam.

Kebencian kita tak terbatas
siang malam menangisi dusun mati.

Jiwa kita teramat sepi mengering sungai dan sawah
air mata doa serupa kabut sesat di jalanan.

Mengusir ke ujung nasib muara terasing
dan terbuang di subuh paling hina.
Dusun kita di huni hantu kita pergi dengan segenap resah membakar
jiwa dan lebaran mengusir kerinduan kebencian kebisuan.
Sarolangun Jambi, Oktober 2006

Kemarau Ini

Semacam duka senja kita berkerontang di tanah
merekah sawah-sawah memekik pilu meranggas kisah tersedih.
"Hujankan kami di ujung malam wahai Wahdatul Wujud"
Suara tak terperi requem terindah yang pernah terdengar aduh betapa kita
sadar sungai mengalir kecil dan embun tiada menetes.

Asap mengepung di horison tak terselam mata bathin kekosongan bersama kebodohan demi
kebodohan yang membisik keserakahan. Akal dan hati kita telah kering
dari segala makna. Hijau daun kedamaian kini meranggas mengguning pasi.
Sripelayang Sarolangun, Oktober 2006

Segurat Cerita

Dimana kita tak lupa begitu saja
di ujung derita bersua
aku rindu mencium kering tahi kerbau di padang kita
berlari di pematang sawah lalu hilang dalam ilalang hutan

Mengapa begitu jauh masa lalu tertinggal?
menjemputnya lelah langkah ingatan berjejak darah juga air mata

Segenap cinta bebatuan sungai perjalanan pada napal tanpa
batas ke lubuk-lubuk kenangan aku kita tak juga bersua atas kedewasaan
cepat beranak di ujung waktu.

Semua telah hanyut ketuaan menghujam
wajah kita membiaskan sejuta kenangan bergurat pahit dan manis. Adakah
cinta serupa kenangan membawa sorak remaja.

Aku masih diam menunggu
jawaban di sela kecipak air dalam mimpi.
Sarolangun, Oktober 2006

SAJAK INI JUGA DIMUAT DI Jambi Independen EDISI MINGGU, 5 OKTOBER 2006

Monday, November 6, 2006

KABINET HBA-ENDRA

The right man the right place. The wrong man the right place. The right man the wrong place. The wrong man the wrong place.


Kalimat di atas selalu menjadi acuan ketika orang bicara kabinet. Dimana harapan menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat akan membawa kesuksesan team work. Sebaliknya, orang yang tidak tepat di tempat yang tidak tepat akan membuat program amburadul.

Dan akan terjadi ketimpangan bila orang yang tidak tepat di tempat yang tepat atau juga orang yang tepat pada tempat yang tidak tepat. Hal terakhir acap kali menggagalkan semua sasaran yang akan dituju dalam team work.

Pasca dilantiknya pasangan Bupati Kabupaten Sarolangun, H Hasan Basri Agus (HBA)-Wakil Bupati Cik Endra sebuah harapan besar tertumpang kedua pemimpin bumi Sepucuk Adat Serumpun Pseko ini.

Harapan itu sebuah bayang-bayang kemajuan di masa depan. Dapatkah dua tokoh ini membawa Kabupaten Sarolangun sebagai "bintang" di tingkat nasional? Sungguh sebuah impian yang harus jadi kenyataan bagi kita semua. Tidakkah kita bangga bila kabupaten muda ini menjadi reference nasional? Misalnya pada sektor investasi, pendidikan, kesehatan atau juga Kelompok Usaha Kecil Menengah dan Kecil (KUKMK)?Agaknya, melihat fenomena dan kemampuan yang dimiliki, harapan itu bisa tergapai bila kerja keras dan cerdas dimulai pada titik nol saat ini. Tahun 2007 sebagai starting point membawa kecemerlangan.

Tanpa bermaksud meniadakan kesuksesan kepemimpinan sebelumnya, kabupaten ini masih berada pada tahap pondasi. Masih perlu menata struktur pemerintahan dan sarana yang masih terasa kurang.

Menilik satu per satu dinas, badan dan kantor Pemkab Sarolangun butuh pembenahan yang amat serius. Pasca kasus darmaga ponton, kabupaten yang lahir di tahun 2001 ini juga memiliki performance teramat jelek dalam hal good governance and clean govermance.

Harapan tetaplah harapan. Besar dan sangat menjanjikan kemengan dua pasangan ini. HBA pamong senior yang mumpuni. Berpengalaman dan bersih. Punya komitmen terhadap pembangunan kemasyarakatan. Setidaknya, pasangan ini merupakan modal yang amat besar (its the rising star). Putra terbaik yang memiliki kesempatan penuh untuk memperlihatkan kinerja dan kemampuan kepemimpinannya. Mampukah? Kita mesti yakin dan mendukung pemimpin yang kita pilih bersama. Bersatu dalam harmoni pembangunan. "Syahadat" yang sama demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Pemimpin akan mampu dan bisa bekerja dengan leluasa, berkreasi dan membuat terobosan demi kemajuan daerah ini.

Starting point yang amat menentuan adalah kabinet yang bakal membantu pasangan ini. Loyalitas dan kredibilitasnya mesti terjaga dan terukur. Komitmen dan kemampuannya bisa teruji mendukung penuh visi dan misi pasangan ini. Penilaian dan objektivitas amat sangat membantu.

Track record juga akan menentukan. Tetapi yang patut dicatat adalah jangan ada titipan khusus yang bisa merusak citra dan kepercayaan masyarakat. Mulai dari titipan politik hingga balas jasa politik. Jika Ini terjadi, menyakitkan dan mengecewakan masyarakat. Pada gilirannya nanti kepemimpinan ini akan oleng dengan sendirinya.?Isu yang berkembang banyak menyatakan, banyak dari orang luar. Namanya isu, semuanya masih semu.

Tetapi kita mesti mengingatkan---tanpa bermaksud menggurui---kepada pasangan ini, starting point amat menentukan. Karena salah menentukan akan membuat kegagalan dan laju mesin pemerintahan akan tersendat. Kata kunci pada garis ini adalah wawasan dan kemampuan. Tidak perlu kita menyebut orang luar orang dalam. Tidak penting barisan mana dan kader siapa, yang namanya pemerintah abdi masyarakat, komitmennya tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat daerah. Lebih-lebih Kabupaten Sarolangun.

Mendukung kemajuan selain harmonisasi kabinet, pasangan pemimpin, sekdakab, juga teramat penting antara eksekutif dengan legislatif. Anggota legislatif sudah waktunya meniatkan hati seluruh dukungan terhadap kebijakan eksekutif yang berpihak kepada masyarakat dan pembangunan. Tidak berpijak pada kepentingan kelompok dan partai.

Tetapi menyimak paparan HBA setiap saat baik dalam pidato maupun pemberitaan, ia akan memberikan jabatan sesuai dengan kemampuan orang dan SDM yang tersedia dan memang jika tidak memungkinkan, terpaksa mengajak putra terbaik kabupaten ini yang masih mengabdi di daerah lain atau juga di tingkat provinsi. Hal lain yang juga menentukan keberhasilan adalah pembenahan pada komunikasi politik dan kepentingan daerah. Semestinya tidak saling menyalip menyilang yang bisa merugikan pembangunan. Dalam arti memberikan kesempatan penuh pasangan ini membuat terobosan yang luar biasa untuk kabupaten Sarolangun. Tentu saja kita tak mau terjadi "kayuh biduk pembangunan" terancam di arus deras kemunduran berpikir yang mengembalikan masyarakat Sarolangun ke titik nol kembali.

Terlau dini menilai pasangan ini, tetapi yang jelas, jika dari angka-angka penting makro ekonomi, orang selalu mengacu pada pendapatan per kapita masyarakat, pertumbuhan ekonomi, angka pengangguran. Ini juga harus memiliki raport yang terbaik dan menanjak setiap tahun. Inilah pondasi yang dibuat harus mampu menjawab indikator tersebut dengan sebuah kebijakan yang berani dan strategis.

Jika saja kabinet telah bekerja cerdas dan bekerja keras tentu saja akan memperoleh keberhasilan. Inilah menjadi performance daerah untuk go nasional dan go international.

Dengan demikian akan membawa Kabupaten Sarolangun bisa dilirik dan dihormati selayaknya dengan kabupaten berprestasi di tingkat nasional. Inilah sebuah mimpi yang butuh jawaban hingga lima tahun ke depan. Semoga. []

*Abdullah Khusairi, tinggal di Kota Padang sehari-hari menjabat Redaktur Pelaksana Edisi Minggu Harian Pagi Padang Ekspres (Jawa Pos Groups) dan Pembina Himpunan Mahasiswa Sarolangun (HMS) Padang. Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang.

BUPATI SAROLANGUN


BERSAMA BUPATI SAROLANGUN, Hasan Basri Agus. Kamis (3/11), pukul 20.00 WIB. Lelaki murah senyum itu menyambut hangat kedatangan penulis di kediaman.

Selamatkan Iklim Investasi Pasbar

Ketua DPRD Kabupaten Pasaman Barat Asgul SE meminta agar Pemkab Pasaman Barat tidak mempersulit investor yang akan menanam modalnya di Pasaman Barat. Sebagai kabupaten baru, selayaknya Pemkab mengakomodasi keinginan investor, bukan memilih dan memilah sehingga menuai kekecewaan.
"Saya mendesak agar iklim investasi Pasbar kondusif. Karena ini citra ke depan sebagai kabupaten baru. Saya mendapat laporan, ada investor yang kecewa karena izin survei diganti dengan investor lokal. Padahal investor ini sudah menjalankan
aktivitas survei dan segera eksplorasi. Seterusnya akan melaksanakan
eksploitasi. Lokasi Kuasa Penambangan (KP) sama dengan KP untuk investor
lokal," kata Asgul kepada koran ini, di Padang, kemarin.
Dikatakannya, investor yang sangat kecewa tersebut PT Sumatra Ina Minerindo (SIM),
milik investor Inggris yang ternama dan memiliki lahan tambang biji besi
di berbagai tempat di Indonesia. Salah satunya di Kutai Kalimantan.
?KP tersebut terletak di Nagari Airbangis Kecamatan Beremas, seluas 1600
ha dan memiliki deposit biji besi terbaik. Asumsi awal kandungan 76
persen. PT SIM mendapat izin survei 11 April 2006 lalu, beberapa waktu
lalu, titik koordinat terpenting dari KP ini dibertikan kepada investor
yang baru masuk dan berminat.
PT SIM sudah mempresentase Pasaman Barat Project di hadapan Legislatif. Menurut Asgul, tak diragukan lagi kemampuan dan profesionalisme investor ini. Karena serius dan mau berkorban melakukan survei dengan biaya yang besar dan waktu yang lama.
"Saya khawatir kalau investasi ini tidak jadi akan menimbulkan ekses tidak
baik untuk iklim investasi. Oleh karenanya, bupati harus memperhatikan dan
berada pada pihak yang menguntungkan masyarakat," tegas
Asgul.
Alasannya, jika tidak jadi dan lahan yang berdempet KP akan terekspos ke
investor lain. Artinya, kegagalan masa depan akan tampak jelas, sementara
investasi adalah keharusan dalam era otonomi untuk menggenjot
pendapatan masyarakat.
Komisi C DPRD Kabupaten Pasbar telah mengunjungi
tempat operasi PT SIM di Kutai akhir Ramadhan lalu. Dalam beberapa hari ke
depan Panmus telah merencanakan pertemuan dengan eksekutif, seterusnya
mengunjungi lokasi dan memanggil dua investor yang diberi lokasi KP
tersebut.
"Kita akan rekomendasi investor yang punya komitmen terhadap
pembangunan Pasaman Barat. Kemudian mengikuti prosedur aturan
penambangan."
Selayaknya diatur dalam undang undang pertambangan, perhatian
terhadap keselamatan lingkungan, community development dan tenaga kerja
menjad perhatian investor. Hal itu diatur di luar pajak (tax) yang
berlaku.
KP yang tumpang tindih seluas 160 ha merupakan titik koordinat
yang terpenting dalam survei PT SIM. "Saya berharap akan segera menemui
titik penyelesaian demi iklim investasi di Pasbar dan tentu saja untuk
Sumbar," jelas Asgul optimis.
Invetsor yang mendapat izin dan melibas
KP PT SIM merupakan investor lokal yang juga joint bersama perusahaan
lainnya. "Artinya dalam segi financial kita meragukannya. Tapi saya
yakin jalan keluarnya ada dan kita harap bupati dan jajarannya janga
sia-siakan masyarakat." (hry)

Friday, October 20, 2006

DI DALAM ENTAH

Kota ini mulai malam. Temaram datang detik demi detik. Jalan mulai remang, walau ada lampu jalan dan lampu kenderaan yang lalu lalang. Kota ini di waktu malam memang tak seramai kota metropolitan. Hanya beberapa tempat yang hidup sampai seperempat malam, selebihnya sunyi sepi. Di beberapa tempat itu pun, mungkin di emperan toko tempat mereka main domino. Di cafe-cafe yang pengunjungnya terdiri dari beberapa komunitas. Atau di tempat mereka menggoyangkan kepala dan badan sembari mabuk-mabukan. Hanya di situ. Tak ada kehidupan seperti siang, di mana semua orang berlari mengejar waktu, obsesi dan uang. Kota ini ketika malam, hanyalah segelintir orang yang mencari hidup dan terpaksa hidup di tengah malam.
Sekilas memang terasa amat meyakinkan, kota ini sebagai kota pelajar. Dimana warga kota yang berbudaya, ramah, memiliki hobi membaca dimana saja berada. Baik di bus kota maupun di ruang tunggu. Tetapi, sesungguhnya, citra itu segera terkikis sedikit demi sedikit jika telah mendengar musik house di dalam bis kota menghentak membentak jantung. Atau melihat anak-anak jalanan di lampu merah. Mungkin kota ini sudah uzur…
***
Citra itu terasa kian luntur ketika melihat seorang anak muda asyik melinting daun kering seperti tembakau di sebuah kost. Terlihat amat asyik jari-jari tangan anak muda yang kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama itu menyelesaikan gulungan kecil di tangannya. Itulah daun ganja kering yang sudah diracik, katanya, membawa kenikmatan. Daun kenikmatan yang datang entah dari mana. Katanya dari Aceh, tapi laksana hantu ia datang dari Aceh.
“Udin, kuliah jangan main-main. Kalau tidak mampu katakan saja. Lebih baik mundur sekarang dari pada nanti tidak mendapat gelar sarjana. Lebih baik ikut ayah mencari ikan,” ujar ayah Udin, anak muda itu, ketika mengantar Udin ke kota I ni. Waktu itu, Udin sangat menghayati apa yang diucapkan ayahnya. Ia berjanji akan belajar dan mengejar prestasi.
Jauh-jauh datang dari kepulauan, ia merantau ke kota ini dengan membawa harapan orang tua. Seperti banyak remaja yang datang ke kota ini, membawa ambisi orang tua agar anaknya menjadi orang yang berguna dan mandiri.
Sampai di kota ini, untuk sekian lama, Udin tak mengingat pesan itu. Ia telah terpuruk dalam kenikmatan malam. Kota yang menurut ayahnya dulu adalah kota pelajar, kini tak ada lagi ditemukan Udin. Tempat ayahnya yang sempat mengenyam pendidikan setingkat SLTA beberapa puluh tahun silam.
Udin memantik api ke gulungan ganja yang baru saja linting tadi. Seperti alu kecil, di bagian yang dihisap pemuda berambut gondrong ini lancip, sementara di bagian ujung yang dibakar agak besar. Udin mulai menghisapnya dengan syahdu. Udin mulai menerawang. Diiringi lagu house dari tape recorder di sudut kamarnya. Ada bidadari yang mengelilinginya, ada surga yang tak terbayang bagi mereka yang tidak pernah mengisap daun kering itu.
Itulah Udin, dalam hari-hari kuliahnya di kota ini. Penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Seperti sudah lupa dengan niat pertama ia datang ke kota ini. Sementara, sang ayah penuh harapan menunggu dari semester ke semester kuliah sang anak. Ayah Udin cukup bangga menceritakan kuliah anaknya. Orang-orang pun hanya melongo jika ayah Udin menceritakan berapi-api, tentang jurusan yang diambil si Udin. Walau sudah beberapa kali diceritakan dengan orang yang sama, ayah Udin tetap bersemangat. Orang pun tak mau gegabah mematahkan cerita itu. Di kampung, Udin, sehari-hari juga dipanggil Ucok. Menurut teman-temannya, Ucok singkatan dari usia cukup otak kurang; kalau Udin; Udah itam norak lagi. Ia anak manja. Apa yang dipinta kepada ayahnya bisa dapat. Mulai dari tape recorder, sepeda motor sampai telepon seluler. Mewah memang. Maklum anak orang kaya di kampung nelayan kepulauan tersebut.
Begitulah Udin, sehari-hari tak lagi bercengkrama dengan mata kuliah yang mampu memusingkan kepala. Menurutnya, segala rumus dan teori di bangku kuliah kadang-kadang tidak realistis. Tak sama dengan rumus hidupnya yang amat ringan, simple. Bangun tidur, seduh teh manis, lalu melinting ganja, hisap, seterusnya mabuk. Ketawa sendiri atau mengajak teman. Itu saja rumus hidup pemuda ceking, berambut gondrong dan bermata sayu itu.
“Yang penting rasanya,” celoteh Udin antara sadar dan tak sadar.
Berbilang hari, berbilang bulan bahkan berbilang tahun. Udin cukup menikmati perjalanan hidupnya. Walau dengan segala dosa-dosa yang sangat ia sadari kepada orang tuanya. Dimana semua janji telah ia langgar demi mimpi-mimpi yang didapatkan ketika pikirannya melayang-layang dibawa bidadari dari asap-asap yang dihisap.
Di sudut kamar, berbagai koleksi botol minuman tersusun rapi dihiasi bunga edelweiss. Mulai dari bersegi empat sampai berbentuk ceper. Ini berbeda dari kamar mahasiswa yang biasanya tersusun rapi buku-buku pemikir terkenal atau teori-teori mutakhir. Ya, kamar Udin memang lain. Di mana, setiap sudut kamar penuh coretan abstrak dengan siluet perempuan. Sebuah bentuk suasana yang lain, mengarah kepada hal yang magis dan penghambaan modern. Menurut Udin, itulah suasana terbaik, seperti suasana surga baginya.
Di atas tape recorder, ada televisi yang menyala walau kadang tak bersuara. Volumenya memang dikecilkan, karena ada suara musik house membuat Udin geleng-geleng kepala. Terlihat nikmat sekali.
Pada dasarnya Udin mahasiswa cerdas. Dalam tas yang tergantung di dinding dan sudah lama tidak disandangnya, ada beberapa buku sastra yang ia minati, entah dibaca entah tidak. Tampak buku sayap-sayap patah, sang nabi, karya Kahlil Gibran yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam satu halaman buku sayap-sayap patah, terselip satu lembar kertas yang ditulis Udin ketika kuliah semester pertama. Di sini kutemui arti hidup ini/ menjejal hari-hari dengan kebebasan/ kenapa harus ada aturan ketika cinta tak membatas hari/ kekuatan segenap cinta yang ada ini tak untuk siapa/ Aku menemukan damai di udara pagi tanpa ada siapa-siapa/Kenikmatan hadir dari hati bukan dari siapa-siapa/kesendirian mungkin lebih berarti…
Sebuah ungkapan yang memang masih terpecah-pecah. Tapi Udin mungkin ingin memulai menulis. Sayang, kini hobi mabuk. Atau mungkin ia mendapat inspirasi ketika mabuk. Seperti seniman-seniman tua yang pernah ada. Mabuk dulu baru menulis.
Tulisan Udin berlanjut satu bait seperti ini; Jangan percaya dengan segala macam ritual bernama adat budaya jika sudah berbumbu rupiah. Memang kehormatan dipegang cerdik pandai, ninik mamak, tapi kadang-kadang cerdik berbumbu licik.. ini terjadi ketika cinta dipisah budaya).
Tulisan terakhir cukup mengarah, mungkin Udin sedang putus cinta. Ya, Udin sedang berproses menuju pelaminan. Entah itu pelaminan kehancuran atau kesuksesan, waktulah yang menjawabnya. Hidup adalah proses, dimana jiwa diasah dengan persoalan-persoalan. Tantangan-tantangan. Bukankah begitu…
Ketika berita kriminal dari televisi, Udin mematikan tape recorder, ia besarkan volume televisi. Ada rasa bangga ketika mendengar perampok ditembak, pengedar shabu-sabu kabur lewat jendela ketika digrebek aparat, polisi tertipu dan segala macam bentuk kriminalitas yang hidup di masyarakat. Udin, setengah sadar tertawa mendengar seorang pelacur dijatuhkan dari lantai tiga sebuah diskotik. Apalagi mendengar seorang anak kecil harus mencuri seekor kambing untuk membeli mobil remote yang sedang ngetrend dimainkan anak-anak dan bapak-bapak.
Tapi, jauh di sudut hati Udin, sedikit demi sedikit terbawa rasa takut. “Kapan giliranku,” gumamnya setengah sadar. Apalagi mendengar temannya berhasil dibekuk polisi karena mengedar ganja. Teman sekampus tempat ia sering mengambil barang haram itu. Rasa takut itu makin lama makin mendera, mendesak pemuda bertindik telinga dan hidung itu menutup pintu jendela rapat-rapat.
***
Pagi yang indah sekali. Udin bangun dan langsung mandi. Wajah yang kuyu tampak terpaksa segar karena rambut gondrong itu dibasahkan. Teh manis hangat baru saja ia seduh, sebatang rokok mild terselip di tangannya yang kurus. Trek, pemantik api dihidupkan, ketika rokok sudah terselip di bibirnya yang menghitam. Udin menikmati sisa-sisa mabuk semalam. Terasa ringan tanpa beban pagi yang indah ini. Diiringi alunan lembut nan syahdu tape recorder, Udin seperti menunggu, menunggu seseorang…
“Tok, tok,” pintu kost Udin diketuk. Seorang perempuan langsung masuk ke kamarnya. Entah siapa, seperti sudah terbiasa, mungkin pacarnya. Pagi yang mungkin sudah ditafsir Udin sebagai pagi yang cerah. Atau hari yang sudah sangat ia ingat. Sebuah rutinitas penting bagi kehidupannya. Perempuan berwajah tirus, mata sayu dan rambut sebahu itu tersenyum sinis masuk ke kamar Udin. Udin pun seperti tak menanggapi kedatangan perempuan itu. Udin terlalu simple. Cinta tak penting kecuali uang.
Entah berapa banyak perempuan itu harus berkorban untuk merebut hati Udin, namun ia tetap dingin. Bagi Udin, entah dimana seorang perempuan mendapatkan uang, yang penting bila ia membutuhkan harus ada. Bagi perempuan itu, mungkin tertarik dengan Udin karena gagah walau terlihat kuyu dan layu, tipe pemuda yang modis. Sejiwanya bathin mereka tentang kenikmatan.
“Jika tidak hubungan kita cukup sampai di sini,” ujar Udin ketika ia mendesak pacarnya yang kurus kering itu mengeluarkan uang.
Sudah beberapa menit duduk menikmati film kartun, keduanya tetap diam. Perempuan itu mengambil rokok mild di atas meja. Tanpa sungkan menyaingi Udin menghisap nikotin. Ada kenikmatan tak terbayangkan dari hisapan itu. Wajahnya hilang ketika asap dibiarkan keluar dari mulutnya tanpa dihembus. Sebuah acting yang mahir ia perankan.
Jeda film, iklan berlalu…
“Bang, saya terlambat,” ujar perempuan itu membuka percakapan.
“Terlambat apa?” Tanya Udin setengah tidur.
“Ya, terlambat bulan,” tegas perempuan itu sembari meletak abu rokok yang sudah panjang ke asbak.
“Aborsi aja,” ujar Udin singkat.
“Takut bang, udah beberapa kali,” jawab cuek.
“Periksa aja dulu, kalau memang positif, langsung saja cari jalan keluarnya. Entengkan?,” Jawab Udin santai.
“Abang mau bertanggungjawab kalau dibiarkan sampai melahirkan?” tanya perempuan itu seadanya, tapi cukup serius buat Udin.
Lamat-lamat Udin memandang wajah gadis yang kuyu tersebut. “Linda, sudah kukatakan berkali-kali. Dalam sepuluh tahun ke depan saya tidak akan menikah. Saya harus menunggu jiwa saya benar-benar mantap. Ekonomi sudah mantap, kuliah selesai,” jawab Udin serius.
Linda diam seribu basa. Ada pikiran lain yang sedikit demi sedikit menambah berat kepalanya. Sudah begitu lama ia tak didatangkan pikiran-pikiran yang memberatkan otaknya. Hari-hari ia lalui bersama Udin dan teman-temannya tak pernah memikirkan hal seperti ini. Semuanya enjoy. Mulai dari mabuk bersama sampai seks, adalah bukan hal berat yang harus dipikirkan.
“Jalani saja, hidup ini indah,” begitu katanya ketika menenggak air bening dari sebuah botol ceper di tempat yang sama beberapa waktu lalu. Linda benar-benar merasa nikmatnya hidup.
Tapi, hari ini ia mulai berpikir sedikit agak berat, walau ingin mempersingkat sehingga tak perlu menyiksa diri dan pikiran. Ia tak bisa simple kali ini. Mungkin memang sudah tak sesederhana dulu lagi. Sudah dua kali menjalankan aborsi, masuk ketiga kalinya adalah hal yang cukup berat baginya.
“Uangku tidak ada untuk aborsi. Bagaimana caranya?” ungkap Linda.
“Minta saja dengan pacarmu yang lain. Mereka pasti mau,” jawab Udin memberi solusi seadanya.
“Ini benar-benar janin darimu bang. Saya tidak berhubungan dengan mereka lagi,” ujarnya ketus penuh harap.
“Mana buktinya?” nada Udin meninggi.
Tampaknya perang tak terelakkan lagi. Udin tak mau terjebak dengan persoalan yang berat. Sebuah pertanggungjawaban. Kali ini Udin yang terbentur pikiran-pikiran berat. Ingin menjadi se-simple mungkin, tapi tak bisa, sungguh tak bisa. Sebuah resiko besar terbayang di sela-sela pikirannya yang menerawang dibawa pesona keindahan alam bawah sadarnya. Ia masih sempat tersenyum, lebih tepat disebut menyeringai.
Keduanya diam seribu bahasa. Sementara, pagi telah pergi, siang datang, senja menjelang. Kamar Udin seperti tak berpenghuni. Ibu kost yang kebetulan lewat di depan kamar tidak menyangka ada kehidupan di dalamnya. Walau ada asap rokok yang diam-diam keluar dari ventilasi. Tidak kelihatan. Mungkin asap terlalu cerdik, atau ibu kost hampir pikun. Entahlah…
Siang berlalu, sore menjelang kamar itu masih tertutup. Musik sudah dimatikan, lampu juga tak menyala. Udin dan Linda masih di dalam. Entah apa yang mereka lakukan, entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin sedang perang. Tapi entah perang apa? Dan sorepun hilang, malampun menjelang. Kota ini mulai malam kembali. ***
Padang, Awal September 2003

Thursday, October 19, 2006

JIWA LAPANG

Filosof politik Niccolo Machiavelli (1469-1527) termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan. Katanya, seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan. Ini terdapat dalam buku The Prince (Sang Pangeran) karya filosof Italia ini. Buku yang mudah dibaca dan terjemahannya dalam banyak bahasa. Pun bahasa Indonesia.
Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya daya menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dikatakannya, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus. Sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari. Kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang.
The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang ”buku petunjuk untuk para diktator.” Tetapi tetap digandrungi. Dan Machiavelli dalam berbagai tulisannya menunjukkan secara umum dia cenderung setuju bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Tetapi dia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer. Demikianlah ia merindukan seorang Pangeran yang kuat yang mampu mengatur negeri dan menghalau tentara-tentara asing yang merusak dan menista negerinya.
Menarik untuk dicatat, meskipun Machiavelli menganjurkan seorang Pangeran agar melakukan tindakan-tindakan kejam dan sinis, dia sendiri seorang idealis dan seorang patriot, dan tidak begitu mampu mempraktekkannya sendiri apa yang dia usulkan. Membaca Machiavelli, saya menangkap dirinya yang tidak punya urusan dengan moral. Baik dan buruk adalah ”baik” untuk kekuasaan. Ukuran jahat atau tidak bukan sesuatu yang penting. Saya jadi ingat pepatah guru, orang yang suka dijajah akan bertemu dengan orang yang suka menjajah. Klop. Ya, kalau begitu tak ada salahnya Machiavelli masih dikenang dan dipelajari.
"Jangan salah kalau setiap kekuasaan cenderung disalahgunakan," kata pengamat politik.
"Makanya, dalam memilih orang berkuasa semestinya dilihat dulu kemampuannya agar tidak mengecewakan rakyat di kemudian hari," ujar pengamat tadi.
Wejangan seperti ini sering terdengar namun tidak pernah saya dengar kearifan dari seorang yang sedang berkuasa untuk jujur menyatakan kekuasaan yang sedang dipegang bukan kekuasaan mutlak.
Tiba-tiba saya ingat Ibnu Khaldun yang berkata, "Aku berlindung kepada-Nya dari peta politik yang kotor dan nista." Ibnu Khaldun jatuh bangun dalam bidang politik. Karier tertingginya, Mufti Agung (Kejagung) Bani Fathimiyah. Sempat pula masuk penjara karena lawan politik. "Artinya, teori agar rakyat selalu dan harus bodoh itu terbukti. Persoalannya sekarang, maukah kita selalu dibodohi dengan sesuatu berjangka pendek?" komentar seorang dosen filsafat.
Saya seperti dungu di ladang buku setelah membolak-balik lembaran demi lembaran. Betapa masih bodohnya saya, semakin membaca semakin terasa. "Oleh karenanya, galilah sampai ke dasar paling dalam. Yakinlah akan keluar daripadanya minyak bumi yang murni dan berkhasiat. Jika penggalian dangkal, gunanya tak ada kecuali untuk saluran comberan," kata ulama tasawuf yang saya temui.
Ia memberi pemahaman, orang berilmu itu akan lapang hati, jiwa dan pikirannya terhadap sesuatu. Ia tidak cepat menolak apalagi langsung memvonis dengan sebuah pendapat. "Belajarlah sampai ke ujung waktu dan usia,"katanya memberi nasehat.
Saya mengangguk bodoh. Kata-kata terakhirnya membawa keyakinan baru terhadap ilmu dan dunia. Tak ada yang final untuk dipelajari dan dunia tidak pernah usai. Jika akal berhenti berpikir, rasa telah tak lagi berperasaan, maka pertanda ajal sudah tiba; mati sebelum waktunya. Sungguh, saya takut sendiri dengan kesimpulan pikiran itu. Mujur seorang teman menyatakan, saya punya kemajuan berpikir. Syukur alhamdulillah. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

Pantai Padang


Pantai Padang























Pantai Air Manis

SAJAK

Pucuk Taraqi

Siapa yang mengembus angin?
Menebar nyanyian terindah daun-daun pagi?
Aku tak tahu selain Dia

Tertinggi aku daki meminjam ar-Rumi, al-Qusyairi, Rabi’ah cinta dan puisi
menakar embun tajalli dalam mimpi
Sutardji Chalzoum Bahri, ar-Raniry, Hamzah Fansuri
mabukku Dia di maqam tertinggi pucuk diam.
Kau terimakah cintaku?
Andalas Ramadhan 1427 H

Kaji Sufi

aku kejar fana’ bermandikan baqa’ berhanduk ittihad
bersebadan dengan-Mu.
Dunia begitu hiruk pikuk mengacau gelombang
terpasang di mahligai cinta kita.
Semenjak tanah buncah menggamang akal dan jiwa tangan
kami menggapai di balik cermin buram tak kenal siapa kami sesungguhnya.

Mengaji alip tiang menuju-Mu
tertawa cinta kita asing di hadapan benda-benda
dan siang gila membayang-bayang kelam.
Andalas Ramadan 1427 H

Duduk Sepi
Karam jiwa tergugat asmara
di ambang pagi imsyak
menyudahi onani

tunggu senja merah di ujung
rindu adzan jauh mengelopak
bunga sedap malam.

Aku tersedak pada sebuah maqam
menghirup desah nafas busuk
milik kami sepanjang hari
lumpur terdalam yang direnangi
menggapai hasrat jiwa-jiwa.

Rindu jua menghancur
dalam hulul agung Hallaj.
Aku pinjam semua
bentuk dan sifat demi keangkuhan sepi.
Andalas Ramadhan 1427 H

Kuncup jiwa

Lalu menuai keangkuhan
dari bilik-bilik kekuasaaan
mengunyah dzikir di lidah kotor
aduh rendahnya kami
dalam bilangan wahdah emanasi-Mu.
Sirat al mustaqim yang ku tuju bergelombang
besar tersebab jiwa korup tak jua mandi zuhud sufi.

Wahai wahdatul wujud
di ujung rinduku kepada-Mu
aku tak memiliki apa-apa
mengajak cemburu sentosa cinta-Mu
kepada siapa saja.
Jiwaku tak kunjung mengembang merambah langit-langit.
Andalas Ramadan 1247 H

Semai Rindu

Sebongkah kalbu
menyusun rindu di musim hujan
kelaparan menunggu tiba kehadirat-Mu
Perjalanan kuasa sebotol minuman mabukku
tak kunjung tiba.

Adzankan klimak syahwatku
menyetubuhi-Mu agar rindu tersemai menjadi suci.

Sebab Hallaj
kau berikan aku pun
meminta biar luka darah airmata
di pelupuk senja ranum mengukir keajaiban.
Biar mereka tahu kita sedang bercinta tuhan.
Andalas Ramadhan 1427 H

Pintu Ma’rifat

Hati ini
tak lelah mengejar-Mu mendingin
diamuk syahwat kekuasaaan
dan keangkuhan meneriakkan
sebentuk cinta dan kesucian.

Lempung ini amis
di titik syahdu dzikir malam
dengan jiwa yang tersisa
menuju zuhud wara’ bila zindiq
aku temui karena tanah
menagih tanah jiwa menagih jiwa
aku tak pun tak punya apa-apa.
Andalas Ramadhan 1427 H

Tempat kembali
Dan daun-daun gugur hancur
ranting-ranting kering merinding
dahan dahan bertahan rintihan
dan
Daun baru tumbuh lagi rindang
kembali setia bermusim semilir
tiupan bayu lagu kenangan
riquem syahdu pilu senyum merindu.
Tak jua tahu di balik
keagungan musim kemana aku nak kembali.
Andalas Ramadan 1427 H

BERTIGA: NUZRAN JOHER

Anggota DPD RI, Nuzran Joher (tengah), Hadi Sastra Wijaya (kanan), Abdullah Khusairi (kiri). Pertemuan singkat penuh makna setelah berpisah pasca Reformasi 98.

ZIKIR PIKIR

Suatu hari beberapa puluh abad silam, di Semenanjung Asia Kecil, sekelompok warga Kota Athena mengemukakan pertanyaan. Mengapa alam semesta ini begitu teratur? Berubah dalam keteraturan pula. Sejak kapan alam ini ada?
Pertanyaan ini beranak pinak menuju puncak tanya yang paling tinggi dari waktu ke waktu meminta jawaban.
Tetapi jawaban itu tak pernah mencapai puncak. Ia justru tenggelam dalam lembah keraguan. Lahirlah novel, sajak, nyanyian tentang alam, dewa, asal-usul. Mitos dan dongeng berkembang biak sampai kejenuhan zaman.
Zaman kejenuhan dongeng-dongeng itulah datang orang bernama Thales (624-548 SM) yang berpendapat agak menjawab persoalan, alam ini hakikatnya adalah air (arche is water). Ia mengatakan sesuatu yang ada adalah air. Karena dia anak nelayan. Sedangkan Anaximandros menyatakan, sesuatu yang paling awal dan abadi (arche is to apeiron). Lain pula Pythagoras yang mengatakan hakikat alam semesta adalah bilangan. Demokritos menjawabnya dengan atom. Hakikat alam semesta adalah suatu benda yang terkecil (atom). Mereka ini pada masanya, punya alasan yang masuk akal. Mereka diamini pada masanya.
Di sinilah awal berkembang ilmu pengetahuan. Berawal dari mitos ke logos. Tak lama setelah itu, logos menghapus mitos dan mengorbankan Socrates (469-399 SM). Socrates dipaksa minum racun karena mempertahankan pendapat.
Setelah itu muridnya, Plato(427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) meneruskan budaya berpikir logis sang guru. Pasang surut sempat terjadi di negeri Yunani dan pernah dipegang oleh bangsa Timur. Mesir sedang jaya, Cordoba dan Bagdad sedang berkuasa.Muncullah nama al Kindi (806-873), al Parabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), Al-Ghazali (1058-1111).
Dan hingga hari ini perkembangan begitu pesatnya. Ilmu pasti melaju tak tertahan. Humaniora menemukan jalannya menelaah fenomena hidup manusia.
Mencermati hal semacam ini, di tengah hiruk pikuk pembangunan berbasis ekonomi rakyat. Wacana masa depan terindah dan segala macamnya. Saya jadi berpikir, apa benar sebuah impian politik bisa dicapai dengan kekuatan yang tidak sesuai kenyataan. Apa mungkin bisa terjadi bila program tidak diikuti dengan implelemtasi yang terukur? Bagaimana mungkin jika hidup hanya disandarkan pada kemampuan berpikir? Mengedepankan fisik dari pada jiwa dan nurani?
Saya lalu bertanya dengan siapa saja yang dianggap bisa menjawab pertanyaan tadi.
"Anda salah lihat. Program kita banyak yang sukses. Tidak di kota tapi daerah terpencil."
Saya manggut-manggut. Kenapa sampai yang jauh-jauh program dilancarkan sedangkan di pelupuk mata tidak diapa-apakan. Kenapa warga miskin sampai diusir hanya karena tidak ada legitimasi. Bukankah legitimasi dihadirkan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk menyengsarakan rakyat?
Kenapa penegakan hukum dan pengentasan kemiskinan tidak pernah mencapai titik kesuksesan.
"Itu lain masalah. Setiap daerah punya program tersendiri. Sedangkan kita tak punya wilayah.
Wilayah kita justru tataran koordinasi dan konsolidasi."
Tak puas mendengar apologi saya minta pendapat kepada seorang akademisi. "Berpikir tanpa zikir berbahaya. Berzikir tanpa pikir juga berbahaya. Oleh karenanya, keduanya harus sejalan."
Mendengar itu saya mendapat kearifan. Tentang pikir, logika yang dikembangkan beberapa abad sebelum masehi. Pada
kenyataannya membutuhkan etika. Logika dan etika juga harus sejalan.
"Betapa kacaunya kita kalau keduanya tidak ada. Sangatlah penting keseimbangan dua hal tadi dalam diri manusia. Jika tidak, akibatnya akan fatal kemudian hari."
Akademisi itu mengutip Teknologi dan Hari Depan Manusia dari MT Zen (Obor Indonesia 1981), ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyodorkan surga dunia. Sedangkan agama memberikan surga akhirat. Persoalan ini masih berjalan pada tataran ideologis. Pengaruh seperi inilah sekarang tari menarik pada pikiran manusia.
Saya puas dengan jawaban tersebut. Tapi tak lama karena di sebuah lapau saya dapatkan
ungkapan yang menyakitkan.
"Sayangnya sekarang sering terlihat, berzikir karena uang, berpikir karena uang." Orang itu berlalu meninggalkan
rasa geram pada saya. Saya pikir benar juga. Nauzubillahiminzalik. []
abdullah_khusairi@yahoo.co.id

Tuesday, October 17, 2006

SENTOSA ISLAND SINGAPORE






Perjalanan selalu menyisakan kenangan. Sentosa Island sebuah tempat menyenangkan. Kemasan yang mengesankan. Padahal, alam seperti tidaklah berbeda dengan negeri gemah ripah loh jinawi, Indonesia tercinta. Foto diabadikan oleh Cris Independen, wartawan Independen Jambi, April 2005, perjalanan itu masih membekas….  

SASTRA-CERPEN

BONEKA PINGUIN

Cerpen Abdullah Khusairi


BEBERAPA minggu belakangan banyak sekali boneka pinguin dijual di jalanan. Bentuknya indah dan lucu. Besar dan berwarna-warni. Sepuluh, lima belas, dua puluh, berjejer rapi seperti beranak pinak menunggu pembeli. Kalau angin bertiup karena kenderaan yang lewat, mereka tampak kompak seperti dikomando rebah ke kiri, ke kanan, ke depan ke belakang. Aduhai indahnya.


Setiap melihat boneka pinguin itu entah kenapa aku jadi ingat anakku, Eni, yang berumur tiga tahun setengah. Dalam pikiranku, pasti ia bahagia kalau aku belikan dia satu buah boneka pinguin itu. Kalau aku beli, pinguin sebesar badan Eni itu, pastilah ia tak mampu mengendongnya seperti boneka-boneka yang pernah aku beli, paling-paling ia mampu menyeretnya kalau ingin memindahkan boneka itu.


“Lima belas ribu bang,” jawab penjual boneka ketika kutanya kemarin, aku benar-benar tak tahan untuk membelinya untuk anakku. “Tak kurang?” tanyaku lagi.


“Tidak, harga pas,” jawabnya sembari memompa pinguin baru.

RASA AMAN

Sesuatu terasa sangat berharga jika ia sudah tak ada lagi. Jika ia ada, sepertinya tak berharga atau kita sendiri kurang menghargainya. Begitulah sifat manusia, kurang menghargai setiap nikmat yang sudah didapat.


Sekedar misal, kesehatan jasmani dan rohani yang disepelekan. Tidak olahraga (untuk jasmani) dan tidak pula berdoa dan ibadah (untuk rohani). Padahal, keduanya adalah kebutuhan jasmani dan rohani.

Hal itu pula yang terjadi dalam keseharian kita akhir-akhir ini. Rasa aman yang kita miliki selama ini seperti tak begitu berharga. Kita tak perlu mengingat-ingat Pemilik rasa aman, seperti kita melupakan pentingnya kesehatan. Padahal, kita meminjam rasa aman itu dari pemiliknya. Kita pinjam semua nikmatnya. Rasa aman, rasa bahagia dan sekaligus rasa takut. Itulah fitrahnya manusia.

Akibat tidak terlalu mementingkan dan tidak merasa pentingnya rasa aman yang telah terpinjamkan, maka kita poya-poya 'kan rasa aman itu. Kita cari rasa takut, seperti berminatnya kita dengan film-film horor. Kita seakan-akan dibawa untuk takut. Secara sadar, kita membutuhkan rasa takut itu.

Seterusnya kita tak beribadah untuk mensyukuri nikmat rasa aman itu. Karena memang kita tak merasakan harga sebuah rasa aman. Atau juga---bagi yang belum merasakan sakit---menyepelekan sehatnya diri kita selama ini.

Di atas kelengahan dan kealfaan itulah, datang cobaan dari Allah SWT. Rasa aman yang ia miliki ditarik ke pelukan-Nya. Maka muncullah rasa takut kita yang amat dalam. Sebenar-benar rasa takut. Tidak ada seperti rasa takut menonton film horor. Itulah peristiwa gempa dan isu tsunami yang membawa kita kepada rasa yang tidak aman sama sekali ketika kita menginjak bumi ini.

Sungguh, semua yang kita nikmati ini adalah Kemurahan (rahmat) dari Allah SWT. Tetapi, karena terlalu dekat dan banyaknya nikmat itu, kita sepertinya melupakan siapa sebenarnya yang telah memberikannya. Kita pun melupakan perjanjian ketika dihembuskannya roh kita di dalam rahim dulu, bahwa kita mengakui kekuasaan Allah SWT.

Ya, bahasa agama disebut Iman dan Taqwa. Kita tidak melaksanakan apa yang telah diwajibkan. Malahan kita meremehkannya. Kita lalu sadar, rasa takut dan cemas yang selama ini terkubur dalam ketamakan, hura-hura dan dosa, bangkit mengisi setiap sel benak kita semua. Rasa aman pun pergi dari diri kita menuju pemiliknya, Allah SWT. Inilah yang terjadi. ***
abdullah.khusairi@gmail.com

PLAY STATION

"Hiyat... Hiyat..."
"Ayo..., lawan, awas...., Ciat..."
"Your Lose..." Suara dari mesin canggih terdengar menggema di dalam ruang kecil itu, permainan Adek dan Opich berakhir. Adek kelihatan kusut, manyun, sementara Opich senyum puas, lawannya dapat dikalahkan.
"Masih sanggup?" Tawar Opich. Ada kebanggaan dan tantangan dari nada suaranya.
"Masih...!" Jawab Adek mantap. Penasaran!
Mereka kembali bertarung lewat mesin yang diberi nama Play Station itu. Di monitor kelihatan orang jagoan sedang bertarung, masing-masing dikendalikan oleh Opich dan Adek. Mereka berdua baru kenalan satu jam yang lalu, saat akan main. Saking asyiknya mereka tidak mempedulikan situasi di sekeliling, mata mereka melotot ke layar monitor, sedikit saja lengah akan berakibat fatal. Kalau. Dan bayar biaya rental!
Dua puluh menit berlalu, Adek kembali kalah, kali ini lebih parah lagi. Tak satu point pun dapat diraihnya. Adek panik. Panas!
"Oke.. Aku angkat topi, kali ini...," Ungkap adek kecewa berat, setelah mendengar peringatan Game Over dari sound speaker. Tapi dari nadanya masih ada dendam. Ia mundur.
Kali ini ia diganti oleh Ana. Cewek putih berkacamata minus, mata sipit, manis dengan rambut sebahu. Opich grogi. Apalagi saat Ana mengulurkan tangan mengajak kenalan, sebelum menyentuh stick.
“Ana..”
“Opich...” Jawab Opic, dingin.
“Mari kita mulai...,” Tantang Ana.
“Oke..!” Opich mantap.
Opich mempersilahkan Ana memilih menu lebih dahulu. Setelah Ana mengangguk tanda selesai, Opich baru memilih menu. Kali ini jagoannya dipilihnya Hercules !
Pertarungan dimulai, keduanya tenggelam di dunia itu. Yang terdengar hiruk pikuk mesin. Mulai dari balapan sampai pertarungan. Dari permainan Opich dan Ana terdengar suara gebukan, tendangan, sesekali pekikan. Auh! Tanda ada yang kena sasaran. Mereka begitu asyik! masuk dalam dunia fantasi itu. Sementara asap rokok menebar di seluruh ruangan disapu oleh kipas angin. Pengap! Semua itu demi mencari gelar, "Gammer Mania Sejati"
Seperempat jam berlalu, Ana langsung kalah. Ana ngotot sendiri, mengutuk diri, lalu meneruskan ronde demi ronde. Pada ronde terakhir kedua pemain itu tegang. Penentuan gengsi. Siapa yang terbaik di gelanggang ini.
Dan...Ternyata Ana kalah! Opich cukup puas dengan permainannya sendiri. Adek sudah dikalahkan. Ana tumbang.
Ia mundur. Menarik diri. Puas! dipersilahkannya kepada yang sudah lama antri ingin memegang stick. Selanjutnya, ia raih teh botol dari kulkas dekat pintu ruang rental Play Station itu.....
***
Pukul dua siang. Adek berjalan lesu pulang ke rumah. Masih pakaian sekolah. Sampai di rumah, seperti biasa di rumah sepi. Ayah dan Ibunya pulang sore dari tempat pekerjaan. Adek masuk kamar dan ganti seragam abu-abu ke pakaian santai. Selesai ganti pakaian ia menyelinap masuk kamar ibunya, hati-hati sekali. Rupanya ia mulai operasi, memeriksa kantong baju, celana ayahnya yang sedang tergantung. Mencari sesuatu. Pindah ke lemari pakaian, menyibak pakaian yang telah rapi dilipat. Membuka laci. Dan ia menemukan buku belanja ibunya. Dari tengah buku itu, ia mencabut uang pecahan dua puluhan ribu. Cepat-cepat ia susun kembali apa yang sudah dibukanya tadi seperti semula. Menutup jejak. Ada rasa bersalah di bathinnya, namun cepat-cepat ia buang perasaan itu.
Ia tetap tak bisa, akhirnya ia ingat masa kecil sampai ia kelas dua es em u ini. Ia tidak pernah melakukan hal seperti ini. Ayah ibunya sudah begitu percaya dengannya, adik-adiknya, mereka sudah tahu perangai semua anak-anaknya. Tidak ada yang maling...Tak ada yang membelanjakan uang SPP. Semuanya rajin sekolah dan berprestasi. Tapi.., perasaan itu kalah seketika kala ia ingat, ingin menjadi Gamer Mania dan kata-kata tantangan Opich, lawannya.
Tanpa mampir ke meja makan, ia keluar kamar langsung menuju paviliun mengambil sandal dan siap terbang....
"Hait... mau kemana...?!" Sari adik Adek yang masih di es em pe itu mengejutkan datang dari dapur. Adek salah tingkah. Sedangkan Sari ngakak...Tanpa ada rasa curiga sedikitpun.
"Tadi ada telepon dari Desi.."Kata Sari.
"Apa pesannya.."
"Er, i, en, de, u, Rinnnnndu..!"
"Yang benar aja, pesan orang jangan dibuat-buat, dosa! Tau?!" Protes Adek.
"Benar.. Nggak percaya ya udah.." Sari meyakinkan.
"Bilang aja aku sedang sibuk."
"Uh.. Sibuk melulu, emang kegiatan apa sih, nggak kelihatan hasilnya ?!" Oceh Sari sambil berlalu ke kamar.
"Mo' tau aja..!" Pekik Adek sambil keluar.
Tak sampai sepuluh menit Adek berjalan, Cowok itu sudah duduk di depat layar monitor play station kesayangannya. Ia tenggelam dalam dunia virtual itu.
***
Hari ini, Adek cabut dari sekolah. Kini lebih parah, sudah sering cabut demi mencari nama di Play Station itu, teman-teman di sekolah pada kehilangan Adek, hampir saja setiap kegiatan gagal, sebab biasanya Adek terlibat selalu. Cs-nya bertanya-tanya, mencari jejak sang macho, jago basket andalan sekolah. Tapi percuma... Gagal !
Di Rental Play Station, sudah menunggu Opich dan Ana. Ketika Adek datang, jiwa tanding ketiga "Hantu Play Station" itu bangkit. Mereka memang sudah janjian untuk bertarung hari ini. Menentukan siapa yang paling unggul pada permainan ini. Sementara, suasana di Play Station masih sepi. Sebab pengunjung yang biasanya anak sekolah, kini sedang di sekolah.
"Bagaimana memulainya..?"Ana membuka percakapan sambil menghirup teh botol.
"Cabut aja undian..,"usul Adek.
"Oke..," jawab Opich, mantap.
Setelah undian dilakukan Adek dan Ana berhadapan lebih dahulu. Tanpa banyak basa-basi mereka mulai... Pada posisi ready, mereka sudah menerjang, memukul, salto, menangkis, maju, mundur. Sangat lincah. Tak sedetik pun mata mereka lepas dari layar monitor demi mengontrol permainan. Hingga sampai pada Ronde terakhir.
Ana kalah! Waktu belum setengah jam terpakai. Sesuai perjanjian permainan dilanjutkan batas waktu satu jam, agar pembayaran rental murah dihitung. Sementara, Opich telah tenggelam dengan balapan di layar monitor sebelah. Kadang-kadang tanpa disadari ia menikung dengan diikuti oleh badannya. Perasaan dan imajinasinya benar-benar terbang...
Ana dan Adek masih terlibat pertarungan seru, mereka kelihatannya tegang sekali. Menit-menit terakhir makin mendekat. Sementara Adek unggul dua point dari Ana.
Dan.... "you lose" Suara itu mengakhiri permainan. Layar monitor kelam sejenak. Lalu terang kembali. Kelihatan jagoan yang dipakai oleh Adek berjalan menuju podium diiringi lagu kemenangan, lalu menerima piala. Ana manyun lalu mundur. Kesal sekali. Kekalahan tipis memang menyakitkan....baru saja Opich duduk menggantikan posisi Ana disebelah Adek, di depan pintu rental Play Station itu berdiri ibu Adek dan Desi, pacarnya. Perempuan berdua itu geram, melihat ke arah Adek, tapi diam. Opich mengetahui hal itu, tapi ia tak tahu bahwa itu adalah ibu dan pacar lawannya, Adek.
"Ayo... Silahkan pilih duluan.."Tawar Adek.Sambil membakar rokok mild yang berada di bibirnya. Saat mau membuang puntung korek api tak sengaja Adek menoleh ke arah pintu dimana ibu dan Desinya berdiri.
Dan... Adek terperangah "Hah", setengah tak percaya melihat kehadiran dua perempuan yang dicintainya dan diseganinya itu. Wajahnya pucat pasi seketika itu juga....****
Buat Sriherfiani 'n Andalas 70 G Poeples;
trims supportnya!
Andalas 70 G Padang, Mei 2000

Monday, October 16, 2006

Politik Bahasa Politik

Bagaimana mengemas kampanye yang bisa menghibur. Pendekatan yang tidak menggurui. Sehingga sasaran agar menjadi pilihan rakyat, memenangkan hati rakyat, sampai dan berhasil?  

Mengamati baliho, spanduk, poster, calon-calon yang ada di sepanjang jalan, beragam pesan, model dan warna yang ditampilkan. Tetapi sayangnya, tidak begitu banyak yang memiliki daya tarik. Eye Caching belum terasa. Pengamatan ini setidaknya didasari dari design, performance dan kata-kata yang digunakan.