MAKALAH KULIAH




ABDULLAH KHUSAIRI MADINASTI FATHIMIYAH DI MESIR


Oleh:


Abdullah Khusairi MA


08806804


Dipresentasikan dalam Mata Kuliah


Sejarah Peradaban Islam


Dosen Pembimbing:


Prof. Dr. H Maidir Harun, MA


PROGRAM PASCA SARJANA IAIN IMAM BONJOL PADANG 2007





Keruntuhan sedikit demi sedikit hegemoni Daulah Abbasiyah sebuah konsekwensi dari lemahnya kepemimpinan dan dukungan politik dari berbagai daerah kekuasaan. Tuntutan otonomi daerah bertopeng kepentingan agama demi kekuasaan juga memperlihatkan perannya. Lebih dari itu, tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan masyarakat serta merta mengubah cara pandang yang tidak bisa tunduk dengan kezaliman selamanya.


Di atas puing-puing keruntuhan itu, ada banyak dinasti muncul dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat dari akar kepentingan politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku, ras dan bangsa. Terutama aliran besar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah yang selalu bergesekan dalam bidang politik dan kekuasaan. Aliran ini pada dasarnya, merupakan alasan klasik yang selalu terjadi dalam sejarah Islam.[1]



Menurut Teori Ibnu Khaldun, apabila negara telah berdiri teguh ia dapat meninggalkan solidaritas, dengan sendirinya, rakyat akan membenci negara. Apalagi dengan sistem kerajaan, sifat kekuasaan yang turun temurun memiliki kelemahan apa bila anggota keluarga melupakan solidaritas sosial. Bani Abbasiyah mengalaminya tetapi tidak menjadi pemikiran bagi kerajaan sesudahnya, yang juga besar dari rasa solidaritas ketertindasan. Lebih jauh Ibnu Khaldun menuliskan analisanya:

Demikianlah yang terjadi dengan Bani Idris di Maghribi Jauh, dan Bani Ubaidi (Fathimiyah) di Afrika dan Mesir, ketika Thalibiyyun menyingkir dari Timur, menjadi dari pusat kalifah serta merusaha merampasnya dari tangan Bani ‘Abbas. Hal itu terjadi setelah bentuk superioritas material mengokoh dimiliki Bani Abdi Manaf bagi Bani Ummayyah pertama kali, kemudian Bani Hasyim sesudahnya. Dari daerah yang jauh dari Maghribi, mereka keluar dan mempropagandakan diri. Berkali-kali orang Barbar (Berber) membantu usaha mereka, yaitu suku Aurubah dan Magghilah untuk Bani Idris, serta suku Kutamah, Sanhajah dan Hawwarah untuk Bani Ubaidi (Fathimiyah). Suku-suku ini memperkuat dan memperkokohkan negara dan pemerintahan mereka dengan solidaritas sosial yang mereka miliki. Kerajaan yang bernaung di bawah Bani Abbas semuanya mereka kuasai, pertama yang ada di Maghribi dan kemudian terdapat di Afrika. Dinasti Abbasiyah terus menuju kehancurannya. Sementara itu Dinasti Bani Ubaidi meluas dan semakin melebarkan kekuasannay hingga Mesir, Syria, dan Hejaz. Orang-orang Barbar patuh kepada Bani Ubaidi dan berlomba-lomba---sebenarnya---menduduki jabatan penting sebagai suatu penyerahan kepda kekuatan yang dicapai. Kedaulatan tetapi dimiliki turun temurun oleh generasi mereka, hingga dinasti Arab hancur bersama seluruh marganya. “Dan Allah menetapkan hukum, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. (Q.S. ar-Rad: 41).
[2]


Kata kunci dari kekuasaan bagi Ibnu Khaldun adalah solidaritas, jika ia ada maka terbangunlah sebuah kekuasaan, baik berbentuk dinasti, daulah dll. Hanya saja, seringkali terjadi, generasi sesudah pendiri, yaitu generasi penerus, tidak terpilih atas solidaritas, ia terpilih atas keturunan. Inilah yang membuat kekuasaan bisa melemah.


Makalah ini ditulis untuk melihat lebih dekat salah satu dinasti di dunia Islam yang juga disinggung oleh Ibnu Khaldun di atas, yaitu Dinasti Fathimiyah. Pembahasan akan difokuskan sejarah berdiri, kesuksesan dan kemunduran yang terjadi.



B. SEJARAH BERDIRI DINASTI FATHIMIYAH


Dinasti Fathimiyah[3] berdiri pada tahun 909 hingga 1171 Masehi. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu, sekelompok Syi’ah Islamiyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan bahwa tanah yang tidak bias ditelusuri secara jelas. Namun yang jelas, gerakan ini merupakan cabang dari Syi’ah Islamiyah, yang mengakui enam Imam pertama Syi’ah Islamiyah, namun berselisih mengenai Imam ketujuh. Bagi kaum Imamiyah, Musa al-Kazim putra Ja’far al-Sahdiq adalah imam yang ketujuh, sedangkan kaum Ismailiyah mengakui Ismail sebagai Imam Ketujuh. Bagi golongan Ismailiyah, karena Ismail wafat lebih dahulu dari bapaknya, hak maka yang dinobatkan adalah Musa al-Kazim. Sementara menurut pengikut Ismail, hak atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal.[4]


Sejak pemimpin ketujuh mereka, Ismail meninggal, aktivitas aliran Ismailiyah dimulai karena khalifah-khalifah Abbasiyah mengadakan penyelidikan, maka golongan yang setia kepada Ismail bin Ja’far terpaksa harus meninggalkan Salamiyah, kota kecil di wilayah Hammah, Syria, menuju Afrika Utara. Di sini mereka mulai melancarkan propaganda politik untuk memperoleh dukungan rakyat. Gerakan ini dipimpion oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu Abdullah, yang dikenal dengan sebutan al-Syi’i. Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki kehidupan ekoknomi dan sosial kemasyarakatan, munculnya al-Madi yang akan membebaskan rakyat dari penindasan dan terror, menyatakan bahwa mereka akan lebih dekat kepada Nabi dari pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah.[5]


Menjelang tahun 909 gerakan ini sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari Afrika Utara dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang Ubaidillah yang mereka klaim sebagai al-Mahdi dan Januari 910 menjabat sebagai Amirul Mukminin.[6] Dengan dimikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama, pendukung Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah menjadi pengikut Syi’ah Ismailiyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah yang terdiri dari suku bangsa Arab aliran sunni dan terikat dengan penguasa Abbasiyah. Suku Barbar ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani Ummayyah yang digulingkan Bani Abbasiyah di Baghdad.[7] Artinya posisi saat itu, gerakan ini merupakan oposan dari rezim berkuasa Abbasiyah.


Itulah alasan mengapa Tunisia dijadikan basis untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru, guna menggeser kekuasaan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi besar. Tahun 909 mereka dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani Idrisyiyah yang sedang menguasai Maroko. Perang antar daerah kekuasaan Islam antar dinasti menjadi fenomena yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah sebagai rezim yang berkuasa.


Fokus Dinasti Fathimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fathimiyah puteri Rasulullah dan Isteri dari Ali bin Abi Thalib para khalifah Fathimiyah merujuk asal-asal mereka kepada pasangan suami isteri ini. Sebagaimana diketahui, dinasti ini berakar pada Syi’ah Ismailiyah, para pengikutnya mengharapkan kemunculan Imam al-Mahdi. Mereka mengakui diri mereka adalah keturunan Nabi melalui Ali dan Fathimah lewat garis Ismail putera Ja’far al-Shadiq. Namun kalangan Sunni menolak asal-usul tersebut dan biasanya mereka menyebut Dinasti Ubaidi yang keturunan Ubaidillah, khalifah pertama Dinasti Fathimiyah, bahkan ada yang menuduh mereka keturunan Yahudi, sebagaimana tuduhan kepada Ubaidillah secara pribadi.


Walaupun berambisi untuk mengalahkan kekuasaan Daulah Abbasiyah, namun Fathimiyah tidak menyerang Baghdad, mereka malah terus meningkatkan propaganda dan berusaha untuk menduduki Mesir. Ketika itu Dinasti Fathimiyah dipimpin oleh Khalifah al-Mu’iz, Mesir sedang berada dalam kondisi kacau dan lemah ketika Jauhar panglima pasukan Fathimiyah sedang menghadapi armada Bizantyum di laut tengah. Melihat hal tersebut, maka pada tahun 969, Jauhar atas perintah khalifah menyerbu Fusfat, yang merupakan titik pertahanan paling lemah. Segera setelah itu, dia menyatakan Mesir sebagai benteng kekuatan Ismailiyah.


Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik Dinasti Fathimiyah selanjut adalah mendirikan ibu kota baru yang terletak di Fusfat bagian Utara, yang mereka sebuta dengan al-Qahirah, yang berarti sang penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu menjadi pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah. Disamping itu, dinasti ini jga berupaya untuk menyebar luas ideologoi Fathimiyah ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[8]


Keberadaan Dinasti Fathimiyah berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fathimiyah mengklaim diri sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spritual tertinggi. Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad, tidak hanya dari segi politik, tetapi juga spritual. Sementara dinasti-dinasti kecil lainnya walaupun secara politik melepas dari dinasti Abbasiyah, namun secara spiritual mereka tetap terikat. Inilah yang membedakan Dinasti Fathimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.


Khalifah-khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang yang itu:




  1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi billah (910-934). Pendiri.

  2. Abu Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)

  3. Abh ?ahir Ismail al-Mansur bi-llah (946-953)

  4. Abu Tamim Ma'add al-Mu’izz li-Din Allah (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.

  5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975-996)

  6. Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996-1021)

  7. Abu Hasan Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021-1036)

  8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036-1094)

  9. Al-Musta'li bi-llah (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.

  10. al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.

  11. Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149)

  12. al-Zafir (1149-1154)

  13. al-Faiz (1154-1160)

  14. al-Adid (1160-1171)[9]


Sebagai catatan penting, Dinasti Fathimiyah ini hanya sampai khalifah kedelapan yang memperlihatkan eksistensi politik dan kekuasaannya, selebih dari itu, keberadaannya hanya sebagai dinasti lemah.



C. KEMAJUAN DINASTI FATHIMIYAH


Dinasti Fathimiyah mencapai puncak kejayaannya pada periode Mesir, terutama di bawah pemerintahan al-Muizz dan al-Hakim dengan kota Kairo sebagai pusat pemerintahan. Katika itu di sana terdapat lebih kurang 20.000 toko milik khalifah, yang penuh dengan barang dari dalam dan luar negeri. Tempat pemandian dan sarana umum lainnya juga didirikan oleh penguasa. Istana khalifah dihuni oleh 30.000 orang, 12.000 di antaranya pembantu dan 10.000 orang pengawal berkuda. Tentu bila dibandingkan dengan pola kekuasaan abad ini, justru sebanyak secara langsung pegawai istana pemerintahan, kecuali bila dihitung aparatur pemerintah setiap daerah dari yang teratas hingga paling bawah.


Al-Muiz melakukan tiga kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.[10] Di bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk melaksanakan tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus kepada tentara, personalia iistana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang agama, di Mesir didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan dua lagi untuk Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Dinasti Fathimiyah. Agaknya, menurut penulis, hal ini bisa disandingkan dengan dua organisasi besar keagamaan Islam di Indonesia, yang terbagi dengan sendirinya kekuasaan dan peran yang dimainkan, walau dalam tataran tertentu pergesekannya sangat kentara.


Al-Aziz kemudian memunculkan program baru dengan mendirikan masjid, istana, jembatan dan kanal sehingga Dinasti Fathimiyah akhirnya dikenal dengan kekuatan maritim yang tangguh. Kenyataannya, mereka berhasil membangun pertahanan maritim dan menjadi pusat perdagangan laut ketimbang menyebarluaskan ajaran dan ideologi mereka.[11]


Sementara itu, pada masa Khalifah al-Hakim, mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi, sebuah lembaga dengan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013, al-Hakim membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus (958-1009), seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur waktu. Karyanya, Zij al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Temuan Ibnu Yunus kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan Haitani (965-1039), seorang astronom, fisikawan dan opoteker.[12]


Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut sunni menyeberang ke Syi’ah Ismailiyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adlaah pada pasa khalifah al-Hakim, karena ia melakukan pembantaian terhadap penganut agama Kristen, menghancurkan gereja, membunuhi anjing serta mengharamkan jenis makanan tertentu. Di samping itu, ia memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap gila.[13] Inilah titik awal dan alasan terjadinya perang dingin dan meletus menjadi perang Salib nantinya.


Mesir dengan segera menjadi pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah, menyaingi Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Mesir juga menjadi pusat pengembangan intelektual dan keilmuan dengan keberadaan Universitas al-Azhar (970). Pada awal didirikan hingga dua abad kemudian al-Azhar telah memainkan peranan penting, sebagai pusat propaganda ajaran Ismailiyah oelh Dinasti Fathimiyah, Sampai nanti Salahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjadikan Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah. Namun begitu, Kairo tetap mampu menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam.


Namun pada periode sesudahnya, dinasti ini melemah, terutama saat menghadapi tentara perang salib dan kaum sunni. Disamping itu, khalifahnya sering kali berusia muda dan suka berfoya-foya. Sementara itu, kalangan pejabatan terjadi perebutan kekuasaan.



D. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN


Kemunduran yang dialami Dinasti Fathimiyah sudah mulai ada pada masa al-Hakim Masa pemerintahannya, ditandai dengan sifat aneh, karena ia membuat kebijakan menghancurkan geraca suci di Yerusalem, yang kelak akhirnya menjadi salah satu peristiwa yang melatar belakangi pecahnya perang salib. Ia juga secara umum menyatakan diri sebaga Tuhan, sebuah klaim yang menimbulkan polemik yang dahsyat di kalangan ummat Islam dan ia dipaksa mencabut pernyataan tersebut. Inilah akhirnya menjadi akar melemahnya dukungan politik terhadap kepemimpinan al-Hakim, sehingga pada tahun 1094 terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, al-Afzal Sahinsyah.


Sementara itu terjadi kekacauan sekitar permasalahan suksesi di masa pemerintahan khalifah al-Musta’ali. Nizar, putera Musta’ali yang tertua dihukum penjara hingga meninggal, namun pengikut Nizar mengakuti bahan Nizar masih hidup. Ini menimbulkan kekacauan dan melahirkan dua kubu yang saling bersaing, yaitu kubu Must’aliyah dan kubu Nizariyah.


Kertakan antara Nizariyah dan Musta’aliyah menimbulkan cabang baru Islamiyah. Putraea Al-Musta’ali yang bernama al-Amir menggantikan ayahnya sebagai penguasa di Mesir masih berusia anak-anak, al-Amir akhirnya menjadi korban pembunuhan pada tahun 1130. Sepeninggal al-Amir, Dinasti Fathimiyah samkin mengalami kemunduran. Pada saat itu, timbul pertentangan paham keagamaan antara kalangan penguasaan dengan mayoritas masyarakat yang menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti imam mereka masing-masing dan mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.


Pada masa pemerintah al-Adid, Dinasti Fathimiyah mendapat kesulitan untuk menahan masuk tentara salib ke Mesir. Maka pada khalifah al-Adid meminta bantuan kepada Nurddin Zanki. Nurddin akhirnya mengutuskan Shalahuddin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk menghalau tentara Salib. Karena keberhasilannya, di adiangkat menjadi menteri di Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun khalifah al-Adid amat tua untuk memimpin dan tekanan politik makin tinggi, sementara keberhasila Shalahuddin al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah sangat kuat. Pada akhirnya, Shalahuddin al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri Dinasti Fathimiyah. Kepemimpin Shalahuddin al-Ayubi mengubah corak kekuasaan sebelumnya Syi’ah beralih ke Sunni. Sehingga disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah. Shalahuddin al-Ayubi sebagai pendirinya.


Sekalipun Fathimiyah runtuh di Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan di Syiria, Persia dan Asia Tengah. Serta ia mengalami perkembangan pesat di India. Artinya, setelah runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih ada dan bertahan, atau setidaknya tumbuh di tempat lain.



E. PENUTUP


Selama dua abad keberadaan Dinasti Fathimiyah menguasai Mesir, telah memberikan sumbangan peradaban yang besar. Kemajuan terbesar adalah memberikan ruang berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu pengetahuan masih terasa hingga kini. Ada banyak ilmuwan yang lahir pada era dinasti satu ini, berbagai bidang ilmu pengetahuan juga menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.


Sebagai catatan penting adalah, dinasti ini telah sukses menyumbangkan peradaban dalam bentuk bidang ilmu pengetahuan seperti mendirikan pusat pendidikan al-Azhar, Dar al-Hikmah dan Dar al-Ilmi. Memiliki dan menciptakan administrasi pemerintahan. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memaksimalkan pengembangan pertanian sehingga Dinasti Fathimiyah terkenal dengan penghasil gandum dan kapas terbesar pada waktu itu.


Terlepas klaim sebagai keturunan nabi yang masih diperdebatkan dan salah seorang khalifah tidak mencerminkan kepemimpinan yang ideal, namun yang jelas sumbangan dinasti ini merupakan sumbangan berharga. Salam. []



KEPUSTAKAAN


Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo, 1995


Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Ahmadie Toha Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006


http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Al-Mahdi_Ubaidillah&action=edit, diakses Senin, 31 Desember 2007, pukul 20.00 WIB.


G. E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, judul Asli, The Islamic Dynasties oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993


Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 2002


W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, diterjemahkan oleh Hartonom Hadikusuma, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990


Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003


Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002


Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979


http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Al-Mahdi_Ubaidillah&action=edit, diakses Senin, 31 Desember 2007, pukul 20.00 WIB.


Josoef Sou’eb, Sejarah Dahulah Abbasiyah II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977


M. Natsir Arsyad, Ilmuwan, Muslim Sepanjang Sejarah, Bandung: Mizan, 1990










[1]Di antara dinasti-dinasti yang melepas diri dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, Dinasti Fathimiyah di Mesir yang langsung mengaku Khalifah, Ikhsyidyah di Mesir dan Syiria, Hamdan di Aleppo dari Lembah Fusfat, Ghaznawi di Ghazna dekat Kabul dan Dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tanban Bani Buwaih. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 1995), hal. 63. Masa 1000-1250 M disebut para serajawran sebagai masa disintegrasi di dunia Islam.





[2]Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Ahmadie Toha (Jakarta: Putaka Firdaus, 2006), hal. 191-192





[3]Di masa Fathimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Pada dinasti ini pula, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa. Klik, http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Al-Mahdi_Ubaidillah&action=edit, diakses Senin, 31 Desember 2007, pukul 20.00 WIB.





[4]G. E. Boswort, Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 17.





[5]Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 2002), hal. 80-81.





[6]W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, diterjemahkan oleh Hartonom Hadikusuma, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 172





[7]Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 19. Lihat juga Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam, (Jakarata: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 97.





[8]Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979), hal. 109.





[9]http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Al-Mahdi_Ubaidillah&action=edit, diakses Senin, 31 Desember 2007, pukul 20.00 WIB.





[10]Josoef Sou’eb, Sejarah Dahulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 234-235





[11]Abu Su’ud, op.cit, hal.92





[12]M. Natsir Arsyad, Ilmuwan, Muslim Sepanjang Sejarah, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 24





[13]Cyril Galsse, op.cit, hal. 97




Comments

  1. woi babayo makalah master mah hehe. Gimana kabar sekarang pak Dul? Dah resmi jadi sastrawan nampak nyo? Tautkan blog buruk aku sebagai kawanmu satu ya. Boleh thooo??
    salam

    semoga blogku juga diblogroll... kabar baik selalu... ayo menulis lagi ya....

    ReplyDelete
  2. informasi agar lebih lengkap lagi ya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

METODE TAFSIR TAHLILI

RESENSI ASMARA DI ATAS HARAM

#DIRUMAHAJA