Old Soldier Never Die
Resensi : Kalau Prabowo jadi Presiden
Penulis : A. Pambudi
Penerbit : Narasi
Cetak : Pertama
Tebal : 160 Halaman
Penulis : A. Pambudi
Penerbit : Narasi
Cetak : Pertama
Tebal : 160 Halaman
Jatuh bangun memang dinamika hidup. Tetapi gelombang naik turun dengan drastis agak sedikit orang yang memilikinya. Salah satunya, Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Pria kelahiran, Jakarta, 17 Oktober 1951.
Menyimak perjalanan karier amat menarik. Banyak menyangka ia akan mengkudeta saat jatuhnya rezim sang mertua. Tetapi ternyata yang terjadi, ia dimarahi kakak ipar karena membiarkan mahasiswa menduduki Gedung DPR-MPR. Ia juga dituduh oleh Mbak Tutut telah berkhianat. Merestui dan kompak dengan Habiebie. Sedangkan dia dengan Habibie sempat bertengkar dalam sebuah ruangan. Ini diceritakan Habiebie di dalam bukunya, Detik-Detik yang Menentukan.
Membaca kisah hidup Prabowo, kita menapak selembar sejarah menarik dari seorang putra bangsa. Tak sekedar dinamika hidup yang sangat pribadi, tapi menyangkut perjalanAN bangsa.
Hebat. Dia memang seorang yang cerdas. Anak seorang profesor, guru besar ekonomi yang kritis dalam era Soekarno dan Soeharto, Prof Sumitro Djojodikusumo, ia masuk dalam lingkaran elite militer memulainya dengan Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Lebih terkenal sebagai menantu Soeharto dari pada seorang anak bengawan ekonom.
Kecemerlangan karier sudah sejak kecil memang terlihat. Hidup di negeri orang, mengikuti orang tua yang bertugas sebagai duta besar, membuatnya menguasai banyak bahasa. Hal yang jarang ada di tengah elite militer pada masanya. Ia menonjol. Karier mencuat. Tapi itu pula yang menumbuhkan rivalitas dengan beberapa tokoh.
Reformasi meletus. Prabowo dicurigai sebagai dalang menghilang aktivis. Tak sampai di situ, pertengkaran sengit sempat terjadi di sebuah ruang istana dengan BJ Habibie yang diangkat jadi presiden mengganti sang mertua, Soeharto.
Itulah sekelumit dari uraian buku ini sebagai hantaran untuk menatap masa depan. Seperti ingin mengatakan, Prabowo belum selesai. Ia bakal bangkit. Bangkit sebagai presiden.
Keluar dari Partai Golkar setelah gagal mengikuti konvensi calon presiden, masuk ke Gerindra. Media sudah curiga, tapi orang-orang Gerindra sempat mengatakan tak ada sangkut pautnya dengan Prabowo. Tapi kini, di televisi dan banyak media, Prabowo dan Gerindra adalah dua sisi mata uang yang siap bangkit. Bangkit untuk memperlihatkan sebuah visi untuk membangun negeri.
Sebagai mantan jenderal cendana, Prabowo Subianto memang harus memikul masa lalu. Public enemy yang sempat menyeruak itu dicoba untuk dihapus. Ia hadir di tengah masyarakat sebagai pengusaha yang membela kepentingan petani dan pedagang. Ia menjabat sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Dukungan penuh dua lembaga yang memiliki jaringan seluruh provinsi sudah tampak.
Bagaimana kalau ia dipercaya sebagai presiden? Setidaknya Gerindra dan Prabowo sudah menyiapkan langkah dalam visi dan misi. Mulai dari konsep ekonomi kerakyatan sampai pluralisme dan demokrasi. Ini sangat realistis. Gerindra begitu cepat besar. Ada banyak orang bergabung bersama Prabowo. Mulai dari Tiga Diva Indonesia sampai penyanyi dangdut kocak, Jaja Miharja. Iklannya meyakinkan. Prabowo memang sedang bangkit. Sungguh sebuah buku yang patut dibaca, sebagai pertimbangan dalam pemilihan presiden nanti. [] AK
No comments:
Post a Comment