Wednesday, December 10, 2008

MAKALAH KULIAH






ABDULLAH KHUSAIRI MAHAK ASASI MANUSIA



Oleh: Abdullah Khusairi


NIM 08806804





Islam Sejalan dengan Sistem Demokrasi. Bila anda membaca al-Qur’an, anda kan melihat tak ada satu pun ayat yang bertentangan dengan Hak Azasi Manusia

(Shirin Ebadi)







Sejak dideklarasikan 1948 lalu oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) tak pernah sepi dipersoalkan. Sebagai produk pergulatan pemikiran manusia, ternyata ada banyak celah kelemahan pada bab pasal yang tercantum di dalamnya. Hal ini dibuktikan dengan pergesekan yang terjadi antara aplikasi HAM oleh bangsa Barat dengan pemahaman dari bangsa Timur. Sebagai bukti, standar ganda Amerika dan sekutunya dalam kancah politik internasional banyak berlindung atas nama HAM untuk menyerang bangsa lain ---umumnya negara ketiga mayoritas Muslim---demi kepentingan politik ekonomi.[1]


Pada prinsipnya, HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia karena kedudukannya sebagai manusia. Dalam hal ini, warna kulit, ras, bahasa, dan etnik dihormati keberadaannya karena hak-hak asasi bersifat universal. Dalam konteks ini, di atas kertas, HAM sudah mampu mengakomodasi kepentingan manusia di muka bumi. Seperti hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan hak untuk mendapatkan pekerjaan.[2] Hanya saja ketika tafsiran itu digunakan negara adikuasa, substansi HAM terpinggirkan dengan sendirinya. Persoalan yang muncul adalah persepsi dan kepentingan politik internasional justru melibas semua substansi HAM dengan alasan menegakkan HAM pula. Maka yang terjadi adalah paradok perkembangan pemikiran peradaban manusia. Barat dan Timur yang berbeda persepsi dan kepentingan.




Atas fenomena itu muncul pemikiran untuk membuat HAM “tandingan” versi bangsa Timur. Salah satu jalan adalah menggali kandungan ajaran Islam. Dan memang, jauh-jauh hari sebelum HAM dideklarasikan oleh PBB, Islam telah memberikan ruang yang utuh untuk fitrah manusia. Dimana, hak hidup manusia di muka bumi diatur sedemikian rupa sehingga Islam menjadi rahmatalillalamin.[3] Inilah keistimewaan agama Islam, selalu selaras dengan semua dimensi kehidupan manusia, di segala zaman dan segala tempat. Hal ini telah diungkapkan dalam ayat-ayat al-Quran yang menyatakan kesempurnaan ajaran Islam.


Artinya, ada kutub yang berbeda atas persepsi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini. Versi negara adikuasa bersama sekutunya dengan versi negara ketiga, mayoritas Muslim. Kebebasan dalam kaca mata Barat diterapkan sebagai kebebasan bagi pemerintah Barat untuk melakukan berbagai perilaku hegemoni, infiltrasi, invasi, dan penjajahan. Pemerintah negara-negara adidaya Barat tidak saja melanggar HAM yang selama ini mereka gembar-gemborkan, bahkan juga memanfaatkan HAM sebagai alat untuk mencapai kepentingan mereka. Dengan standar yang mereka buat sendiri, pemerintah Barat memberi penilaian tentang pelaksanaan HAM di negara-negara lain dan kemudian memberikan sanksi, seperti embargo ekonomi atau tekanan politik.


Makalah ini akan mengupas secara ringkas pemikiran HAM dan gerakan intelektual Muslim dalam rangka menegakkan keadilan di dunia dan terciptanya kedamaian di atas dunia.



B. PENGERTIAN


Sebelum dipaparkan persoalan-persoalan urgen seputar isu HAM, ada baiknya menyamakan persepsi tentang dua hal yang akan dibahas dalam makalah ini. Pertama, Islam, sebuah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah SWT kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW,[4] dengan sumber ajaran Al-Quran dan Hadits.


Sedangkan HAM, adalah Hak Asasi Manusia (HAM)---Human Right, hak-hak yang melekat pada manusia, yang dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.[5]


Beranjak dari pengertian tadi, pemahaman terhadap keduanya tidaklah perlu ada kesangsian. Nyaris tidak ada persoalan penting atas keduanya kalau dilihat dari substansi pengertian yang ada di atas. Walau pun demikian, keduanya punya perbedaan dasar. Islam diwahyukan ---sesuai dengan keterangan ayat dan keimanan kita--- tidak diragukan lagi kebenarannya. Sedangkan HAM adalah hasil pergulatan pemikiran manusia---yang terbaik waktu itu--- untuk menyatakan perdamaian dunia dan saling menghormati antar ras, suku dan warna kulit. Tentu saja, HAM perlu diragukan dan ia bukanlah nilai-nilai transeden yang patut diimani. Ia hanyalah kontrak sosial kemanusiaan bangsa-bangsa dunia di bawah lingkup Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Hanya saja, persoalan akan muncul ketika dilihat dalam aplikasi pemahaman HAM dan politik ekonomi Barat. Dimana, pelanggaran HAM justru sering terjadi. Misalnya agresi militer untuk penjajahan.



C. TOKOH HAM ISLAM


Ada banyak cendikiawan muslim yang membicarakan HAM. Baik bergerak secara individu maupun dengan organisasi, namun penulis belum berani memilah menjadi tokoh HAM yang benar-benar berjuang untuk HAM dengan versi Islam.


Salah seorang aktivis HAM di kalangan muslim adalah Shirin Ebadi (56). Sejak Revolusi Iran tahun 1979, ia menjadi aktivis pejuang demokrasi, HAM, pengungsi, wanita, dan anak-anak. Ia wanita muslim pertama yang meraih nobel perdamaian. Ahli hukum, hakim, pengajar, penulis, dan aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dari Iran. Shirin meraih hadiah Nobel Perdamaian 2003. Merupakan wanita Muslim pertama peraih penghargaan Nobel, tokoh Muslim ketiga setelah Yasser Arafat (1994) dan Anwar Sadat (1978), dan merupakan wanita kesebelas setelah Jody Williams (1997) dalam 103 tahun sejarah Nobel. Ebadi terpilih dari 165 calon, termasuk Paus Yohanes Paulus II dan mantan Presiden Ceko Vaclav Havel yang sebelumnya diunggulkan.[6]


Sarjana hukum dari Universitas Teheran yang lahir 1947 ini berjuang selama 25 tahun untuk menegakkan keadilan di Iran, baik dalam tulisan maupun kegiatannya sebagai aktivis HAM. Ebadi dikenal sebagai pribadi yang mengedepankan solusi yang demokratis dan damai atas berbagai masalah serius dalam masyarakat. Dia aktif dalam debat publik dan sangat dikagumi oleh masyarakat di negaranya karena kegigihan membela individu maupun kelompok yang menjadi korban kekuasaan politik dan sistem hukum tidak manusiawi yang dilegitimasi dengan atas nama Islam.


Sementara itu cendikiawan lain yang cukup banyak bicara tentang HAM adalah Gamal Albanna.[7] Tanggal 19-20 Juni 2006 lalu, menyempatkan diri ke Indonesia mengikuti serangkaian acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) II di Hotel Borobudur Jakarta. Pembaharu senior dari Mesir ini lahir 15 Desember 1920. Telah melahirkan banyak karya ini, terus berpikir pembaharuan, salah satunya adalah tentang HAM. Di Mesir beliau telah menerbitkan banyak buku yang sangat kontroversial. Di antaranya, Menuju Fiqih Baru, (Nahwa Fiqhin Jadîd), Islam Agama Ummat, Bukan Agama Negara (Al-Islâm Laisa Dînun Wadaulah, Walâkin Dînun Waummah), Revolusi Al-Quran (Tatswîrul Quran), Dua Pondasi Agung, Al-Quran dan Sunnah, Sebuah Pandangan Baru, (Al-Ashlâni Al-‘Adzîmâni; Ru’yah Jadîdah), Kebebasan Pertama dan Utama (Mathlabuna Al-Awwal Hua Al-Khurriyah, Pluralisme dalam Masyarakat Islam (At-Ta’addudiyah Fil Mujtama’ al-Islâmi) dan masih banyak buku lainnya.[8]



D. GERAKAN UMMAT ISLAM UNTUK HAM


Melihat gerakan ummat Islam dalam menegakkan HAM, ada yang berjuang melalui jalur organisasi dan ada juga secara individu. Tetapi masih belum mampu membuat bargaining terhadap negara Adikuasa yang memegang peran penting dalam menentukan kemana HAM dipersepsikan.


Salah satu perjuangan yang dilakukan Ebadi, sebagai tokoh aktivis yang bergerak secara individu dan organisasi yang dibentuknya, ia terus berkampanye melawan pemerintah yang tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Berkat kampanye yang dilakukan oleh tokoh seperti Ebadi, hukum keluarga di Iran mengalami reformasi, salah satunya adalah seorang suami tidak lagi secara otomatis dapat menceraikan istrinya tanpa membayar uang tunjangan perceraian.


Sebagai seorang muslimah, Ebadi melihat tidak ada pertentangan fundamental antara Islam dengan hak asasi manusia. Atas penghargaan yang diterimanya itu, Ebadi menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi muslim dan mendukung demokrasi. Islam sejalan dengan demokrasi. “Bila Anda membaca Al Quran, Anda akan melihat tak ada satu pun ayat yang bertentangan dengan hak asasi manusia.” Begitu komentarnya paling dikenal.


Pemerintah Iran secara resmi menyampaikan selamat kepada Shirin Ebadi. Meski demikian, kelompok garis keras Iran mengecam keras pemberian Nobel Perdamaian kepada Ebadi. Mereka mengatakan bahwa penghargaan tersebut merupakan dukungan terhadap gerakan sekuler dan menganggap Komite Nobel Norwegia telah menjadi alat politik dan mencampuri urusan dalam negeri Iran.


Ebadi sendiri menilai bahwa dirinya dipilih bukan karena alasan politik melainkan karena dunia menyadari bahwa perdamaian hanya akan terwujud melalui penghargaan terhadap HAM. Ebadi menjadi presiden pengadilan kota di Teheran tahun 1975 tapi kehilangan posisi itu dalam revolusi Islam lima tahun kemudian ketika kaum mullah mengambil alih dan memutuskan perempuan tidak bisa memimpin pengadilan.


Sebagai pengacara ia terlibat dalam beberapa kasus politik yang kontroversial. Ia mewakili para keluarga penulis dan cendekiawan yang dibunuh antara tahun 1999 dan tahun 2000. Ia juga berupaya mengungkap konspirasi di balik serangan terhadap para mahasiswa di Universitas Teheran tahun 2000. Bahkan, ia pernah dipenjara selama beberapa minggu karena membela keluarga korban pembunuhan politik. Bahkan, tahun 2001 lalu, Ebadi sempat dipenjara karena menghadiri konferensi pembaruan Iran di Berlin.


Ia adalah pendiri dan pemimpin dari Association for Support of Children’s Rights. Ia sudah menulis beberapa buku akademik dan artikel yang mengangkat isu hak asasi manusia. Di antara buku-bukunya itu, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah A Study of Legal Aspects of Children’s Rights in Iran (Teheran, 1994), yang dipublikasikan dengan dukungan dari UNICEF, dan History and Documentation of Human Rights in Iran (New York, 2000). Sedangkan artikel-artikelnya banyak mengangkat isu hukum, perempuan dan anak-anak di Iran seperti The Major Legal Problems of Children in Iran, Abolishing Slavery in Any Form, The legal Punishment for Murdering One’s Child, dan sebagainya.


Ebadi mewakili kalangan Islam reformis dan melontarkan pemikiran-pemikiran baru dalam hukum Islam yang selaras dengan Hak Asasi Manusia (HAM) seperti demokrasi, persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum, kebebasan beragama, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Ia memperjuangkan hak asasi manusia yang paling mendasar dan percaya bahwa tidak ada masyarakat yang layak dijuluki “masyarakat yang beradab” kecuali hak-hak perempuan dan anak-anak dihormati.


Menurutnya, kekuasaan politik tertinggi dalam suatu masyarakat harus dibangun dengan dasar pemilihan yang demokratis. Ia lebih memilih jalur dialog sebagai jalan mengubah perilaku dan menyelesaikan konflik.


Ia mengakui tak mudah menjadi wanita di Iran karena hukum yang berlaku di sana. Meskipun begitu, ia bersyukur karena berbagai kesulitan yang dihadapinya baik sebagai wanita maupun ahli hukum justru meneguhkan perjuangannya yang dengan lantang dan tegas menyuarakan tegaknya demokrasi dan penghargaan terhadap HAM. Saat ini, Ebadi bekerja sebagai pengacara dan pengajar di Universitas Teheran. Penganugerahan hadiah Nobel Perdamaian diselenggarakan Oslo, Swedia, 10 Desember 2003.[9]


Ketidakselarasan HAM dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut sebagian bangsa di dunia telah menyebabkan timbulnya keinginan untuk mengamandemen isi deklarasi tersebut. Dalam rangka inilah, pada tahun 1980, Dewan Islam telah mengadakan sidang di London dan menyusun draft Deklarasi HAM Islam Universal. Dalam deklarasi ini terlihat adanya perbedaan pandangan kaum muslimin terhadap sebagian isi Deklarasi HAM 1948. Dalam draft HAM Islam ini disebutkan bahwa HAM dalam pandangan Islam berakar pada kepercayaan kepada Tuhan dan UU apapun yang dibuat manusia harus selaras dengan hukum Tuhan.


Deklarasi oleh cendikiawan muslim ini juga menyatakan adanya pengakuan terhadap hak asasi individu, seperti kebebasan berpendapat, bekerja, memiliki tempat tinggal, hak untuk mendapatkan keamanan, dll, dan semua hak-hak itu diakui oleh semua agama samawi.


Namun ditambahkan, soal aksi penjajahan terhadap sebuah bangsa, perampokan sumber daya alam suatu bangsa, pelecehan terhadap hak-hak asasi suatu masyarakat. Ini dihitung sebagai pelanggaran HAM. Karena pada sisi inilah HAM ala Barat banyak terpelintir. Jika soal penjajahan, perampokan sumber daya alam suatu bangsa, pelecehan hak asasi sebuah masyarakat, kesimpulan yang ada pada kenyataan hari ini, negara-negara Barat penyusun deklarasi ini adalah pelaku pelanggaran HAM terbesar di dunia.


Hasan Rahimpour Azgadi, seorang cendekiawan Iran yang juga konsen terhadap HAM mengatakan, sebagai muslim harus mempercayai bahwa kita dapat memiliki sebuah sistem HAM yang universal, tanpa memperdulikan etnis atau ras. Karena, nabi-nabi Tuhan termasuk Nabi Muhamamd SAW adalah nabi bagi semua umat. Oleh karena itu, bila kita menginginkan terbentuknya suatu UU universal berkaitan dengan HAM, penyusunan UU ini harus memperhatikan kehendak-kehendak fitrah manusia. Deklarasi dan UU HAM internasional yang saat ini sudah disusun oleh Barat tidak memenuhi syarat ini, meskipun ada juga beberapa sisi positifnya. Sementara itu, UU HAM produk Barat tidak memiliki landasan yang kokoh dan logis untuk bisa dijadikan sebagai hukum yang universal dan mengikat seluruh bangsa di dunia. Bahkan, pada kenyataannya, Deklarasi HAM yang disusun negara-negara Barat pada tahun 1948 merupakan hasil dari transformasi AS dan Eropa pada abad lalu dan mengacu pada paham liberalisme dan sekularisme.


Di Barat, HAM, sebagaimana hak-hak lainnya, merupakan sebuah kontrak dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan suara terbanyak masyarakat. Ketika sebuah UU ditetapkan oleh sekelompok orang, ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, mungkin saja orang-orang itu melakukan kesalahan dalam penyusunan UU itu. Kedua, mungkin saja orang-orang itu sepakat menyusun UU yang memenangkan kelompok tertentu. Ketiga, mungkin saja orang-orang itu menetapkan UU dengan mengikuti hawa nafsunya, bukan mengedepankan hati nurani. Dan keempat, tentu saja, karena UU tersebut ditetapkan oleh sekelompok orang, mereka juga berhak untuk membatalkannya kapanpun juga.


Dalam budaya Barat, UU HAM tidak bisa menjadi sesuatu yang suci dan pelaksanaannya tidak bisa menjadi sebuah kewajiban. Karena, sebagaimana kontrak perjanjian sosial lainnya, UU HAM itu bisa dibatalkan atau ditafsirkan sesuai kehendak manusia. Dalam kondisi seperti ini, tak heran bila muncul fenomena legalisasi perkawinan sesama jenis atau pengguguran kandungan di sebagian negara Barat. Menurut sudut pandang mereka, perkawinan sesama jenis merupakan hak asasi yang tidak bisa diganggu-gugat. Begitu pula, setiap perempuan dianggap memiliki hak asasi untuk memilih membesarkan anak atau menggugurkan kandungannya.


Sebaliknya, dalam pandangan Islam, landasan dari UU HAM adalah fitrah manusia. Dengan demikian, segala sesuatu yang berada di luar fitrah manusia tidak bisa dianggap sebagai hak asasi. Selain itu, dalam HAM menurut pandangan Islam, prinsip hidup dan kehidupan memiliki peran penting. Hidup adalah sebuah amanat Ilahi dan tidak boleh disia-siakan begitu saja. Oleh karena itu, pengguguran janin dalam kandungan merupakan sebuah perbuatan dosa dan bertentangan dengan HAM. Sebaliknya, betapa banyak kita lihat hari ini, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara-negara Barat, terutama AS, namun tidak mendapatkan tanggapan yang semestinya.[10]


Dari penjelasan di atas tampak dengan jelas bahwa adalah cukup sulit untuk menerapkan standar human rights yang diformulasikan Barat diterapkan pada kultur non-Barat, termasuk pada masyarakat yang memegang etika religius yang ketat seperti pada umumnya masyarakat Timur.




C. KONSEP HAM DALAM ISLAM


Menurut Islam, setiap individu memiliki hak asasi yang jelas. Namun, individu ini tentu saja merupakan bagian dari sebuah masyarakat dan karenanya, dia harus menjaga hak-hak masyarakat itu. Oleh karena itu, pemerintah harus melindungi hak-hak invidu dan masyarakat sekaligus. Bahkan, dalam Islam, hak-hak yang harus dilindungi oleh pemerintah adalah termasuk hak-hak hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian, dalam pandangan Islam, manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, masyarakat, dan alam sekitarnya.[11] Penulis tidak mengupas dari sisi sosio-historis pada kesempatan singkat ini.[12]


Rahimpour Azghadi mengatakan, HAM memiliki dua batasan, pertama adalah menghormati kebebasan orang lain, dan kedua, melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Tuhan, akal, dan moral kepada manusia. Penekanan Islam terhadap pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan hak adalah poin penting yang tidak banyak diperhatikan oleh Deklarasi HAM versi Barat. Dalam Deklarasi HAM 1948, yang lebih banyak dibicarakan adalah hak-hak individu belaka, namun tidak disebutkan kewajiban individu terhadap masyarakat. Padahal, manusia yang memiliki kehendak dan kemampuan, bagaimana mungkin hidup di dunia tanpa ada tanggung jawab terhadap dunia tempatnya hidup?


Muhamad Taqi Ja’fari almarhum, seorang filosof asal Iran, menyatakan bahwa ada lima tiang utama yang harus selalu ditegakkan dalam sepanjang sejarah manusia, yaitu kehidupan yang layak, kemuliaan manusia, pendidikan dan pengajaran, kebebasan, dan kesetaraan setiap orang di hadapan hukum.


Keistimewaan HAM dalam pandangan Islam adalah keselarasannya dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, nilai-nilai hak-hak manusia dalam Islam selalu sejalan dengan fitrah manusia. Sebagain di antara nilai-nilai ini adalah keadilan, sikap baik kepada orang lain, penghormatan kepada orangtua, usaha untuk mencapai kemerdekaann, dll. Nilai-nilai HAM yang sesuai dengan fitrah manusia artinya tidak terbatas pada bangsa tertentu saja, dan dapat diterapkan bagi semua bangsa di dunia.


Dalam pandangan Islam, nyawa manusia haruslah dijunjung tinggi dan dilindungi. Tindakan membunuh diri sendiri atau membunuh orang lain adalah pelanggaran terhadap HAM. Selain itu, Islam memandang bahwa manusia memiliki dua jenis kehidupan, yaitu kehidupan duniawi dan kehidupan spiritual. Oleh karena itu, Islam memandang kebebasan manusia untuk memiliki kehidupan spiritual sebagai sebuah hak asasi. Hal ini jelas tidak diakui oleh UU HAM versi Barat.


Salah satu prinsip penting HAM dalam Islam adalah melindungi kehormatan dan kemuliaan semua manusia. Dalam pandangan Islam, manusia adalah makhluk terbaik dan khalifah Allah di muka bumi. Dengan demikian, Islam tidak sekedar mengakui hak hidup manusia di muka bumi, tetapi bahkan mensyaratkan agar manusia hidup di muka bumi secara layak dan mulia. Artinya, Islam tidak menghendaki ada sebagian manusia yang hidup terhina, direndahkan, atau didiskriminasi oleh sebagian manusia yang lain.


Harus diakui, pada dasarnya, Islam dan Barat memiliki kesamaan pandangan, yaitu bahwa kebebasan adalah HAM. Namun, Islam memandang bahwa kebebasan adalah alat untuk mencapai kesempurnaan dan kemuliaan manusia. Kebebasan dalam Islam memiliki batasan. Sebaliknya, kebebasan dalam pandangan Barat tidak memiliki batas selain bahwa kebebasan seseorang tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. Akibatnya, di negara-negara Barat, kebebasan diterapkan tanpa kendali.


Dewasa ini, kebebasan itu telah merusak berbagai sendi kehidupan. Misalnya, hubungan seks antara laik-laki dan perempuan di Barat sedemikian bebasnya, sehingga sendi-sendi keluarga menjadi hancur, angka perceraian tinggi, dan banyak anak-anak yang lahir tanpa bapak yang jelas. Selain itu, penyakit akibat pergaulan bebas, semisal AIDS, merebak luas dan merenggut korban termasuk bayi-bayi tidak berdosa sekalipun.[13]


Adalah menarik untuk mendiskusikan hubungan antara Islam dan HAM. Salah satu kesulitan yang dihadapi ketika mendiskusikan hubungan antara Islam dan HAM adalah adanya fakta bahwa dalam Islam ada beberapa mazhab dan aliran pemikiran yang berkembang.


Sampai sekarang, kontroversi antara kaum konservatif dan liberal Muslim tentang hubungan antara Islam dan HAM masih belum berakhir. Namun, untuk menyinergikan dan membangun suatu konsep tentang HAM dengan framework Islami, seperti ditekankan kaum konservatif, masyarakat Muslim telah berhasil menyusun dua deklarasi tentang HAM: The Universal Islamic Declaration of Human Rights yang dirumuskan oleh Islamic-Council Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991 sebagai acuan HAM dalam Islam. Untuk melihat apakah ada kontradiksi antara deklarasi HAM produksi Barat yang dipromosikan PBB dan Islam, beberapa contoh pasal yang diambil dari Universal Declaration of Human Rights dan Universal Islamic Declaration of Human Rights dicoba didiskusikan di sini.


Pasal 16 deklarasi HAM versi PBB menyebutkan bahwa wanita dan laki-laki dewasa, tanpa batasan ras, warga negara, atau agama berhak untuk menikah dan memiliki keluarga. Keduanya baik laki-laki maupun wanita memiliki hak yang sama untuk menikah, selama pernikahan dan hak untuk bercerai.


Pasal ini jelas kontradiktif dengan norma Islam yang melarang wanita Islam menikah dengan non-Muslim. Pasal 18 menyebutkan bahwa, Setiap orang memiliki hak kebebasan untuk berpendapat dan beragama, termasuk hak untuk pindah agama. Hak untuk pindah agama banyak ditentang oleh beberapa negara Islam. Meskipun Al Quran mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Isu krusial tentang larangan konversi agama dari Islam kepada non-Islam masih banyak ditentang dalam konsep kebebasan beragama di negara-negara Islam.


Beberapa pasal dalam Universal Islamic Declaration of Human Rights juga sangat terbuka untuk dikritik. Sebagai contoh pasal 6 menyebutkan bahwa, Wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki, padahal dalam tataran realitas masih ada negara-negara Islam yang memosisikan wanita sebagai makhluk kelas dua. Poin lain yang menarik adalah pasal 23 yang mengatakan bahwa, Karena dalam pandangan Islam negara Islam adalah Ummah Islamiah, maka setiap Muslim memiliki hak untuk secara bebas keluar-masuk negara Islam.


Dalam realitas sosial ummat Islam seperti ini, sangat sulit untuk diterapkan dan penetrasi pemikiran yang final. Sebagaimana dunia global sekarang mengenal batasan negara dan bangsa, tentunya adalah tidak mungkin misalnya, Muslim Indonesia dengan seenaknya keluar masuk Saudi Arabia, Kuwait, atau negara Islam lainnya tanpa memiliki paspor dan visa. Pemaparan di atas dengan jelas mengindikasikan bahwa perbedaan tafsir atas konsep HAM muncul di mana-mana termasuk dalam tradisi Islam.


Sekarang, tantangan bagi Universal Declaration of Human Rights bukan hanya pada tataran konsep "universalitasnya" yang sering dipertanyakan, tetapi lebih penting lagi adalah masalah aplikasi konsep yang harus melintas batas kultur dan masa. Ketika masyarakat global sekarang ini banyak ditandai dengan beragamnya konflik kepentingan, adalah sangat susah ---untuk tidak mengatakan mustahil--- deklarasi HAM versi Islam bisa diterima oleh setiap negara dan diterapkan di setiap waktu dan tempat.


Eggi Sudjana menuturkan signifikansi HAM Barat dan Islam pada posisi akhir dari sekian banyak varian nilai yang disuguhkan keduanya. HAM Barat meletakkan manusia sebagai sentral dari setiap perumusan nilai yang dikembangkan untuk memuliakan manusia an sich. Sementara dalam Islam, manusia hanya unit kecil mikrokosmis dari susunan besar makro kosmis yang meliputi seluruh alam semesta. Keduanya berusaha untuk menjadikan manusia sebagai hamba yang mengabdi kepada Tuhan yang menciptakan alam semesta.[14]


Menurut Gamal Albanna, Islam tidak hanya mengakui paham pluralisme. Lebih dari pada itu, pluralisme merupakan “jantung” dari ajaran Islam itu sendiri. Gamal Albanna merujuk QS Al-‘Ankabut; 46 dan QS Ali ‘Imron; 84. Dalam dua ayat ini menurutnya, seorang mukmin harus beriman kepada semua para Nabi dan semua kitab Tuhan yang diturunkan kepada para utusannya.


Lebih jauh Gamal Albanna menegaskan, pluralisme merupakan kehendak ilahi (irâdah ilâhiyah). Oleh karenanya, dalam Alquran banyak disebutkan bahwa Jika berkehendak, niscaya Tuhan menjadikan manusia satu umat. Namun Tuhan tidak menghendaki kehidupan satu warna. Manusia tidak diberikan mandat untuk menghakimi semua perbedaan itu. Karena, semua manusia akan kembali kepada Tuhan. Dan saat itu, Tuhan akan memberitahukan hakikat perselisihan yang terjadi di antara manusia (ilallâhi marji’ukum jami’ân, fayunabbiukum bimâ kuntum fîhi takhtalifûn).


Gamal Albanna melandaskan pandangannya kepada kaidah yang berbunyi albarâah al-ashlîyah (kebebasan otentik). Kaidah yang cukup populer di kalangan para pemikir Islam ini tidak hadir dengan “sosok kuatnya” dalam kehidupan nyata. Karena dalam kehidupannya, umat Islam selalu dibatasi dengan batasan-batasan hukum seperti haram, halal, mubah, wajib dan lain sebagainya. Padahal, kalau mau jujur, hal-hal yang diharamkan atau dihalalkan secara pasti (secara tekstual) dalam Alquran sangatlah terbatas, bila dibandingkan dengan kebebasan otentik (mubâh). Oleh karenanya, semestinya kebebasanlah yang membatasi hukum halal atau haram. Bukan sebaliknya; halal-haram yang menjadi batasan.


Adapun terkait dengan kebebasan berakidah, Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk menjadi kafir atau mukmin. Landasannya adalah ayat yang menyatakan, barangsiapa mau beriman silahkan beriman, dan barangsiapa menginginkan kekafiran silahkan memilih kekafiran (faman syâa fal yukmin, waman syâa fal yakfur).


Begitu juga dengan ayat yang berbunyi untukmu agamamu dan untukku agamaku (lakum dînukum walia dîn). Dengan berlandaskan ayat terakhir ini, Gamal mensinyalir bahwa agama yang dimaksud bukan hanya agama-agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) sebagaimana disinyalir banyak ahli tafsir, melainkan semua agama. Karena istilah al-din (agama) dalam ayat di atas tidak terbatas kepada agama-agama samawi saja.[15]


Paparan ini menegaskan, HAM dalam Islam sebuah kebebasan untuk hidup, baik individu maupun kelompok dengan sandaran ajaran Islam dan Iman. Menghormati individu dan kelompok lain atas pluralitas yang iradah ilahiyah. Namun tanpa HAM sebenarnya Islam sudah menghormati fitrah manusia. Menjalankan ajaran Islam, artinya dengan sendirinya telah melaksanak HAM.



E. PENUTUP


Hak asasi adalah sesuatu yang melekat pada setiap individu dan merupakan faktor intrinsik setiap manusia sehingga negara harus menghargai hak asasi rakyatnya. Sementara bagi negara-negara sosialis, hak asasi hanya ada dan melekat pada masyarakat dan negara sebagai suatu kelompok, bukan sebagai individu.


Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan adalah perbedaan culture. Adalah perlu untuk dicatat bahwa hampir tidak ada sistem nilai yang bisa disebut universal. Sistem nilai biasanya adalah sesuatu yang dibatasi oleh persepsi budaya.


Kehadiran HAM yang dilahirkan PBB merupakan prestasi yang perlu diapresiasikan secara positif, mengingat kondisi pada saat kelahirannya. Dimana, kolonialisasi dan pasca Perang Dunia II, mimpi hidup damai di atas dunia oleh pemimpin dunia sehingga melahirkan HAM. Dalam konteks ini, HAM berhasil melaksanakan fungsi dan perannya sebagai aturan dunia.


HAM mampu meredam perang dan kini sudah saatnya direvisi karena sudah usang untuk diusung untuk kepentingan politik kemanusiaan. Alasan Negara Barat untuk menegak HAM tidak tepat lagi. Untuk itu, ada baiknya HAM versi PBB ini direvisi lagi agar sesuai dengan zaman sekarang. []













DAFTAR PUSTAKA



Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, Pasing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998).


Ismail, Faisal, NU, Gusdurism, dan Politik Kyai (Yogyakarta: Tiara Wacana. 1999)


Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS 2000)


Lihat Eggi Sudjana, HAM dalam Perspektif Islam, (Nuansa Madani Jakarta, 2002)


Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI-Press, 1985


Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Mizan Bandung 1994)


Rumadi. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. http://www.kompas.com, 5 November 1999.


Wahid, Abdurrahman, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html, 11/9/99


http://id.wikipedia.org/wiki/hak_asasi_manusia


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/21/0803.htm, Jumat, 21 Februari 2003


http://islamemansipatoris.com/artikel.php?id=523


http://www.tokohindonesia.com/aneka/nobel/perdamaian/2003/index.shtml









[1]Dalam diskusi makalah ini, HAM disebut sebagai bagian dari isu global di antara, demokrasi dan ekologi. Isu ini dimainkan untuk memerangi bangsa lain oleh negara adikuasa dan sekutunya. Di samping itu, isu kejahatan dunia yang juga ditujukan kepada dunia ketiga, bangsa dan Negara mayoritas muslim, yaitu, Narkoba, Terorisme dan Korupsi. Untuk konteks Indonesia, yang paling marak pasca reformasi sebagai senjata untuk menyerang dan memecah belah persatuan, kebebasan pers, demokrasi, dan otonomi daerah. Ini harus disadari oleh cendikiawan muslim agar terus bersatu menyadarkan ummat.





[2]http://id.wikipedia.org/wiki/hak_asasi_manusia.





[3]Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Mizan Bandung 1994), hal 213. Lihat QS. Al-Anbiya’: 107.





[4]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI-Press, 1985), Cet. 1 Jilid I Hal 24





[5]Baharudin Lopa, Al-Quran dan Hak-hak Asasi Manusia, (Yogyakarta, Dana Bhakti 1996), Cet. 1, hal 85





[6]http://www.tokohindonesia.com/aneka/nobel/perdamaian/2003/index.shtml





[7]http://islamemansipatoris.com/artikel.php?id=523. Gamal Albanna adalah adik dari pendiri Gerakan Ikhwan Muslimin, Hasan Albanna.





[8]ibid





[9][9]http://www.tokohindonesia.com/aneka/nobel/perdamaian/2003/index.shtml





[10]http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/21/0803.htm, Jumat, 21 Februari 2003





[11] Baharudin Lopa, opcit.





[12] Dari persepsi sosio historis, Nabi Muhammad SAW cukup banyak memperhatikan hal ini. Walau bukan bernama HAM, tetapi sifat dan jenis penghormatan tingkah lakunya sudah mencakup HAM yang dilahirkan PBB. Salah satunya sejarah perjanjian hudaibiyah.





[13]ibid





[14]Lihat Eggi Sudjana, HAM dalam Perspektif Islam, Nuansa Madani Jakarta, 2002





[15]Quraish Shihab, opcit




No comments:

Post a Comment