Wednesday, December 10, 2008

MAKALAH KULIAH

 


MURTADHA MUTHAHHARI
TOKOH INTELEKTUAL IRAN MODERN
Oleh: Abdullah Khusairi, MA
08806804
Dosen Pembimbing
DR. H Syaifullah MA
Matakuliah Pemikiran Modern Islam

Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang 2007


 


Ketika hegemoni Amerika Serikat terhadap negara dunia ketiga makin dominan, salah satu dari negara yang paling berani menyatakan perlawanan adalah Republik Islam Iran.[1] Oleh karenanya, negeri Persia ini selalu menarik untuk diketahui. Dan nyatanya, memang, Republik Islam Iran tidak bisa dianggap sepele. Pemimpinnya memiliki sikap yang berani dan tegas atas hegemoni Amerika Serikat. Buktinya, isu nuklir dan ancaman embargo ekonomi bukan lagi sesuatu  yang dahsyat dipandang para pemimpin Iran.


Dari masa ke masa, negeri ini terus mengukir sejarah sebagai simbol perlawanan kezaliman. Di balik itulah, tersirat bahwa negeri ini memiliki tokoh-tokoh yang berani berjuang sikap dan tindakannya. Dari sini, muncullah pertanyaan penting, ada apa dengan tokoh dan para pemimpin di Iran? Sebuah pertanyaan lugas agaknya, bisa berkembang lebih jauh, kenapa selalu muncul tokoh agresif yang berani dalam menegakkan prinsip? Inilah agaknya titik awal sebagai alasan kita butuh mempelajari lebih dalam semangat Negara Republik Islam Iran. Dimana, mempertahankan sikap merupakan sebuah perjuangan panjang yang mesti dilakukan di tengah tawaran pragmatis dan sesaat.





Negara yang kini dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad ini, terus menjadi fokus penekanan bagi negara maju yang merasa terusik dengan keberanian pemimpinnya. Agaknya, tidaklah berlebihan, bila kita menggali lebih dalam semangat dan pemikiran seperti apa sebenarnya  yang tertanam di negeri yang terlibat perang dengan Irak beberapa dekade lalu.


Banyak pengamat menyatakan, perlawanan Iran terhadap Amerika merupakan simbol perlawanan terhadap kezaliman. Perlawanan terhadap kezaliman adalah di antara karasteristik utama revolusi Islam.[2] Dalam kontek Iran, revolusi Islam merupakan akar dari segala bentuk perlawanan kezaliman di dalam negeri. Kekuatannya keluar batas teritorial sebuah negara. Pun begitu, ketokohan yang lahir dari sini. Dalam rangkaian sejarah panjang negeri yang terletak di Asia Barat Daya ini,  sejumlah tokoh penting lahir dalam menapaki revolusi tata negera dan semuanya berawal dari revolusi pemikiran. Salah seorang yang patut dikenang dan dikenal lebih jauh, awal revolusi hingga runtuhnya rezim Shah Iran, adalah Murtadha Muthahhari. Penulis akan memfokusikan makalah ini untuk tokoh yang satu ini, tanpa mengabaikan sederetan tokoh penting dari negara dekat Teluk Persia itu.


 


B. BIOGRAFI MURTADHA MUTHAHARI


Murtadha Muthahhari termasuk sedikit ulama yang memadukan ciri-ciri keulamaan dan keintelektualan dalam satu keperibadian, di mana ia bukan sekadar mendalami ilmu-ilmu Islam tradisional tetapi fasih berbicara tentang mazhab-mazhab pemikiran barat, lebih-lebih lagi tentang Bertrand Russell. Ini satu kelebihan yang mengagumkan.


Masa hidupnya, hampir sebahagian besar dihabiskan demi merealisasikan sebuah negara yang bercitrakan Islam. Berjuang dengan barisan aktivis Islam lainnnya.


Murtadha Muthahhari dilahirkan pada tanggal 2 Februari 1919 dari keluarga alim di daerah Khurassan, tepatnya Kota Fariman hari Senin, 12 Jumadil Awal 1338 Hijriah. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad Husayn Muthahhari, seorang ulama yang dihormati dan disegani oleh masyarakat setempat. Sejak menjadi siswa di Qum, Muthahhari sudah menunjukkan minatnya pada falsafah dan ilmu pengetahuan moden. Di Qum, Muthahhari menuntut di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini.


Dalam filsafat amat terpengaruh dengan pemikiran Allamah Hussayn Thabathaba’i, yang tercatat sebagai gurunya selain Ayatullah Khomeini. Muthahhari begitu tekun dan pantas menguasai ilmu-ilmu falsafah yang diajarkan. Buku-Buku yang ditulis oleh William Durant, Sigmund Freud, Bertrand Russell, Albert Einstein, Erich Fromm dan para pemikir barat yang lainnya telah ditelaahnya dengan serius sekali. Keseriusan Muthahhari dalam menelaah pemikiran barat bukan karena malu-malu untuk menonjolkan pemikiran Islam, sebaliknya, Muthahhari mencoba untuk melakukan studi perbandingan antara pemikiran Islam dan Barat.


Banyak terminologi Islam telah dikupas olehnya dalam buku-bukunya, sehingga memperlihatkan ajaran Islam yang dinamis dan menawarkan pemikiran alternatif yang aktual, berbanding dengan pemikiran barat  yang dimilikinya.


Muthahhari, pada usia relatif yang masih muda, sudah mampu menurunkan ilmu logik, filsafat dan fiqh di Fakultas Teologi, Universitas Teheran. Dan, dalam waktu yang sama, beliau turut menjawat sebagai Ketua Jurusan Filsafat.


Keaktifan Muthahhari membentuk satu kombinasi ampuh bersama-sama dengan Ayatullah Khomeini dalam kerangka menentang rezim Reza Shah Pahlevi yang zalim dan menindas. Dan ia mesti menerima konsekwensi atas kezaliman dan tindakan refreshif dari rezim berkuasa, ditahan pada 1963.


Ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki, Muthahhari telah diamanahkan untuk memangku kepimpinan gerakan rakyat Iran serta memobilisasikan para ulama dalam melanjutkan semangat perjuangan Islam yang dirintis oleh Ayatullah Khomeini. Langkah-langkah politiknya jelas sekali sangat tersusun dan mengugat. Muthahhari bersama-sama Ali Syari'ati[3] turut mendirikan Husainiyyah Irsyad yang menjadi pangkalan kebangkitan intelektual Islam sebelum revolusi meletus. Di samping itu, Muthahhari yang juga Imam Masjid al-Jawad, dan secara konsisten menggalang dukungan rakyat Iran bagi menyuarakan simpati perjuangan Palestina.


Pasca kemenangan Revolusi Iran 1979, Muthahhari telah dilantik menjadi anggota Dewan Revolusi. Karekteristik yang menonjol pada diri Muthahhari telah menjadinya sebagai seorang ulama yang dinamik, bersandarkan penguasaan ilmu-ilmu Islam. Akhirnya pada 2 Mei 1979, Muthahhari dipanggil pulang dengan percikan darah sebagai seorang syuhada, angkara tangan-tangan ghaib kelompok Furqan. Hari ini, tanpa Muthahhari sekalipun, ilmu-ilmunya masih tetap memancar mengukuhkan lagi khazanah keilmuan Islam.[4] Sosok Murtadha Muthahhari semestinya menjadi inspirasi bagi para pejuang pembaharu Islam. Hanya saja sangat disayangkan ternyata masih ada sebagian kelompok Islam dari kalangan Sunni yang masih menyangsikan dan bahkan beranggapan sinis terhadap pernak-pernik yang berhubungan dengan Syi’ah.


Sebagai bagian dari  akademisi yang visioner agresif, Muthahhari dikenal sebagai pembuka jalan perjuangan pergerakan Islam yang berani. Mengabadikan hal tersebut, penerusnya mendirikan Universitas Muthahhari. Universitas tersebut terletak di samping bekas gedung parlemen pada masa Syah Iran. Tidak jauh dari lokasi universitas inilah tempat syahidnya Dr. Ayatullah Sayyid Muhammad Husaiyn Behesti, yang juga teman seperjuangan dari Murthada Muthahhari. Universitas ini sangat megah dan memiliki gedung-gedung yang tinggi dan memiliki taman yang luas untuk mahasiwa. Namun sayangnya, selama Syah Iran berkuasa, semangat ilmiah tidak berkembang sebagaimana mestinya. Universitas ini harus puas di bawah tekanan pengawasan Negara, sehingga fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang independent tidak terbukti. Lebih parah lagi, segala kegiatan yang akan dilakukan terlebih dahulu harus mendapat izin dan persetujuan dari syah, bahkan kepemimpinan pun harus orang yang sealiran dengan syah. Dalam situasi sulit tersebut, kegiatan kampus tetap berjalan baik namun tidak mampu membuat perubahan besar seperti cita-cita Muthahhari.


Setelah Iran menjadi Negara Islam di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini, ia mempercayakan Muthahhari untuk menjadi pimpinan universitas tersebut. Pada masa inilah perkembangan keilmuan dengan pesat dan setelah Murtadha Muthahhari wafat, Ayatullah meminta kesediaan Ayatullah Imam Kasyani untuk menjadi rektornya. Untuk meningkatkan mutu dan kualitas lembaga yang dipimpinnya, Muthahhari menciptakan metode dan kurikulum pengajaran yang lebih variatif, dimana penekanannya bukan di bidang ilmu Islam saja, tetapi juga  ilmu umum. Orientasi yang ingin diwujudkan Muthahhari adalah melahirkan sumber daya manusia yang mampu berdakwah menyebarkan ilmu-ilmu keislaman di luar Republik Islam Iran. Tak heran jika memasuki universitas ini, persyaratannya amat ketat. Salah satu keistimewaan dari universitas Muthahhari ini adalah, memiliki koleksi buku pada perpustakaan yang amat lengkap.


Di antara buku-buku tersebut masih ada tulisan tangan asli para pengarang dengan jumlah tak kurang dari 11.000 buah buku. Buku-buku berasal dari sumbangan, hadiah dari orang-orang Iran yang tinggal di Karachi, Istambil, Paris, London, Moskow dan lain-lain.[5]


 


C. PEMIKIRAN MURTADHA MUTHAHHARI


1. Teologi


Bila dilihat dari aliran dan barisan pemikiran, Murtadha Muthahhari berada pada barisan Sunni. Namun banyak yang menilai, ia seorang Syiah sejati. Tetapi dari pemikirannya, ia jelas Sunni. Menurut Murtadha Muthahhari, tauhid yang hakiki adalah kesatuan dan keharmonisan antara tauhid teoritis dan tauhid praktis  yang wajib diamalkan oleh ummat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.


Di sinilah letak antara seorang yang bertauhid (muwahhid) dan seorang musyrik. Seorang musyrik secara teoritis bertauhid tetapi dalam praktek kehidupan sehari-hari patuh dan mengabdi pada tuhan yang lain.[6] Lebih jauh dikatakannya, mereka yang mengakui secara teori hidup bertauhid tetapi tidak mengamalkan perintah sebagai amal, justru sebagai musyrik hakiki. Pola pikir Muthahhari tentang tauhid dapat ditebak kemana arah teologi yang ia terapkan, yaitu, pola Asy’ariyyah[7] yang kental.


2. Insan Kamil


Mengenal corak dan ciri manusia sempurna adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim, karena melalui pencarian hakikat kemanusiaan tersebut akan dapat mewujudkan tercapainya kesempurnaan manusiawi sesuai dengan ajaran Islam. Ada dua cara mengenal manusia sempurna, pertama melihat bagaimana al-Qur’an dan Hadits mendefenisikan manusia sempurna, sekalippun bila dimaksudkan adalah mukmin sempurna dan muslim yang baik. Muslim yang sempurna ialah orang yang mencapai kesempurnaan dalam Islam, sedangkan mukmin yang sempurna adalah orang yang mencapai kesempurnaan dalam keimanan.


Kedua, melihat para individu sesungguhnya yang terbaik berdasarkan teladan al-Qur’an dan Hadits, bukan makhluk khayal atau idealistis melainkan kepribadian riil dan obyektif yang eksis dalam berbagai tahap kesempurnaan baik pada tingkat tertinggi maupun tingkat yang rendah.[8]


Nabi Muhammad SAW adalah contoh manusia sempurna dalam Islam. Begitupun Imam Ali sebagai contoh karakter manusia sempurna. Mengenal Nabi dan Ali berarti mengenal manusia sempurna. Pandangan Muthahhari tentang konsep manusia sempurna ini tidak terlepas dari pandangan kaum syi’ah secara umum yang m emang menonjolkan figure keutamaan dari Nabi dan Ahl Bait termasuk pengkultusan para imam. Hanya saja, konsep manusia sempurna tersebut tidak bersifat ekslusif bagi pribadi tertentu saja yang mencapa, tetapi Muslim kebanyakan dapat mencapai sesuai dengan cara yang dikemukakan Muthahhari di atas.


3. Keadilan


Muthahhari memaknai keadilan merujuk pada al-Quran, Surat Fushsilat, ayat 46 yang berarti; Barang siapa  yang berbuat bai, maka hal itu adalah untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka hal itu aatas tanggungan dirinya sendiri. Dan tuhanmu sama sekali tidak berlaku zhalim kepada hamba-Nya.


Ayat memberikan muatan keadilan yang berarti bukan dalam bentuk keseimbangan dalam ukuran matematis. Tetapi memiliki hakikat baik dan buruk yang terukur dengan nurani seseorang dalam menimbang.[9] Sesuatu sudah dikatakan adil bila sudah bebas dari diskriminasi, penganiayaan, penderitaan dan pemaksaan. Sistem  yang adil dapat membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan, kelemahan dan kemelaratan.


Bagi Muthahhari, keadilan soSial adalah kategori kedua setelah keadilan individu dalam kontek keadilan manusia. Titik sentral keadilan sosial dalam Islam adalah kesucian jiwa. Dalam hal ini Muthahhari menjelaskan bahwa salah satu masalah yang mendasar yang dibahas adalah keterpaksaan dan kebebasan indiviu dalam kaitan masyarakat. Maksudnya adalah keadilan jiwa social. Maka masyarakat yang menindas antara satu dengan yang lain adalah masyarakat yang tidak adil. Misalnya, menyebar dan tumbuhnya kejatahan, iri, dengki, balas dendam, tamak dan rakus.[10]


4. Politik


Sebagai tokoh pergerakan, hidup Muthahhari bersentuhan dengan politik praktis. Ia memiliki pandangan tersendiri berdasarkan dunia akademisnya yang dekat dengan pandangan filosofis. Menurutnya, pergerakan politik adalah bentuk dari penegakan keadilan yang harus diperjuangkan oleh siapa saja di muka bumi. Atas nama agama dan realitas faktual  yang dihadapi pada masanya, ia memiliki pemikiran bahwa akibat-akibat dari kebiadaban dan kekuasaan absolute mesti dilawan. Ummat mesti bersatu melawan kezaliman.


Hal ini memperlihatkan pandangan politik yang berani. Ia menentang Syah Iran bersama dengan Ayatullah Khomeini. Menggerakkan ulama Mujahiddin setelah Ayatullah Khomeini tangkap tahun 1963, oleh rezim Reza Pahlevi. Selain perjuangan politik yang mengatur semua strategi dan taktik politik menghadapi lawan bersama barisannya, ia mendirikan basis kebangkitan intelektual yang bernama Husayniyyah Irsyad. Kelompok intelek yang didirikannya membuat benteng yang sangat hebat dalam menunjang kekuatan politik dan melemahkan posisi lawan.


            Gerakan politik Islam bagi Muthahhari harus terus dilakukan sesuai dengan medan faktual yang dihadapi. Menurutnya, gerakan politik Islam selama paruh kedua abad 19 adalah refleksi terhadap fenomena mutakhir yang cenderung bertentangan dengan prinsip Islam. Secara ringkas pendapat dikatakan, munculnya gerakan karena timbulnya pemerintah yang absolut. Lalu pengingkaran terhadap segala macam kebebasan. Munculnya kolonialisme yang baru yaitu kolonialisme terselubung membahayakan kehidupan politik, ekonomi dan budaya.


Lebih dari itu, munculnya usaha untuk membuat jarak antara agama dan kehidupan politik bahkan pemisahan antara kehidupan politik dengan kehidupan keagamaan. Khusus konteks Iran, munculnya usaha membawa Iran ke masa Jahiliyyah sebelum Islam dengan menghidupkan kembali budaya bangsa Iran sebelum Islam. Salah satunya, menggantikan system penanggalan hijriah ke penanggalan masehi.


Lebih parah lagi, munculnya usaha untuk mengubah dan mengecilkan peranan budaya Islam yang kaya itu dengan budaya lain. Dan kenyataannya, timbulnya gerakan pembunuhan atas muslimin dengan cara yagn kejam, menjebloskan ke dalam penjara serta menyiksa para tahanan yang dituduh melaksanakan kegiatan politik. Ini artinya memenjarakan kebebasan.[11]


5. Kepemimpinan


            Berbeda dengan makalah semester sebelumnya, hanya empat sub pemikiran dari Murthada Muthahhari, penulis menambahkan satu sub lagi yaitu kepemimpinan. Ini menarik, karena hal ini juga berdekatan dengan masalah politik dan kekuasaan. Menurut Muthahhari, konsep kepemimpinan Islam menyangkut wilayah secara filosofis dan praktis. Mengacu kepada al-Qur’an memaparkan dengan lugas seputar kepemimpinan dalam tulisan bertajuk, Wilayah, konsep kepemimpinan Islam. Penulis mencoba meresume pemikiran tersebut sesingkat-singkatnya.


Dikatakannya, salah satu prinsip utama Islam yang mendapat perhatian besar al-Qur'an adalah prinsip wilayah. Al-Qur'an menyebutnya hingga 236 kali. 124 kali dalam bentuk kata benda dan 112 kali dalam bentuk kata kerja. Salah satunya adalah yang terdapat pada surat al-Maidah ayat 55 dan 56. Pada kedua ayat ini menggunakan kedua bentuk kata wilayah itu.


"Sesungguhnya wali (bentuk kata benda) kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat saat mereka sedang ruku'. Maka barangsiapa yang berwilayah (kata kerja: yatawalla) kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, sesungguhnya partai Allah adalah yang menang."


 


Secara bahasa, wilayah atau walayah yang berakar dari kata w-l-y pada dasarnya mengandung makna kedekatan, apakah itu kedekatan jasmaniyah atau kedekatan maknawiyah. Karena itu, ia kadang berarti berteman, menolong, mencintai, mengikuti, menteladani, memimpin atau mematuhi. Karena makna-makna tersebut pada dasarnya merujuk pada makna adanya kedekatan antara pelaku, subyek, dan penderita.


Kata wali (isim fail: nama pelaku) misalnya, kadang berarti teman, pembela, atau pemimpin; tergantung penggunaannya. Ketiga makna yang berbeda ini sesungguhnya memiliki dasar yang sama, yakni adanya kedekatan antara subjek dengan objek. Karena itu ia bisa berarti salah satunya atau keseluruhannya, tergantung qarinah, keadaan yang menyertainya dalam pembicaraan. Ayat 5: 55-56 di atas misalnya, walayah (wali) digunakan dalam arti kepemimpinan. Jadi maknanya:


"Sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat ketika mereka sedang ruku. Maka barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman sebagai pemimpinnya, sesungguhnya partai Allah adalah yang menang."


 


Sementara itu pada ayat 10: 62, walayah (auliya') dimaksudkan sebagai kekasih:


"Ketahuilah, sesungguhnya para kekasih Allah (Auliya' Allah) tidak memiliki rasa takut dan tidak pernah gusar."


 


Sehubungan dengan itu, al-Qur'an banyak berbicara tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan wilayahini. Atau dengan kata lain, bagaimana seharusnya kita berwilayah.


Al-Qur'an menjelaskan terdapat dua bentuk wilayah, yaitu wilayah positif dan wilayah negatif. Wilayah positif ialah wilayah yang diseru oleh Allah, sedangkan wilayah negatif ialah wilayah yang dilarang Allah. Maksudnya ialah Allah memerintahkan kita agar berwilayah kepada pihak-pihak yang diperkenankan-Nya (wilayah positif) dan melarang kita berwilayah kepada pihak-pihak yang tidak diperkenankan-Nya (wilayah negatif).  


Berkaitan dengan wilayah negatif, al-Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa kaum Muslimin dilarang berwilayah kepada orang-orang yang berada di luar barisan mereka, yakni orang-orang kafir. Sesuai dengan Firman Allah:


"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu angkat musuh-Ku dan musuhmu sebagai wali-wali, yang kamu curahkan cinta kasihmu kepada mereka. Karena mereka telah mengingkari kebenaran yang datang kepadamu, mengusir Rasulullah, dan mengusir kamu karena imanmu kepada Allah Tuhanmu." (QS. 60:1)


 


Hal itu karena orang-orang yang jelas-jelas menolak kebenaran, tidak dapat dipercaya. Dalam diri mereka tersimpan rasa permusuhan dan ketidaksenangan terhadap kaum Muslimin. Al-Qur'an menegaskan:


"Jika mereka menangkap kamu, mereka memperlakukanmu sebagai musuh dan bertindak buruk terhadapmu dengan tangan dan lidah mereka. Mereka ingin kamu kembali kafir lagi."(QS 60:2)


 


Akan tetapi larangan ini tidak berarti bahwa kaum Muslimin juga dilarang berbuat baik kepada orang-orang luar (non muslim) yang tidak punya maksud buruk terhadap kaum Muslimin. Sama sekali tidak. Al-Qur'an dengan jelas menyatakan:


"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangimu dalam agama dan mengusir kamu dari tempatmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil." (QS 60 : 8)


 


Islam adalah agama rahmatan lil-'alamin. Agama yang menyeru umatnya untuk berbuat baik kepada siapa pun. Akan tetapi karena di antara orang-orang kafir itu terdapat orang-orang yang punya maksud buruk terhadap Islam, kaum Muslimin harus selalu waspada dan tidak boleh lengah sedikitpun. Sebab jika mereka lengah, orang-orang kafir itu dapat menguasai kaum Muslimin. Untuk itu wilayah tidak boleh diberikan kepada orang-orang kafir.


Sementara itu, ada dua bentuk wilayah positif yang mesti dilakukan oleh kaum Muslimin, yaitu wilayah terhadap kaum Muslimin secara umum, disebut Wilayah Positif Umum. Dan wilayah kepada pihak-pihak tertentu secara khusus, Wilayah Positif Khusus. Ada banyak penjelasan tentang kedua hal ini secara khusus di dalam al-Qur'an. Demikian pula penjelasan oleh Nabi SAW.


Al-Qur'an menegaskan bahwa kaum Muslimin satu sama lain adalah wali terhadap yang lainnya. "Wal-Mu'minuuna wal-mu'minaatu ba'dhuhum auliya-u ba'dh." (QS 9:71) Mereka adalah saudara, innamal-mu'minuuna ikhwah. (QS 49: 10) Hubungan sesamanya didasarkan pada cinta kasih, ruhamaa-u bainahum (QS 48:29). Bahkan Nabi SAW menggambarkan bahwa kaum Muslimin itu bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, maka anggota yang lain ikut sakit. Karena itu kaum Muslimin tidak boleh gontok-gontokan (QS 8:46). Harus bersatu (QS 3: 103) dan membangun hubungan di antara mereka dengan saling percaya (QS 48:12). Jika demikian, maka kaum Muslimin akan jaya selamanya.


"Janganlah kamu bersikap lemah dan jangan pula bersikap gusar. Sesungguhnya kamulah yang unggul, jika kamu beriman."(QS 3: 139)


 


Yang dimaksud di sini adalah wilayah kepada Ahlubait, keluarga suci Nabi saw. Sunni dan Syi'ah sepakat bahwa Nabi SAW menuntut umatnya agar berwilayah kepada ahlubait. Alqur'an Surat al-Syura (42) 23 menegaskan:


Katakan: "Aku tidak minta upah apapun atas risalahku ini, kecuali cinta kepada keluarga(ku)."


 


Demikian pula ayat 55-56 Surat al-Maidah (5): "Sesungguhnya (wali) pemimpin kamu ialah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat saat mereka ruku". Para ahli tafsir menjelaskan bahwa orang beriman yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Imam Ali ibn Abi Thalib. Nabi saw berkata, "Barangsiapa yang menganggapku sebagai maula,, pemimpinnya, maka Ali adalah maula, pemimpinnya."


Namun demikian, wilayah kepada ahlubait dapat dibagi dalam beberapa bentuk. Pertama, wilayah mahabbah atau kecintaan kepada Ahlubait. Kedua, wilayah imamah atau menteladani dan mengikuti Ahlubait. Ketiga, wilayah ziamah atau mengakui Ahlubait sebagai pemimpin-pemimpin sosial dan politik. Dan keempat wilayah tasharruf atau mengakui Ahlubait memiliki kemampuan mengendalikan alam.


Cinta kepada Ahlubait merupakan keharusan yang tidak terbantahkan. Puluhan bahkan ratusan hadis menyeru kita untuk mencintai Ahlubait, apakah itu hadits Sunni atau Syiah. Bahkan ahli tafsir terkenal, Fakhrur-Razi, penulis kitab tafsir al-Kabir, yang dalam masalah khilafah menyerang keras pandangan Syiah, menukil banyak hadits tentang kewajiban mencintai Ahlubait. Antara lain:


"Barangsiapa yang meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad (Ahlubait), maka ia mati sebagai syuhada. Ketahuilah, barangsiapa meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah. Ketahuilah, barangsiapa meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang taubat kepada Allah. Dan ketahuilah, barangsiapa yang meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang telah sempurna imannya."


 


Berkenaan dengan kecintaan kepada Ahlubait ini, Imam Syafii telah menggubah beberapa syair kecintaan kepada ahlubait. Antara lain:


Wahai Ahlibait Rasulullah/Mencintai kalian diwajibkan Tuhan/Tingkatmu agung sudah jelaslah/Dalam Alqur'an terdapat bahan/Siapa meninggalkan shalawat untuk kalian/Shalat tidak sah, begitu hukumnya/Tinggi kedudukan, tinggi derajat kalian


Merupakan karunia Allah semuanya/Jika Ali serta Fatimah/Dipuji orang dengan sanjungan/Pasti ada orang amarah/Menamakan Rafdhi dalam kenangan/Lalu kutanyai orang berbudi/Yang kuat imannya kepada Allah/Mencintai Fatimah bukan Rafdhi/Sebaliknya mencintai Rasulullah/Shalawat Tuhan tidak terhingga/Kepada Ahlubait serta salam/Laknat turun tangga/Kepada jahiliyah masa silam/


 


Dalam pada itu diceritakan bahwa Farazdaq, penyair terkenal pada abad pertama Hijrah yang secara spontan melontarkan syair-syair pujian kepada Imam Ali Zainal Abidin putra lmam Husain tatkala Ibn Hisyam, penguasa Umayyah, pura-pura tidak mengenalnya saat ia dengan kesal menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, betapa orang-orang memberi jalan kepada Imam agar dapat bertawaf dengan baik. Sementara ia sendiri harus menanti berjam-jam menunggu sepinya petawaf. Ketika ditanya dalam mimpi sesudah ia meninggal dunia, apa yang dialaminya? Farazdaq menjawab bahwa ia telah diselamatkan oleh syair-syair pujiannya kepada Imam Ali Zainal-Abidin.


Dengan demikian, maka seluruh kaum muslimin, siapa pun mereka, harus mencintai Ahlubait Rasulullah saw.


Seputar wilayah Imamah ialah al-marjaiyyah al-diniyyah atau posisi sebagai panutan dalam masalah-masalah agama dan akhlak. Umat harus menteladani mereka dan merujuk kepada mereka dalam masalah-masalah agama. Cinta saja, dalam arti kecenderungan perasaan, masih belum cukup. Cinta harus diikuti oleh sikap menteladani orang yang dicintai. Itulah maksud dari firman Allah (QS 3:31):


Katakanlah : "Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku. Dengan demikian, Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


 


Itulah arti cinta sejati. Tentang Rasulullah, Allah berfirman: "Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik buat kamu." (QS 33:21) Ayat ini menjelaskan tentang wilayah imamah yang dimiliki Rasullulah. Kaum muslimin harus merujuk kepada Rasulullah dan menjadikannya sebagai teladan dalam kehidupan mereka.


Hadits Nabi tentang keharusan mengikuti keluarga Rasulullah ini adalah hadits yang shahih, bahkan mutawatir. Semua ulama sepakat tentang kebenaran hadits ini dan tidak seorang pun yang berani menolaknya. Ia diriwayatkan oleh lebih dari 20 Sahabat Nabi. Karena itu ia termasuk di antara hadits-hadits yang qat'iy, yang kepastiannya tidak dapat diragukan oleh siapa pun. Selain hadits tsaqalain ini terdapat banyak hadits lain yang memiliki makna yang sama.


Wilayah Ziamah atau kepemimpinan sosial-politik ialah otoritas yang diberikan Allah kepada nabi-Nya untuk mengatur urusan kemasyarakatan, tidak terkecuali masalah kekuasaan. Nabi adalah Wali Amril-muslimin atau penguasa Islam. Sesudah SAW, otoritas atau wilayah ziamah ini dilimpahkan kepada Ahlubait Nabi. Merekalah yang dimaksud dalam firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan para Wali Amr kamu. " (QS 4:59)


Wilayah Tasharruf atau Wilayah Maknawilah ialah kemampuan yang diberikan Allah kepada seseorang yang telah mencapai maqam qurb, posisi kedekatan dengan Allah yang sedemikan rupa sehingga yang bersangkutan dianugrahkan kekuasaan mengendalikan alam dan jiwa manusia. Wilayah ini adalah wilayah tertinggi yang mungkin dapat dicapai oleh manusia. Alqur'an dengan tegas menyatakan adanya orang-orang tertentu yang dianugrahi wilayah ini.


Salah seorang di antara mereka adalah Nabi Sulaiman alaihis salam. Ia dianugrahi Allah misalnya, kemampuan mengatur perjalanan angin. "Maka Kami tundukkan angin untuknya yang berhembus dengan baik menurut kemana saja yang dikehendakinya." (QS. 38:36) Demikian pula kekuatan yang diberikan Allah: "Berkatalah orang yang mempunyai ilmu dari Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip." Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia berkata : "Ini semua merupakan karunia Tuhanku." (QS. 27:40)


Tetapi wilayah ini tidak didapat oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang telah mencapai kedudukan yang sangat dekat dengan Allah, yang dapat mencapainya. Tentu saja Rasulullah saw adalah orang yang paling utama dalam hal ini. Beliau memiliki wilayah tasharruf yang paling tinggi. Sesudah Rasulullah, para Imam suci Ahlubait adalah orang-orang yang dianugrahi Allah wilayah ini. Oleh karena itu, maka Islam memerintahkan kita untuk bertaqarrub kepada Allah melalui orang-orang suci ini.[12]


 


D. KESIMPULAN


            Setelah mengurai secara terbatas, dapat disimpulkan Murtadha Mutahhari seorang tokoh intelektual Islam yang membanggakan. Jasanya mendirikan agama dan Negara sangat besar. Tak hanya itu, ia juga menyumbangkan pemikiran-pemikiran pembaharuan yang sesuai dengan tuntutan kehidupan modern. Oleh karenanya, pembaharuan di dunia Islam tidak akan lengkap sebelum membicarakan tokoh dari Iran ini.


            Gagasan Muthahhari masih memiliki change and continuity kepada pemikiran sebelumnya. Terpengaruh dengan nuansa kehidupan dan pergerakan Persia. Ia memiliki pemikiran lebih di bidang ke-Islaman dan pemikiran Barat. Ini menimbulkan kepekaan yang luar biasa pada kehidupan. Ia menjadi peduli dan harus menanggung resiko untuk tetap berjuang mendirikan cita-citanya.


            Visi melihat persoalan dan pergerakan yang dilakukan tidak lepas dari kesadaran atas ketertindasan. Dalam hal ini, Ali Syari’ati –sejawatnya di Husainiyyah Irsyad--- tentang kesadaran ideologi kaum intelektual. Dimana kepekaan social jauh lebih penting dari pada hidup mewah dengan ilmu-ilmu yang dahsyat tetapi tidak memperhatikan nasib kaum papa.


Pandangan-pandangannya memiliki bobot dan ketajaman visi sehingga memiliki karakteristik berbeda dengan pemikiran lainnya.      Meski Muthahhari berasal dari kalangan Syiah, namun pandangannya tetap banyak bersamaan dengan Sunni. Atas kesatuan dalam dirinya, lahir pemikiran baru yang aktual dan menjawab kebutuhan dan kebuntuan yang sedang dihadapi pada saat itu. Hingga saat ini, ia masih tetap dinilai sebagai syiah yang agresif, disegani dan intelek. Tahniah.


 


KEPUSTAKAAN


Harun Nasution, Aliran-Aliran Analisa Perbandingan, (Jakarta; UI Press, 2002), Edisi II, Cet.1.


http://id.wikipedia.org/wiki/Iran, diakses, Jumat, 2 November 2007, pukul 01.30 WIB.


http://www.12-imam.com/data-artikel/Sospol-06.htm, diakses Kamis, 1 November 2007, pukul, 23.30 WIB.


http://www.irib.com, diakses Jumat, 2 November 2007, pukul 21.55 WIB.


http://id.wikipedia.org/wiki/ diakses Jumat, 2 November 2007, pukul 21.05 WIB.


http://www.irib.ir/worldservice/melayuRadio/kal_sejarah/juni/19juni.htm, diakses, Jumat, 2 November 2007, pukul 20.45 WIB.  


http://islamologi.blogspot.com/2006/11/murtadha-muthahhari-ulama-yang.html, diakses, Kamis 1 November 2007, pukul 01.30 WIB. 


http://id.wikipedia.org/wiki/Ayatullah_Murtadha_Muthathhari, diakses, Kamis, 1 November 2007, pukul 23.27 WIB. 


John  J. Donohue dan jon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Eksiklopedia Masalah-Masalah, diterjemahkan oleh Machnun Husein dari judul asli, Islam in Transition, Muslim Perspective, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), cet. Ke-5.


Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi Atas Pandangan Dunia Islam, (Bandung: Mizan, 1981)


_______________, Manusia Sempurna : Padangan Islam tentang Hakikat Manusia, judul asli, Perfect Man, penerjemah M. Hashem, (Jakarta: Lentera, 1994)


__________________, Masyarakat dan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1986)


__________________, Islam Agama Keadilan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988)







[1]Iran adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak zaman kuno, hingga tahun 1935 Iran masih dipanggil Persia di dunia Barat. Pada tahun 1959, Mohammad Reza Shah Pahlavi mengumumkan bahwa kedua istilah tersebut boleh digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan "Arya" yang berarti "Tanah Bangsa Arya". Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km) di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di timur laut, Pakistan (909 km) dan Afganistan (936 km) di timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan. Pada tahun 1979, sebuah Revolusi Iran yang dipimpin Ayatollah Khomeini mendirikan sebuah Republik Islam teokratis sehingga nama lengkap Iran saat ini adalah Republik Islam Iran. Klik: http://id.wikipedia.org/wiki/Iran, diakses, Jumat, 2 November 2007, pukul 01.30 WIB.



[2]Perlawanan terhadap kezaliman yang dilakukan Republik Islam Iran menembus batasan geografi dan meliputi seluruh penjuru dunia. Deklarasi revolusi Islam dapat dipahami sebagai landasan yang menyuarakan persatuan kaum tertindas di dunia secara umum dan di dunia Islam secara khusus. Iran selalu menyerukan agar dunia diatur secara adil dan negara-negara adidaya tidak berhak memaksakan kepentingannya kepada negara-negara lain di dunia. Klik: http://www.irib.com dan http://id.wikipedia.org/wiki/, diakses Jumat, 2 November 2007, pukul 01.30 WIB.



[3]Ali Syariati, seorang cendekiawan Iran kontemporer, gugur di London akibat dibunuh oleh agen rahasia rezim Shah Pahlevi, 19 Juni tahun 1977. Ali Syariati dilahirkan pada tahun 1933 di Sabzewar, timur laut Iran. Pada saat menuntut ilmu di bidang sastra Persia, Ali Syariati aktif dalam kegiatan politik menentang rezim Shah. Ia kemudian melanjutkan studi ke Universitas Sorbonne Perancis hingga meraih gelar doktor di bidang sejarah agama-agama. Setelah kembali ke Iran, Doktor Ali Syariati aktif memberikan ceramah-ceramah kepada kaum muda Iran yang membahas masalah keadilan, perlawanan terhadap  kezaliman, dan masalah-masalah agama yang dikaitkan dengan situasi sosial zaman itu. Pidato-pidato Ali Syariati banyak memberikan pencerahan kepada para pemuda Iran dan dia menjadi salah satu penggerak revolusi Islam di Iran. Pidato-pidato Syariati disampaikan di Husainiah Irsyad, sebuah gedung pertemuan yang menjadi pusat penyebaran pemikiran perjuangan Islam. Dalam usianya yang pendek, Ali Syariati meninggalkan lebih dari 200 karya penulisan, di antaranya berjudul Islam dan Manusia, Sejarah Peradaban, dan Haji. Klik, http://www.irib.ir/worldservice/melayuRadio/kal_sejarah/juni/19juni.htm, diakses, Jumat, 2 November 2007, pukul 20.45 WIB.  



[4]http://islamologi.blogspot.com/2006/11/murtadha-muthahhari-ulama-yang.html, diakses, Kamis 1 November 2007, pukul 01.30 WIB. 



[5]http://id.wikipedia.org/wiki/Ayatullah_Murtadha_Muthathhari, diakses, Kamis, 1 November 2007, pukul 23.27 WIB. 



[6]Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi Atas Pandangan Dunia Islam, (Bandung: Mizan, 1981), hal. 42.



            [7]Adalah ajaran yang dilahirkan oleh Abbu Hasan Asy’ari, seorang pentolan mu’tazilah. Ia keluar dan membuat ajaran sendiri yang dikenal dengan Asy’ariyyah. Ajaran ini mengedepankan fungsi wahyu lebih besar dan tinggi dari akal, hal yang berlawanan dengan pemikiran mu’tazilah. Baca, Harun Nasution, Aliran-Aliran Analisa Perbandingan, (Jakarta; UI Press, 2002), Edisi II, Cet.1, hal.40.



[8]Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna : Padangan Islam tentang Hakikat Manusia, judul asli, Perfect Man, penerjemah M. Hashem, (Jakarta: Lentera, 1994), hal. 21



[9]Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1986), hal.70-71



[10]Murtadha Muthahhari, Islam Agama Keadilan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1988) hal 45



[11]John  J. Donohue dan jon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Eksiklopedia Masalah-Masalah, diterjemahkan oleh Machnun Husein dari judul asli, Islam in Transition, Muslim Perspective, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), cet. Ke-5, hal.578-59.



[12]http://www.12-imam.com/data-artikel/Sospol-06.htm, diakses Kamis, 1 November 2007, pukul, 23.30 WIB.


 

No comments:

Post a Comment